Baitul Maal wat Tamwil
Mata Kuliah : Lembaga keuangan Syariah Non-Bank
Disusun Oleh :
Achmad Syaiful Huda
Muhammad Agusman Jati
Nurhidayatullah
KONSENTRASI PERBANKAN SYARIAH
PROGRAM STUDI MUAMALAT
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009 M / 1430 H
1. Pengertian Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
BMT adalah lembaga keuangan mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi
hasil (syari’ah), menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam
rangka mengangkat derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum
fakir miskin. Secara konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil
(Bait = Rumah, at Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan
pengembangan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan
kualitas ekonomi pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong
kegiatan menabung dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul
Maal (Bait = Rumah, Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak
dan shadaqah serta mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan peraturan
dan amanahnya.
2. Dasar atau badan hukum didirikannya BMT
Dasar hukum didirikannya BMT adalah Al-qur’an surat At-Taubah ayat 60
dan103 dimana ayat tersebut menerangkan tentang kewajiban zakat terhadap
umat Islam, pada masa Rasulullah SAW pemengutan Zakat belum tertata
dengan rapi serta belum ada lembaga yang menampung hasil zakat tersebut
oleh karena itu Rasulullah membuat kebijakan untuk membangun lembaga
khusus untuk menaruh uang dari hasil zakat tersebut yang diberi nama
Baitul Maal.
3. Sejarah Perkembangan Baitul Mal wat Tamwil (BMT)
3.1. Masa Rasulullah SAW (1-11 H/622-632 M)
Pada masa Rasulullah SAW ini, Baitul Mal lebih mempunyai pengertian
sebagai pihak (al-jihat) yang menangani setiap harta benda kaum
muslimin, baik berupa pendapatan maupun pengeluaran. Saat itu Baitul Mal
belum mempunyai tempat khusus untuk menyimpan harta, karena saat itu
harta yang diperoleh belum begitu banyak. Kalaupun ada, harta yang
diperoleh hampir selalu habis dibagi bagikan kepada kaum muslimin serta
dibelanjakan untuk pemeliharaan urusan mereka. Rasulullah SAW senantiasa
membagikan ghanimah dan seperlima bagian darinya (al-akhmas) setelah
usainya peperangan, tanpa menunda nundanya lagi. Dengan kata lain,
beliau segera menginfakkannya sesuai peruntukannya masing-masing.
3.2. Masa Khalifah Abu Bakar Ash Shiddiq (11-13 H/632-634 M)
Abu Bakar dikenal sebagai Khalifah yang sangat wara’ (hati-hati) dalam
masalah harta. Bahkan pada hari kedua setelah beliau dibai’at sebagai
Khalifah, beliau tetap berdagang dan tidak mau mengambil harta umat dari
Baitul Mal untuk keperluan diri dan keluarganya. Diriwayatkan oleh lbnu
Sa’ad (w. 230 H/844 M), penulis biografi para tokoh muslim, bahwa Abu
Bakar yang sebelumnya berprofesi sebagai pedagang membawa barang-barang
dagangannya yang berupa bahan pakaian di pundaknya dan pergi ke pasar
untuk menjualnya. Di tengah jalan, ia bertemu dengan Umar bin Khaththab.
Umar bertanya, “Anda mau kemana, hai Khalifah?” Abu Bakar menjawab, “Ke
pasar.” Umar berkata, “Bagaimana mungkin Anda melakukannya, padahal
Anda telah memegang jabatan sebagai pemimpin kaum muslimin?” Abu Bakar
menjawab, “Lalu dari mana aku akan memberikan nafkah untuk keluargaku?”
Umar berkata, “Pergilah kepada Abu Ubaidah (pengelola Baitul Mal), agar
ia menetapkan sesuatu untukmu.” Keduanya pun pergi menemui Abu Ubaidah,
yang segera menetapkan santunan (ta’widh) yang cukup untuk Khalifah Abu
Bakar, sesuai dengan kebutuhan seseorang secara sederhana, yakni 4000
dirham setahun yang diambil dan Baitul Mal.
