TESIS ANALISIS TERHADAP AKAD DI BMT Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih
-->
ANALISIS TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH KLATEN 
( Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih) 
Oleh : 
Bambang Sugeng 
NIM : 05913171 
Pembimbing :  
Drs. H. Asmuni, Mth., MA 
TESIS 
Diajukan Kepada Magister Studi Islam 
Program Pascasarjana Universitas Islam Indonesia 
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Guna 
Memperoleh Gelar Magister Studi Islam 
YOGYAKARTA 
2007 
v
PERSETUJUAN  
TESIS berjudul    :  ANALISIS  TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH 
KLATEN (Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih) 
Ditulis  
:  Drs. Bambang Sugeng 
NIM       :  05913171 
Konsentrasi     :  Hukum Bisnis Syari’ah 
Telah dapat disetujui untuk diuji di hadapan Tim Penguji Tesis Magister Studi 
Islam Universitas Indonesia. 
Yogyakarta, 23  Nopember 2007 
Pembimbing, 
Drs. H. Asmuni, Mth., MA  
vi
PEDOMAN TRANSLITERASI 
ARAB – LATIN 
Sesuai Dengan SKB Menteri Agama RI,  
Menteri Pendidikan Dan Menteri Kebudayaan RI 
No.158/1987 Dan No. 0543b/U/1987 
Tertanggal 22 Januari 1988 
A.  Konsonan Tunggal 
vii
B.  Konsonan  Rangkap 
Konsonan rangkap, termasuk syaddah, ditulis rangkap 
Contoh :  ditulis Ahmadiyyah 
C.  Ta’  Marbutah di Akhir Kata  
1.  Bila dimatikan ditulis h, kecuali untuk kata-kata Arab yang sudah terserap 
menjadi Bahasa Indonesia, seperti salat, zakat dan sebagainya. 
2.  Bila dihidupkan ditulis t, contoh : 
Ditulis karamatul auliya’  
D.  Vokal Pendek 
Fathah ditulis a, kasrah ditulis i, dan dammah ditulis u. 
E.  Vokal Panjang 
a panjang ditulis a, i panjang ditulis i, dan u panjang ditulis u, masing-masing 
ditulis tanda hubung (-) di atasnya. 
F.  Vokal Rangkap 
ditulis bainakum 
1.  Fathah + ya’ mati ditulis ai, contoh     :             ditulis qaul 
2.  Fathah + wawu mati ditulis au, contoh  :  
G.  Vokal-vokal pendek yang berurutan dalam satu kata dipisahkan dengan 
apostrof (‘). 
ditulis a’antum, dan       ditulis mu’annas 
H.  Kata Sandang Alif + Lam 
1.  Bila diikuti huruf Qomariyah, contoh 
ditulis al-Qur’an, dan      ditulis al-Qiyas  
2.  Bila diikuti huruf Syamsiyah ditulis dengan menggunakan huruf 
Syamsiyyah yang mengikutinya, serta menghilangkan huruf / (el)-nya, 
contoh :   ditulis as-Sama’, dan   
ditulis asy-Syams. 
I.  Huruf Besar 
Penulisan huruf besar disesuaikan dengan EYD 
J.  Kata dalam rangkaian frasa dan kalimat 
ditulis zawl al furud 
1.  Ditulis kata perkata, contoh   
2.  Ditulis menurut bunyi atau pengucapannya dalam rangkaian tersebut, 
contoh :                          ditulis ahl as-Sunnah, dan 
ditulis syaikhul Islami atau ditulis  
syaikh al-Islam 
viii
KATA PENGANTAR 
Alhamdulillah, segala puji bagi Allah, atas limpahan, rahmat, taufiq dan 
hidayah-Nya, penyusun dapat menyelesaikan penulisan tesis ini sebagai salah satu 
tugas akhir memenuhi salah satu syarat untuk memperoleh Gelar Magister Studi 
Islam Pada Program Pasca Sarjana (S2) Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 
dengan judul  “ANALISIS TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH 
KLATEN (Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih)”. 
Dengan selesainya penulisan tesis ini, sudah sepantasnya pada kesempatan ini 
penyusun menyampaikan ucapan terima kasih kepada pihak-pihak yang terkait 
dengan penyelesaian tesis ini di antaranya adalah sebagai berikut : 
1.   Kepada Bapak Prof. Dr. H. Edy Suandi Hamid, M. Ec. Rektor Universitas 
Islam Indonesia Yogyakarta, yang telah memberikan kesempatan kepada 
penyusun dapat belajar dan menggali ilmu pada almamater yang beliau 
pimpin. 
2.  Kepada Bapak Drs. H. Fajar Hidayanto, MM. Dekan Fakultas Ilmu Agama 
Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta. 
ix
3.  Kepada Bapak Prof. Dr. H. Amir Mu’allim, MIS Ketua Program Pascasarjana 
Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta yang selalu 
memberikan dorongan untuk menyelesaikan penelitian ini. 
4.  Kepada Bapak Drs. H. Asmuni, Mth., MA. Sekretaris Program Pascasarjana 
Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta sekaligus 
Dosen Pembimbing yang telah memberikan arahan, bimbingan dalam 
pembuatan tesis ini. 
5.   Kepada Bapak M. Burhan Nasruddin. L, SE. Manajer Utama BMT Safinah 
Klaten yang telah memberikan ijin penelitian di BMT Safinah ini dan                 
Bapak Danang Pontjo Sudibyo, SIP, yang telah banyak memberikan data-data 
dalam penelitian ini. 
6.  Kepada Maryati isteri tercinta dan Nova, Ifah anak-anak yang kusayangi yang 
terus menerus memberikan dukungan demi terselesainya tesis ini. 
7.  Kepada semua rekan-rekan yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang 
telah memberikan dorongan, semangat dalam penyelesaian penelitian ini. 
Penyusun menyadari sepenuhnya bahwa Tesis ini banyak kekurangannya, 
maka sangat diharapkan saran dan kritik dari pembaca. Akhirnya penyusun 
berharap semoga Tesis ini bermanfaat bagi penyusun sendiri dan pada umumnya 
bagi para pembaca. Amin. 
Klaten, 17 Nopember 2007 
Penyusun 
Bambang Sugeng 
x
DAFTAR ISI 
HALAMAN SAMPUL ..............................................................................  ii 
HALAMAN PENGESAHAN ....................................................................  iii 
HALAMAN TIM PENGUJI UJIAN TESIS ................................................ iv 
HALAMAN NOTA DINAS ........................................................................ v 
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING .......................................... vi 
PEDOMAN TRANSLITERASI ..................................................................  vii 
KATA PENGANTAR .. ...............................................................................  ix 
DAFTAR ISI ................................................................................................ xi 
DAFTAR LAMPIRAN ...............................................................................  xv 
ABSTRACT ................................................................................................  xvi 
BAB I  PENDAHULUAN 
A.  Latar belakang Masalah .....................................................  1 
B.  Rumusan Masalah ..............................................................  4 
C.  Tujuan Penelitian ................................................................  5 
D.  Manfaat Penelitian ..............................................................  5 
E.  Telaah Putaka .....................................................................  5 
F.  Kerangka Teori ...................................................................  12 
G.  Metode Penelitian ...............................................................  20 
H.  Sistematika Pembahasan .....................................................  23 
xi
BAB II  TINJAUAN TENTANG BMT DAN BMT SAFINAH KLATEN 
A.  Tinjauan Tentang BMT......................................................  25 
1.  Pengertian BMT ..........................................................  25 
2.  Asas dan Landasan BMT ............................................  27 
3.  Prinsip Operasional BMT ...........................................  28 
4.  Penghimpunan Dana ....................................................  31 
5.  Produk Pembiayaan BMT............................................  36 
B.  BMT Safinah Klaten dan Produk-produknya ……………  41 
1.  Sejarah Berdirinya BMT Safinah Klaten dan  
Perkembangannya ………………………………….. 41 
2.  Visi dan Misinya ……………………………………  44 
3.  Pengelolaan Dana BMT Safinah Klaten ……………  44 
4.  Produk-produk Pembiayaan BMT Safinah Klaten …  48 
5.  Produk-produk Yang Macet ……………………….  58 
6.  Penyelesaiannya Terhadap Produk Yang Macet …..  58 
BAB III  HUKUM KONTRAK DALAM PERDATA INDONESIA 
A.  Tinjauan Umum Tentang Kontrak ………………………  60 
1.  Istilah dan Pengertian Kontrak ………………………  60 
2.  Sumber Hukum Kontrak …………………………….  65 
3.  Asas Hukum Kontrak ………………………………  66 
4.  Syarat Sahnya Kontrak ……………………………..  69 
xii
B.  Momentum Terjadinya Kontrak ……………………….  73 
1.  Momentum Terjadinya Kontrak …………………..  73 
2.  Bentuk Kontrak ……………………………………  75 
3.  Teknik Penyusunan Kontrak ………………………  78 
C.  Kontrak Nominaat Menurut Hukum Perdata Indonesia..  82  
1.  Istilah dan Pengertian Kontrak Nominaat ………….  82 
2.  Jenis-jenis Kontrak Nominaat ………………………  83 
3.  Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak …………….  93 
BAB IV  AKAD-AKAD DALAM FIQIH MUAMALAH 
A.  Tinjauan Umum Tentang Akad ………………………..  94 
1.  Pengertian Akad ……………………………………  94 
2.  Dasar-dasar Akad ………………………………….  96 
3.  Asas-asas Akad ……………………………………  97 
4.  Macam-macam Akad ……………………………..  100 
B.  Unsur-unsur Yang Membentuk Akad …………………  106 
1.  Rukun Akad ………………………………………  106 
2.  Syarat-syarat Akad ……………………………….  107 
C.  Kedudukan Dalam Fiqih Muamalah …………………  112 
1.  Akad Sebagai Perbuatan Hukum …………………  112 
2.  Sah dan Batalnya Akad  ………………………….  115 
3.  Cacat Dalam Akad ………………………………..  120 
xiii
D.  Khiyar Akad dan Berakhirnya Akad 
1.  Khiyar Akad ............................................................  123 
2.  Berakhirnya Akad .....................................................  126 
BAB V  ANALISIS AKAD MURABAHAH DAN AKAD IJARAH  
DI BMT SAFINAH KLATEN  
A.  Analisis Kesesuaian Akad BMT Safinah Klaten  
Dengan Hukum Kontrak  Dan Fiqih………………........  129 
1.  Analisis Akad Murabahah …………….………….  129 
2.  Analisis Akad Ijarah …………………………........  142 
B.  Analisis Potensi Konflik Pada Akad-akad Di BMT  
Safinah Klaten dan Penyelesaiannya ………………….    152 
1.  Analisis Konflik Pada Akad Murabahah 
Dan Akad Ijarah …………………………………  152 
2.  Potensi Konflik Akad Pemesanan Barang ………  157 
3.  Penyelesaian Konflik ……………………………  158 
BAB VI  PENUTUP 
A.  Kesimpulan …………………………………………  162 
B.  Saran-saran ………………………………………….  163 
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………  164 
LAMPIRAN-LAMPIRAN 
xiv
DAFTAR LAMPIRAN 
Halaman  
1.  Lampiran   1  :  Permohonan Pembukan Rekening dan  
Menjadi Anggota …………………………  I 
2.  Lampiran  2  :  Akad Pemesanan Barang …………………  II 
3.  Lampiran  3  :  Akad Wakalah ……………………………  IV 
4.  Lampiran  4  :  Akad Waad Wakalah …………………….  .IX 
5.  Lampiran   5  :  Nota Pembelian Barang …………………..  XII 
6.  Lampiran  6  :  Akad Murabahah …………………………  XIII 
7.  Lampiran   7  :  Akad Pembiayaan Ijarah …………………  XIX 
8.  Lampiran  8  :  Wawancara ……………………………….  XXIII 
9.  Lampiran   9  :  Surat Keterangan Penelitian di BMT Safinah  
Klaten ……………………………………  XXVIII 
10. Lampiran  10  :  Daftar Riwayat Hidup …………………..  XXIX 
xv
ABSTRAK 
ANALISIS TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH KLATEN 
(Perspektif Hukum Kontrak Dan Fiqih) 
OLEH  : BAMBANG SUGENG 
NIM : 05913171 
Penelitian ini dalam masalah akad murabahah dan akad ijarah di BMT 
Safinah Klaten, apakah akad akad tersebut sudah sesuai dengan hukum kontrak 
dan fiqih ?  Kemudian apakah akad-akad tersebut menimbulkan potensi konflik ? 
Perkembangan BMT Safinah Klaten sangat pesat diukur dari besarnya asset 
selama kurun 11 tahun (Juli 1996 s/d Agustus 2007) mencapai dua puluh lima 
milyar rupiah lebih. Dalam hal tersebut yang mendorong penelitian ini, apakah 
BMT konsisten dalam penerapan prinsip-prinsip syariah ? 
Tujuan penelitian ini untuk menggali fakta, bagaimanakah proses 
pembentukan akad, mempelajari dokumen-dokumen akad yang ada, yang 
dilakukan dengan metode deskriptif-analitis. Dan teknik pengumpulan data 
dengan metode wawancara dan dokumentasi. Dalam menganalisis data 
menggunakan analisa kualitatif dengan logika reflektif. 
Yang menjadi sumber masalah adalah tentang syarat syahnya akad di BMT 
Safinah Klaten, dalam hukum kontrak syarat syahnya kontrak disebutkan pada 
pasal 1320 KUH Perdata, dalam Fiqih sahnya akad bila telah memenuhi syarat-
syarat dan Rukun Akad.  
Hasil penelitian ini adalah (1). Menurut hukum kontrak bahwa, akad 
Murabahah dan akad ijarah di BMT Safinah Klaten telah sesuai dengan hukum 
kontrak, (2) Menurut fiqih bahwa akad murabahah dan akad Ijarah di BMT 
Safinah Klaten belum sesuai dengan fiqih, (3). Akad Murabahah dan Akad Ijarah 
sangat potensial terjadinya konflik, (4). Penyelesaian konflik di BMT Safinah 
belum mengacu pada peraturan perundang-undangan berlaku dan belum 
mengacu fatwa-fatwa dewan Syariah Nasional. 
Kontribusi hasil penelitian bagi nilai-nilai sosial yakni untuk memberikan 
masukan kepada pengelola BMT untuk seterusnya di dalam pengelolaan dan 
pembiayaan akad-akad di BMT dapat sesuai dengan Fiqih atau prinsip-prinsip 
syariah, dan berguna bagi nilai-nilai akademik untuk pengembangan khazanah 
keilmuan. 
xvi
1
BAB I 
PENDAHULUAN 
A.  Latar Belakang 
Baitul  Maal  wa-Tamwil  (BMT)  merupakan  salah  satu  model  lembaga 
keuangan syaria’ah yang paling sederhana yang saat ini banyak muncul di 
Indonesia hingga ribuan BMT dan nilai asetnya sampai trilyunan, yang 
bergerak di kalangan masyarakat ekonomi bawah, berupaya mengembangkan 
usaha-usaha produktif dan investasi kegiatan ekonomi bagi pengusaha kecil 
berdasarkan prinsip syari’ah. 
BMT menganut azas syari’ah, semua transaksi yang dilakukan harus 
berprinsip syari’ah yakni setiap transaksi dinilai sah apabila transaksi tersebut 
telah terpenuhi syarat rukunnya, bila tidak terpenuhinya maka transaksi 
tersebut batal. 
Jadi kedudukan akad sangat penting dalam penerapan prinsip-prinsip 
syari’ah dalam BMT. Namun apakah BMT konsisten dalam penerapan 
prinsip-prinsip syari’ah tersebut ? 
Timbulnya pertanyaan tersebut karena dalam masyarakat dalam menilai 
Lembaga Keuangan Syari’ah khususnya BMT ada yang bersikap sinis. Bahwa 
praktek BMT tidak beda dengan praktek Bank Konvensional, mereka 
beranggapan bahwa BMT dalam mengambil keuntungan lebih besar dari 
bunga Bank Konvensional, di Bank Konvensional mengambil bunga 1% 
hingga 2% setiap bulan sedangkan di BMT dalam mengambil keuntungan 
2
lebih dari 2%, hingga timbul pertanyaan yang mana yang lebih mendekati 
Riba ? 
Dalam interen pengelola BMT ada dugaan adanya praktek-praktek 
pengelolaan dana yang belum sepenuhnya bernuansa syari’ah, terjadi banyak 
deviasi antara teori dan praktek dalam operasional sebagian besar BMT, 
terutama yang berhubungan dengan penerapan prinsip-prinsip syari’ah dalam 
akad pengerahan dana dan penyaluran dana kepada masyarakat. 
Masalah-masalah tersebut disebabkan karena prinsip-prinsip syari’ah yang 
menjadi dasar rujukan dalam operasional BMT belum sepenuhnya dipahami 
dengan baik oleh sebagian besar pengelola BMT sendiri, inilah yang 
melahirkan banyak penyimpangan dalam praktek pengelolaan lembaga mikro 
keuangan syari’ah yang sering mengundang kritik. 1
Prinsip syari’ah yang menempatkan uang sebagai alat tukar telah banyak 
dipahami secara tidak benar, yang menempatkan uang sebagai komoditas 
perdagangan yang siap dijual belikan, dengan indikasi penentuan keuntungan 
secara pasti tanpa melihat jenis akad yang diterapkan. 
Masih banyak pengelola BMT yang orientasi kerjanya lebih diarahkan 
untuk mendapatkan keuntungan dengan mengabaikan misi sosial, sehingga 
mendorong mereka berani mengesampingkan aspek akhlaqul karimah yang 
menjadi bagian nilai-nilai ekonomi syari’ah. Seiring dengan itu, beberapa 
pengelola BMT mempunyai  iktikad yang tidak baik di dalam 
memperjuangkan implementasi prinsip-prinsip syari’ah dalam wadah BMT 
1  Makhalul Ilmi. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syari’ah, Cet. 1. (Yogyakarta : 
UII Pres, 2002), hal. 49. 
3
dengan menganggap prinsip-prinsip syari’ah masih relatif sulit diterapkan 
secara konsekuen dalam operasional BMT. 
Kedudukan BMT di tengah tata hukum perbankan nasional masih sangat 
lemah, Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang Perbankan dalam pasal-
pasalnya belum mengatur hal-hal yang berhubungan dengan usaha lembaga 
mikro keuangan syari’ah. Demikian juga ketentuan-ketentuan Bank Indonesia 
yang mengatur operasional dan tata kerja perbankan nasional, tidak satupun 
butir yang eksplisit mengatur operasional dan tata kerja lembaga mikro 
keuangan syari’ah.  
Meskipun ada beberapa buku atau modul yang spesifik mengatur masalah 
itu, seperti yang telah dikeluarkan oleh Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil 
(PINBUK), keberadaannya sangat lemah karena tidak mengikat untuk 
dipedomani dan bisa untuk dijadikan rujukan namun tidak ada kewajiban bagi 
BMT untuk mengikutinya. Keadaan ini merupakan kemudahan bagi umat 
Islam untuk mendirikan banyak BMT, namun keadaan ini juga dapat 
berpeluang menjadi ancaman bagi keberadaan BMT itu sendiri. 2
Di masyarakat kenyataannya dapat ditemui banyak BMT didirikan tidak 
disertai dengan sumber daya manusia yang memadai dan dalam operasinya 
dapat mengarah tidak mengikuti ketentuan mengenai prinsip-prinsip kesehatan 
bank, seperti prinsip mengenai permodalan, kualitas asset, kualitas 
manajemen, likuiditas serta prinsip-prinsip lain yang berhubungan dengan 
usaha bank, bahkan mengabaikan keabsahan penerapan prinsip-prinsip dalam 
2  Ibid, hal. 51. 
4
akad-akadnya, baik yang berhubungan dengan akad pengumpulan dana 
maupun dalam penyaluran dananya kepada masyarakat. 
Belum adanya aturan hukum di bidang perbankan yang melindungi 
ketentuan yang berhubungan dengan usaha lembaga mikro keuangan syari’ah, 
seperti halnya aturan hukum yang berlaku pada Bank Umum Syari’ah dan 
Bank Perkreditan Rakyat Syari’ah. Adalah salah satu faktor dominan 
penyebab timbulnya banyak penyimpagan manajemen dalam usaha BMT, 
termasuk dalam kaitannya dengan penerapan prinsip-prinsip syari’ah. Hal ini 
yang dikhawatirkan dapat mempengaruhi secara negatif perkembangan 
lembaga mikro keuangan syari’ah di masa yang akan datang. 
