Disusun guna memenuhi tugas semester 
Mata Kuliah   : Ilmu Hadits 
Dosen Pengampu   : Dr. H. Noor Achmad, MA. 
Disusun oleh : 
Moh. Ircham Arifudin 
PROGRAM PASCA SARJANA 
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM ( PAI ) 
UNIVERSITAS WAHID HASYIM (UNWAHAS) SEMARANG 
TAHUN 2011 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  1 
PENDAHULUAN 
Kita  semua  pasti sudah tahu  dan  faham  tentang  hadits,  bahkan kita  sepakat 
bahwa hadits adalah sumber hukum Islam yang kedua setelah Al-Qur an. Akan tetapi 
berbeda  dengan  Al-Qur an  yang  dijamin  kemurniannya  oleh  Allah  SWT  (bersifat 
qaht i), kemurnian hadits bersifat lebih kepada dzanni. 
Upaya untuk menjaga kemurnian dan eksistensi hadits, yaitu dengan cara para 
sahabat,  tabi in,  tabi it-tabi in  sampai  generasi  seterusnya  menghimpun  atau 
mengkodifikasikan  hadits.  Sejak  masa  pertama  hijrah,  sebenarnya  hadits  sudah 
dikodifikasi  oleh  personal-personal  Ahli  hadits,  tapi  pada  masa  ini  masih  terjadi 
perdebatan, bahkan Rasulullah dan Para Khulafaurrasidin melarangnya untuk menulis 
dan membukukan hadits, karena  dikhawatirkan akan tercampurnya antara  ayat-ayat 
Al-Qur  an  dan  Hadits  dan  akan  terlalaikannya  Al-Qur an  karena  pada  masa  ini 
sebagian besar para sahabat masih mengandalkan hafalannya. 
Namun  sejalan  dengan  waktu  maka  haditspun  mulai  menyebar  ke  pelosok-
pelosok  negeri  yang  mana  dalam  penyampaian  hadits  mengalami  perbedaan              
yang mengakibatkan hadits menjadi bermacam-macam dan beraneka ragam (variatif). 
Berdasarkan  realita  tersebut,  para  ulama  sepakat  untuk  mengumpulkan  dan 
membukukan  hadits  demi  menjaga  kemurnian  dan  keutuhan  hadits.  Pembukuan 
hadits  terlaksana  pada  masa  khalifah  Umar  ibn  Abdul  Aziz  yang  terkenal  Wara i. 
Dimasa inilah merupakan awal pengkodifikasian hadits. 
Dalam proses pengumpulan dan pengkodifikasian hadits,  tentunya bukan hal 
yang mudah, banyak sekali kriteria dan klasifikasi yang diterapkan agar suatu khabar 
dapat  dikatakan  sebuah  hadits.  Dari  mulai  kualitas,  kuantitas  perawinya,  dan  lain 
sebagainya. 
Dalam  makalah  ini,  akan  dibahas  secara  garis  besar  tentang  Pembagian 
Hadits Ditinjau Dari Jumlah Perawinya. Kami menyadari bahwa makalah ini masih 
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, partisipasi saran dan kritik yang bersifat korektif 
dan  konstruktif  dari  par a  pembaca  yang  budiman  sangatlah  kami  harapkan  dalam 
rangka perbaikan makalah ini. 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  2 
PEMBAHASAN 
PEMBAGIAN HADITS DITINJAU DARI JUMLAH PERAWINYA 
Ulama   berbeda  pendapat  tentang  pembagian  hadits  ditinjau  dari  jumlah 
perawinya.  Maksud  tinjuan dari  segi  jumlah  perawinya  disini  adalah  dengan 
menelusuri jumlah para perawi yang menjadi sumber adanya suatu hadits. 