3.3. Masa Khalifah Umar bin Khaththab (13-23 H/634-644 M)
Selama memerintah, Umar bin Khaththab tetap memelihara Baitul Mal
secara hati-hati, menerima pemasukan dan sesuatu yang halal sesuai
dengan aturan syariat dan mendistribusikannya kepada yang berhak
menerimanya. Dalam salah satu pidatonya, yang dicatat oleh lbnu Kasir
(700-774 H/1300-1373 M), penulis sejarah dan mufasir, tentang hak
seorang Khalifah dalam Baitul Mal, Umar berkata, “Tidak dihalalkan
bagiku dari harta milik Allah ini melainkan dua potong pakaian musim
panas dan sepotong pakaian musim dingin serta uang yang cukup untuk
kehidupan sehari-hari seseorang di antara orang-orang Quraisy biasa, dan
aku adalah seorang biasa seperti kebanyakan kaum muslimin.” (Dahlan,
1999).
3.4. Masa Khalifah Utsman bin Affan (23-35 H/644-656 M)
Kondisi yang sama juga berlaku pada masa Utsman bin Affan. Namun,
karena pengaruh yang besar dan keluarganya, tindakan Usman banyak
mendapatkan protes dari umat dalam pengelolaan Baitul Mal. Dalam hal
ini, lbnu Sa’ad menukilkan ucapan Ibnu Syihab Az Zuhri (51-123 H/670-742
M), seorang yang sangat besar jasanya dalam mengumpulkan hadis, yang
menyatakan, “Usman telah mengangkat sanak kerabat dan keluarganya dalam
jabatan-jabatan tertentu pada enam tahun terakhir dari masa
pemerintahannya. Ia memberikan khumus (seperlima ghanimah) kepada Marwan
yang kelak menjadi Khalifah ke-4 Bani Umayyah, memerintah antara
684-685 M dari penghasilan Mesir serta memberikan harta yang banyak
sekali kepada kerabatnya dan ia (Usman) menafsirkan tindakannya itu
sebagai suatu bentuk silaturahmi yang diperintahkan oleh Allah SWT. Ia
juga menggunakan harta dan meminjamnya dari Baitul Mal sambil berkata,
‘Abu Bakar dan Umar tidak mengambil hak mereka dari Baitul Mal,
sedangkan aku telah mengambilnya dan membagi-bagikannya kepada sementara
sanak kerabatku.’ Itulah sebab rakyat memprotesnya.” (Dahlan, 1999).
3.5. Masa Khalifah Ali bin Abi Thalib (35-40 H/656-661 M)
Pada masa pemerintahan Ali bin Abi Talib, kondisi Baitul Mal
ditempatkan kembali pada posisi yang sebelumnya. Ali, yang juga mendapat
santunan dari Baitul Mal, seperti disebutkan oleh lbnu Kasir,
mendapatkan jatah pakaian yang hanya bisa menutupi tubuh sampai separo
kakinya, dan sering bajunya itu penuh dengan tambalan.
3.6. Masa Khalifah-Khalifah Sesudahnya
Ketika Dunia Islam berada di bawah kepemimpinan Khilafah Bani Umayyah,
kondisi Baitul Mal berubah. Al Maududi menyebutkan, jika pada masa
sebelumnya Baitul Mal dikelola dengan penuh kehati-hatian sebagai amanat
Allah SWT dan amanat rakyat, maka pada masa pemerintahan Bani Umayyah
Baitul Mal berada sepenuhnya di bawah kekuasaan Khalifah tanpa dapat
dipertanyakan atau dikritik oleh rakyat (Dahlan, 1999).