Permasalahan-permasalahan  tersebut  di  atas  sebagian  juga  ada  pada                 
BMT Safinah Klaten terutama tentang penerapan prinsip-prinsip syariah 
dalam hal syarat syahnya akad pembiayaan. Berpijak dari masalah tersebut di 
atas yang mendorong penyusun mengadakan penelitian di BMT dan penyusun 
memilih di BMT Safinah Klaten dengan mengambil judul “ANALISIS 
TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH KLATEN (Perspektif Hukum 
Kontrak Dan Fiqih)”. 
B.  Rumusan Masalah 
Berdasarkan  latar  belakang  masalah  sebagaimana  yang  telah  diuraikan               
di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut : 
1.  Bagaimana kesesuaian antara akad yang dilakukan oleh BMT Safinah 
Klaten dengan Hukum kontrak dan fiqih ? 
5
2.  Adakah potensi konflik dari akad-akad tersebut dan bagaimana  
penyelesaiannya ? 
C.  Tujuan Penelitian 
Berkaitan dengan rumusan masalah seperti dikemukakan di depan, 
penelitian ini bertujuan sebagai berikut : 
1.  Untuk mendeskripsikan kesesuaian akad yang dilakukan oleh BMT 
Safinah Klaten dengan hukum kontrak dan fiqih ; 
2.  Untuk mengetahui potensi konflik dari akad-akad tersebut dan 
penyelesaiannya. 
D.  Manfaat Penelitian  
1.  Secara teoritis penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan 
pemikiran, agar BMT Safinah Klaten tetap eksis dalam pengembangannya 
dan konsep produk-produknya sesuai dengan prinsip-prinsip syari’ah. 
2.  Secara praktis, dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan 
manfaat bagi penyusun sendiri dan bagi BMT Safinah Klaten, agar dalam 
pembuatan akadnya tidak menimbulkan potensi konflik. 
E.  Telaah Pustaka 
Penyusun telah mengadakan penelusuran karya ilmiah yang ada kaitannya 
dengan BMT.  Adapun karya-karya ilmiah tersebut diambil dari tingkatan 
strata dua Magister Studi Islam Universitas Islam Indonesia Yogyakarta 
diantaranya adalah sebagai berikut : 
6
1.  Tesis yang berjudul “Mudarabah (studi atas Teori dan Aplikasinya pada 
BMT di Ponorogo)” oleh Subroto, tahun 2004. Tesis ini dalam kajiannya 
tercermin dalam tiga hal yakni : 
a.  Prosedur pembiayaan Mudarabah ; 
b.  Mekanisme pembagian keuntungan ; 
c.  Mekanisme penyelesaian masalah ; 
Adapun kesimpulan sebagai berikut : 
a.  Prosedur Pembiayaan Mudarabah 
Beberapa prosedur pembiayaan dalam BMT di Ponorogo yang 
meliputi : (1) peminjam adalah nasabah, (2) menyerahkan jaminan 
berupa BPKB (Buku Pemilikan Kendaraan Bermotor), (3) usaha yang 
prospektif, (4) menyerahkan KTP dan KK. Merupakan sebuah bentuk 
akad (penawaran) dalam sebuah kontrak Mudarabah. Dalam tinjauan 
fiqih, sebuah kontrak dapat berbentuk ketentuan apa saja asalkan tidak 
memberatkan pihak lain, maka beberapa prosedur yang diterapkan 
BMT di Ponorogo sebagaimana di atas sangat wajar adanya. 
b.  Mekanisme Pembagian Keuntungan 
Secara  mayoritas  BMT  di  Ponorogo  melakukan  pembagian 
keuntungan dengan cara menetapkan margin keuntungan dalam setiap 
bulannya. Mekanisme ini adalah mekanisme kontrak Mudarabah. 
Dengan menetapkan mekanisme pembagian keuntungan tersebut, 
maka secara otomatis fluktuasi keuntungan tidak dapat ditentukan oleh 
fluktuasi usaha. 
7
Oleh  karena  itu,  pembagian keuntungan dengan cara penetapan 
margin keuntungan tersebut belum sesuai dengan konsep teori 
Mudarabah yang sesungguhnya di mana pembagian keuntungan 
ditetapkan secara bagi hasil. 
c.  Mekanisme Penyelesaian Masalah  
Beberapa  tahapan  yang  ditetapkan untuk menyelesaikan masalah 
dalam BMT di Ponorogo sangat panjang dan terkesan berkepanjangan, 
tetapi hal tersebut sangat relevan mengingat lembaga keuangan 
pedesaan tersebut berkarakter sangat familiar. 
Tahapannya  meliputi  :  mengingatkan,  penagihan,  mengirim,  surat 
panggilan memberi tenggang waktu dan penyitaan. Langkah tersebut 
sesuai dengan syar’i pada intinya untuk menyelesaikan masalah secara 
damai. Jalan yang paling akhir sesungguhnya sangat dihindari ialah 
dengan penyitaan. Dan langkah selanjutnya dalam pelaksanaannya 
menempuh hal-hal sebagai berikut  : 
1).  Penyitaan dilakukan melalui proses musyawarah antara nasabah 
dan lembaga ; 
2).  Jika memang barang jaminan harus dijual dicari harga yang tinggi; 
3).  Lembaga hanya berhak atas pengembalian modalnya saja ; 
4).  Besarnya uang pelunasan kekurangan hanya dihitung dari bulan 
pertama mudarib macet sampai dia didefinisikan sebagai kredit 
macet. 
8
2.  Tesis yang berjudul “Bagi Hasil Dalam Pembiayaan Mudarabah dan 
Musyarakah Pada BMT di Daerah Istimewa Yogyakarta (dari Teori ke 
Terapan)” oleh Syafrudin Arif M. M. S, tahun 2005. Tesis ini dalam 
pemaparan dan pencermatan persoalan yang terkait dengan pembiayaan 
yang berpola bagi hasil memfokuskan yakni, bagi hasil yang digunakan 
oleh BMT dalam pembiayaan Mudarabah-Musyarakah (MDA-MSA). 
Segi-segi yang menentukan tingkat penggunaan sistem pembiayaan bagi 
hasil, cara penggunaan sistem pembiayaan bagi hasil. Adapun 
kesimpulannya adalah sebagai berikut : 
a.  Dalam ilmu ekonomi Islam, bagi hasil sebagai pola pembiayaan pada 
BMT merupakan pengejawantahan dari semangat moral yang berupa 
persaudaraan keadilan dan tanggung jawab dalam proses pinjam 
meminjam, untuk keperluan usaha melalui ketentuan bahwa Pemodal 
(BMT) berhak mendapatkan keuntungan dari uang yang 
dikeluarkannya kepada pengusaha dengan cara ikut menanggung 
resiko kerugian bagi hasil terdapat pada produk Mudarabah dan 
Musyarakah. 
b.  BMT Daerah Istimewa Yogyakarta tidak memiliki rumusan yang jelas 
mengenai segi-segi yang menentukan penggunaan sistem pembiayaan 
yang berpola bagi hasil dalam produk MDA-MSA melainkan 
memandangnya secara tersirat dibalik pembicaraan mengenai aturan 
dan dasar-dasar kebijakan pembiayaan BMT tetapi melalui 
pencermatan yang berpijak pada kerangka ilmu ekonomi Islam, maka 
9
segi-segi itu terungkap meliputi prosedur pembiayaan tingkat 
keuntungan dan prosentase bagi hasil (nisbah). 
c.  Agar penggunaan bagi hasil meningkat BMT harus didukung dengan 
kualitas SDM pemeriksa proyek dan metode penentuan resiko proyek, 
terutama untuk pemakaian produk bagi hasil murni untuk kerjasama 
modal 100 % BMT dan ketrampilan dan manajemen, pengusaha 
menekankan pembiayaannya berdasarkan kemampuan suatu usaha 
dalam memperoleh keuntungan, membantu pembuatan laporan 
pendapatan dan memudahkan persyaratan pembiayaan dengan 
memberagamkan jenis jaminan sesuai dengan kemampuan nasabah 
dan menciptakan system layanan yang cepat dan efektif. 
3.  Tesis berjudul “Motivasi Pendirian BMT (Studi Kasus BMT-BMT 
Anggota Forum Komunikasi Ekonomi Syariah (FORMES) di Kabupaten 
Sleman)” oleh Jamroni, tahun 2005. 
Tesis ini dalam bahasannya, mengenai motivasi  faktor-faktor yang 
menjadi dasar pendukung pendirian BMT, yakni : 
-  Sudah memiliki pengetahuan yang cukup mengenai seluk beluk BMT; 
-  BMT sangat prospektif atau menguntungkan lebih tahan terhadap 
badai krisis ; 
-  Menciptakan lapangan kerja sesuai dengan ajaran Islam ; 
-  Jihad Fisabilillah. 
4.  Tesis yang berjudul “Hubungan Antara Gaya Kepemimpinan, Manager 
Dengan Penanganan Pembiayaan Bermasalah (Studi Kasus Pembiayaan 
10
Mudarabah pada BMT-BMT di Wilayah Kota Metro Lampung)” oleh 
Mardhiyah Hayati, tahun 2006. 
Tesis ini memfokuskan yakni : gaya kepemimpinan yang diterapkan, 
aktivitas penanganan pembiayaan bermasalah, analisis hubungan 
signifikan antara gaya kepemimpinan manajer dengan penanganan 
pembiayaan bermasalah pada BMT-BMT di wilayah kota Metro Lampung 
dan kesimpulan dalam Tesis yakni :  
a.  Gaya kepemimpinan adalah hasil interaksi antara pemimpin dengan 
orang-orang yang dipimpinnya ; 
b.  Penanganan pembiayaan bermasalah yang dilakukan oleh manajer 
BMT diketahui 59,3% cukup sukses ; 
c.  Gaya Kepemimpinan otokratik lebih baik dipilih apabila kemampuan 
pengelola dalam menganalisa pembiayaan Mudarabah masih rendah, 
tetapi apabila pengelolaan sudah mengetahui dan memahami tentang 
menganalisa pembiayaan Mudarabah maka gaya kepemimpinan 
demokratik dapat diterapkan oleh manajer BMT karena akan lebih 
mengembangkan pengelola dan mengembangkan kemampuan-
kemampuan pengelola BMT. 
5.  Tesis yang berjudul “Potensi Pengembangan Ekonomi Pedesaan Melalui 
Konsep Baitul Maal wat-Tamwil (Analisis Pengetahuan dan Minat 
Masyarakat di Kecamatan Belitung)” oleh Mia Yul Fitria, tahun 2006. 
11
Hasil dari penelitian tersebut adalah sebagai berikut : 
a.  Pengetahuan masyarakat di Kecamatan Belitung terhadap BMT sistem 
operasional dan produk-produk BMT masih cenderung rendah. 
Masyarakat umumnya mengetahui sebatas penerapan bagi hasil dan 
bunga saja. Masyarakat terhadap prospek BMT umumnya baik, 
antusias dengan BMT; 
b.  Konsep BMT sangat potensial untuk dikembangkan. Kelemahannya 
dalam bidang SDM (bidang syari’ah). 
6.  Tesis yang berjudul “Kontribusi BMT dalam Pemberdayaan Umat (Studi 
kasus BMT Ben Taqwa Kabupaten Grobogan Jawa Tengah)” oleh 
Marpuji Ali, tahun 2006. 
Tesis ini memfokuskan dalam masalah : Perkembangan BMT Ben Taqwa 
di Kabupaten Grobogan dan Kontribusinya. Kemudian hasil penelitian ini 
dalam kesimpulannya : 
a.  BMT Ben Taqwa di Kabupaten Grobogan sejak berdiri tahun 1996 
sampai tahun 2005 telah mengalami perkembangan, baik dilihat dari 
pertumbuhan asset (62.863,6%), jumlah kantor cabang (1.800%), 
jumlah karyawan (3.533,3%) dan pembiayaan yang dikucurkan 
(13.278,2%). Selain itu BMT Ben Taqwa tidak hanya berorientasi 
keuntungan saja, tetapi juga menyediakan sebagian dananya untuk 
kegiatan-kegiatan sosial yang dibingkai dalam da’wah bi al-hal. 
b.  Pemberdayaan ekonomi yang dilakukan oleh BMT Ben Taqwa dengan 
dua model, yakni : 
12
1)  Memberikan pinjaman dalam bentuk pembiayaan ; 
2)  Memberikan pendampingan dan atau advokasi. 
Kedua hal ini selalu menyatu, karena sama-sama diuntungkan. 
Pihak nasabah diuntungkan karena mendapatkan bimbingan dalam 
manajemen keuangan, pemasaran bahkan dipertemukan oleh mereka 
yang menggunakan jasanya. Begitu juga pihak BMT diuntungkan, 
dengan lancarnya usaha nasabah yang dibimbing, pendapatan mereka 
bertambah, maka pengembalian pinjaman juga akan berjalan lancar. 
Kalaupun toh ada masalah-masalah yang dihadapi, pihak BMT 
dengan cepat dan tanggap memberikan solusi. Inilah kontribusi nyata 
dari pihak BMT Ben Taqwa dalam pemberdayaan ekonomi umat. 
Dari penelusuran karya ilmiah tersebut di atas belum ada penelitian 
secara khusus mengenai analisis akad-akad di BMT, oleh karena itu 
penyusun memposisikan penulisan tesis ini dengan judul “ANALISIS 
TERHADAP AKAD DI BMT SAFINAH KLATEN (Perspektif 
Hukum Kontrak Dan Fiqih)”. 
F.  Kerangka Teori 
Dalam teori ini dapat diuraikan meliputi tentang pengertian hukum kontrak 
secara umum, pengertian akad secara umum, syarat dan rukun-rukunnya, 
berakhirnya kontrak dan akad adalah sebagai berikut : 
13
1.  Pengertian Hukum Kontrak 
a.  Pengertian Hukum Kontrak Secara Umum 
Hukum kontrak adalah keseluruhan dari kaidah-kaidah hukum 
yang mengatur hubungan hukum antara dua pihak atau lebih 
berdasarkan kata sepakat untuk menimbulkan akibat hukum.  3
Definisi tersebut di atas mengkaji perbuatan sebelum kontrak (pra 
contractual) yakni hal penawaran dan penerimaan dan 
mengkajikontrak pada tahap kontraktual (post contractual) yakni hal 
pelaksanaan perjanjian. 
Menurut Syahmin A.K. Hukum kontrak internasional adalah 
sekumpulan ketentuan yang mengatur pembentukan (formation), 
aktivitas di bidang ekonomi / industri (performance) dan pelaksanaan 
(implementation) kontrak antara para pihak, baik yang bersifat nasional 
maupun internasional. 4
Definisi tersebut di atas mempunyai tujuan utama ialah melindungi 
harapan individu (yang sesuai dan dapat dibenarkan oleh hukum), 
bisnis dan pemerintah. Dan hukum kontrak tersebut mempunyai fungsi 
yaitu memberi jaminan akan keadilan pertukaran antar individu. 
3  Salim H. S., Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak, Cet. I, (Jakarta : Sinar 
Grafika, 2006), hal. 4 . 
4  Syahmin AK., Hukum Kontrak Internasional, Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 200 6), 
hal. 20. 
14
b.  Pengertian Kontrak 
Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris yaitu Contracts, 
sedangkan dalam bahasa Belanda disebut Overeen Komst               
(Perjanjian).  5
Dari pengertian tersebut di atas kontrak sama dengan perjanjian. 
Dalam pasal 1313 KUH Perdata berbunyi : 
Perjanjian (persetujuan) adalah suatu perbuatan dengan mana  satu 
orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain atau 
lebih.6
Pengertian istilah kontrak atau persetujuan dalam pasal 1313 dalam 
KUH Perdata tersebut sama dengan pengertian perjanjian yang 
dikemukakan oleh R. Subekti yakni : 
Perjanjian dalah suatu peristiwa di mana ada seorang berjanji 
kepada seorang lain atau dua orang itu saling berjanji untuk 
melaksanakan suatu hal. 7
Dari pengertian kontrak tersebut di atas dapat dipahami bahwa 
kontrak berisikan janji-janji yang sebelumnya telah disetujui yaitu 
berupa hak dan kewajiban yang melekat pada para pihak yang 
membuatnya dalam bentuk tertulis maupun lisan. Jika dibuat secara 
tertulis, kontrak itu akan lebih berfungsi untuk menjamin kepastian 
hukum. 
5  Salim H.S, Hukum Kontrak., hal. 25. 
6  R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-undang Hukum Perdata, Cet. XIX (Jakarta : 
Pradnya Paramita, 1985), hal. 304. 
7  R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cet. XVI (Yogyakarta : PT. In termasa, 1996), hal. 1 
15
c.  Syarat-syarat Sahnya Kontrak 
Suatu kontrak dianggap sah dan mengikat apabila kontrak itu telah 
memenuhi semua syarat sebagaimana yang telah ditetapkan dalam 
pasal 1320 KUH Perdata ada empat syarat adalah sebagai berikut : 
1)  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya 
2)  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan ; 
3)  Suatu hal tertentu ; 
4)  Suatu sebab yang halal. 8  
Menurut Salim H.S. syarat sahnya kontrak atau perjanjian dikaji 
berdasarkan hukum kontrak juga mengacu pasal 1320 KUH Perdata 
menentukan empat syarat yakni : 
1)  Adanya kesepakatan kedua belah pihak ; 
2)  Kecakapan untuk melakukan perbuatan hukum ; 
3)  Adanya obyek ; dan 
4)  Adanya kausa yang halal. 9  
d.  Berakhirnya Kontrak 
Berakhirnya kontrak telah ditentukan dalam KUH Perdata, 
menyebutnya sebagai hapusnya perikatan, yakni pada pasal 1381 
adalah sebagai berikut : 
1)  Karena pembayaran ; 
2)  Karena penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan 
atau penitipan ; 
8  R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, KUH Perdata, hal. 30 
9  Salim H.S., Hukum Kontrak, hal. 33. 
16
3)  Karena pembaharuan utang ; 
4)  Karena perjumpaan utang atau kompensasi ; 
5)  Karena percampuran utang ; 
6)  Karena pembebasan utangnya ; 
7)  Karena musnahnya barang yang terutang ; 
8)  Karena kebatalan atau pembatalan ; 
9)  Karena berlakunya suatu syarat batal ; 
10) Karena lewatnya waktu. 10 
Menurut Salim H.S. berakhirnya kontrak dapat digolongkan menjadi 
12 (dua belas) macam yakni : 
1)  Pembayaran; 
2)  Novasi (Pembaharuan utang); 
3)  Kompensasi; 
4)  Konfusio (percampuran utang); 
5)  Pembebasan utang; 
6)  Kebatalan atau pembatalan; 
7)  Berlaku syarat batal; 
8)  Jangka waktu kontrak telah berakhir; 
9)  Dilaksanakan obyek perjanjian; 
10) Kesepakatan kedua belah pihak; 
11) Pemutusan kontrak secara sepihak oleh salah satu pihak; 
12) Adanya putusan pengadilan. 11 
1 0 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUH Perdata., hal. 313. 
17
2.  Pengertian Akad Secara Umum 
a.  Pengertian Akad 
Yang dimaksud pengertian akad secara umum yakni : 
Akad adalah sesuatu yang diikatkan seseorang bagi dirinya sendiri 
atau bagi orang lain dengan kata harus. 12
Misalnya : setiap hal yang diharuskan seseorang atas dirinya 
sendiri baik berupa nadzar, sumpah dan sejenisnya disebut akad, 
demikian juga  jual beli dan sejenisnya adalah akad atau perjanjian. 
Menurut pendapat ulama Syafi’iyah, Malikiyah dan Hanabilah, 
akad adalah segala sesuatu yang dikerjakan seseorang berdasarkan 
keinginan sendiri, seperti wakaf, talak, pembebasan atau sesuatu yang 
pembentukannya membutuhkan keinginan dua orang, seperti jual beli, 
sewa menyewa, perwakilan dan gadai. 13
Kedua definisi tersebut di atas senada dengan definisi akad yang 
dikemukakan oleh Taufiq yakni : 
Bahwa akad adalah apa yang menjadi ketetapan seorang untuk 
mengerjakannya yang timbul hanya dari satu kehendak atau dua 
kehendak. 14
1 1 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal. 165. 
1 2 Abdullah Al-Mushlih dan Sholah Ash-Shawi, Fikih Ekonomi Keuangan Islam, Penerjemah 
Abu Umar Basyir, Kata Pengantar Adiwarman A. Karim, Cet. I (Jakarta : Darul Haq, 2004),       
hal. 26. 
1 3 Muhammad Firdaus N.H, dkk., Memahami Akad-akad Syari’ah, Cet. I, (Jakarta : Renaisan, 
2005) hal. 13. 