Para ahli  ada  yang  mengelompokkan  menjadi  tiga  bagian,  yakni  hadits 
mutawatir,  hadits  Masyhur,  dan  hadits  Ahad.  Ada  juga  yang  membaginya  hanya 
menjadi dua, yakni hadits Mutawatir dan Hadits Ahad.1 Akan tetapi kebanyakan dari 
para ahli membedakan dan membaginya hanya menjadi dua  yakni hadits Mutawatir 
dan  hadits  Ahad.   Mereka beralasan bahwa  hadits masyhur merupakan  bagian dari 
hadits Ahad dan tidak berdiri sendiri.  Alasan ini diikuti oleh golongan ulama Ushul 
dan ulama Kalam. Dan sebagian lagi  beralasan bahwa hadits Masyhur adalah hadits 
yang berdiri sendiri  dan bukan termasuk bagian dari hadits Ahad.  Alasan ini diikuti 
oleh sebagian ulama Ushul, diantaranya adalah Abu Bakar Al-Jassas. Namun dalam 
makalah  ini  akan  dijelaskan  pembagian hadits  menjadi  dua  : Hadits Mutawatir  dan 
Hadits Ahad. 
A.  HADITS MUTAWATIR 
Sebelum  kita  bahas  hadits  Mutawatir  lebih  dalam,  sebaiknya  terlebih 
dahulu kita mengetahui apa itu hadits Mutawatir ? 
Mutawatir menurut bahasa merupakan bentuk isim fa il, pecahan kata dari 
tawatara, yang  berarti tataba a  (berturut-turut),  atau muttabi  yakni  yang datang 
berikutnya  atau  beriring-iringan  yang  antara  satu  dengan  yang  lain  tidak  ada 
jaraknya.2  Sedangkan  pengertian  hadits  mutawatir  menurut  istilah,  terdapat 
beberapa definisi, antara lain sebagai berikut : 
1  Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Hadits, (Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2001), hal.95 
2  Mudasir, Ilmu Hadits, (Jakarta : Pustaka Setia, tt), hal.113 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  3 
“Khabar yang didasarkan  panca indera  yang dikhabarkan oleh sejumlah orang 
yang mustahil menurut adat  mereka bersepakat  untuk mengkhabarkan berita itu 
dengan dusta.”3 
Pendapat yang lain mengatakan : 
“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang  yang  menurut  adat 
mustahil  mereka  bersepakat  terlebih  dahulu  untuk  berdusta.  Sejak  awal  Sanad 
sampai akhir Sanad, pada setiap tingkat (Thobaqat ).”4 
Secara  definisi  hadits  mutawatir  ialah  :  “Suatu  hadits  hasil  tanggapan 
dari  Panca  Indra,  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  rawi,  yang  menurut 
adat kebiasaan mustahil mereka berkumpul dan bersepakat dusta.”5 
Secara  garis besar  jika  jumlah  para  sahabat  yang menjadi  rawi  pertama 
suatu  hadits  itu  banyak  sekali,  kemudian  rawi  dalam  generasi  tabi in  yang 
menerima  hadits  dari  rawi-rawi  generasi  pertama  (sahabat)  juga  banyak 
jumlahnya  dan  tabi in-tabi in  yang  menerimanya  dari  tabi in  pun  seimbang 
jumlahnya,  bahkan mungkin  lebih  banyak,  demikian  seterusnya  dalam  keadaan 
yang  sama  sampai  kepada  rawi-rawi   yang  mendewankan  hadits,  maka  hadits 
tersebut dinamakan Hadits Mutawatir. 
Hukum Hadits Mutawatir : 
Hadits  mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti    
(al-imu  ad-dlaruri),  yaitu  suatu  keharusan  untuk  menerimanya  secara  bulat 
sesuatu yang diberitahukan mutawatir karena ia membawa keyakinan yang qath i 
(pasti),  dengan  seyakin-yakinnya  bahwa  Nabi  Muhammad  SAW  benar -benar 
menyabdakan atau mengerjakan sesuatu seperti yang diriwayatkan oleh rawi-rawi 
mutawatir.6 Dengan  kata lain, wajib bagi setiap muslim untuk membenarkannya 
secara pasti, sama seperti ia menyaksikan sesuatu dengan mata kepalanya sendiri, 
sehingga bagaimana mungkin ia meragukan sesuatu yang telah dibenarkanya. 