3.7. Sejarah BMT di Indonesia
Sejarah
BMT ada di Indonesia, dimulai tahun 1984 dikembangkan mahasiswa ITB di
Masjid Salman yang mencoba menggulirkan lembaga pembiayaan berdasarkan
syari’ah bagi usaha kecil. Kemudian BMT lebih di berdayakan oleh ICMI
sebagai sebuah gerakan yang secara operasional ditindaklanjuti oleh
Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). BMT adalah lembaga keuangan
mikro yang dioperasikan dengan prinsip bagi hasil (syari’ah),
menumbuhkembangkan bisnis usaha mikro dan kecil dalam rangka mengangkat
derajat dan martabat serta membela kepentingan kaum fakir miskin. Secara
konseptual, BMT memiliki dua fungsi : Baitul Tamwil (Bait = Rumah, at
Tamwil = Pengembangan Harta) - melakukan kegiatan pengembangan
usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan kualitas ekonomi
pengusaha mikro dan kecil terutama dengan mendorong kegiatan menabung
dan menunjang pembiayaan kegiatan ekonominya. Baitul Maal (Bait = Rumah,
Maal = Harta) – menerima titipan dana zakat, infak dan shadaqah serta
mengoptimalkan distribusinya sesuai dengan pertaturan dan amanahnya.
4. Visi dan Misi serta Tujuan di dirikannya BMT
Visi BMT adalah mewujudkan kualitas masyarakat di sekitar BMT yang
selamat, damai dan sejahtera dengan mengembangkan lembaga dan usaha BMT
dan POKUSMA yang maju berkembang, terpercaya, aman, nyaman,
transparan, dan berkehati-hatian.
Misi BMT adalah mengembangkan POKUSMA dan BMT yang maju berkembang,
terpercaya, aman, nyaman, transparan, dan berkehati-hatian sehingga
terwujud kualitas masyarakat di sekitar BMT yang selamat, damai dan
sejahtera.
BMT bertujuan
mewujudkan kehidupan keluarga dan masyarakat di sekitar BMT yang
selamat, damai dan sejahtera.Untuk mencapai visi dan pelaksanaan misi
dan tujuan BMT, maka BMT melakukan usaha-usaha yaitu mengembangkan
kegiatan simpan pinjam dengan prinsip bagi hasil/syariah dan
mengembangkan lembaga dan bisnis Kelompok Usaha Muamalah yaitu kelompok
simpan pinjam yang khas binaan BMT.
Jika BMT telah berkembang cukup mapan, memprakarsai pengembangan
badan usaha sektor riil ( BUSRIL ) dari Pokusma –pokusma sebagai badan
usaha pendamping menggerakkan ekonomi riil rakyat kecil di wilayah
kerja BMT tersebut yang manajemennya terpisah sama sekali dari BMT.
Mengembangkan jaringan kerja dan jaringan bisnis BMT dan sektor riil
(BUSRIL) mitranya sehingga menjadi barisan semut yang tangguh sehingga
mampu mendongkrak kekuatan ekonomi bangsa Indonesia.
5. Produk dan Mekanisme Operasional BMT
Secara umum produk BMT dalam rangka melaksanakan fungsinya tersebut
dapat diklasifikasikan menjadi empat hal yaitu(Prof.H.A Djazuli dan Drs.
Yadi Janwari, M.Ag. lembaga-lembaga Perekonomian Umat. Rajawali
Press.):
a. Produk penghimpunan dana (funding)
b. Produk penyaluran dana (lending)
c. Produk jasa
d. Produk tabarru’: ZISWAH (Zakat, Infaq, Shadaqah, Wakaf, dan Hibah)
Operasional BMT
Sistem bagi hasil adalah pola pembiayaan keuntungan maupun kerugian
antara BMT dengan anggota penyimpan berdasarkan perhitungan yang
disepakati bersama. BMT biasanya berada di lingkungan masjid, Pondok
Pesantren, Majelis Taklim, pasar maupun di lingkungan pendidikan.