1 4 Taufiq, “Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah”, Suara Uldilag, Vol. 3 No. IX (September, 
2006), hal. 99. 
18
Jadi akad dalam pengertian umum tersebut meliputi akad yang 
merupakan perbuatan hukum yang timbul dari kehendak satu pihak 
dan akad yang terdiri dari dua pihak. 
b.  Rukun-rukun dan Syarat-syarat Akad 
1)  Rukun-rukun Akad 
Menurut Hasbi Ash-Shiddieqy dan Ahmad Basyir, rukun akad 
ialah ijab dan qabul. 15 Dinamakan Shighatul Aqdi, sedangkan 
rukun akad yang lain, bahwa akad memiliki tiga rukun, yakni : 
a)  Aqid (orang yang berakad); 
b)  Ma’qud Alaih (sesuatu yang diakadkan); 
c)  Shighat Al-Aqd (ijab dan qabul). 16 
2)  Syarat-syarat Akad Secara Umum 
a)  Kedua belah pihak yang melakukan akad cakap bertindak atau 
ahli; 
b)  Yang dijadikan obyek akad dapat menerima hukum akad; 
c)  Akad itu diizinkan oleh syara dilakukan oleh orang yang 
mempunyai hak melakukannya dan melaksanakannya, 
walaupun bukan si ‘aqid sendiri. 
d)  Janganlah akad itu yang dilarang syara’ ; 
e)  Akad itu memberikan faedah ; 
f)  Ijab berjalan terus, tidak dicabut sebelum terjadi qabul; 
15 T.M. Hasbi As-Siddieqy, Pengantar Fiqh Mu’amalah, Cet. II, (Jakarta : PT. Bulan Bintang, 
1984), hal. 24. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas Hukum Mu’amalat, (Yogyakarta : UII Press, 
2000). Hal. 66. 
16 Muhamamd Firdaus N.H., dkk, Cara Mudah, hal. 14. 
19
g)  Bertemu di majelis akad. 17 
c.  Berakhirnya Akad 
Berakhirnya Akad apabila : 
1)  Tercapai tujuannya;  2) Terjadi fasakh atau telah berakhir 
waktunya. 18 
Menurut Abdul Manan, akad berakhir disebabkan adalah sebagai 
berikut : 
1)  Terpenuhinya tujuan akad; 2)  Berakhir karena pembatalan 
(fasakh);  3)  Putus demi hukum; 4)  Karena kematian; 5)  Tidak ada 
persetujuan. 19 
Syarat  syahnya  kontrak  dan  syarat-syarat  rukun  akad  tersebut                    
di atas dapat dilihat dalam matriks sebagai berikut : 
Syarat Syahnya 
Rukun-rukun Akad  Syarat-syarat Akad 
Kontrak Pasal 1320 
KUH Perdata 
1.  Sepakat mereka 
-  Aqid (orang yang 
Syarat subyek akad : 
1. Cakap bertindak 
2. Berbilang pihak 
Syarat Obyek Akad : 
yang mengikatkan 
dirinya. 
berakad). 
-  Ma’qud Alaih 
2.  Kecakapan untuk 
(sesuatu yang 
diakadkan) 
membuat suatu 
perikatan. 
1.  Obyek akad dapat 
-  Shighat Al-Aqad 
diserahkan. 
3.  Suatu hal tertentu 
4.  Suatu sebab yang 
(Ijab dan Qabul) 
2.  Obyek akad tertentu. atau 
dapat ditentukan. 
halal. 
3.  Obyek akad berupa benda 
bernilai dan dimiliki. 
Syarat Ijab dan Qabul : 
1.  Persesuaian ijab dan Qabul. 
2.  Kesatuan majelis akad. 
Dan tidak bertentangan dengan 
Syara’ 
17 Ibid, hal. 19. 
18 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas,  hal. 130. 
19 Abdul Manan,”Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah”, Varia Peradilan, No. 247 
Th. Ke-XXI (Juni 2006), hal. 54. 
20
G.  Metode Penelitian 
1.  Jenis Penelitian 
Penelitian  ini  adalah  penelitian  lapangan  (field research) bersifat 
deskriptif analitis, maksudnya memaparkan data-data yang ditemukan di 
lapangan dan menganalisisnya untuk mendapatkan kesimpulan yang benar 
dan akurat.20
2.  Subyek Penelitian 
Yang menjadi subyek penelitian adalah pimpinan atau manajer BMT 
sebagai pemberi informasi dan dokumen-dokumen di BMT Safinah 
Klaten. 
3.  Obyek Penelitian  
Yang  menjadi  obyek  penelitian  adalah akad murabahah, dan akad 
ijarah di BMT Safinah. 
4.  Sumber Data 
Sumber  data  dalam  penelitian  ini dapat diklasifikasikan menjadi dua 
sumber yakni : 
a.  Sumber data primer  
Adapun sumber data primer yang penyusun gunakan adalah : 
1)  Dokumen-dokumen akad yang digunakan di BMT Safinah 
Klaten; 
2)  Hasil wawancara ; 
3)  Buku-buku yang berkaitan dengan BMT ; 
2 0 Cholid Narbuko dan Abu Achmadi ; Metodologi Penelitian, Cet.VI (Jakarta : PT. Bumi 
Aksara, 2005), hal.44 
21
4)  Buku-buku yang berkaitan dengan hukum kontrak ; 
5)  Buku-buku yang berkaitan dengan fiqih ; 
6)  Disertasi, Tesis yang berkaitan dengan penelitian ini ; 
7)  Majalah dan surat kabar yang berkaitan dengan penelitian ini ; 
b.  Sumber data sekunder 
Sumber data sekunder sebagai pendukung diantaranya yakni kertas 
kerja para pakar hukum, laporan penelitian, makalah, jurnal ilmiah, 
dan literature lain yang berkaitan dengan penelitian ini. 
5.  Tehnik Pengumpulan Data 
Dalam pengumpulan data penelitian ini menggunakan tiga cara yakni : 
a.  Metode Wawancara (interview) 
Yakni suatu komunikasi yang bertujuan memperoleh informasi secara 
sistematis.21 Wawancara diarahkan terhadap hal-hal yang menjadi 
permasalahan dan hal-hal yang kurang jelas. Wawancara ini 
dilakukan dengan Danang Pontjo Sudibyo sebagai Manajer 
Pembiayaan di BMT Safinah Klaten dan dengan Tugiman Hadi Broto 
sebagai Pengurus di BMT Safinah Klaten. Dan waktu penelitian 
dilaksanakan dari tanggal 6 Agustus s/d tanggal 10 Oktober 2007. 
b.  Dokumentasi 
Metode ini digunakan untuk mengumpulkan data dengan mencatat, 
menyalin, menggandakan data atau dokumen yang berkaitan dengan 
2 1  Nasution, Metode Research (Penelitian Ilmiah), Cet VI (Jakarta : Bumi Aksara, 2003),        
hal. 27 
22
sejarah berdirinya BMT, Visi dan Misi BMT, dan produk-produk 
BMT Safinah Klaten. 
6.  Pendekatan yang digunakan 
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan 
normatif corak sistematika hukum dan sosiologis. Metode penelitian 
hukum normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk 
menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan dari sisi 
normatifnya.2 2 Sedang penelitian dengan corak sistematika Hukum 
dilakukan terhadap bahan-bahan Hukum primer dan sekunder. Kerangka 
acuan yang dipergunakan adalah pengertian-pengertian dasar yang 
terdapat dalam sistematika Hukum.23
7.  Analisa Data 
Setelah  data  dikumpulkan  kemudian diolah dan dianalisa dengan 
analisa kualitatif dengan logika induktif dan logika reflektif. 24 Pola 
berpikir induktif ini untuk menganalisis data-data yang bersifat khusus 
untuk ditarik kepada yang umum. Kemudian dari hasil analisa data yang 
diperoleh dideskripsikan secara urut dan teliti sesuai dengan permasalahan 
yang dikaji. Sedangkan logika reflektif adalah kombinasi logika deduktif 
dan induktif. 
22     Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Edisi Revisi, Cet II 
(Malang : Bayu Media Publishing, 2006), hal. 57. 
23    Amir Mu’alim dan Yusdani, Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam, Cet II (Yogyakarta, UII 
Press Indonesia, 2001), hal.89. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan 
Jurimetri (Jakarta : Ghalia Indonesia, 1990) hal. 23 
24    Soeharti Sigit, Pengantar Metodologi Penelitian Sosial, Bisnis-Manajemen t, (ttp : tnp, 
1999),  hal. 155. Cholid Narbuko dan Abu Achmadi, Metodologi Penelitian, hal. 32 
23
H.  Sistematika Pembahasan  
Sistematika Pembahasan dalam penelitian terbagi menjadi enam bab yang 
merupakan satau kesatuan alur pemikiran dan menggambarkan proses 
penelitian, adalah sebagai berikut : 
Dalam Bab I, adalah bagian pendahuluan. Pertama-tama menggambarkan 
latar belakang masalah penelitian yang mana masalah tersebut berkaitan 
langsung dengan judul penelitian ; Membuat rumusan masalah dengan 
pertanyaan penelitian untuk mempertajam masalah-masalah yang dipecahkan ; 
Menggambarkan tujuan penelitian yang mana untuk suatu informasi yang 
ingin diperoleh untuk menjawab rumusan masalah ; manfaat penelitian yakni 
hasil yang akan diperoleh berkaitan dengan tujuan penelitian ; Telaah pustaka, 
setelah mengadakan penelitian dengan penelitian sejenis baik tesis maupun 
buku-buku yang sejenis, maka penyusun dapat memposisikan diri bahwa apa 
yang penyusun teliti belum banyak diteliti atau dikaji ; Kerangka teori adalah 
suatu teori atau metode yang peneliti pilih untuk memecahkan masalah ; 
Metode Penelitian adalah suatu urutan atau tata cara pelaksanaan penelitian 
dalam rangka mencari jawaban atas permasalahan penelitian yang penyusun 
ajukan ; Sistematika pembahasan. 
Dalam Bab II, membahas tentang tinjauan BMT pada umumnya dan 
tentang BMT Safinah Klaten sangat urgen sekali dalam bab II ini membahas 
tentang pengertian BMT dan produk-produknya, maka pembahasannya 
meliputi : Tujuan BMT pada umumnya dan BMT  Safinah Klaten beserta 
produk-produknya. 
24
Dalam Bab III, membahas tentang Hukum kontrak dalam Hukum perdata 
Indonesia. Dalam bab ini berkaitan erat dengan bab II terutama mengenai 
akad-akad produk BMT ditinjau dari Hukum kontrak, maka pembahasannya 
meliputi : Tinjauan umum tentang kontrak yakni pokok bahasannya mengenai 
syarat sahnya kontrak ; Kontrak nominaat menurut Hukum perdata Indonesia 
dalam hal ini menguraikan jenis-jenis kontrak khusus (bernama). 
Dalam Bab IV, membahas tentang akad-akad dalam fiqih muamalah. 
Dalam bab ini berkaitan erat dengan bab II,  terutama akad-akad BMT ditinjau 
dari akad-akad dalam fiqih, maka pembahasannya meliputi : Tinjauan umum 
tentang akad yakni pokok bahasannya mengenai macam-macam akad dan 
pembagian akadnya, unsur-unsur yang membentuk akad yakni membahas 
rukun dan syarat-syarat akad ; kedudukan akad dalam fiqih muamalah adalah 
akad merupakan perbuatan Hukum yang menimbulkan hak dan kewajiban ; 
khiyar akad dan berakhirnya akad. 
Dalam Bab V, membahas analisis akad BMT safinah Klaten perspektif 
Hukum kontrak dan fiqih. Dalam bab ini menganalisis akad-akad yang 
dihasilkan oleh BMT Safinah Klaten dibatasi dalam dua akad yakni, akad 
Murabahah, dan akad ijarah, maka pembahasannya sebagai berikut : Analisis 
kesesuaian akad BMT Safinah Klaten dengan Hukum kontrak dan fiqih dan 
analisis potensi konflik pada akad-akad tersebut di atas dan penyelesaiannya. 
Dalam Bab VI, adalah bab penutup meliputi kesimpulan dan saran. 
25
BAB II 
TINJAUAN TENTANG BMT DAN  
BMT SAFINAH KLATEN 
A.  TINJAUAN TENTANG BMT  
Pembahasan  tinjauan  tentang  BMT terbagi menjadi lima bagian yakni ; 
pengertian BMT, asas dan landasan BMT, prinsip operasional BMT, 
penghimpunan dana, produk pembiayaan BMT. 
1.  Pengertian BMT 
Baitul Maal wa Tamwil lebih dikenalnya dengan sebutan BMT. Yang 
terdiri dari dua istilah yakni baitul maal dan baitul tamwil. Secara harfiah 
atau lughowi baitul maal berarti rumah dana dan baitul tamwil berarti 
rumah usaha.25 Bait yang artinya rumah dan tamwil (pengembangan harta 
kekayaan) yang asal katanya maal atau harta. Jadi berikut tamwil di 
maknai sebagai tempat untuk mengembangkan usaha atau tempat 
mengembangkan harta kekayaan.26  
Baitul Maal lebih mengarah pada usaha-usaha non profit yang 
mengumpulkan dana dari zakat, infaq dan sadaqah kemudian disalurkan 
kepada yang berhak. Sedangkan baitul tamwil sebagai usaha pengumpulan 
25    Muhammad Ridwan, Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT), (Yogyakarta : UII Press, 
2004), hal : 126. 
26   Majelis Ekono mi Pimpinan Pusat Muh ammadiyah Pusat Pengembangan Usaha Kecil dan 
Kewirausahaan (PPUK) Muhammadiyah, Pedoman Cara Pendirian BTM dan BMT di Lingkungan 
Muhammdiyah, Cet I (Jakarta : tnp, 2002), hal. 1-5. 
26
dan penyaluran dana komersial profit untuk menciptakan nilai tambah 
baru dan mendorong pertumbuhan ekonomi.2 7  
Menurut Muhammad Ridwan, baitul maal berfungsi untuk 
mengumpulkan sekaligus mentasyarufkan dan sosial. Sedangkan baitul 
tamwil merupakan lembaga bisnis yang bermotif laba. Selanjutnya dari 
pengertian tersebut dapatlah ditarik suatu pengertian yang menyeluruh 
bahwa BMT adalah merupakan organisasi bisnis yang juga berperan 
sosial. 28
Definisi BMT menurut operasional PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis 
Usaha Kecil) dalam peraturan dasar yakni “Baitul Maal Wat Tamwil 
adalah suatu lembaga ekonomi rakyat kecil, yang berupaya 
mengembangkan usaha-usaha produktif dan investasi dalam meningkatkan 
kegiatan ekonomi pengusaha kecil bawah dan kecil berdasarkan prinsip 
syariah dan prinsip koperasi.” 29
Dari definisi tersebut di atas mengandung pengertian bahwa BMT. 
Merupakan Lembaga pendukung kegiatan ekonomi masyarakat kecil 
bawah dan kecil dengan berlandaskan sistem syariah, yang mempunyai 
tujuan meningkatkan kualitas usaha ekonomi untuk kesejahteraan 
masyarakat dan mempunyai sifat usaha yakni usaha bisnis, mandiri, 
ditumbuh kembangkan dengan swadaya dan dikelola secara professional. 
Sedangkan dari segi aspek Baitul Maal dikembangkan untuk kesejahteraan 
27 Gita Danupranata, Ekonomi Islam, (Yogyakarta : UPFE-UMY, 2006),  hal. 56. 
28 M. Sholahuddin, Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam, Cet I ( Surakarta : Muhammadiyah 
University Press, 2006), hal. 75 
2 9 PINBUK (Pusat Inkubasi Bisnis Usaha Kecil), Peraturan Dasar dan Contoh AD – ART 
BMT. (Jakarta : Nusantara. Net. Id. Tt). Hal. 1. 
27
sosial para anggota, terutama dengan menggalakkan zakat, infaq, sadaqah 
dan wakaf (ZISWA) seiring dengan penguatan kelembagaan bisnis    
BMT.  30
2.  Asas dan Landasan BMT 
BMT berazaskan Pancasila dan UUD’45 serta berlandaskan syariah 
Islam, keimanan dan ketaqwaan. 31
Sedangkan menurut Muhammad Ridwan yakni : BMT berazaskan 
Pancasila dan UUD’45 serta berdasarkan Prinsip syariah Islam, keimanan, 
keterpaduan (kaffah), kekeluargaan atau koperasi, kebersamaan, 
kemandirian dan profesionalisme. 32
Adapun status dan legalitas hukum, BMT dapat memperoleh status 
kelembagaan sebagai berikut : 
a.  Kelompok swadaya masyarakat yang berada di bawah pengawasan 
PINBUK berdasarkan Nashkah Kerjasama YINBUK dengan PHBK – 
Bank Indonesia. 
b.  Berdasarkan Hukum Koperasi : 
-  Koperasi simpan pinjam syariah (KSP Syariah) 
-  Koperasi serba usaha syariah (KSU Syariah) atau Koperasi Unit 
Desa Syariah (KUD Syariah). 
3 0 PINBUK, Pedoman Cara Pembentukan BMT,  Cet.  II  (Jakarta  :  Wasantara.  Net.  Id,  tt),                
hal. 2 
3 1  PINBUK, Peraturan Dasar. hal. 2 
3 2 Muhammd Ridwan, Sistem dan Prosedur Pendirian Baitul Maal wa Tamwil (BMT). Cet. I 
(Yogyakarta : Citra Media, 2006), hal. 6. PINBUK, Pedoman., hal. 2 
28
-  Unit Usaha Otonom dari Koperasi seperti KUD, Kopontren atau 
lainnya. 33  
Dengan demikian keberadaan BMT menjadi organisasi yang sah dan 
legal. Sebagai lembaga keuangan syariah, BMT harus berpegang teguh 
pada prinsip-prinsip syariah, di dalamnya mengandung keterpaduan sisi 
sosial dan bisnis, dilakukan secara kekeluargaan dan kebersamaan untuk 
mencapai sukses kehidupan di dunia dan di akhirat. 
3.  Prinsip Operasional BMT 
BMT dalam melaksanaan usahanya di dalam praktek kehidupan nyata 
mengedepankan nilai-nilai spiritual, kebersamaan, mandiri, konsisten. 
Maka BMT berpegang teguh pada prinsip-prinsip adalah sebagai berikut : 
a.  Keimanan dan ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan 
mengimplementasikan  prinsip-prinsip  syariah  dan  muamalah  Islam             
ke dalam kehidupan nyata. 
b.  Keterpaduan (Kaffah) di mana nilai-nilai spiritual berfungsi 
mengarahkan dan menggerakkan etika dan moral yang dinamis, 
proaktif, progressif, adil dan berakhlak mulia : 
c.  Kekeluargaan atau koperasi. 
d.  Kebersamaan. 
e.  Kemandirian. 
f.  Profesionalisme. 
3 3 PINBUK, Peraturan Dasar, hal. 4 
29
g.  Istiqomah : konsisten, konsekuen, kontinuitas atau berkelanjutan tanpa 
henti dan tanpa pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maju 
ke tahap berikutnya : dan hanya kepada Allah kita berharap. 34 
Selain prinsip-prinsip tersebut di atas BMT juga berprinsip muamalat 
dalam bidang ekonomi yang menjiwai dan memotivasi yakni : 
a.  Dalam melakukan segala kegiatan ekonomi ; 
b.  Dalam bagi hasil keuntungan baik dalam kegiatan usaha maupun 
dalam kegiatan intern lembaga BMT ; 
c.  Dalam pembagian sisa hasil usaha dan balas jasa didasarkan atas 
keterlibatan anggota dalam memajukan BMT. 
d.  Dalam mengembangkan sumber daya manusia; 
e.  Dalam mengembangkan sistem dan jaringan kerja, kelembagaan dan 
manajemen. 35 
Prinsip-prinsip tersebut merupakan perilaku lembaga BMT yang 
menjiwai dalam mengaplikasikan akad-akadnya di dalam praktek 
kehidupan sehari-harinya. Hal ini telah diuraikan dengan jelas oleh 
Muhammad Ridwan bahwa prinsip-prinsip BMT adalah sebagai berikut : 
a.  Keimanan dan ketaqwaan kepada Allah SWT dengan 
mengimplementasikannya pada prinsip-prinsip syari’ah dan muamalah 
Islam ke dalam kehidupan nyata. 
b.  Keterpaduan, yakni nilai-nilai spiritual dan moral menggunakan 
mengarahkan etika bisnis yang dinamis, proaktif, progressif adil dan 
3 4 PINBUK, Pedoman., hal. 3 
3 5 Ibid. 