3  Prof. Dr. Endang Soetari Ad.,  M.Si.  Ilmu Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung : 
Amal Bakti Press, 2000. Hal. 91 
4  Drs. Munzier Suparta.M.A, Ilmu Ha dits, Ibid, hal 96 
5  Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Bandung : Al –  Ma arif, 1981 , hal. 59 
6  T.M. Hasbi Ash Shiddieq y, Sejarah Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta : Bulan Bintang,  1988, 
hal. 201 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  4 
Syarat-syarat Hadits Mutawatir : 
1.  Dasar  atau  sesuatu  yang  disampaikan  oleh  rawi-rawi  tersebut  harus 
berdasarkan panca indera. Artinya bahwa sesuatu yang mereka sampaikan itu 
harus  benar-benar  hasil  pendengaran  atau  penglihatannya  sendiri,  sehingga 
tidak boleh meriwayatkan sesuatu yang diluar inderawinya. 
2.  Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak 
memungkinkan  mereka  bersepakat  bohong.  Para  ulama  berbeda  pendapat 
tentang batasan yang diperlukan untuk tidak bersepakat bohong. 
   Abu Thayyib menentukan sekurang-kurangnya 4 orang 
   Ashhabu„sy-Syafi  i menentukan minimal 5 orang 
   Ulama yang lain menetapkan batas minimal 20 atau 40 orang.7 
3.  Adanya  keseimbangan  jumlah  antara  rawi-rawi  dalam  Thabaqoh  (lapisan) 
pertama  dengan  Thabaqah  berikutnya.  Dengan  demikian,  bila  suatu  hadits 
diriwayatkan oleh dua puluh orang sahabat, kemudian diterima sepuluh tabi in 
dan selanjutnya  hanya  diterima  lima tabi in, maka  hadits  tersebut tidak  bisa 
digolongkan sebagai hadits mutawatir. 
Pembagian Hadits Mutawatir : 
a.  Mutawatir Lafdzi 
“Hadits yang sama bunyi lafadz, hukum dan maknanya.” 
Yang dimaksud hadits mutawatir lafdzi adalah : Hadits yang mutawatir lafadz 
dan maknanya. Dengan kata lain Hadits yang diriwayatkan oleh orang banyak 
yang  susunan  redaksi  dan  maknanya  sesuai/benar  antara  riwayat  yang  satu 
dengan yang lain. Contoh Hadits : 
“Barang  siapa  yang  berdusta  atasku  dengan  sengaja,  maka  ia  telah 
menyiapkan tempatnya dari api neraka.” (HR. Bukhari Muslim) 
Hadits ini diriwayatkan oleh lebih dari 70 orang sahabat.8 
7  Drs. Fatchur Rah man, Ikh tisar Mustalahul Hadits, Ibid, hal, 60 – 61 
8  Ibid, hal, 63 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  5 
b.  Mutawatir  Maknawi 
“Hadits  yang  berlainan  bunyi  lafadz  dan  maknanya,  tetapi  dapat  diambil 
makna yang umum.” 
Yang  dimaksud  dengan  hadits  mutawatir  maknawi  adalah hadits  mutawatir 
yang  rawi-rawinya  berlainan  dalam  menyusun  redaksi pemberitaan  tetapi 
berita yang berlainan-lainan susunan redaksinya itu terdapat persesuaian pada 
prinsipnya.9  Atau  dengan  kata  lain  hadits  yang  mutawatir  namun  dari  segi 
maknanya saja, dari segi lafadznya berbeda/berlainan. 
Al-Suyuthi  mendefinisikan  sebagai  berikut  :  “Hadits  yang  dinukilkan  oleh 
sejumlah  orang  yang  menurut  adat  mustahil  mereka   sepakat berdusta  atas 
kejadian  yang  berbeda-beda  (secara  lafdziyah),  tetapi  bertemu  pada  titik 
persamaan (maknanya)” . 