Biasanya yang mensponsori pendirian BMT adalah para aghniya (dermawan),
pemuka agama, pengurus masjid, pengurus majelis taklim, pimpinan pondok
pesantren, cendekiawan, tokoh masyarakat, dosen dan pendidik. Peran
serta kelompok masyarakat tersebut adalah berupa sumbangan pemikiran,
penyediaan modal awal, bantuan penggunaan tanah dan gedung ataupun
kantor. Untuk menunjang permodalan, BMT membuka kesempatan untuk
mendapatkan sumber permodalan yang berasal dari zakat, infaq, dan
shodaqoh dari orang-orang tersebut. Hasil studi Pinbuk (1998)
menunjukkan bahwa lembaga pendanaan yang saat ini berkembang memiliki
kekuatan antara lain:
o Mandiri dan mengakar di masyarakat,
o Bentuk organisasinya sederhana,
o Sistem dan prosedur pembiayaan mudah,
o Memiliki jangkauan pelayanan kepada pengusaha mikro. Kelemahannya adalah :
o Skala usaha kecil,
o Permodalan terbatas,
o Sumber daya manusia lemah,
o
Sistem dan prosedur belum baku.Untuk mengembangkan lembaga tersebut
dari kelemahannya perlu ditempuh cara-cara pembinaan sebagai berikut:
o Pemberian bantuan manajemen, peningkatan kualitas SDM dalam bentuk pelatihan, standarisasi sistem dan prosedur,
o Kerjasama dalam penyaluran dana,
o Bantuan dalam inkubasi bisnis.
Pola Tabungan dan Pembiayaan
Tabungan
Tabungan atau simpanan dapat diartikan sebagai titipan murni dari orang
atau badan usaha kepada pihak BMT. Jenis-jenis tabungan/simpanan adalah
sebagai berikut:
Tabungan persiapan qurban;
Tabungan pendidikan;
Tabungan persiapan untuk nikah;
Tabungan persiapan untuk melahirkan;
Tabungan naik haji/umroh;
Simpanan berjangka/deposito;
Simpanan khusus untuk kelahiran;
Simpanan sukarela;
Simpanan hari tua;
Simpanan aqiqoh.
Pola Pembiayaan
Pola pembiayaan terdiri dari bagi hasil dan jual beli dengan mark up (tambahan atas modal) serta pembiayaan non profit.
Bagi Hasil
Bagi hasil dilakukan antara BMT dengan pengelola dana dan antara BMT
dengan penyedia dana (penyimpan/penabung). Bagi hasil ini dibedakan
atas:
Musyarakah,
adalah suatu perkongsian antara dua pihak atau lebih dalam suatu proyek
dimana masing-masing pihak berhak atas segala keuntungan dan bertanggung
jawab atas segala kerugian yang terjadi sesuai dengan penyertaannya
masing-masing.
Mudharabah, adalah perkongsian antara dua pihak dimana pihak pertama
(shahib al amal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung
jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan dibagikan sesuai dengan rasio
laba yang telah disepakati bersama terlebih dahulu di depan. Manakala
rugi, shahib al amal akan kehilangan sebagian imbalan dari kerja keras
dan manajerial skill selama proyek berlangsung.
Murabahah, adalah pola jual beli dengan membayar tangguh, sekali bayar.
Muzaraah, adalah dengan memberikan l kepada si penggarap untuk ditanami
dan dipelihara dengan imbalan bagian tertentu (prosentase) dari hasil
panen.
Musaaqot,
adalah bentuk yang lebih sederhana dari muzaraah dimana si penggarapnya
bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan. Sebagai imbalan si
penggarap berhak atas rasio tertentu dari hasil panen.
Jual Beli dengan Mark Up (tambahan atas modal)
Jual beli dengan mark up merupakan tata cara jual beli yang dalam
pelaksanaannya, BMT mengangkat nasabah sebagai agen (yang diberi kuasa)
melakukan pembelian barang atas nama BMT, kemudian BMT bertindak sebagai
penjual kepada nasabah dengan harga sejumlah harga beli tambah
keuntungan bagi BMT atau sering disebut margin/mark up. Keuntungan yang
diperoleh BMT akan dibagi kepada penyedia dan penyimpan dana.