30
berakhlaq mulia. Keterpaduan antara zikir, fikir dan ukir yakni 
keterpaduan antara sikap, pengetahuan dan ketrampilan. 
c.  Kekeluargaan, yakni mengutamakan kepentingan bersama di atas 
kepentingan pribadi. Semua pengelola pada setiap tingkatan, pengurus 
dan semua lininya serta anggota dibangun atas dasar rasa 
kekeluargaan, sehingga akan tumbuh rasa saling melindungi dan 
menanggung (ta’aruf, ta’awun, tasamuh, tausiah dan takafuli). 36 
d.  Kebersamaan yakni kesatuan pola pikir, sikap dan cita-cita antar 
semua elemen BMT. Antara pengelola dengan pengurus harus 
memiliki satu visi-misi dan berusaha bersama-sama untuk 
mewujudkan atau mencapai visi-misi tersebut serta bersama-sama 
anggota untuk memperbaiki kondisi ekonomi dan sosial. 
e.  Kemandirian, yakni mandiri di atas semua golongan politik. Mandiri 
berarti juga tidak tergantung dengan dana-dana pinjaman dan bantuan 
tetapi senantiasa proaktif untuk menggalang dana masyarakat 
sebanyak-banyaknya. 
f.  Profesionalisme, yakni semangat kerja yang tinggi (‘amalussolih),  37 
yakni dilandasi dengan dasar keimanan. Kerja yang tidak hanya 
berorientasi pada kehidupan dunia, tetapi juga kenikmatan dan 
kepuasan rohani dan akhirat. Kerja keras dan cerdas yang dilandasi 
dengan bekal pengetahuan yang cukup, ketrampilan yang terus 
3 6 Ta’aruf : Saling Mengenal, Ta’awun : saling menolong, tasamuh : saling menghormati-
menghargai, tausiah : saling menasehati-mengingatkan, takafuli - saling  menanggung. 
3 7 Amal soleh tidak saja diartikan sebagai bentuk ibadah khusus tetapi dipahami secara umum 
termasuk berkarya atau kinerja yang tinggi, selama dilandasi dengan niat karena Allah SWT. 
31
ditingkatkan serta niat dan ghirah yang kuat. Semua itu dikenal dengan 
kecerdasan emosional, spiritual dan intelektual. Sikap profesionalisme 
dibangun dengan semangat untuk terus belajar guna mencapai tingkat 
standar kerja yang tinggi. 
g.  Istiqomah ; konsisten, konsekuen, kontinuitas tanpa henti dan tanpa 
pernah putus asa. Setelah mencapai suatu tahap, maka maju lagi ke 
tahap berikutnya dan hanya kepada Allah SWT kita berharap. 38 
4.  Penghimpun Dana 
Penghimpunan dana adalah kegiatan usaha BMT yang dilakukan 
dengan kegiatan usaha penyimpanan. Simpanan merupakan dana yang 
dipercayakan  oleh anggota, calon anggota, atau BMT lain dalam bentuk 
simpanan dan simpanan berjangka. 
Yang dimaksud simpanan adalah merupakan simpanan anggota 
kepada BMT yang penyetoran dan pengambilannya dapat dilakukan 
sewaktu-waktu sesuai dengan kebutuhannya. Sedangkan yang dimaksud 
simpanan berjangka adalah simpanan BMT yang penyetorannya hanya 
dilakukan sekali dan pengambilannya hanya dapat dilakukan dalam waktu 
tertentu menurut perjanjian antara BMT dengan anggotanya. 39
Adapun pengertian simpanan menurut undang-undang no. 7 tahun 
1992 dalam pasal 1(5) yakni ; “Simpanan adalah dana yang dipercayakan 
oleh masyarakat kepada bank berdasarkan perjanjian penyimpanan dana 
3 8 Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur., hal. 7 
3 9 Ibid., hal. 106 
32
dalam bentuk giro, deposito, sertifikat deposito, tabungan dan atau bentuk 
lainnya yang dipersamakan dengan itu”. 40
Adapun bentuk simpanan yang diselenggarakan oleh BMT berupa 
simpanan yang terikat dan tidak terikat atas jangka waktu, maka bentuk 
simpanan di BMT adalah sangat beragam sesuai kebutuhan dan 
kemudahan yang dimiliki simpanan tersebut. 
Dalam PINBUK simpanan tersebut dapat digolongkan ; 
a.  Simpanan pokok khusus. Adalah simpanan pendiri kehormatan yaitu 
anggota yang membayar simpanan pokok khusus minimal 20% dari 
jumlah modal BMT. 
b.  Simpanan pokok. Adalah simpanan yang harus dibayar oleh anggota 
pendiri dan anggota biasa ketika ia menjadi anggota. Besarnya 
ditentukan dalam Anggaran Dasar BMT. 
c.  Simpanan wajib adalah simpanan yang harus dibayar oleh anggota 
pendiri dan anggota biasa secara berkala. Besar dan waktu 
pembayarannya ditentukan dalam Anggaran Dasar dan Anggaran 
Rumah Tangga. 
d.  Simpanan Sukarela 
1)  Simpanan sukarela adalah simpanan anggota selain simpanan 
pokok khusus, simpanan pokok dan simpanan wajib. 
4 0 Kasmir, Ba nk dan Lembaga Keuangan Lainnya, Dalam Lampiran, Perubahan atas Undang-
undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (Undang-undang Republik Indonesia No. 10  
tahun 1998 tanggal 10 November 1998), Edisi VI, (Jakarta : PT. Raja Grafindo, 2005), hal. 396 
33
2)  Simpanan  sukarela dapat disetor dan ditarik sesuai dengan 
perjanjian yang diatur dalam Anggaran Rumah Tangga dan aturan 
khusus BMT. 
3)  Simpanan sukarela terdiri dari 2 macam akad : 
a)  Simpanan sukarela dengan akad dhomanah yaitu simpanan 
dengan berupa titipan (wadi’ah) anggota pada BMT. 
b)  Akad  Mudarabah  yaitu  simpanan  bagi  hasil  di  mana                        
si penyimpan mendapat bagi hasil dari keuntungan yang 
diperoleh BMT sesuai kesepakatan nisbah bagi hasil dan ikut 
menanggung kerugian bila BMT mengalami kerugian. 
4)  Simpanan sukarela dibedakan menjadi : 
a)  Simpanan sukarela biasa yaitu simpanan yang bisa ditarik 
sewaktu-waktu sesuai aturan yang ditetapkan. 
b)  Simpanan sukarela berjangka yaitu simpanan yang hanya bisa 
ditarik pada waktu yang telah disepakati.  41 
Pada  umumnya  akad  yang  mendasari  berlakunya  simpanan                      
di BMT adalah akad wadi’ah dan mudarabah berdasarkan fatwa 
Dewan. Syariah Nasional No. 02/DSN - MUI/IV/2000  dan 
No.03/DSN-MUI/IV/2000  tanggal 01 April 2000. 42
a.  Simpanan wadi’ah, ialah titipan dana yang tiap waktu dapat ditarik 
oleh pemiliknya atau anggota dengan cara mengeluarkan semacam 
4 1 PINBUK, Peraturan Dasar., hal. 15 
4 2 Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI – Bank Indonesia, Himpunan Fatwa Dewan 
Syariah Nasional MUI, Ed. Revisi, cet. III (Cipayung Ciputat : CV Gaung Persada,  2006)                     
hal. 8, 14. 
34
surat berharga, pemindah bukuan atau transfer dan perintah 
membayar lainnya. 43 
Simpanan yang berakad wadi’ah ada dua macam : 
1)  Wadi’ah amanah. Pihak yang menerima titipan tidak boleh 
menggunakan dan memanfaatkan uang atau barang yang 
dititipkan. Pihak penerima titipan dapat membebankan biaya 
kepada prinsip sebagai biaya penitipan. 
2)  Wadi’ah yad damanah. Pihak yang menerima titipan boleh 
menggunakan  dan  memanfaatkan  uang  atau  barang  yang             
dititipkan  44 Dalam hal ini pihak penerima titipan (BMT) 
mendapat hasil dari pengguna dana. Pihak penerima titipan 
(BMT) dapat memberikan insentif kepada penitip dalam bentuk 
bonus. 
b.  Simpanan Mudarabah, ialah simpanan pemilik dana yang 
penyetorannya dan penarikannya dapat dilakukan sesuai dengan 
perjanjian yang telah disepakatin sebelumnya. Pada simpanan 
Mudarabah berdasarkan Nisbah yang disepakati. 
c.  Variasai jenis simpanan yang berakad mudarabah ini dapat 
dikembangkan ke dalam berbagai variasi, misalnya : 
-  Simpanan Idul Fitri. 
-  Simpanan Idul Qurban. 
4 3 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer, cet. I (Yogyakarta : UII 
Press, 200 0). Hal. 118 
4 4 Muhamamd Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori Ke Praktek, cet. 1 (Jakarta : Gema 
Insani Press, 2001), hal. 150. 
35
-  Simpanan Haji. 
-  Simpanan Pendidikan 
-  Simpanan Kesehatan, dll. 45 
Secara garis besarnya simpanan Mudarabah terbagi menjadi dua jenis  
yakni : Mudarabah mut laqoh dan Mudarabah muqayyadah. 46
1)  Mudarabah Mutlaqoh 
Sahibul maal tidak memberikan batasan-batasan atas dana yang 
diinvestasikannya mudarib diberi wewenang penuh mengelola 
dana tersebut tanpa terikat waktu, tempat, jenis usaha dan jenis 
pelayanannya. 
Maka aplikasi BMT yang sesuai dengan akad ini adalah tabungan 
dan deposito. 
2)  Mudarabah Muqayyadah 
Sahibul maal memberikan batasan atas dana yang 
diinvestasikannya. Mudarib hanya bisa mengelola dana tersebut 
sesuai dengan batasan yang diberikan oleh sahibul maal. Misalnya 
hanya untuk jenis usaha tertentu saja, tempat tertentu, waktu 
tertentu dan lain-lain. 
Maka aplikasi BMT yang sesuai dengan akad ini adalah simpanan 
khusus. Pengembangan produk simpanan wadi’ah dan Mudarabah  
tersebut dapat disesuaikan dengan situasi dan kondisi masing-masing 
BMT dan selera calon anggota. BMT dapat berinovasi 
4 5 Muhamad, Lembaga-lembaga Keuan gan., hal. 118 
4 6 Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah., hal. 150. 
36
mengembangkan kemasan produk simpanan, sehingga lebih diminati 
oleh anggota. 
Dengan demikian produk simpanan wadi’ah dan Mudarabah 
tersebut sumber dananya berasal dari anggota dan masyarakat calon 
anggota dalam bentuk simpanan, deposito maupun bentuk-bentuk 
hutang yang lain, menggalang kerja sama dengan bank syariah maupun 
antar BMT sendiri. 
5.  Produk Pembiayaan BMT 
Pembiayaan merupakan aktivitas utama BMT, karena berhubungan 
dengan rencana memperoleh pendapatan. 
Pembiayaan adalah suatu fasilitas yang diberikan BMT kepada 
anggotanya untuk menggunakan dana yang telah dikumpulkan oleh BMT 
dari anggotanya. 47
Berdasarkan Undang-undang No. 7 tahun 1992, yang dimaksud 
pembiayaan sebagaimana disebutkan dalam pasal 1 (12) adalah  : 
Pembiayaan berdasarkan prinsip syariah adalah penyediaan uang atau 
tagihan yang dipersamakan dengan itu berdasarkan persetujuan atau 
kesepakatan antara bank dengan pihak lain yang mewajibkan pihak 
yang dibiayai untuk mengembalikan uang dan tagihan tersebut. Setelah 
jangka waktu tertentu dengan imbalan atau bagi hasil.  48
Pembiayaan dalam BMT adalah menganut prinsip Syari’ah, yang 
dimaksud prinsip syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum 
Islam antara pihak BMT atau pihak bank dan pihak lain untuk pembiayaan 
usaha atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah. 
4 7 Muhammad, Lembaga-lembaga Keuangan., hal. 119 
4 8 Kasmir, Bank Dan., hal. 397. 
37
Dalam PINBUK pembiayaan adalah dana yang ditempatkan BMT 
kepada anggotanya untuk membiayai kegiatan usahanya atas dasar jual 
beli dan perkongsian (syirkah). 
Adapun jual beli dapat dilakukan dengan akad : 
a.  al Bai’u Bitsaman Ajil (BBA) yaitu pembiayaan akad jual beli dengan 
pembayaran kembali (harga pokok dan keuntungan) secara angsuran. 
b.  al-Murabahah (MBA) yaitu pembiayaan akad jual beli dengan 
pembayaran kembali (harga pokok dan keuntungan) setelah jatuh 
tempo. 
Sedangkan perkongsian (syirkah)_ dapat dilakukan dengan akad : 
a.  al-Musyarakah (MSA) adalah pembiayaan akad kerja sama (syirkah) 
di mana BMT dan anggota membiayai usaha dengan penyertaan 
manajemen BMT di dalamnya. 
b.  al-Mudarabah (MDA) adalah pembiayaan akad kerjasama  (syirkah)              
di mana BMT dan anggota membiayai usaha tanpa penyertaan 
manajemen BMT di dalamnya. 49 
Sedangkan menurut Muhammad, ada berbagai jenis pembiayaan yang 
dikembangkan oleh BMT, yang kesemuanya itu mengacu pada dua jenis 
akad yakni : Akad Syirkah dan akad jual beli. 
Dari kedua akad ini dikembangkan sesuai dengan kebutuhan yang 
dikehendaki oleh BMT dan anggotanya dan semuanya itu mengacu pada 
4 9 PINBUK, Peraturan Dasar., hal. 16 
38
fatwa Dewan Syarikh Nasional (DSN) sebagai pedoman. Diantara 
pembiayaan yang sudah umum dikembangkan oleh BMT, yakni : 
a.  Pembiayaan Bai’u bitsaman Ajil (BBA) pembiayaan berakad jual beli. 
Adalah suatu perjanjian pembiayaan yang disepakati antara BMT 
dengan anggotanya, di mana BMT menyediakan dananya untuk sebuah 
investasi dan atau pembelian barang modal dan usaha anggotanya yang 
kemudian proses pembayarannya dilakukan secara angsuran. Jumlah 
kewajiban yang harus dibayarkan oleh peminjam adalah jumlah atas 
harga barang modal dan mark-up yang disepakati. 
b.  Pembiayaan murabahah (MBA). Pembiayaan berakad jual beli yang 
mana prinsip yang digunakan sama seperti pembiayaan Bai’u 
Bitsaman Ajil, hanya saja proses pengembaliannya dibayarkan pada 
saat jatuh tempo. 
c.  Pembiayaan Mudarabah (MBA). Pembiayaan dengan akad Syirkah 
adalah perjanjian pembiayaan antara BMT dan anggota di mana BMT 
menyediakan dana untuk penyediaan modal kerja sedangkan peminjam 
berupaya mengelola dana tersebut untuk pengembangan usahanya. 
d.  Pembiayaan Musyarakah (MSA). Pembiayaan dengan akad Syirkah. 
Adalah penyertaan BMT sebagai pemilik modal dalam suatu usaha 
yang mana antara resiko dan keuntungan ditanggung bersama secara 
berimbang dengan porsi penyertaan. 
39
e.  Pembiayaan al-Qordul Hasan. Pembiayaan dengan akad ibadah. 
Adalah perjanjian pembiayaan antara BMT dengan anggotanya. Hanya 
anggota yang dianggap layak yang dapat diberi pinjaman ini. 50 
Secara umum produk pembiayaan yang berlaku di BMT dibagi 
menjadi empat prinsip adalah sebagai berikut : 
a.  Prinsip Bagi Hasil 
Pada dasarnya bagi hasil merupakan produk inti bagi BMT, karena 
mengandung keadilan ekonomi dan sosial. Dengan bagi hasil BMT 
akan turut menanggung hasil keuntungan maupun rugi terhadap usaha 
yang dibiayainya. Setelah terjadi akad pembiayaan tersebut, BMT 
masih punya tanggung jawab lainnya. Jika dilihat dari sisi administratif 
sistem ini memang terasa rumit dan sulit, tetapi dari sisi keadilan bagi 
hasil menjadi sangat penting. 
Sistem bagi hasil dalam BMT dapat diterapkan dengan empat 
model yakni : 
Mudarabah, musyarakah, muzara’ah-mukhabarah (sektor 
pertanian), musaqah (sektor perkebunan). 
b.  Prinsip Jual Beli 
Produk ini dikembangkan dalam rangka memenuhi kebutuhan pasar 
yang mungkin tidak bisa dimasukkan dalam akad bagi hasil. Pada 
umumnya dalam BMT akad jual beli yang sering dipakai ada tiga akad 
yakni : Bai’ Al Murabahah, bai’al Salam, Bai’al Istishna’ 
5 0 Muhammad, Lembaga-lembaga., hal. 120. 
40
c.  Prinsip Sewa 
Yang dimaksud sewa adalah pemindahan hak guna atas barang atau 
jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan perpindahan 
kepemilikan barang. 
Pada  umumnya  di  BMT  akad  ijarah  atau  sewa  dikembangkan                    
ke dalam bentuk akad ijarah Muntahiya bit Tamlik yakni akad sewa 
yang diakhiri dengan jual beli. 
d.  Prinsip Jasa 
Produk layanan jasa ini bagi BMT juga bersifat pelengkap terhadap 
berbagai layanan yang ada. Adapun pengembangan produk jasa 
layanan tersebut meliputi : 
1)  Al wakalah yakni, berarti wakil atau pendelegasian untuk 
menyelesaikan suatu pekerjaan tertentu. 
2)  Al Kafalah yakni pengalihan tanggung jawab dari satu orang 
kepada orang lain. 
3)  Al Hawalah yakni akad pengalihan hutang dari seseorang kepada 
orang lain yang sanggup menanggungnya. 
4)  Ar-Rahn. Ialah merupakan akad untuk menahan salah satu harta 
milik si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang 
diterimanya. 
5)  Al qard. Merupakan bagian dari transaksi ta’awuni atau tolong 
menolong dan bukan komersial. 
41
6)  Sumber dana al-qard dapat dibedakan menjadi dua : 
a)  Dana yang berasal dari penyisihan modal BMT. Dana ini hanya 
digunakan untuk pembiayaan sosial. 
b)  Dana yang  berasal dari zakat, infaq dan sadaqah. 51 
Dari uraian di atas pembiayaan berdasarkan prinsip syariah ialah 
kegiatan yang berupa penyediaan dana berupa uang dan barang dari pihak 
BMT kepada nasabah sesuai kesepakatan, yang mewajibkan pihak yang 
menerima dana untuk mengembalikan uang setelah jangka waktu tertentu 
dengan imbalan atau bagi hasil, yang didasari prinsip syariah yaitu prinsip 
mudarabah, musyarakah, murabahah dan ijarah. 
B.  BMT Safinah Klaten dan Produk-produknya 
Dalam pembahasan ini meliputi enam bagian yakni, sejarah berdirinya 
BMT Safinah Klaten dan perkembangannya. Visi dan misinya, pengelolaan 
Dana BMT Safinah Klaten, produk-produk pembiayaan BMT Safinah Klaten, 
Produk-produk yang macet dan penyelesaiannya terhadap produk yang macet. 
1.  Sejarah Berdirinya BMT Safinah Klaten 
BMT Safinah Klaten berdiri pada tanggal 6 Juli 1996, yang diprakarsai 
oleh Kelompok Remaja Muslim Kelurahan Klaten dengan nama : 
Persaudaraan Remaja Muslim Kelurahan Klaten (PRMKK). 
BMT Safinah Klaten yang berkantor di jalan Pramuka No. 60 Klaten, 
yang terletak di Kelurahan Klaten, Kecamatan Klaten Tengah. Dan telah 
5 1 Muhammad Ridwan, Sistem dan Prosedur., hal. 41 
42
berbadan Hukum Koperasi pada tanggal 8 Agustus 1998 dengan Nomor : 
0007/BH/KDK. 11. 24/VIII/98. 
Berdirinya BMT Safinah atas kerjasana PRMKK dengan Panitia 
Penyiapan Pendirian BMT (P3BMT) tingkat Kabupaten Klaten, dengan 
ICMI ORSAT (Organisasi Satuan) Klaten, dan dengan Pusat Inkubasi 
Bisnis Usaha Kecil (PINBUK). 