Contoh: Hadits tentang mengangkat kedua tangan ketika berdo a. 
“Rasulullah  SAW  mengangkat  kedua  tangannya  dalam  berdo a  hingga 
tampak  putih  kedua  ketiaknya  selain  dalam  do a  shalat  Istisqa”.                    
(HR. Bukhari & Muslim)10 
“Rasulullah SAW mengangkat tangan sejajar dengan kedua pundak beliau.” 
Hadits-hadits yang menggambarkan keadaan Rasulullah SAW seperti ini ada 
sekitar  100  hadits.  Masing-masing  itu  menyebutkan  Rasulullah  SAW 
mengangkat  kedua  tangannya  ketika  berdo a,  meskipun  masing-masing 
(hadits)  terkait  dalam  hal  yang  berbeda-beda.  Masing-masing  hal  tersebut 
tidak  mutawatir. Penetapan  bahwa  mengangkat kedua  tangan  ketika  berdo a 
itu  termasuk  mutawatir  karena  pertimbangan  digabungkanya  berbagai  jalur 
hadits tersebut. 
9    Ibid, hal, 64 
1 0 Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  6 
c.  Mutawatir Amali 
“Sesuatu  diketahui  dengan  mudah  bahwa  dia  termasuk  urusan  agama  dan 
telah  mutawatir  di  kalangan  ummat  Islam,  bahwa  Nabi  SAW 
mengerjakannya, atau menyuruhnya, atau selain  dari itu. Dari hal itu dapat 
dikatakan soal yang telah disepakati.”11 
Contoh  :  hadits-hadits  yang  menerangkan  waktu  dan  rakaat  shalat,  shalat 
jenazah, shalat „Ied, hijab  perempuan yang  bukan mahram, kadar zakat,  dan 
segala bentuk amaliyah yang telah menjadi kesepakatan, ijma . 
B.  HADITS AHAD 
Al-Ahad adalah bentuk jamak dari ahad, menurut bahasa berarti al-wahid 
atau  satu. Menurut istilah adalah khabar yang jumlah perawinya tidak mencapai 
batasan  jumlah  perawi hadits  mutawatir,  baik perawi  itu  satu,  dua,  tiga,  empat, 
lima  dan  seterusnya  yang  tidak  memberikan  pengertian  bahwa  jumlah  perawi 
tidak sampai kepada jumlah perawi hadits mutawatir “. 
Sebagaimana dinyatakan dalam kaidah ilmu hadits : 
“Hadits yang tidak mencapai derajat mutawatir.” 
Ada pula yang mengartikan hadits ahad secara singkat, yakni hadits yang 
tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits  mutawatir,  hadits  yang  selain  hadits 
mutawatir, atau hadits yang sanadnya sah dan bersambung hingga sampai kepada 
sumbernya (nabi) tetapi kandungannya memberikan pengertian dzanni  dan tidak 
sampai kepada qath i dan yaqin.12 
1 1 Ibid, hal. 93 
1 2 Drs. Munzier Suparta.MA, Ilmu Hadits, Jakarta, Raja Grafindo Persada, 20 01, hal 108 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  7 
Hukum Hadits Ahad : 
Para  ulama  sependapat  bahwa  hadits  ahad  tidak  Qath i,  sebagaimana 
hadits mutawatir. Hadits ahad hanya memfaedahkan  dzan, oleh karena itu masih 
perlu  diadakan  penyelidikan  sehingga  dapat  diketahui  maqbul  dan  mardudnya. 