Jenis-jenisnya adalah:
Bai Bitsaman Ajil (BBA), adalah proses jual beli dimana pembayaran
dilakukan secara lebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
Bai As Salam, proses jual beli dimana pembayaran dilakukan terlebih dahulu dan penyerahan barang dilakukan kemudian.
Al Istishna, adalah kontrak order yang ditandatangani bersamaan antara
pemesan dengan produsen untuk pembuatan jenis barang tertentu.
Ijarah atau Sewa, adalah dengan memberi penyewa untuk mengambil
pemanfaatan dari sarana barang sewaan untuk jangka waktu tertentu dengan
imbalan yang besarnya telah disepakati bersama.
Bai Ut Takjiri, adakah suatu kontrak sewa yang diakhiri dengan
penjualan. Dalam kontrak ini pembayaran sewa telah diperhitungkan
sedemikian rupa sehingga padanya merupakan pembelian terhadap barang
secara berangsur.
Musyarakah Mutanaqisah, adalah kombinasi antara musyawarah dengan ijarah
(perkongsian dengan sewa). Dalam kontrak ini kedua belah pihak yang
berkongsi menyertakan modalnya masing-masing.
Pembiayaan Non Profit
Sistem ini disebut juga pembiayaan kebajikan. Sistem ini lebih bersifat
sosial dan tidak profit oriented. Dalam BMT pembiayaan ini sering
dikenal dengan Qard yang bertujuan untuk kegiatan produktif yang secara
aplikatif peminjam dana hanya perlu mengembalikan modal yang dipinjam
dari BMT apabila sudah jatuh tempo, yang tentu dengan beberapa criteria
UMK yang harus dipenuhi.
6. Peraturan Hukum Terkait dengan BMT
BMT dapat didirikan dalam bentuk KSM (kelompok Swadaya Masyarakat) atau
Koperasi (Karnaen A. Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di
Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996), hlm.216). Sebelum menjalankan
usahanya, KSM mesti mendapatkan sertifikat operasi dari PINBUK (Pusat
Inkubasi bisnis Usaha Kecil). Sementara PINBUK itu sendiri mesti
mendapat pengakuan dari Bank Indonesia (BI) sebagai Lembaga Pengembang
Swadaya Masyarakat (LPSM) yang mendukung Program Proyek Hubungan Bank
dengan Kelompok Swadaya Masyarakat yang dikelola oleh Bank Indonesia
(PHBK-BI). Selain dengan badan hukum kelompok Swadaya Masyarakat, BMT
juga bisa didirikan dengan menggunakan badan hukum koperasi, baik
Koperasi Serba Usaha diperkotaan, Koperasi Unit Desa di pedesaan, maupun
Koperasi Pondok Pesantren (Kopontren) di lingkunan pesantren.
Berkenaan dengan Koperasi Unit Desa dapat mendirikan BMT telah diatur
dalam Petunjuk Menteri Koperasi dan PPK tanggal 20 Maret 1995 yang
menetapkan bahwa bila disuatu wilayah dimana telah ada KUD dan KUD
tersebut telah berjalan baik dan organisasinya telah diatur dengan baik,
maka BMT bisa menjadi Unit Usaha Otonom (U2O) atau Tempat Pelayanaan
Koperasi (TPK) dari KUD tersebut. Sedangkan bila KUD yang telah berdiri
itu belum berjalan dengan baik, maka KUD tersebut dapat di operasikan
sebagai BMT.
DI
wilayah-wilayah berbasis pesantren, masyarakat dapat mendirikan BMT
dengan menggunakan badan hukum Koperasi Pondok Pesantren. Dalam hal
penggunaan Kopontren sebagai badan hukum BMT, keberadaan BMT di
Kopontren tersebut adalah senbagai Unit Usaha Otonom atau tempat
Pelayanaan Koperasi sebagaimana dalam KUD. Apabila di pesantren itu
belum terbentuk Kopontren, maka civitas peasantren dapat mendirikan
Kopontren dan BMT secara bersama-sama. Untuk itu, panitia penyiapan
pendirian BMT dapaat bekerja sama dengan Puskopontren, Kantor Departeman
Agama, Kantaor Departemen Koperasi dan PPK di kabipaten setempat.