Dalam perkembangannya, jumlah modal BMT Safinah ketika awal 
berdirinya sebesar Rp. 825.000,- kemudian sampai pada akhir Agustus 
2007 menjadi sebesar Rp. 2.303.825.654,- (Dua milyar tiga ratus tiga juta 
delapan ratus dua puluh lima ribu enam ratus lima puluh empat rupiah), 
dengan jumlah asetnya mencapai Rp. 25.221.846.649,- Simpanan yang 
dihimpun sebesar Rp. 19.841.206.216,- dan pembiayaan yang beredar 
sebesar Rp. 19.388.411.655,- 52
Prospek BMT Safinah Klaten dilihat dari segi asetnya dari tahun 2005 
sebesar Rp. 11,5 milyar, dalam kurun waktu kurang dua tahun sampai 
Agustus 2007, telah berkembang menjadi 25,2 Milyar menunjukkan 
perkembangan yang sangat fantastis, dengan jumlah anggota nasabah 
7.178 orang.53 Perkembangan ini merupakan peningkatan tingkat 
kepercayaan masyarakat sangat tinggi. 
Dari segi lain BMT Safinah Klaten dapat menyumbangkan kontribusi 
peningkatan kepercayaan masyarakat ekonomi kecil terhadap nilai-nilai 
ekonomi syari’ah. 
5 2 Danang Pontjo Sudibya di Klaten, tanggal 07 September 2007. 
5 3 Ibid. 
43
Namun di sisi lain dari pihak Pengurus BMT Safinah merasa khawatir 
tentang status hukum BMT yang mana belum mempunyai payung hukum 
sendiri yang mengaturnya. Payung hukum yang ada menginduk pada 
koperasi padahal BMT termasuk jajaran Lembaga Keuangan Syariah. 
Adapun Undang-undang No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan belum 
mengatur tentang Usaha lembaga Mikro keuangan sejarah tersebut.54 
Senada dengan pendapat Sekjen BMT Center Sumiyanto, bahwa 
pentingnya pembuatan akad BMT karena Lembaga Keuangan Mikro 
Syariah tersebut tidak bisa disamakan dengan lembaga Keuangan Syariah 
lainnya. BMT memiliki penerapan akad berbeda dalam sejumlah 
produknya dibandingkan LKS lain. 55
BMT Safinah Klaten sejak April 2007 dalam penghimpunan dana dan 
pembiayaannya telah menggunakan Pedoman Akad Syariah pada BMT 
(Pas. BMT. 002). Pedoman tersebut telah  ditetapkan  pada  tanggal                      
9 April 2007 oleh BMT center di Jawa Tengah dan diberlakukan untuk 
sebagai pedoman yang mengikat kepada seluruh BMT-BMT yang 
tergabung dalam BMT Center di Indonesia. 56
Pedoman dalam berakad yang dirancang PAS. BMT 002 tersebut 
sepenuhnya mengacu pada Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN) agar 
perlindungan hukum bagi pihak-pihak yang berakad dapat jaminan di mata 
hukum positif. 
5 4 Tugiman Hadi Brata di Klaten, tanggal 15 September 2007 
5 5 Awalil Rizky, BMT Fakta dan Prospek Baitul Maal Wat Tamwil, cet. I (Yogyakarta : UCY 
Press, 2007), hal. 130. 
5 6 Tim Penyusun PAS BMT 002, Pedoman Akad Syariah Pada BMT (PAS BMT 002), cet. I 
(ttp : BMT Center, 2007). hal. iv 
44
2.  Visi dan Misinya 
Adapun visi, misi dan tujuan BMT Safinah Klaten mengacu pada 
peraturan dasar BMT yang diterbitkan oleh PINBUK, yakni: 
Visi BMT Safinah Klaten adalah meningkatkan kualitas ibadah 
anggota BMT sehingga mampu berperan sebagai Khalifah Allah. 
Misi BMT Safinah Klaten adalah menerapkan prinsip-prinsip syariah 
dalam kegiatan ekonomi memberdayakan pengusaha kecil bawah dan 
kecil, serta membina kepedulian agama kepada dhuafa secara terpadu dan 
berkesinambungan. 
BMT bertujuan meningkatkan kesejahteraan jasmaniah dan rohaniah 
serta posisi tawar anggota pada khususnya dan masyarakat pada umumnya 
melalui kegiatan ekonomi dan kegiatan pendukung lainnya. 
Tema BMT Safinah Klaten untuk tahun 2007 berbunyi yakni : 
“PENERAPAN SYARI’AH ISLAM SECARA IKHLAS DAN KAFFAH 
DEMI KESEJAHTERAAN UMAT”. 57
3.  Pengelolaan Dana BMT Safinah Klaten 
Pengelolaan dana ini denga cara penghimpunan dana dari sumber dana 
BMT atas modal dan pinjaman serta simpanan. 
Modal BMT Safinah Klaten bersumber dari : 
a.  Anggota penyetor modal simpanan khusus. 
b.  Anggota penyetor modal donasi hibah. 
5 7 Profil BMT Safinah Klaten, Tutup Bu ku Tahun 2006. 
45
Modal-modal tersebut tidak boleh diambil kecuali modal simpanan 
khusus boleh asal dengan cara diperjual belikan selanjutnya si pembeli 
menjadi anggota penyetor modal simpanan khusus. 
Dana pinjaman dari luar atau disebut juga dana pihak ke III, yang 
dikelola BMT Safinah Klaten diantaranya dari : 
a.  Lembaga Telkom. 
b.  BRI Syariah 
c.  Bank Syariah Mandiri 
d.  Permodalan Nasional Madani (Lembaga Keuangan Non Bank).  
Dana simpanan, produk-produk simpanan yang ditawarkan BMT 
Safinah Klaten diantaranya : Simpanan SIMUDAH, bentuk simpanan ini 
adalah simpanan Mudarabah dapat diambil sewaktu-waktu, besarnya bagi 
hasil ditetapkan dalam nisbah antara penyimpan dengan BMT menurut 
margin keuntungan BMT. Bagi hasil dibayarkan setiap awal bulan 
berikutnya, dengan cara ditambah bukukan pada buku SIMUDAH. 
Simpanan berjangka SIDEMO, adalah simpanan mudarabah berjangka 1, 
3, 6 bulan dan bagi hasil diterima setiap bulan. Untuk jatuh tempo 1 bulan 
dengan Nisbah 52 : 48, untuk 6 bulan dengan nisbah 54 : 46. 
Simpanan INVESYA adalah simpanan Mudarabah berjangka 12 bulan 
dan bagihasil diterima setiap bulan, dengan nisbah 60 (penabung : 40 
(BMT). SIMKUS ini semacam saham yang dapat dibeli sebagai tanda 
kepemilikan modal dan berhak atas SHU atau bagi hasil pertahun. 59
5 9 Profil Simpanan BMT Safinah Klaten, 2007. 
46
Penghimpunan dana yang ditawarkan tersebut di atas dengan bentuk 
simpanan berdasarkan akad Mudarabah dengan memenuhi persyaratan 
sebagai berikut : 
b.  BMT bertindak sebagai pengelola dana dan anggota bertindak sebagai 
pemilik dana. 
c.  Dana disetor penuh kepada BMT dan dinyatakan dalam jumlah 
nominal. 
d.  Pembagian keuntungan dari pengelolaan dana investasi dinyatakan 
dalam bentuk nisbah. 
e.  Pada akad simpanan berdasarkan Mudarabah, anggota wajib 
menginvestasikan minimum dana tertentu yang jumlahnya ditetapkan 
oleh BMT dan tidak dapat ditarik oleh anggota kecuali dalam rangka 
penutupan rekening. 
f.  Anggota tidak diperbolehkan menarik dana di luar kesepakatan. 
g.  BMT sebagai mudarib menutup biaya operasional simpanan dengan 
menggunakan misbah keuntungan yeng menjadi haknya. 
h.  BMT tidak diperbolehkan mengurangi bagian keuntungan anggota 
tanpa persetujuan anggota yang bersangkutan.  
i.  BMT tidak menjamin dana anggota.63 
Dalam proses menabung atau menyimpan di BMT Safinah pertama 
pemohon mengisi permohonan dalam bentuk blangko yang telah 
6 3 Tim Penyusun PAS BMT 002, Pedoman., hal. 4 
47
disediakan dan telah dirancang sedemikian rupa menjadi suatu akad 
simpanan Mudarabah sebagai berikut ; 
b.  Pemohon mengajukan permohonan pembukuan rekening dan menjadi 
anggota (luar biasa) KSU BMT Safinah kepada BMT Safinah Klaten. 
c.  Identifikasi pemohon terdiri nama lengkap, tempat dan tanggal lahir, 
alamat rumah, Nomor KTP, pekerjaan, nomor telephone selanjutnya 
disebut Pihak Pertama (I). 
d.  Nama dari pihak BMT, jabatan, alamat BMT Safinah, selanjutnya 
disebut Pihak Kedua (II). 
e.  Pihak Pertama (I) mengajukan permohonan sebagai penabung di BMT 
Safinah dengan jenis simpanan : (memilih) 
1)  Mudarabah,  2) Haji,  3) Pendidikan,  4)    qurban,  5)    walimah,                    
6)  invra,  7)  sidemo,  8)  invesya. 
Untuk itu bersedia mematuhi semua peraturan dan ketentuan yang 
berlaku seperti yang tercantum di balik halaman ini. 
f.  Apabila pihak Pertama (I) meninggal dunia, simpanan diwariskan 
kepada AHLI WARIS nama lengkap, alamat, hubungan keluarga. 
g.  Pihak Pertama (I) dan Pihak kedua (II) berjanji akan berbagi hasil atas 
dana Pihak Pertama (I) yang akan diinvestasikan. 
h.  Tanggal dan tanda tangan Pihak Pertama (I) dan PIhak Kedua (II). 61 
6 1 Lihat pada lampiran pertama 
48
Akad tersebut telah terpenuhi syarat dan Rukunnya ; 
a.  Pihak-pihak yang berakad telah dewasa dan cakap. 
b.  Obyek simpanan yakni uang simpanan telah disetor secara tunai sesuai 
dengan jenis simpanannya. 
c.  Pihak-pihak telah sepakat dan diwujudkan dengan tanda tangan. 
Akad simpanan tersebut jika dilihat dari struktur pembuatan akad 
memang belum jelas karena tidak ada judul akad. Bentuknya satu akad 
namun di dalamnya ada dua akad yakni akad permohonan menabung dan 
akad simpanan Mudarabah 
4.  Produk-produk Pembiayaan BMT Safinah Klaten 
Produk pembiayaan BMT Safinah Klaten yang menonjol adalah 
pembiayaan murabahah, kemudian pembiayaan ijarah, sedangkan 
pembiayaan Mudarabah belum berjalan. 
Sehubungan pembiayaan Mudarabah belum berjalan maka 
pembahasan tesis ini hanya masalah pembiayaan murabahah dan 
pembiayaan ijarah saja. 
a.  Pembiayaan Murabahah 
Persyaratan pembiayaan murabahah mengacu pada pedoman akad 
syariah (PAS BMT 002) yang diterbitkan oleh BMT Center pada bulan 
April 2007 yakni ; 
1)  BMT menyediakan dana pembiayaan berdasarkan perjanjian jual 
beli barang. 
49
2)   Jangka waktu pembayaran harga barang oleh anggota kepada 
BMT ditentukan berdasarkan kesepakatan BMT dan anggota. 
3)  BMT selaku penjual harus memberitahu harga produk yang ia beli 
dan menentukan suatu tingkat keuntungan (dalam nominal) sebagai 
tambahannya. 
4)  BMT dapat membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian 
barang yang telah disepakati kualifikasinya.. 
5)  Dalam hal BMT mewakilkan kepada anggota (wakalah) untuk 
membeli barang, maka akad murabahah harus dilakukan setelah 
barang secara prinsip menjadi milik BMT. 
6)  Dalam proses wakalah, agar memudahkan proses berjalan sesuai 
ketentuan, maka BMT dapat menyediakan nota barang kosong atas 
nama BMT yang diisi oleh supplier dan diserahkan oleh anggota 
sebagai bukti kepemilikan telah berpindah kepada BMT. 
7)  BMT dapat meminta anggota untuk membayar uang muka atau 
urbun saat menanda tangani kesepakatan awal pemesanan barang 
oleh anggota. 
8)  BMT dapat meminta anggota untuk menyediakan agunan 
tambahan selain barang yang dibiayai BMT. 
9)  Kesepakatan marjin harus ditentukan satu kali pada awal akad dan 
tidak berubah selama periode akad. 62 
6 2 Tim Penyusun PAS BMT 002, Pedoman Akad., hal. 11. 
50
Adapun BMT Safinah Klaten dalam pembuatan akad Murabahah tidak 
memakai uang muka dan urbun. 
Dalam hal proses pembuatan akad Murabahah di BMT Safinah Klaten 
sebelumnya ada beberapa tahapan yang harus dipenuhi yakni : Tahap 
akad pemesanan barang, tahap akad wakalah, tahap akad waad 
wakalah dan baru pembuatan akad murabahah. 
1)  Tahap pembuatan akad pemesanan barang 
Pemesanan barang adalah tahap awal sebelum pembuatan akad 
murabahah. Dalam akad tersebut terdiri dari ; hari dan tanggal 
pemesanan,,  identifikasi  pemesan  yakni  :  Nama,  alamat  dan                    
No. KTP. Pesanan ditujukan kepada Koperasi Serba Usaha BMT 
(KSU BMT) Safinah Klaten, untuk mengadakan barang atau 
barang-barang dengan ketentuan sebagai berikut : menulis jenis 
barang, spesifikasi, jumlah dan harga. Selanjutnya pemesan 
mengikatkan diri pada janji bahwa akan membeli barang-barang 
pesanan tersebut kepada BMT dengan batas waktu selambat-
lambatnya ….. hari. Berdasarkan kesepakatan pemesan dan BMT 
(di BMT Safinah Klaten dalam akad ini tidak mencantumkan uang 
muka / urbun), terakhir ditutup dengan tanggal dan tanda tangan 
nama pemesan.  63
6 3 Lihat pada lampiran kedua. 
51
2)  Tahap pembuatan akad wakalah 
Akad pemesanan barang tersebut di atas merupakan bagian satu 
kesatuan dengan akad wakalah ini. Yang intinya Pihak I 
melimpahkan kuasanya kepada Pihak II secara khusus untuk 
melakukan hal-hal sebagai berikut : 
a)  Memilihkan untuk Pihak I barang  atau barang-barang yang  
telah disepakati bersama sebagaimana bunyi akad pemesanan 
barang yang dibuat oleh Pihak II. 
b)  Membayarkan untuk Pihak I barang-barang tersebut di atas. 
c)  Bertanda tangan untuk dan atas nama Pihak I terhadap barang-
barang yang telah dibeli dan menjadi konsekuensi dari 
berpindahnya kepemilikan atas barang tersebut. 
d)  Jangka waktu berlakunya akad wakalah ini berdasarkan 
kesepakatan kedua belah pihak. 
Untuk terpenuhinya hal tersebut di atas Pihak I akan menitipkan 
uang (wadiah yad amanah) kepada Pihak II. 64
3)  Tahap Pembuatan Akad Waad Wakalah. Akad waad wakalah ini 
merupakan bagian yang tak terpisahkan dari akad wakalah ini. 
Adapun inti dari akad waad wakalah ini adalah sebagai berikut : 
Pihak I melimpahkan kekuasaannya kepada Pihak II secara khusus 
untuk melakukan hal-hal sebagai berikut : 
6 4 Lihat pad a lampiran k etiga. 
52
a)  Memilihkan untuk Pihak I barang atau barang-barang dengan 
jumlah spesifikasi dan harga yang telah disepakati bersama 
sebagaimana  bunyi  akad  pemesanan  barang  yang  dibuat                 
Pihak II. 
b)  Dalam jangka waktu tertentu yang disepakati kedua belah 
pihak, pihak II telah menyelesaikan semua kewajibannya sesuai 
dengan bunyi ketentuan-ketentuan akad ini. 
Bahwa untuk terpenuhinya akad Murabahah yang akan dibuat 
kemudian Pihak I akan membayar barang atau barang-barang 
sebagaimana tersebut di atas. 65
4)  Tahap Pembuatan Akad Murabahah 
Sebelum  pembuatan akad murabahah dipastikan dulu barang yang 
menjadi obyek akad. Sejak proses akad pemesanan barang, akad 
wakalah dan akad waad wakalah adalah dalam rangka mewujudkan 
barang-barang yang menjadi obyek akad, Pihak I telah mewakilkan 
atau melimpahkan kekuasaannya pada Pihak II untuk memilihkan 
barang-barang yang menjadi pesanan pihak II dan pihak II 
membayarkan harga barang-barang tersebut atas pihak I dan saat 
itu hak milik berpindah kepada pihak I, kemudian oleh pihak II 
barang-barang tersebut diserahkan kepada pihak I (BMT) cukup 
terwujud nota saja, tidak dengan wujud barangnya. 
6 5 Lihat pada Lampiran keempat 
53
Rincian barang, spesifikasi, jumlah harga satuan tertuang dalam 
nota pembelian barang tersebut. 66
Selanjutnya pihak I dan pihak II mengadakan transaksi mengenai 
waktu lamanya pembayaran setelah terjadi kesepakatan baru BMT 
(pihak I) menentukan margin (keuntungan) setelah ada kesepakatan 
baru dibuat akad murabahah. 
Dalam akad murabahah di BMT Safinah Klaten telah terpenuhi 
rukun akad yakni : 
a)  Pihak yang berakad adalah terdiri dari pihak I dari BMT 
Safinah Klaten dan Pihak II dari nasabah (anggota). 
b)  Obyek akad. Dalam akad murabahah tersebut telah tertulis, 
“pihak I menjual barang kepada Pihak II berupa barang atau 
barang-barang yang tercantum dalam lampiran  …..”.                  
Yakni tercantum dalam lampiran yang berwujud Nota 
Pembelian barang. 
c)  Ijab dan Qabul, dalam akad tersebut diwujudkan kedua belah 
pihak menanda tangani akad tersebut.  67 
Adapun syarat-syarat akad yang terkait dalam mengadakan akad 
Murabahah tersebut adalah sebagai berikut ; 
a)  Yang berkaitan dengan pihak-pihak yang berakad. Bahwa 
nasabah sebagai pemohon datang menghadap sendiri ke BMT 
6 6 Lihat pad a lampiran k elima 
6 7 Lihat pada lampiran keenam 
54
Safinah rata-rata di atas 21 tahun dalam keadaan cakap 
bertindak hukum dan berperan langsung. 
b)  Syarat yang berkaitan dengan barang-barang yang diakadkan. 
Nasabah dalam pemesanan barang-barang menyebutkan 
dengan menuliskan nama barang, satuan atau spesifikasi, 
jumlah, harga dan total harga. Setelah terjadi akad wakalah 
yang mana nasabah sebagai pihak II menjadi kuasa, khusus dan 
untuk memilihkan barang-barang pihak I (BMT) dan 
bersamaan itu juga pihak I menitipkan uang kepada  pihak II. 
Ketika pihak II membayarkan uang terhadap barang-barang 
tersebut menjadi hak milik BMT. Selanjutnya pihak II 
menyerahkan barang-barang tersebut kepada pihak I berwujud 
Nota Pembelian barang. BMT mencukupkan dengan nota 
tersebut tidak dengan barang-barangnya dan tidak pula melihat 
barang-barang tersebut. Kemudian pada saat terjadinya akad 
murabahah barang yang berwujud adalah berupa Nota 
Pembelian tersebut. Dalam hal kaitannya dengan harga barang. 
Berdasarkan Nota pembelian tersebut telah diketahui dengan 
jelas harga pokok barang tersebut. Langkah selanjutnya 
menentukan margin (keuntungan), dalam hal ini BMT telah 
menentukan keuntungan secara maksimal; di BMT Safinah 
Klaten telah menentukan rata-rata keuntungan sebesar 1,7%. 
Pada umumnya nasabah (anggota)  menerimanya meskipun ada 
55
penawaran namun BMT punya ketentuan bahwa batasan 
ketentuan margin sebesar 1,5% s/d 1,7 %. Hal ini dilakukan 
untuk menjaga kestabilan pembiayaan BMT bila ada nasabah 
yang macet. 
c)  Syarat yang berkaitan dengan ijab dan qabul. 
Sebelum penanda tanganan akad, pihak ke II dipersilahkan 
membaca akad yang dibuat tersebut pada umumnya nasabah 
atau pihak II setelah membacanya menyatakan tidak keberatan 
kemudian menanda tangani akad tersebut. 
b.  Pembiayaan Ijarah 
Pembiayaan ijarah di BMT Safinah Klaten belum menggunakan PAS 
BMT  002  tahun  2007.  Di  BMT  Safinah  pembiayaan  tahun  2007.                