Dan  kalau  temyata  telah  diketahui  bahwa,  hadits  tersebut  tidak  tertolak  (dalam 
arti maqbul), maka mereka sepakat bahwa hadits tersebut wajib untuk diamalkan 
sebagaimana hadits mutawatir. Bahwa neraca yang harus kita pergunakan dalam 
berhujjah dengan suatu hadits, ialah memeriksa “Apakah hadits tersebut maqbul 
atau  mardud”.  Kalau  maqbul,  boleh  kita  berhujjah  dengannya.  Kalau  mardud, 
kita tidak dapat I tiqatkan dan tidak dapat pula kita mengamalkannya.13 
Pembagian Hadits Ahad : 
a.  Hadits Masyhur 
Mashyur menurut bahasa, ialah al-Intisyar wal-dzuqa   : “sesuatu yang sudah 
terbesar  dan  popular”.  Masyhur  bisa  juga  diartikan  dengan  idzhar,  yaitu 
tampak / terlihat. 
Sedangkan menurut istilah terdapat beberapa definisi, antara lain : 
“Hadits  yang  diriwayatkan  oleh  tiga  orang  perawi  atau  lebih  pada  tiap 
tingkatan  perawinya  (thabaqah),  namun  tidak  sampai  pada  derajat 
mutawatir.” 
Pendapat  lain  mengatakan  hadits  yang  diriwayatkan  dari  sahabat,  tetapi 
bilangannya  tidak  sampai  ukuran  bilangan  mutawatir,  kemudian  baru 
mutawatir setelah sahabat dan demikian pula setelah mereka. 
Contoh hadits : 
“Sesungguhnya  tiap-tiap  amal  itu  bergantung  pada  niatnya,  dan  tiap-tiap 
seseorang akan memperoleh apa yang ia niatkan”. (HR. Bukhari & Muslim) 
Hadits ini pada  thabaqah pertama hanya  diriwayatkan  oleh sahabat  Umar bn 
Khattab,  pada thabaqah  kedua  hanya diriwayatkan  oleh Alqamah,  dan  pada 
1 3 T.M. Hasbi Ash Shiddieqy, Sejarah dan Pengantar Ilmu Had its, Ibid, hal.215 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  8 
thabaqah ketiga diriwayatkan oleh orang banyak, antara lain : Abdul Wahab, 
Malik, Al-Laits, Hammad, dan Sufyan.14 
Hadits  di  atas  biasa  disebut  hadits masyhur atau  disebut  hadits  gharib pada 
awalnya dan masyhur pada akhirnya. 
Hukum Hadits Masyhur : 
Masyhur  menurut  istilah  maupun  yang  tidak  termasuk  istilah  dapat 
diklaim sebagai hadits yang shahih, melainkan ada yang shahih, ada juga yang 
hasan,  dha if,  bahkan  yang  maudhu.  Menurut  istilah  hadits  yang  shahih 
memiliki kriteria lebih kuat dari hadits aziz dan hadits gharib. 
Macam-Macam Hadits Masyhur 
1)  Masyhur dikalangan ahli Hadits. 
Contohnya adalah hadits dari Anas : “Bahwa Rasulullah SAW melakukan 
(do a)   qunut  selama  satu  bulan,  (dilakukan)  setelah  ruku,  dengan 
mendoakan (khabilah) Ri lin Dzakwan”. 
2)  Masyhur dikalangan ulama ahli Hadits, ulama-ulama lain, dan dikalangan 
orang  umum.  Contohnya  :  “Orang  muslim  itu  adalah  orang  yang 
menyelamatkan  muslim lainnya dari perkataan dan tangannya”. 
3)  Masyhur dikalangan ahli Fiqih. 
Contohnya : “Perkara halal yang di benci Allah SWT adalah talak”. 
4)  Masyhur dikalangan ahli Ushul Fiqih. 
Contohnya : “Diangkat dari umatku (dosa) atas kekeliruan, lupa, dan hal 
yang memaksa”. 
5)  Masyhur dikalangan Ulama-ulama Arab. 
Contohnya  :  “Sebaik-baik  hamba  adalah  Shuhaib,  seandainya  ia  tidak 
takut kepada Allah, maka ia tidak akan berbuat maksiat.” 
6)  Masyhur dikalangan orang awam. 
Contohnya : “Tergesa-gesa itu adalah perbuatan setan.” 