Penggunaan badan hukum KSM dan Koperasi untuk BMT itu disebabkan karena
BMT tidak termasuk kepada lembaga keuangan formal yang dijelaskan UU
nomor 7 tahun 1992 dan UU nomor 10 Tahun 1998 tyentang Perbankan, yang
dapat diopersikan untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat.
Menurut UU pihak yang berhak menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat
adalah Bank Umum dan Bank Perkreditan Rakyat, baik dioperasikan dengan
cara konvensional maupun syariah atau bagi hasil. Namun demikian, kalau
BMT dengan badan hukum KSM atau Koperasi itu telah berkembang dan telah
memenuhi syarat-syarat BPR, maka pihak menajemen dapat mengusulkan diri
kepada Pemerintah agar BMT itu dijadikan sebagia BPRS (Bank Perkreditan
Rakyat Syariah) dengan badan huukum koperasi atau perseroan terbatas.
Selain
itu BMT dalam menjalankan dan menggunakan produk-produknya mengacu
kepada Fatwa Dewan Syariah Nasional-Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI)
yang dijelaskan dalam uraian berikut:
Implementasi
akad bagi hasil dalam produk BMT di bidang penghimpunan dana
sebagaimana disebut di atas dalam bentuk simpanan, sedangkan
implementasinya dalam produk penyaluran dana adalah pada produk
Pembiayaan Mudharabah dan Pembiayaan Musyarakah. Secara teknis mengenai
penerapan akad mudharabah dalam bentuk pembiayaan dapat dibaca dalam
Fatwa DSN MUI No. 07/DSN-MUI/IV/2000 tentang Pembiayaan Mudharabah
(Qiradh) dan untuk penerapan akad musyarakah dalam produk pembiayaan
dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No. 08/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Musyarakah.
Sedangkan
implementasi akad murabahah, salam, dan istishna, khususnya dalam
praktik BMT secara teknis dapat dibaca dalam Fatwa DSN MUI No.
04/DSN-MUI/IV/2000 tentang Murabahah, Fatwa DSN MUI No.
05/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Salam, dan Fatwa DSN MUI No.
06/DSN-MUI/IV/2000 tentang Jual Beli Istishna. Sewa-menyewa merupakan
perjanjian yang obyeknya adalah manfaat atas suatu barang atau
pelayanan, sehingga bagi pihak yang menerima manfaat berkewajiban untuk
membayar uang sewa/upah (ujrah). Selain itu BMT juga menerapkan sistem
sewa menyewa. Dalam praktik BMT akad sewa-menyewa ini diterapkan dalam
produk penyaluran dana berupa pembiayaan ijarah dan pembiayaan ijarah
muntahia bit tamlik (IMBT), yang penjelasannya adalah sebagai berikut:
1)
Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah
mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa
atau imbalan jasa. Secara teknis mengenai penerapan akad ijarah di BMT
dapat mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 09/DSN-MUI/IV/2000 tentang
Pembiayaan Ijarah.
2)
Ijarah Muntahia Bit Tamlik (IMBT), adalah transaksi sewa-menyewa yang
memberikan hak opsi di akhir masa sewa bagi pihak penyewa untuk memiliki
barang yang menjadi obyek sewa melaluai mekanisme hibah ataupun melalui
mekanisme beli. Secara teknis mengenai implementasi IMBT ini dapat
dibaca dalam ketentuan Fatwa DSN MUI No. 27/DSN-MUI/III/2002 tentang
Al-Ijarah Al-Mutahiyah bi Al-Tamlik.