Di BMT Safinah pembiayaan ijarah cukup tinggi mencapai 24,7% dan 
jenis pembiayaannya adalah ijarah Mutlaqoh dan pembiayaannya 
masih skala kecil paling tinggi sebesar Rp. 5.000.000,- (lima juta 
rupiah) untuk jangka 2 tahun. 
Dalam proses terjadinya akad ijarah sebagai berikut : 
1)  Pertama penyewa mengajukan permohonan pembiayaan ijarah ke 
BMT safinah Klaten dengan menulis obyek sewa secara jelas. 
2)  Kemudian BMT mengadakan negosiasi dengan penyewa tentang 
harga, jangka waktu sewa dan lain-lain yang sebelumnya BMT 
telah mengadakan survey. 
56
3)  BMT wakalah kepada penyewa dan menitipkan uang sewa untuk 
membayarkannya ke obyek sewa. 
4)  Pada saat dibayarkannya ke obyek tersebut beralihlah hak obyek 
sewa kepada BMT dengan bukti kwitansi. 
5)  Setelah itu baru dibuat akad ijarah antara penyewa dengan BMT.68 
Dalam pembuatan akad ijarah tersebut, dalam satu akad                           
di dalamnya memuat tiga akad yakni akad penitipan uang wadiah yad 
amanah) dari pihak I kepada pihak II, dan akad wakalah dari pihak I ke 
pihak II untuk membayarkan uang sewa serta akad ijarah itu sendiri. 
Namun di dalam pasal-pasalnya belum mencantumkan obyek sewa 
secara jelas sesuai dengan permohonan obyek sewa oleh pihak II dan 
belum mencantumkan jangka waktu sewa serta manfaat obyek sewa 
belum spesifik dari pihak I kepada pihak II. 
Di dalam akad ijarah tersebut memuat rukun-rukunnya yakni : 
1)  Dari segi pihak-pihak yang berakad. Dalam akad ijarah tersebut 
terdiri pihak I dari pihak BMT Safinah dan pihak II dari nasabah 
atau penyewa. 
2)  Dari segi obyek akad telah terpenuhi harga sewa dan pembayaran 
sewa pada umumnya dengan mengangsur. Adapun manfaatnya 
adalah penggunaan aset sewa, yang pada umumnya sewa rumah, 
dalam suatu waktu tertentu.  
6 8 Lihat pad a lampiran k etujuh 
57
3)  Dari segi ijab dan qabul 
Sighat ijab dan qabul berbentuk pernyataan niat kedua belah pihak 
dengan tulisan pada akad ijarah tersebut. Sebelum ditandatangani 
pihak II untuk membaca akad tersebut, pada umumnya pihak II 
tidak keberatan selanjutnya dengan rela menanda tangani akad 
ijarah. 
Adapun syarat-syarat pada akad ijarah tersebut yakni ; 
1)  Yang terkait dengan para pihak. Pihak-pihak yang berakad tersebut 
telah berumur di atas 21 tahun, kedua belah pihak mampu 
melakukan akad dan memang punya hak, kepentingan dengan 
akad tersebut. 
2)  Yang berkaitan dengan obyek akad, bahwa obyek akad  ijarah                 
di BMT safinah pada umumnya penyewa telah dapat mengenali 
atau tahu manfaatnya telah dapat menilai manfaat asset yang 
disewa dan penyewa telah dapat menggunakan manfaat dari asset 
yang disewa selama waktu tertentu. 
3)  Yang berkaitan dengan ijab dan qabul. Bahwa bentuk akad ijarah 
tersebut telah mengikat menimbulkan kewajiban. 
58
5.  Produk-produk Yang Macet (Bermasalah) 
Produk-produk yang macet di BMT Safinah Klaten yang belum dapat 
diselesaikan masih sebanyak 0,6 % terdiri dari pembiayaan murabahah 
sebanyak 25 orang nasabah (anggota)  dan  pembiayaan  ijarah  sebanyak          
6 orang nasabah (anggota). 
Adapun  bentuk-bentuk  kemacetan  tersebut antara lain : karena kena 
tipu, karena usahanya bangkrut dan karena itikad yang tidak baik.64
6.  Penyelesaian Terhadap Produk Yang Macet 
Dalam pembahasan ini meliputi yakni : sistim penyelesaiannya, 
kendalanya, hasilnya, dan cara menanggulangi pembiayaan yang macet 
tersebut adalah sebagai berikut : 
a.  Sistem Penyelesaiannya 
Dalam menyelesaikan produk yang macet BMT Klaten tidak dengan 
cara eksekusi tetapi dengan cara ; 
1)  Menambah waktu pembayaran 
2)  Menagih dengan cara memberi kesempatan sampai nasabah 
mampu (waktu tidak terbatas) dengan pasrah dan mohon 
pertolongan kepada Allah. 
b.  Kendalanya 
Memang nasabah dalam keadaan benar-benar tidak mampu, bagi yang 
ditambah waktunya pun sampai saatnya juga belum bisa membayar, 
64 Danang Pontjo Sudibyo di Klaten, tanggal 22 September 2007 
59
dan nasabah pindah tempat tinggal di luar kota tidak memberi tahu 
alamatnya kepada BMT Safinah Klaten. 
c.  Hasilnya 
Penyelesaian dengan cara tersebut di atas dilihat dari hasilnya memang 
sangat lambat. Adapun nasabah yang berhasil menyelesaikan 
pembiayaan yang macet tersebut ada yang sampai 4 tahun. 
d.  Cara menanggulangi pembiayaan yang macet 
Di BMT Safinah Klaten ada neraca PPAP singkatan dari Penghapusan 
Piutang Aktiva Produktif atau disebut Cadangan beresiko. 
Cadangan beresiko ini diambilkan dari penentuan margin secara 
maksimal yang dicadangkan khusus bagi nasabah yang macet. 
Cadangan beresiko yang telah dikumpulkan sebesar Rp. 160 juta dan 
untuk  menanggulangi  pembiayaan  yang  macet  tersebut  sebesar        
Rp. 123 juta lebih dan ada sisa Rp. 26 juta lebih.65  
65  Ibid . 
60
BAB III 
HUKUM KONTRAK DALAM HUKUM PERDATA INDONESIA 
Dalam  Bab  ini  pembahasan  meliputi tiga bagian yakni Tinjauan Umum 
tentang kontrak, momentum terjadinya kontrak, Kontrak Nominaatmenurut 
hukum perdata Indonesia. 
A.  Tinjauan Umum Tentang Kontrak 
Pembahasan mengenai tinjauan umum tentang kontrak ini meliputi empat 
bagian yakni, istilah dan pengertian kontrak, sumber hukum kontrak, asas 
hukum kontrak, dan syarat sahnya kontrak. 
1.   Istilah dan Pengertian Kontrak 
Sebelum membahas istilah dan pengertian kontrak, terlebih dahulu 
membahas istilah dan pengertian hukum kontrak sebagaimana telah 
disinggung pada Bab terdahulu. 
a.   Istilah dan Pengertian Hukum Kontrak 
Hukum kontrak berasal dari terjemahan bahasa Inggris yakni Contract 
of law, sedangkan dalam bahasa Belanda disebut istilah Overeenscom 
strecht. 
Adapun definisi hukum kontrak, bahwasanya Salim H.S. dalam 
bukunya yang berjudul Hukum Kontrak mengemukakan pendapat 
Michael D. Bayles bahwa, hukum kontrak adalah sebagai aturan 
hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan perjanjian atau persetujuan. 
61
Pendapat ini mengkaji hukum kontrak dari sisi pelaksanaan perjanjian 
yang dibuat oleh para pihak. Namun belum menyangkut tahap-tahap 
pra kontraktual dan kontraktual. 
Kemudian Salim H.S juga mengemukakan pendapat Charles L. 
Knapp dan Nathan M. Crystal bahwa hukum kontrak adalah 
mekanisme Hukum dalam masyarakat untuk melindungi harapan-
harapan yang timbul dalam pembuatan persetujuan demi perubahan 
masa datang yang bervariasi kinerja. Pendapat ini mengkaji Hukum 
kontrak demi aspek mekanisme atau prosedur Hukum. 
Selanjutnya  Salim  HS  mengemukakan pendapat bahwa, dari 
definisi-definisi tersebut ada berbagai kelemahan, maka perlu 
dilengkapi dan disempurnakan adalah sebagai berikut : bahwa Hukum 
kontrak ialah : Keseluruhan dari kaidah-kaidah Hukum yang mengatur 
hubungan Hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan kata sepakat 
untuk menimbulkan akibat Hukum.66
Definisi  ini  mencakup  perbuatan perbuatan Hukum melalui tiga 
tahapan, yang pertama tahapan pra contractual yaitu adanya penawaran 
dan penerimaan, yang kedua tahapan contractual yaitu adanya 
persesuaian pernyataan kehendak antara para pihak, yang ketiga 
tahapan post contractual yaitu pelaksanaan perjanjian. 
66. Salim HS, Hukum Kontrak, hal. 4 
62
Jadi hakekat Hukum kontrak adalah janji atau sekumpulan janji 
yang dapat dipaksakan pelaksanaannya, atau sebagai persetujuan yang 
dapat dipaksakan berlakunya menurut hukum. 
Berdasarkan  uraian-uraian  tersebut di atas dapat dipahami bahwa 
hokum kontrak adalah kaidah-kaidah Hukum yang mengatur perjanjian 
atau kontrak. 
b.   Istilah Dan Pengertian Kontrak  
Istilah dan pengertian kontrak telah penyusun singgung pada Bab 
terdahulu. Pengertian istilah kontrak sama saja dengan perjanjian atau 
persetujuan. 
Pengertian istilah kontrak atau perjanjian sebagaimana yang diatur 
dalam pasal 1313 KUP Perdata. 
Definisi perjanjian dalam pasal 1313 KUP Perdata tersebut, masih 
belum jelas, tidak tampak asas konsensualisme  dan bersifat dualisme. 
Agar perjanjian tersebut dapat jelas, maka harus disempurnakan 
sebagaimana yang dikemukakan oleh Van Dunne, bahwa perjanjian 
adalah suatu hubungan Hukum antara dua pihak atau lebih berdasarkan 
kata sepakat untuk menimbulkan akibat Hukum.67
Definisi  tersebut  di  atas  telah  memuat perbuatan  Hukum meliputi 
pra contraktual, tahap contraktual dan post contraktual. 
Menurut Charless L. Knapp dan Nathan M. Crystal mengatakan 
bahwa, kontrak adalah suatu persetujuan antara dua orang atau lebih-
67 Salim HS. Dkk, Perancangan Kontrak dan Memorandum of Understanding (MoU), cet I, 
(Jakarta : Sinar Grafik a, 2007), hal. 8 
63
tidak hanya memberikan kepercayaan, tetapi secara bersama-sama 
saling pengertian untuk melakukan sesuatu pada masa mendatang oleh 
seseorang atau keduanya dari mereka.68
Pendapat ini selain mengkaji definisi kontrak, tetapi juga 
menentukan unsur-unsur yang harus dipenuhi supaya suatu transaksi 
dapat disebut kontrak. 
Kemudian menurut Black’s Law Dictionary mengatakan bahwa, 
kontrak adalah sesuatu persetujuan antara dua orang atau lebih, yang 
menimbulkan kewajiban untuk melakukan atau tidak melakukan suatu 
hal tertentu.69
Definisi tersebut yang intinya bahwa kontrak dilihat sebagai 
persetujuan dari para pihak untuk melaksanakan kewajiban, baik 
melakukan atau tidak melakukan sesuatu hal. 
Menurut Abdul Rasyid Saliman, dkk. Bahwa Kontrak adalah 
peristiwa dimana dua orang atau lebih saling berjanji untuk melakukan 
atau tidak melakukan suatu perbuatan tertentu.70
Pihak yang bersepakat mengenai hal-hal yang diperjanjikan, 
berkewajiban untuk menaati dan melaksanakannya, sehingga 
perjanjian tersebut menimbulkan hubungan Hukum. Dengan demikian 
kontrak dapat menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak yang 
membuat kontrak tersebut. 
68 ibid  
69 ibid. IG Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting). cet IV (Jakarta : 
Kesaint Blanc, 2007), hal.11. 
70 Abdul Rasyid Saliman, dkk. Hukum Bisnis untu k Perusahaan Teori dan Conoth Kasus, cet II 
(Jakarta : Kencana, 2006), hal 49. 
64
Dalam definisi-definisi kontrak tersebut di atas belum menyinggung 
pihak-pihak badan hukum yang merupakan subyek hukum, seperti 
halnya dalam prakteknya saat ini. Dengan demikian menurut Salim 
H.S, dkk. Definisi tersebut perlu disempurnakan yakni, bahwa kontrak 
atau perjanjian merupakan : “Hubungan hukum antara subyek hukum 
yang satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta 
kekayaan, di mana subyek hukum yang satu berhak atas prestasi dan 
begitu juga subyek hukum yang lain berkewajiban untuk 
melaksanakan prestasinya sesuai dengan yang telah disepakati. 71
Adapun unsur-unsur yang tercantum dalam definisi yang terakhir ini 
adalah sebagai berikut : 
1)   Adanya hubungan hukum 
Hubungan hukum yang menimbulkan akibat hukum. Akibat 
hukum merupakan timbulnya hak dan kewajiban. 
2)   Adanya subyek hukum 
Subyek hukum adalah pendukung hak dan kewajiban 
3)   Adanya prestasi 
Prestasi terdiri atas melakukan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak 
berbuat sesuatu. 
4)  Di bidang harta kekayaan 
Dari uraian-uraian tersebut di atas pengertian kontrak atau 
perjanjian menurut pemahaman penyusun adalah bentuk kesepahaman 
7 1 Salim, H.S, dkk, Perancangan Kontrak., hal. 9 
65
suatu obyek tertentu yang mengikat bagi pihak-pihak sebagai subyek 
hukum. 
2.   Sumber Hukum Kontrak 
Sumber hukum kontrak dari peraturan perundang-undangan yakni : 
a.  AB (Algemene Bepalingen Van Wetgeving) 
b.  KUH Perdata (BW) dalam buku III  
c.  KUH Dagang 
d.  Undang-undang nomor 5 tahun 1999 tentang larangan praktek 
monopoli dan persaingan usaha tidak sehat. 
e.  Undang-undang Nomor 18 tahun 1999 tentang Jasa kontruksi. Pasal 1 
ayat (5) dan pasal 22 tentang jasa kontrsuksi yang diartikan dengan 
kontrak kerja kontruksi adalah keseluruhan dokumen yang mengatur 
hubungan hukum antara pengguna jasa dan penyedia jasa dalam 
penyelenggaraan pekerjaan kontruksi. 72 
Menurut Abdul Saliman dkk sumber hukum kontrak yang bersumber 
undang-undang yakni : 
a.  Persetujuan para pihak (kontrak). 
b.  Undang-undang, selanjutnya yang lahir dari Undang-undang ini dapat 
dibagi : 
1)  Undang-undang saja 
7 2 Salim H. S., Hukum Kontrak., hal. 15 
66
2)  Undang-undang karena perbuatan, selanjutnya dapat dibagi : 
a)  Yang dibolehkan (zaak waaznaming) ; 
b)  Yang berlawanan dengan hukum. 78 
Adapun persetujuan para pihak (kontrak) bersumber pasal 1313 BW, 
mengenai undang-undang bersumber pasal 1352 BW, tentang Undang-
undang karena perbuatan manusia berdasar pasal 1353 BW, kemudian 
perbuatan yang sesuai dengan hukum diatur pada pasal 1354, 1359 
BW dan perbuatan yang melawan hukum diatur pada pasal 1365 
sampai dengan 1380 BW. 
3.   Asas Hukum Kontrak 
Di dalam hukum kontrak dikenal lima macam asas hukum yakni, asas 
kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, asas pacta sunt servanda (asas 
kepastian hukum) asas iktikat baik, dan asas kepribadian.  79
a.  Asas Kebebasan Berkontrak 
Asas ini berdasarkan psala 1338 ayat (1) KUH Perdata yakni : “Semua 
persetujuan yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang 
bagi mereka yang membuatnya.”  80
Asas kebebasan berkontrak  ini ialah suatu asas yang memberikan 
kebebasan kepada para pihak untuk : 
1)  Membuat atau tidak membuat perjanjian, 
2)  Mengadakan perjanjian dengan siapapun, 
7 8 Abdu l Rasyid Saliman dkk, Hukum Bisnis., h al. 51. Sumber Hukum Kontrak Ini Sama 
Dengan Sumber Hukum Perikatan. Ridwan Syahrani, Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata, 
cet. VI (Bandung : PT. Alumni, 2006), hal. 202. 
7 9 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal. 9 
8 0 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUH Perdata ; hal. 307. 
67
3)  Menentukan isi perjanjian, pelaksanaan dan persyaratan, 
4)  Menentukan bentuknya perjanjian yaitu tertulis atau lisan. 
b.  Asas Konsensualisme 
Salah satu syarat sahnya perjanjian adalah adanya kesepakatan kedua 
belah pihak sebagaimana disebutkan dalam pasal 1320 ayat (1) KUH 
perdata. Asas konsensualisme merupakan asas yang menyatakan 
bahwa perjanjian pada umumnya tidak diadakan secara formal, tetapi 
cukup dengan adanya kesepakatan kedua belah pihak. Kesepakatan 
merupakan persesuaian antara kehendak dan pernyataan yang dibuat 
oleh kedua belah pihak. 
Menurut Abdul Rasyid Saliman dkk. Konsensualisme adalah : 
“Perjanjian itu telah terjadi jika telah ada consensus antara pihak-pihak 
yang mengadakan kontrak.”  81
c.  Asas Pacta Sunt Servanda 
Asas ini disebut juga asas kepastian hukum yang berhubungan dengan 
akibat perjanjian. Asas ini merupakan asas yang memberi arti bahwa 
pihak lain harus menghormati substansi kontrak yang dibuat kedua 
belah pihak layaknya sebuah undang-undang. 
Yang mendasari asas Pacta  sunt servanda ini dalam pasal 1338 ayat 
(1) KUH Perdata. 
8 1 Abdul Rasyid Saliman dkk., Hukum Bisnis., hal. 50 
68
d.  Asas Iktikat Baik 
Asas iktikad baik ini berdasarkan pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata 
yang bunyinya : “Persetujuan harus dilaksanakan dengan iktikad  
baik.” 82
Asas iktikad baik dibagi dua macam yaitu iktikad baik nisbi yang 
mana orang memperhatikan sikap dan tingkah laku yang nyata dari 
subyek dan iktikad baik mutlak, yakni penilaiannya terletak pada akal 
sehat dan keadilan, dibuat ukuran yeng obyektif untuk menilai keadaan 
dengan tidak memihak menurut norma-norma yang obyektif. 83
e.  Asas Kepribadian (personalitas) 
Asas kepribadian adalah asas yang menetukan bahwa seseorang yang 
akan melakukan dan atau membuat kontrak hanya untuk kepentingan 
perseorangan saja  (pasal 1315 KUH Perdata) atau perjanjian hanya 
berlaku antara pihak yang membuatnya (pasal 1340 KUH Perdata). 
Namun ada pengecualian, pasal 1317 KUH Perdata, perjanjian dapat 
pula diadakan untuk kepentingan pihak ketiga. Sedangkan pasal 1318 
KUH Perdata, perjanjian tidak hanya untuk mengatur diri sendiri, 
tetapi juga untuk kepentingan ahli warisnya dan untuk orang-orang 
yang memperoleh hak dari padanya. 
8 2 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUH Perdata., hal. 307 
8 3 Salim H. S., Hukum Kontrak., hal. 11 
69
Di samping asas-asas tersebut di atas ada beberapa asas lain dalam 
standar kontrak yakni : 
a.  Asas Kepercayaan 
b.  Asas Persamaan Hak 
c.  Asas Keseimbangan 
d.  Asas Kepastian Hukum 
e.  Asas Moral 
f.  Asas Kepatutan 
g.  Asas Kebiasaan 
h.  Asas Perlindungan. 84 
4.   Syarat Sahnya Kontrak 
Syarat-syarat untuk sahnya suatu kontrak atau perjanjian disebutkan dalam 
pasal 1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata yaitu : 
a.  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya ; 
b.  Cakap untuk membuat suatu perjanjian ; 
c.  Mengenai suatu hal tertentu ; 
d.  Suatu sebab yang halal ; 
Dua syarat yang pertama, dinamakan syarat-syarat subyektif, karena 
mengenai orang-orangnya atau subyeknya yang mengadakan perjanjian. 