1 4 Prof. Dr. Endang Soetari Ad., M.Si. Ilmu Hadits… , Ibid. Hal. 93 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  9 
b.  Hadits „Aziz 
Dari segi bahasa, lafadz Aziz memiliki dua pengertian, yaitu : 
   Berasal  dari  laf adz  „Azza-ya  „Izzu  yang  berarti   la yakadu  yujadu  atau 
qalla wa nadar (sedikit atau jarang adanya); dan 
   Berasal dari lafadz azza ya „azzu yang berarti qawiya (kuat atau keras). 
Sedangkan Aziz menurut istilah, adalah : 
“Hadits yang diriwayatkan oleh dua orang dari dua orang.” 
Jumhur  ulama  mengatakan  bahwasannya  Hadits  Aziz  adalah  hadits  yang 
perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam  semua  tingkatan  (Thabaqah) 
Sanadnya.15 
Contoh hadits : 
“Tidak sempurna iman salah satu diantara kalian, hingga ia menjadikan aku 
(Rasulullah  SAW)  lebih  dicintainya  daripada  ia  mencintai  dirinya  sendiri, 
orangtuanya, anaknya dan seluruh manusia”. (HR. Bukhari & Muslim) 
Hadits ini diriwayatkan  oleh Anas  bin Malik  (thabaqah pertama). Dari  Anas 
diriwayatkan  kembali  oleh  Abdul  Aziz  bin  Suhaib  dan  Qatadah  (thabaqah 
kedua).  Kemudian  dari  Qatadah  diriwayatkan  oleh  Syu bah  dan  Sa id 
(thabaqah ketiga). 
c.  Hadits Gharrib 
Gharrib  menurut  bahasa  berarti  al-munfarid  (menyendiri)  atau  al-ba id  an 
aqaribihi (jauh dari kerabatnya). 
“Hadits  yang  terdapat  penyendirian  rawi  dalam  sanadnya  dimana  saja 
penyendirian dalam sanad itu terjadi.” 
Ulama  ahli  hadits  mendefinisikan  hadits  gharib  adalah  Hadits  yang 
diriwayatkan oleh seorang perawi yang menyendiri dalam meriwayatkannya. 
1 5 Ibid, hal. 116 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  10
Pendapat  lain mendefinisikan  hadits gharib  adalah hadits  yang diriwayatkan 
hanya  oleh  satu  orang  perawi  saja,  baik  pada  seluruh  maupun  salah  satu 
tingkatan perawinya (thabaqah). 
Penyendirian rawi tersebut dapat terjadi dikarenakan : 
   Mengenai  personalianya,  yakni  tidak  ada  orang  lain  yang  meriwayatkan 
hadits tersebut selain rawi itu sendiri. 
   Mengenai  sifat  atau  keadaan  rawi,  artinya  sifat  atau  keadaan  rawi  itu 
berbeda dengan sifat dan keadaan rawi-rawi yang lain yang meriwayatkan 
hadits tersebut. 
Pembagian Hadits Gharib : 
a.  Gharib Mutlaq 
Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada 
tingkatan (thabaqah) yang paling tinggi, yaitu tingkatan sahabat. Contoh : 
Artinya  :  “Kekerabatan  dengan  jalan  memerdekakan,  sama  dengan 
kekerabatan  dengan  nasab,  tidak  boleh  dijual  dan  tidak  boleh 
dihibahkan”. 
Hadits ini diterima dari  Nabi oleh Ibnu Umar dan dari Ibnu Umar hanya 
Abdullah bin Dinar saja yang  meriwayatkanya.  Sedangkan  Abdullah  bin 
Dinar adalah seorang tabi in hafidz, kuat ingatannya dan dapat dipercaya. 