Dalam
operasional BMT transaksi pinjam-meminjam yang bersifat sosial diman
kegiatan pinjam-meminjam ini dikenal dengan nama pembiayaan qardh, yaitu
pinjam meminjam dana tanpa imbalan dengan kewajiban pihak peminjam
mengembalikan pokok pinjaman secara sekaligus atau cicilan dalam jangka
waktu tertentu. Ada juga qardh al-hasan (pinjaman kebajikan), yang pada
dasarnya dalam hal nasabah tidak mampu mengembalikan, maka seyogyanya
pihak pemberi pinjaman bisa mengikhlaskannya. Secara teknis mengenai
pembiayaan qardh ini mengacu pada Fatwa DSN MUI No. 19/DSN-MUI/IX/2000
tentang al Qardh.
7. Perkembangan dan pertumbuhan BMT di Indonesia
Perkembangan
BMT di Indonesia dewasa ini ukup mencengangkan, tumbuh ratusan BMT,
bahkan mungki ribuan. Menurut catatan BMT Center Indonesia (semacam
induknya BMT se-Indonesia) anggotanya ada sekitar 138 unit dengan 348
kantor cabang (niriah.com). Itu baru yang menginduk atau menjadi anggota
BMT Center, padahal yang tidak menjadi anggota, sangat jauh lebih
banyak. Artinya, masyarakat sangat membutuhkan sebuah lembaga keuangan
seperti ini, lembaga keuangan yang sederhana dalam pengaksesan
pembiayaan (kredit) dengan tidak meninggalkan aspek prudential, dengan
bagi hasil (margin) yang jauh lebih rendah dari rentenir. Masyarakat
usaha kecil selama ini merasa kesulitan untuk mengakses kredit ke
perbankan, karena usahanya belum tertata.
8. Dampak Perkembangan dan Pertumbuhan BMT bagi perekonomian Indonesia
Pembiayaan
kepada pengusaha mikro selama ini selalu terkendala permasalahan
outstanding pembiayaan yang kecil yang karena itu biaya operasional
pembiayaan menjadi tinggi membuat pihak perbankan enggan memberikan
pembiayaan. Kendala lainnya persyaratan perbankan, bankable atau yang
secara teknis mengharuskan adanya jaminan liquid dll yang tidak dimiliki
oleh sector UMK. Adanya keinginan yang kuat untuk mengatasi
kendala-kendala diatas itulah yang menginspirasi kehadiran BMT.
Bila
dibandingkan dengan kekuatan lembaga keuangan mikro lain dalam hal
besaran pembiayaan atau kredit, kekuatan BMT memang belum seberapa, dari
total pembiayaan yang disalurkan kepda UMK.
Namun
jika ditinjau dari segi jumlah penerima manfaat, maka kita dapat
melihat jumlah yang dilayani oleh BMT jauh lebih banyak, dan yang lebih
menarik lagi jumlah pembiayaan tiap unit usahapun lebih kecil, sehingga
dapatlah disimpulkan bahwa pembiayaan pada BMT lebih mampu untuk
menyentuh pengusaha mikro sebagai unit usaha terkecil, akan tetapi
memiliki jumlah unit usaha paling besar di Indonesia.
9. Prospek Strategi dan Kendala Baitul Maal wat Tamwil (BMT)
Koperasi syariah atau akrab dikenal dengan sebutan Baitulmal wattamwil
(BMT) mengalami perkembangan cukup signifikan dalam beberapa tahun
terakhir. Bahkan, sebuah lembaga inkubasi bisnis BMT mengestimasi saat
ini terdapat sebanyak 3.200 BMT dengan nilai aset mencapai Rp 3,2
triliun. Bisnis tersebut hingga akhir tahun ini diproyeksi mencapai Rp
3,8 triliun. Meski demikian, Chief Secretary Organization (CSO) BMT
Center, Noor Azis, yakin bahwa BMT di Indonesia masih bisa terus
dikembangkan. Syaratnya, adanya dukungan dan komitmen pemerintah dalam
mendorong perkembangan bisnis lembaga keuangan non bunga tersebut. Salah
satu bentuk dukungan itu adalah melahirkan berbagai regulasi yang
melindungi binsis keuangan mikro.