Sedangkan dua syarat yang terakhir dinamakan syarat-syarat obyektif 
8 4 Ibid., hal. 13. Abdul Rasyid Saliman dkk, Hukum Bisnis., hal. 50 
70
karena mengenai perjanjiannya sendiri atau obyek dari perbuatan hukum 
yang dilakukannya.  85
Dalam hal ini syarat subyektif dengan syarat obyektif tidak 
terpenuhi, maka perjanjian itu batal demi hukum. Artinya, dari semula 
tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu 
perikatan. Tujuan para pihak yang mengadakan perjanjian tersebut untuk 
melahirkan suatu perikatan hukum adalah gagal. Dengan demikian, maka 
tidak ada dasar untuk saling menuntut di depan hakim. 86
Dalam hal syarat subyektif tidak terpenuhi, maka perjanjiannya 
bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk 
meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta 
pembatalan itu, adalah pihak yang tidak cakap atau pihak yang 
memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Jadi, perjanjian yang telah 
dibuat itu mengikat juga, selama tidak dibatalkan (oleh hakim) atas 
permintaan pihak yang berhak meminta pembatalan tadi. Dengan 
demikain, nasib suatu perjanjian seperti itu tidaklah pasti dan tergantung 
pada kesediaan suatu pihak untuk mentaatinya. 87
Dalam syarat sepakat atau juga dinamakan perizinan, yang 
dimaksudkan bahwa kedua subyek yang mengadakan perjanjian itu harus 
sepakat, setuju atau seia sekata mengenai hal-hal yang pokok dari 
8 5 ibid., hal. 13. Abdul Rasyid Saliman dkk, Hukum Bisnis., hal. 50 
8 6 ibid., hal. 20 Hasanuddin Rahman, Contract Drafing Seri Ketrampilan Merancang Kontrak 
Bisnis.  (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2003), hal. 8 
8 7 Ibid. 
71
perjanjian yang diadakan itu. Apa yang dikehendaki oleh pihak yang satu 
juga dikehendaki oleh pihak lain. 
Jika dilihat dari asas konsensualitas bahwa pada dasarnya perjanjian 
yang timbul, karenanya itu sudah lahirkan sejak detik tercapainya 
kesepakatan. Dengan perkataan lain, perjanjian itu sudah sah. 88
Menurut Ridwan Syahrani, kesepakatan itu terjadi, jika para pihak 
yang membuat perjanjian itu pada suatu saat bersama-sama berada di satu 
tempat dan disitulah dicapai kata sepakat.  89
Dalam hal syarat cakap untuk membuat suatu perjanjian. 
Cakap adalah merupakan syarat umum untuk dapat melakukan 
perbuatan hukum secara sah. Yakni harus sudah dewasa, sehat akal pikiran 
dan tidak dilarang oleh suatu peraturan perundang-undangan untuk 
melakukan sesuatu perbuatan tertentu. 90
Adapun orang-orang yang menurut undang-undang dinyatakan tidak 
cakap untuk melakukan perbuatan hukum yakni : 
a.  Orang-orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai 
umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan pekawinan. 
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1330 KUH Perdata jo pasal 47 
Undang-undang No.  tahun 1974. 91 
8 8 Hasanuddin Rohman, Contract Drafting., hal. 9 
8 9 Riduan Syahrani, Seluk Beluk, hal. 206. 
9 0 Ibid., hal. 208 
9 1 Arso Sosroatmodjo dan Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Indonesia., Cet. I Jakarta : 
Bulan Bintang, 1974), hal. 93. 
72
b.  Orang-orang yang dibawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa 
tetapi dalam keadaan  dungu, gila, mata gelap dan pemboros hal ini 
disebutkan dalam psal 1330 Jo pasal 433 KUH Perdata.  92 
c.  Orang-orang yang dilarang undang-undang untuk melakukan 
perbuatan-perbuatan tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit, yang 
disebutkan pasal 1330 KUH Perdata. 
Adapun mengenai suatu hal tertentu. Suatu perjanjian harus 
mempunyai pokok (obyek) suatu barang yang paling sedikit ditentukan 
jenisnya. Sedangkan mengenai jumlahnya dapat tidak ditentukan pada 
waktu dibuat perjanjian asalkan nanti dapat dihitung atau ditentukan 
jumlahnya dalam hal ini diatur pada pasal 1333 KUH Perdata. 
Namun secara yuridis setiap perjanjian dan persetujuan atau kontrak 
harus mencantumkan secara jelas dan tegas apa yang menjadi obyeknya 
sebab bila tidak dibuat secara rinci, dapat menimbulkan ketidakpastian 
atau kekeliruan. 93
Adapun syarat sebab yang halal  adalah :  dengan sebab ini 
dimaksudkan tiada lain daripada isi perjanjian. Dengan sebab yang halal 
itu, sesuatu yang menyebabkan seorang membuat suatu perjanjian atau 
dorongan jiwa untuk membuat suatu perjanjian pada asasnya tidak 
diperdulikan oleh undang-undang. Yang diperhatikan oleh hukum atau 
undang-undang hanyalah tindakan dari dalam masyarakat. 94
9 2 R. Subekti dan R. Tjoitro Sudibio, KUH Perdata., hal. 306 dan 137. 
9 3 Syahmin A.K., Hukum Kontrak., hal. 15 
9 4 Subekti, Hukum Perjanjian., hal. 19 
73
Sebab yang halal disebutkan pada pasal 1336 KUH Perdata, menurut 
Hasanudin Rohman yang dimaksudkan adalah merupakan dasar bagi suatu 
perjanjian yang tanpa sebab menjadi perjanjian yang sah asalkan ada 
sesuatu yang halal. 95
B.  Momentum Terjadinya Kontrak 
Dalam pembahasan ini meliputi tiga bagian yakni, momentum terjadinya 
kontrak. Bentuk Kontrak dan teknik penyusunan kontrak. 
1.  Momentun Terjadinya Kontrak 
Di dalam KUH Perdata tidak disebutkan secara tegas tentang 
momentum terjadinya kontrak. Dalam pasal 1320 KUH Perdata hanya 
disebutkan cukup dengan adanya konsensus para pihak. Diberbagai 
literature disebutkan empat teori yang membahas momentum terjadinya 
kontrak. 
Adapun empat teori tersebut adalah sebagai berikut : 
a.  Uitings theorie (teori saat melahirkankemauan). 
Menurut teori ini perjanjian terjadi apabila atas penawaran telah 
dilahirkan kemauan menerimanya dari pihak lain. Kemauan ini dapat 
dikatakan telah dilahirkan pada waktu pihak lain mulai menulis surat 
penerimaan. 
b.  Verzend theorie (teori saat mengirim surat penerimaan) 
9 5 Hasanauddin Rahman, Contract Drafting., hal. 11 
74
Menurut terori ini perjanjian terjadi pada saat surat penerimaan 
dikirimkan kepada si penawar. 
c.  Ontvangs theorie (teori saat menerima surat penerimaan) 
Menurut teori ini perjanjian terjadi pada saat menerima surat 
penerimaan sampai di alamat si penawar. 
d.  Vernemings theorie (teori saat mengetahui surat penerimaan) 
Menurut teori ini perjanjian baru terjadi, apabila si penawar telah 
membuka dan membaca surat penerimaan itu. 96
Para ahli hukum dan yurisprudensi  di negeri Belanda semuanya sama 
menolak  uitings theorie dan verzend theorie, tetapi mereka berbeda 
pendapat mengenai kedua teori lainnya. 97
Menurut Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian, menyatakan 
bahwa menurut ajaran yang lazim dianut sekarang, perjanjian harus 
dianggap dilahirkan pada saat di mana pihak yang melakukan penawaran 
menerima yang termaktub dalam surat tersebut, sebab detik itulah dapat 
dianggap sebagai detik lahirnya kesepakatan. Bahwasanya mungkin ia 
tidak  membaca  surat  itu,  hal  itu  menjadi  tanggung  jawab  sendiri.                       
Ia dianggap sepantasnya membaca surat-surat yang diterimanya dalam 
waktu yang sesingkat-singkatnya. 98
Bahwa momentum terjadinya perjanjian itu, yakni pada saat terjadinya 
persesuaian antara pernyataan dan kehendak antara kreditur dan debitur. 99
9 6 Ridwan Syahrani, Seluk Beluk., hal, 206. Syahmin AK, Hukum Kontrak., hal. 38. 
9 7 ibid. 
9 8 Subekti, Hukum Perjanjian., hal. 28 
9 9 Syahmin AK, Hukum Kontrak., hal. 40 
75
Menurut Ahmadi Miru, bahwa tidak semua kontrak lahir pada saat 
tercapainya kesepakatan, hal ini tergantung pada jenis kontrak tersebut. 
Ada dikenal tiga jenis kontrak yakni ; 
a.  Kontrak konsensual 
Kontrak ini lahir pada saat tercapainya kesepakatan mengenai unsur 
esensial dari kontrak. 
b.  Kontrak formal 
Kontrak ini lahir pada saat telah dilakukannya formalitas tertentu, yaitu 
dilakukan secara tertulis. 
c.  Kontrak riil 
Kontrak ini lahir pada saat diserahkannya barang yang menjadi obyek 
kontrak. 100
Meskipun bahwa kontrak formal lahir setelah dilakukan secara 
tertulis, tidak semua kontrak tertulis dinamakan kontrak formal karena 
kontrak yang dibuat secara tertulis kemungkinan dilatarbelakangi dua hal 
yakni : karena perintah undang-undang dan kehendak para pihak kontrak 
yang ditulis karena kehendak Undang-undang merupakan kontrak formal, 
.kontrak yang ditulis karena kehendak para pihak hanyalah semata-mata 
untuk keperluan pembuktian, bukan merupakan syarat yang menentukan. 
2.  Bentuk Kontrak 
Dalam praktek dikenal tiga bentuk kontrak yakni : 
a.  Kontrak baku (Standard Contract) 
1 00 Ahmadi Miru, Hukum Kontrak Perancangan Kontrak, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 
2007), hal. 38 
76
Kontrak baku adalah perjanjian yang hampir seluruh klausalnya 
dibakukan dan dibuat dalam bentuk formulir. 
b.  Kontrak Bebas 
Kebebasan berkontrak ini diatur pada pasal 1338 KUH Perdata. 
Prinsipnya kebebasan berkontrak itu masih harus memperhatikan 
prinsip kepatutan, kebiasaan, kesusilaan dan ketentuan perundang-
undangan yang berlaku. 
c.  Kontrak Tertulis dan Tidak Tertulis 
Ada tiga bentuk perjanjian tertulis yakni : 
1)  Perjanjian di bawah tangan yang ditandatangani oleh para pihak 
yang bersangkutan saja. Perjanjian ini hanya mengikat para pihak 
yang membuat perjanjian, tetapi tidak mempunyai kekuatan 
mengikat pihak ketiga. 
2)  Perjanjian dengan saksi notaris untuk melegalisasi tanda tangan 
para pihak. Fungsi kesaksian notaris atas suatu dokumen semata-
mata hanya untuk melegalisasi kebenaran tanda tangan para pihak. 
Tidak pada isi perjanjian. 
3)  Perjanjian yang dibuat di hadapan dan oleh notaris dalam bentuk 
akta notariel. Akta notariel ini adalah akta yang dibuat di hadapan 
dan di muka pejabat yang berwenang untuk itu. Dokumen ini 
merupakan alat bukti yang sempur na bagi para pihak yang 
bersangkutan maupun pihak ketiga. 101 
1 01 Syahmin AK, Hukum Kontrak. hal. 43 
77
Bila diperhatikan praktek sehari-hari kontrak atau perjanjian 
yang dilakukan seseorang biasanya dibuat secara tertulis. Dengan 
demikian tampak menjurus kepada pembuatan akta. 
Sedangkan yang dimaksud akta adalah : “Suatu pernyataan 
tertulis yang ditandatangani, dibuat oleh seseorang atau oleh pihak-
pihak dengan maksud dapat dipergunakan sebagai alat bukti dalam 
proses hukum”. 102
Sehubungan dengan itu undang-undang mengaturnya dalam 
pasal 1867 KUH Perdata yakni “Pembuktian dengan tulisan 
dilakukan dengan tulisan-tulisan otentik maupun dengan tulisan-
tulisan di bawah tangan.” 103
Suatu akta otentik dan resmi adalah suatu akta yang di dalam 
bentuk yang ditentukan oleh undang-undang dibuat oleh atau                  
di hadapan pejabat-pejabat umum yang berwenang untuk itu. 
Sebagaimana disebutkan dalam pasal 1868 KUH Perdata jo pasal 
165 HIR, bahwa, “Suatu akta outentik adalah suatuakta  yang                    
di dalam bentuk yang ditentukan oleh undang-undang, dibuat oleh 
atau di hadapan pejabat  umum yang berwenang untuk itu di 
tempat di mana akta itu dibuatnya.  104
Sedang akta di bawah tangan diatur pasal 1874 – 1880 KUH 
Perdata. Adapun akta di bawah tangan yakni surat-surat, daftar 
1 02 I. G. Rai Widjaya, Merancang Suatu Kontrak., hal. 12 
1 03 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUH Perdata., hal. 419 
1 04 ibid., hal. 419. Diterbitkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Surabaya, Kumpulan Peraturan 
Undang-undang Dalam Lingkungan Peradilan Agama (ttp : tnp. 1992), hal. 103. 
78
(register), catatan mengenai rumah tangga dan surat-surat lainnya 
yang dibuat tanpa bantuan seorang pejabat. 105
Dalam hal ini apabila pihak yang menandatangani suatu 
perjanjian tersebut mengakui dan tidak menyangkal, akta tersebut 
mempunyai kekuatan pembuktian yang sama dengan akta resmi 
atau otentik. Namun bila disangkal, pihak yang mengajukan surat 
perjanjian itu diwajibkan untuk membuktikan kebenarannya. 106
3.  Teknik Penyusunan Kontrak 
Dalam pembahasan teknik penyusunan kontrak ini dapat dibagi dua tahap 
yakni tahap-tahap dalam perancangan kontrak dan struktur dan anatomi 
kontrak. 
a.  Tahap-tahap dalam perancangan Kontrak 
Ada beberapa pendapat yang mengemukakan tentang tahapan-tahapan 
dalam perancangan kontrak dan salah satunya pendapatnya yang 
dikemukakan oleh I Nyoman Mudana dkk yakni bahwa ada tiga tahap 
dalam perancangan kontrak di Indonesia yakni : tahap pra perancangan 
kontrak, perancangan kontrak dan pasca perancangan kontrak, adalah 
sebagai berikut : 107
1)  Pra Perancangan Kontrak 
Tahap ini merupakan tahap sebelum kontrak dirancang dan disusun 
ada empat hal yang harus diperhatikan meliputi : 
1 05 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Ed. III. Cet. I (Yogyakarta : 
Liberty, 1988), hal. 121. 
1 06 Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama, Cet. I 
(Jakarta : Yayasan Al Hikmah, 200 0), hal. 141. 
1 07 Salim HS. Dkk., Perancangan Kontrak., hal. 85 
79
a)  Identifikasi para pihak 
Tahap identifikasi para pihak merupakan tahap untuk 
menentukan dan menetapkan identitas para pihak yang akan 
mengadakan kontrak. Identitas harus jelas dan mempunyai 
kewenangan hukum membuat kontrak yakni sudah dewasa atau 
sudah kawin. 
b)  Penelitian awal aspek terkait 
Seperti kaitannya dengan  unsur pembayaran, ganti rugi dan 
perpajakan. 
c)  Pembuatan Memorandum of Understanding (MoU) 
Merupakan nota kesepahaman yang disebut oleh pihak sebelum 
kontrak dibuat secara rinci. MoU ini memuat berbagai 
kesepakatan. 
d)  Negosiasi 
Negosiasi adalah tahap untuk menentukan obyek dan substansi 
kontrak yang dibuat para pihak. Negosiasi juga merupakan 
proses tawar menawar untuk mencapai kesepakatan. 
2)  Tahap Perancangan Kontrak 
Perancangan kontrak ini memerlukan ketelitian para pihak maupun 
notaris. Dalam tahap ini ada lima tahap yakni : 
a)  Pembuatan Draf Kontrak 
b)  Saling menukar Draf 
c)  Perlu diadakan revisi 
80
d)  Penyelesaian akhir atau menyudahi naskah kontrak 
e)  Penutup 
3)  Pasca Perancangan Kontrak 
Setelah kontrak telah dibuat dan ditanda tangani oleh para pihak, 
maka ada dua hal yang harus diperhatikan yakni : 
a)  Pelaksanaan dan penafsiran 
Setelah kontak disusun barulah dapat dilaksanakan. Kadang-
kadang kontrak yang telah disusun tidak jelas atau tidak 
lengkap, sehingga masih diperlukannya penafsiran yang diatur 
dalam pasal 1342 sampai dengan 1351 KUH Perdata. 
b)  Alternatif penyelesaian sengketa 
b.  Struktur dan anatomi kontrak 
Struktur kontrak adalah susunan dari kontrak yang akan dibuat atau 
dirancang. Adapun anatomi kontrak berkaitan dengan letak dan 
hubungan antara bagian-bagian yang satu dengan bagian yang lainnya. 
Para ahli berbeda pandangan tentang apa yang menjadi struktur dan 
anatomi kontrak. Berdasarkan hasil analisis terhadap berbagai kontrak 
yang berdimensi nasional dapat memilih struktur kontrak menjadi 12 
hal pokok. 108 yakni meliputi : 
1)  Judul kontrak 
2)  Pembukaan kontrak 
1 08 ibid., hal. 98 
81
Ada dua model pembukaan kontrak yakni tanggal kontrak 
disebutkan pada bagian awal kontrak dan tanggal kontrak 
disebutkan pada bagian akhir kontrak. 
3)  Komparasi, yakni bagian yang memuat identitas para pihak yang 
mengikatkan diri dalam kontrak secara lengkap 
4)  Resital (konsiderans atau pertimbangan) 
Resital adalah penjelasan resmi atau latar belakang atas suatu 
keadaan dalam suatu perjanjian. Dalam resital juga dicantumkan 
sebab yang halal. 
5)  Definisi 
Adalah rumusan istilah-istilah yang dicantumkan dalam kontrak 
6)  Pengaturan hak dan kewajiban (Substansi Kontrak) 
Pada dasarnya, substansi kontrak merupakan kehendak dan 
keinginan para pihak yang berkepentingan. Diharapkan dapat 
mencakup keinginan-keinginan para pihak secara lengkap 
termasuk obyek kontrak, hak dan kewajiban para pihak dan lain-
lain. 
7)  Domisili 
Domisili adalah tempat kediaman, tempat seseorang melakukan 
perbuatan hukum 
82
8)  Keadaan memaksa (Force mejeure) 
Adalah suatu keadaan ketika debitur tidak dapat melakukan 
prestasinya pada kreditur yang disebabkan adanya kejadian yang 
berada diluar kekuasaannya. 
9)  Kelalaian dan Pengakhiran kontrak 
Adalah lalai atau tidak dilaksanakannya kewajiban oleh salah satu 
pihak atau debitur, sebagaimana yang ditentukan dalam kontrak. 
10) Pola penyelesaian sengketa 
Di setiap kontrak yang dibuat oleh para pihak selalu dicantumkan 
tentang pola penyelesaian sengketa. 
11) Penutup 
12) Tanda tangan 
C.  Kontrak Nominaat Menurut Hukum Perdata Indonesia 
Dalam pembahasan kontrak nominaat ini dapat dibagi tiga bagian yakni 
pembahasan tentang istilah dan pengertian kontrak nominaat dan tentang 
jenis-jenis kontrak nominaat, dan penyelesaian sengketa dalam kontrak. 
1.  Istilah dan Pengertian Kontrak Nominaat 
Istilah kontrak nominaat merupakan terjemahan dari bahasa Inggris 
yakni Nominaat Contract. Kontrak nominaat sama artinya dengan 
perjanjian bernama atau benoemde  dalam bahasa Belanda. Kontrak 
nominaat disebutkan dalam pasal 1319 KUH-Perdata yang berbunyi: 
“Semua perjanjian, baik yang mempunyai nama khusus, maupun yang 
83
dikenal dengan suatu nama tertentu, tunduk pada peraturan umum yang 
termuat dalam bab ini dan bab yang lalu.” 109
Di dalam pasal 1319 KUH Perdata tersebut dijelaskan bahwa 
perjanjian dibedakan menjadi dua macam yakni ; Perjanjian bernama 
(nominaat) dan tidak bernama (innominaat). 