b.  Gharib Nisbi 
Yaitu  hadits  yang  kegharibannya  (kesendirian  perawinya)  terjadi  pada 
tingkatan (thabaqah) pertengahan sanadnya (tabi in atau tabi it tabi in) . 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  11 
Contoh hadits :
“Rasulullah SAW pada Hari Raya Qurban dan Idul Fitri membaca surat 
Qaaf dan surat Al-Qamar”.(HR. Muslim) 
Contoh dari hadis ghorib nisbi berkenaan dengan kota atau tempat tinggal 
tertentu : 
Hadis  ini  diriwayatkan  oleh  Abu  Daud  dengan  sanad  Abu  Al-Walid, 
Hammam,  Qatadah, Abu  Nadrah  dan  Said.  Semua rawi  ini  berasal  dari 
kota Basrah dan tidak ada yang meriwayatkannya dari kota-kota lain. 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  12 
KESIMPULAN 
Dengan melihat dan mencermati uraian di atas pada makalah ini, maka dapat 
diambil kesimpulan sebagai berikut : 
1.  Hadits  mutawatir  adalah  hadits  yang  diriwayatkan  oleh  sejumlah  besar  orang 
yang menurut adat mustahil mereka bersepakat terlebih dahulu untuk berdusta. 
2.  Hukum  Hadits  Mutawatir  menunjukan  pada  pengetahuan  yang  sifatnya  pasti, 
(suatu keharusan untuk menerimanya secara bulat sesuatu yang diberitahukan). 
3.  Syarat-syarat Hadits Mutawatir : 
   Sesuatu yang disampaikan oleh perawi harus berdasarkan Panca Indera. 
   Jumlah  rawi-rawinya  harus  mencapai  suatu  ketentuan  yang  tidak 
memungkinkan mereka bersepakat bohong. 
   Adanya keseimbangan jumlah antara rawi-rawi dalam tiap thabaqoh. 
4.  Pembagian Hadits Mutawatir : 
a.  Mutawatir Lafdzi (mutawatir lafadz dan maknanya) 
b.  Mutawatir  Maknawi (mutawatir dari segi maknanya, lafadznya berbeda) 
c.  Mutawatir Amaly (diketahui dengan  mudah bahwa Nabi SAW mengerjakan, 
menyuruhnya, atau selain dari itu). 
5.  Hadits ahad  adalah  hadits  yang  tidak  memenuhi  syarat-syarat  hadits mutawatir, 
hadits  yang  selain  hadits  mutawatir,  atau  hadits  yang  sanadnya  sah  dan 
bersambung  hingga  sampai  kepada  sumbernya  (nabi)  tetapi  kandungannya 
memberikan pengertian dzanni dan tidak sampai kepada qath i dan yaqin. 
6.  Hukum Hadits Ahad tidak Qath i, sebagaimana qath inya hadits mutawatir. 
7.  Pembagian Hadits Ahad : 
a.  Hadits Masyhur (Hadits yang diriwayatkan oleh tiga orang perawi atau lebih 
pada tiap tingkatan perawinya, namun tidak sampai pada derajat mutawatir) 
b.  Hadits  „Aziz  (Hadits  yang  perawinya  tidak  kurang  dari  dua  orang  dalam 
semua tingkatan Sanadnya) 
c.  Hadits Gharrib (hadits yang diriwayatkan hanya oleh satu orang perawi saja, 
baik pada seluruh maupun salah satu tingkatan perawinya) 
Semoga tulisan ini bermanfaat bagi pembaca budiman. Amin… 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  13 
 DAFTAR PUSTAKA 
   Ash  Shiddieqy,  T.M.  Hasbi,,  1988,  Sejarah  dan  Pengantar  Ilmu  Hadits,           
Jakarta : Bulan Bintang. 
   Mudasir, tt., Ilmu Hadits, Jakarta : Pustaka Setia. 
   Rohman, Fatchur, 1981, Ikhtisar Musthalahul Hadits, Bandung : Al-MA arif. 
   Soetari,  Endang,  2000,  Ilmu  Hadits,  Kajian  Riwayah  &  Dirayah,  Bandung  : 
Amal Bakti Press. 
   Suparta, Munzier, 2001, Ilmu Hadits, Jakarta : Raja Grafindo Persada. 
Pembagian Hadits Ditunjau Dari Jumlah Perawinya  |  14