Searah dengan perubahan zaman, perubahan tata ekonomi dan perdagangan,
konsep baitul mal yang sederhana itu pun berubah, tidak sebatas menerima
dan menyalurkan harta tetapi juga mengelolanya secara lebih produktif
untuk memberdayakan perekonomian masyarakat. Penerimaannya juga tidak
terbatas pada zakat, infak dan shodaqoh, juga tidak mungkin lagi dari
berbagai bentuk harta yang diperoleh dari peperangan. Lagi pula peran
pemberdayaan perekonomian tidak hanya dikerjakan oleh negara.
Selain itu, dengan kehadiran BMT di harapkan mampu menjadi sarana dalam
menyalurkan dana untuk usaha bisnis kecil dengan mudah dan bersih,
karena didasarkan pada kemudahan dan bebas riba/bunga,
memperbaiki/meningkatkan taraf hidup masyarakat bawah, Lembaga keuangan
alternatif yang mudah diakses oleh masyarakat bawah dan bebas
riba/bunga,Lembaga untuk memberdayakan ekonomi ummat,mengentaskan
kemiskinan,meningkatkan produktivitas.
Jika
kita membicarakan bagaimana kita membuat strategi untuk menumbuh
kembangkan BMT di Indonesia dengan melihat prospek BMT yang telah kita
bahas pada pembahasan diatas, ternyata ada beberapa strategi untuk
meningkatkan kinerja untuk meningkatkan prospek dari BMT tersebut antara
lain:
o Optimalisasi
lembaga pemerintahan yang mengadakan pendanaan BMT secara melalui
lembaga swasta seperti lembaga PT. Permodalan Nasional Madani terhadap
BMT, akan tetapi itu dirasa kurang cukup kontributif untuk pengembangan
BMT, karena belum ada penanganan khusus dari lembaga pemerintahan.
o
Optimalisasi linkage program untuk penambahan permodalan BMT, baik itu
antara BMT dan BPRS serta Bank Syariah, sehingga kemungkinan likuidasi
BMT terjadi akan semakin mengecil.
o Sedangkan proses pengembangan BMT dapat dilakukan dengan proses berikut:
o Mengidentifikasi ulang kuantitas dan kualitas BMT dan UMK di Indonesia.
o
Koordinasi dengan Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil (PINBUK) dalam
pengadaan pelatihan bagi para pengelola BMT agar manajemennya bisa
berkembangan.
o
Sosialisasi akan eksistensi BMT kepada masyarakat melalui media massa,
sehingga masyarakat akan lebih cepat mengetahui adanya BMT dan
keunggulannya
10. Kendala-kendala yang dihadapi oleh BMT
Dalam perkembangan BMT tentunya tidak lepas dari berbagai kendala. Adapun kendala-kendala tersebut diantaranya:
1. Akumulasi kebutuhan dana masyarakat belum bisa dipenuhi BMT.
2. Adanya rentenir yang memberikan dana yang memadai dan pelayanan yang baik dibanding BMT.
3. Nasabah bermasalah.
4. Persaingan tidak Islami antar BMT.
5. pengarahan pengelola pada orientasi bisnis terlalu dominant sehingga mengikis sedikit rasa idealis.
6. Ketimpangan fungsi utama BMT, antara baitul mal dengan baitutamwil.
7. SDM kurang.
8.Evaluasi Bersama BMT.
Daftar Pustaka
Karnaen A. Perwaatmadja. Membumikan ekonomi Islam di Indonesia, (Depok: Usaha Kami,1996), hlm.216
Prof. Dr. Ir. M. Amin Azis. Tata Cara Pendirian BMT. Jakarta: PKES Publishing, 2008
Ir. H. Saat Suharto. Peranan Permodalan BMT dalam Pemberdayaan Sektor UMK.
A.
Djazuli dan Yadi Janwari, lembaga-lembaga Perekonomian Umat: Sebuah
Pengenalan, Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal: 191-192A. Djazuli
dan Yadi Janwari, lembaga-lembaga Perekonomian Umat: Sebuah Pengenalan,
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2002, hal: 191-192