2.  Jenis-jenis Kontrak Nominaat 
Kontrak nominaat diatur dalam buku III KUH Perdata, ada 15 (lima belas) 
jenis kontrak nominaat yakni : 
1.  jual beli, 2.  tukar menukar, 3.  sewa menyewa, 4. perjanjian melakukan 
pekerjaan, 5. persekutan perdata, 6. badan hukum, 7. hibah, 8. penitipan 
barang, 9. pinjam pakai, 10. pemberian kuasa, 11. pinjam meminjam, 12. 
bunga tetap atau abadi, 13. perjanjian untung-untungan, 14. penanggungan 
utang, 15. perdamaian. 110
Dari jenis-jenis kontrak tersebut di atas yang penyusun bahas hanya dua 
jenis yakni, tentang jual beli dan sewa menyewa. 
a.  Jual Beli 
Dalam pembahasan jual beli ini meliputi tentang pengertian jual beli, 
lahirnya jual beli, subyek dan obyek jual beli, kewajiban penjual dan 
pembeli. 
1)  Pengertian Jual Beli 
Definisi jual beli menurut R. Subekti adalah sebagai berikut, 
“Jual beli (menurut BW) adalah suatu perjanjian bertimbal balik 
1 09 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal. 47 
1 10 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal. 48 
84
dalam mana pihak yang satu (si penjual) berjanji untuk 
menyerahkan hak milik atas suatu barang, sedang pihak yang 
lainnya (si pembeli) berjanji untuk membayar harga yang terdiri 
atas sejumlah uang sebagai imbalan dari perolehan hak milik 
tersebut.” 111
Menurut I.G. Rai Wijaya pengertian jual beli sebagaimana 
dalam KUH Perdata adalah, ”Suatu perjanjian atau suatu 
persetujuan timbal balik antara pihak yang satu selaku penjual yang 
berjanji untuk menyerahkan suatu barang kepada pihak lain, yaitu 
pembeli, dan pembeli membayar harga yang telah dijanjikan.”  112
Dalam pasal 1457 KUH Perdata yakni yang dimaksud dengan 
jual beli adalah suatu persetujuan dengan mana pihak satu 
mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan, dan 
pihak lain untuk membayar harga yang dijanjikan. 113
Dari berbagai definisi tersebut di atas oleh Salim H.S dapat 
diformulasikan definisi jual beli secara lengkap yakni, perjanjian 
jual beli adalah., “Suatu perjanjian yang dibuat antara pihak 
penjual dan pembeli, di dalam perjanjian itu pihak penjual 
berkewajiban untuk menyerahkan obyek jual beli kepada pembeli 
dan berhak menerima harga dan pembeli berkewajiban untuk 
membayar harga dan berhak menerima obyek tersebut. 114
1 11 R.  Subekti, Aneka Perjanjian, cet. X, (Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995) hal. 1 
1 12 I.G. rai Wijaya, Merancang., hal. 150  
1 13 R. Subekti dan R. Tjitrosudibio, KUH Perdata, h al. 327 
1 14 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal.49 
85
Adapun unsur-unsur yang terkandung dari definisi-definisi 
tersebut di atas yakni : 
a)  Adanya subyek hukum yaitu penjual dan pembeli 
b)  Adanya kesepakatan antara penjual dan pembeli tentang barang 
dan harga 
c)  Adanya hak dan kewajiban yang timbul antara pihak penjual 
dan pembeli. 
2)  Lahirnya Jual Beli 
Perjanjian jual beli itu lahir yakni, perjanjian jual beli itu sudah 
dilahirkan pada detik tercapainya sepakat mengenai barang dan 
harga. Begitu kedua belah pihak setuju tentang barang dan harga 
maka lahirlah perjanjian jual beli yang sah.  115
Lahirnya jual beli telah disebutkan pada pasal 1458 KUH 
Perdata yakni : ”Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua 
belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat 
tentang kebendaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu 
belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar.”  116
Menurut M. Yahya Harahap, tentang persetujuan jual beli, 
dianggap sudah berlangsung antara pihak penjual dan pembeli, 
apabila mereka telah menyetujui dan bersepakat tentang keadaan 
1 15 R. Subekti., Aneka Perjanjian., hal. 2 
1 16 R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, KUH Perdata., hal. 327 
86
benda dan harga barang tersebut, sekalipun barangnya belum 
diserahkan dan harganya belum dibayarkan.  117
Dari hal tersebut di atas dapat diketahui bahwa barang dan 
hargalah yang menjadi essensialia perjanjian jual beli. Tanpa ada 
barang yang hendak dijual, tak mungkin terjadi jual beli. 
Sebaliknya jika barang oyek jual beli tidak dibayar dengan suatu 
harga, jual beli dianggap tidak ada. 
Adapun mengenai tercapainya sepakat ini dinyatakan oleh 
kedua belah pihak dengan mengucapkan “setuju”, “oke” dan lain-
lain sebagaimana dengan bersama-sama menaruh tanda tangannya, 
di bawah pernyataan-pernyataan tertulis sebagai tanda (bukti) 
bahwa kedua belah pihak telah menyetujui segala apa yang tertera 
di atas tulisan itu. 
3)  Subyek dan Obyek Jual Beli 
a)  Subyek jual beli 
Pada dasarnya semua orang atau badan hukum dapat menjadi 
subyek dalam perjanjian jual beli, yakni bertindak sebagai 
penjual dan pembeli, dengan syarat yang bersangkutan telah 
dewasa dan atau sudah nikah. 
Menurut M. Yahya Harahap bahwa, kreditur dan debitur itulah 
yang menjadi subyek perjanjian. Kreditur mempunyai hak atas 
1 17 M. yahya Harahap, Segi-segi Hukum Perjanjian, Cet II( Bandung : PT Alumni, 1986).  
Hal. 181 
87
prestasi dan debitur wajib memenuhi pelaksanaan prestasi. 118 
Dalam arti penjual dan pembeli itulah yang menjadi subyek 
perjanjian jual beli. 
b)  Obyek jual beli 
Yang dapat menjadi obyek dalam jual beli adalah semua benda 
bergerak dan tidak bergerak, baik menurut tumpukan, berat, 
ukuran dan timbangannya. Sedangkan yang tidak 
diperkenankan untuk diperjualbelikan adalah ; benda atau 
barang orang lain, barang yang tidak diperkenankan oleh 
undang-undang seperti narkoba, bertentangan dengan 
ketertiban dan kesusilaan yang baik. 119
Menurut M. Yahya Harahap, obyek jual beli, ialah segala 
sesuatu yang dapat dijadikan obyek harta benda dan harta 
kekayaan dalam arti yang dapat dijadikan obyek jual beli ialah 
segala sesuatu yang bernilai harta kekayaan, misalnya termasuk 
perusahaan dagang, porsi warisan dan sebagainya. Bukan 
hanya benda yang dapat dilihat wujudnya, tetapi semua benda 
yang dapat bernilai kekayaan, baik yang nyata maupun yang 
tidak berwujud. Hal ini sesuai pasal 1332 KUH Perdata : 
Hanya barang-barang yang bisa diperniagakan saja yang boleh 
dijadikan obyek persetujuan. 120
1 18 ibid., hal. 15 
1 19 Salim H.S., Hukum Kontrak., hal. 51 
1 20 M. YAhya Harahap, Segi-segi Hukum., hal. 182 
88
4)  Kewajiban penjual dan Pembeli 
a)  Kewajiban penjual 
Bagi pihak penjual ada dua kewajiban utama sebagaimana 
diatur dalam pasal 1474 KUH Perdata yang pada pokoknya 
yakni ; 
1)  Menyerahkan hak milik atas barang yang diperjualbelikan. 
2)  Menanggung kenikmatan tentram atas barang tersebut dan 
menagggung terhadap cacat-cacat yang tersembunyi. 121  
Kewajiban menyerahkan hak milik, meliputi segala perbuatan 
yang menuruthukum diperlukan untuk mengalihkan hak milik 
atas barang yang diperjualbelikan itu dari si penjual kepada 
pembeli. 
b)  Kewajiban pembeli 
Kewajiban utama si pembeli ialah membayar harga pembelian 
pada waktu dan di tempat sebagaimana ditetapkan menurut 
perjanjian.  122 Kewajiban membayar harga disebutkan pada 
pasal 1513 KUH Perdata. 
Adapun mengenai tempat pembayaran, jika pada waktu 
membuat perjanjian tidak ditetapkan tentang tempat dan waktu 
pembayaran, maka si pembeli harus membayar ditempat dan 
pada waktu di mana penyerahan barangnya harus dilakukan 
sebagaimana dimaksud padal 1514 KUH Perdata . 
1 21 R. Subekti, Aneka., hal. 8 
1 22 ibid., hal. 20 
89
Adapun resiko pada saat lahirnya jual beli ditanggung pembeli 
sebagaimana dimaksud pasal 1460 KUH Perdata. 
b.  Sewa Menyewa 
Dalam pembahasan sewa menyewa ini meliputi pengertian sewa 
menyewa, kewajiban yang menyewakan, kewajiban penyewa, resiko, 
berakhirnya sewa. 
1)  Pengertian sewa menyewa 
Sewa menyewa adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang 
satu mengikatkan dirinya untuk memberikan kepada pihak lainnya 
kenikmatan kepada pihak yang lainnya kenikmatan dari suatu 
barang, selama suatu waktu tertentu dan dengan pembayaran suatu 
harga yang oleh pihak yang tersebut terakhir itu disanggupi 
pembayarnnya. Pengertian ini disebutkan pada pasal 1548 KUH 
Perdata. 123
Dari rumusan tersebut di atas terkandung beberapa unsur sewa 
menyewa yakni ; 
a)  Merupakan suatu perjanjian antara pihak yang menyewakan 
dengan pihak penyewa. 
b)  Terdapat pihak-pihak yang mengikatkan diri 
c)  Pihak yang satu memberikan kenikmatan atas suatu barang 
kepada pihak lain, selama suatu waktu tertentu ; 
1 23 R. Subekti dan R. Tjitro Sudibio, KUH Perdata., hal. 340 
90
d)  Dengan pembayaran suatu harga yang disanggupi oleh pihak 
yang lainnya. 
Pasal sewa menyewa tersebut bahwa barang yang menjadi 
obyek sewa menyewa bukan untuk dimiliki, tetapi hanya untuk 
dinikmati. 124
Obyek persetujuan atau perjan jian sewa menyewa meliputi 
segala jenis benda, baik atas benda berwujud, tak berwujud, 
maupun benda bergerak dan tidak bergerak, jadi obyek sewa 
menyewa adalah benda yang dapat disewakan dan dapat dinikmati, 
bermanfaat. 
2)  Kewajiban yang menyewakan 
Pihak  yang  menyewakan  mempunyai  kewajiban  sebagaimana                 
di atas dalam pasal 1550 KUH Perdata, ada tiga macam yakni ; 
a)  Kewajiban untuk menyerahkan barang yang disewa kepada 
pihak Penyewa. 
b)  Kewajiban pihak yang menyewakan untuk memelihara barang 
yang disewa selama waktu yang diperjanjikan, sehingga barang 
yang disewa tadi tetap dapat dipergunakan dan dinikmati sesuai 
dengan hajat yang dimaksud pihak penyewa. 
c)  Pihak yang menyewakan wajib memberi ketentraman kepada  
si penyewa, menikmati barang yang disewa, selama perjanjian 
sewa berlangsung. 125 
1 24 M. Yahya Harahap, Segi-segi., hal. 222 
91
3)  Kewajiban Penyewa 
Bagi penyewa ada dua kewajiban utama yakni ; 
a)  Memakai barang yang disewa sebagai seorang “Bapak rumah 
yang baik”, sesuai dengan tujuan yang diberikan kepada barang 
itu  menurut  perjanjian  sewanya  sebagaimana  penjelasan              
pasal 1560 ayat (1) KUH Perdata : Pemakaian barang yang 
disewa harus dilakukan si penyewa sebagai seorang bapak yang 
berbudi. (Dalam arti merawatnya seakan-akan itu barang 
kepunyaan sendiri). 
b)  Membayar harga sewa pada waktu-waktu yang telah ditentukan 
menurut perjanjian. 126 
4)  Resiko Dalam Sewa Menyewa 
Menurut pasal 1553 KUH Perdata, dalam sewa menyewa itu 
resiko mengenai barang yang disewakan dipikul oleh si pemilik 
barang, yaitu pihak yang menyewakan. 
Sedangkan yang dimaksud resiko adalah kewajiban untuk 
memikul kerugian yang disebabkan oleh suatu peristiwa yang 
terjadi di luar kesalahan satu pihak, yang menimpa barang yang 
menjadi obyek dari suatu perjanjian. 127
5)  Berakhirnya Sewa 
Pada dasarnya sewa menyewa akan berakhir, secara umum 
undang-undang memberi beberapa ketentuan yakni : 
1 25 ibid, hal. 223 
1 26 Subekti, Hukum Perjanjian.,  hal. 92 
1 27 ibid. 
a)  Berakhir sesuai dengan batas waktu yang ditentukan secara 
tertulis sebagaimana disebutkan dalam pasal 1576 KUH 
Perdata. 
b)  Sewa menyewa yang berakhir dalam waktu tertentu yang 
diperjanjikan secara lisan telah disinggung pasal 1571 KUH 
Perdata yaitu perjanjian sewa dalam jangka waktu tertentu, 
tetapi diperbuat secara lisan. Perjanjian seperti ini tidak 
berakhir tepat waktu yang diperjanjikan. Dia berakhir setelah 
adanya “pemberitahuan”, dari salah satu pihak, itupun dengan 
memperhatikan jangka waktu yang layak. 
c)  Pengakhiran sewa menyewa baik tertulis maupun lesan yang 
tidak ditentukan batas waktu berakhirnya. 
Dalam bentuk sewa menyewa seperti ini secara umum dapat 
ditarik suatu pegangan : penghentian dan berakhirnya berjalan 
sampai pada saat yang “dianggap pantas” oleh kedua belah 
pihak, pegangan ini dibuat karena undang-undang tidak 
mengaturnya. 
d)  Ketentuan khusus pengakhiran sewa pasal 1579 KUH Perdata 
menentukan, pihak yang menyewakan tidak boleh mengakhiri 
sewa atas alasan, mau dipakai sendiri barang yang disewakan. 
Kecuali hal ini telah ditentukan lebih dulu dalam perjanjian. 128  
1 28 M. Yahya Harahap, Segi-segi., hal. 238 
93
3.  Penyelesaian Sengketa Dalam Kontrak 
Pada umumnya setiap kontrak (perjanjian) yang dibuat para pihak 
harus dapat dilaksanakan dengan sukarela atau itikat baik, namun dalam 
prakteknya kontrak yang telah dibuat seringkali dilanggar. 
Adapun pola penyelesaian sengketa dapat dibagi menjadi dua macam 
yaitu : Melalui pengadilan dan alternatif penyelesaian sengketa. 
Penyelesaian sengketa melalui pengadilan adalah suatu pola 
penyelesiaan sengketa yang terjadi antara para pihak yang diselesaikan 
oleh pengadilan, putusannya bersifat mengikat. 
Sedangkan penyelesian  sengketa melalui alternatif penyelesaian 
sengketa adalah lembaga penyelesian  sengketa atau beda pendapat 
melalui prosedur yang disepakati para pihak. Berdasarkan undang-undang 
Nomor 30 tahun 1999 tentang arbitrase dan alternative pilihan 
penyelesaian sengketa, disebutkan dalam pasal 1 ayat (10) cara 
penyelesaian sengketa melalui alternatif penyelesaian sengketa dibagi 
menjadi  lima  cara  yaitu  :  a.    konsultasi,  b.  negosiasi,  c.  mediasi,                           
d. konsiliasi, e. pemberian pendapat hukum. 129
Pada umumnya penyelesaian sengketa diatur secara tegas dalam 
kontrak, para pihak dapat memilih melalui pengadilan atau di luar 
pengadilan. 
1 29 Gunawan Widjaya, Alternatif Penyelesaian Sengketa, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 
2005), hal. 85. 
94
BAB IV 
AKAD-AKAD DALAM FIQIH MUAMALAH 
Di dalam bab ini meliputi empat pembahasan yakni : Tinjauan umum 
tentang akad, unsur-unsur yang membentuk akad, kedudukan akad dalam Fiqih 
muamalah, khiyar akad dan berakhirnya akad. 
A.  Tinjauan Umum, Tentang Akad 
Dalam pembahasan ini meliputi ; pengertian akad, dasar-dasar akad, asas-
asas akad dan macam-macam akad adalah sebagai berikut : 
1.  Pengertian akad 
a.  Menurut Bahasa 
Akad yang berasal dari kata al-‘Aqd jamaknya al-‘Uqud menurut 
bahasa mengandung arti al-Rabtb.  al-Rabtb  yang  berarti,  ikatan,                
mengikat. 130
Menurut Mustafa al-Zarqa’ dalam kitabnya al-Madhkal al-Fiqh 
al’Amm, bahwa yang dimaksud al-Rabtb yang dikutib oleh Ghufron 
A. Mas’adi yakni ; “Menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali 
dan mengikatkan salah satu pada yang lainnya hingga keduanya 
bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu.” 131
1 30 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus Arab, Indonesia, Inggris, cet. III (Jakarta : 
Mutiara, 1964), hal. 112 
1 31 Mustafa al-Zarqa’, al-Madkal al-Fiqh al-‘amm, jilid I (Beirut : Darul Fikri, 1967 – 19 68), 
hal. 291. Dikutib oleh Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah Kontekstual,  Cet.  I,  (Jakarta  :                   
PT. Raja Grafindo Persada, 2002), hal. 75 
95
Selanjutnya akad menurut bahasa juga mengandung arti al-Rabthu 
wa al syaddu132 yakni ikatan yang bersifat indrawi (hissi) seperti 
mengikat sesuatu dengan tali atau ikatan yang bersifat ma’nawi seperti 
ikatan dalam jual beli. 
Dari berbagai sumber bahwa pengertian akad menurut bahasa 
intinya sama yakni akad secara bahasa adalah pertalian antara dua 
ujung sesuatu. 
b.  Menurut Istilah 
Pada Bab terdahulu telah disinggung tentang pengertian akad pada 
umumnya. Adapun pengertian akad menurut istilah yakni terdapat 
definisi banyak beragam diantaranya ; 
1)  Yang dikemukakan oleh Ibnu ‘Abidin dalam kitabnya  radd                     
al-Muhtar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar yang dikutib oleh Nasrun 
Haroen. Definisi akad yakni : Pertalian ijab (pernyataan melakukan 
ikatan) dan qabul (pernyataan penerimaan ikatan) sesuai dengan 
kehendak syariat yang berpengaruh pada obyek perikatan.  133 
2)  Definisi yang dikemukakan oleh wahbah al Juhailli dalam kitabnya             
al  Fiqh  Al  Islami  wa  adillatuh  yang  dikutib    oleh  Rachmat              
Syafei. 134 
1 32 Abd. Ar-Rahman bin ‘Aid, ‘Aqad al-Muqawalah, cet. I (Riyad : Maktabah al-Mulk, 2004, 
hal. 25). 
1 33 Ibnu ‘Abidin, Radd al-Muktar ‘ala ad-Dur al-Mukhtar, dikutib oleh Nasrun Haroen, Fiqh 
Mu’amalah, cet. III (Jakarta : Gaya Media Pratama, 2007), hal 97 
1 34 Wahbah Al Juhailli, Al Fiq h Al-Islami Wa Ad illatuh, dikutib oleh Rachmat Syafei, Fiqih 
Muamalah, cet. III (Bandung : Pustaka setia, 2006),  hal. 43. 
Artinya :  “Ikatan antara dua perkara, baik ikatan secara nyata 
maupun ikatan secara maknawi, dari satu segi maupun dari dua 
segi.” 
3)  Definisi yang dikemukakan oleh ‘Abdul Rahman bin ‘Aid dalam 
karya ilmiahnya ‘Aqad al-Maqawalah yakni : 
Yang maksudnya : Pertalian ijab dan qabul sesuai dengan 
kehendak syariat pada segi yang tampak dan berdampak pada 
obyeknya. 
4)  Menurut hasbi Ash-Shiddieqy definisi akad ialah ; perikatan antara 
ijab dengan qabul secara yang dibenarkan syara’ yang menetapkan 
keridlaan kedua belah pihak. 136 
Dari definisi-definisi akad tersebut di atas dapat diketahui bahwa akad 
tersebut meliputi subyek atau pihak-pihak, obyek dan ijab qabul. 
2.  Dasar-dasar Akad 
Adapun dasar-dasar akad diantaranya : 
a.  Firman Allah dalam Al Qur’an Surat Al Maidah ayat 1 yakni :13 7 
Artinya : hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu. 138
1 35 ‘Abd. Ar-Rahman Bin ‘Aid, ‘Aqad., hal. 26 
1 36 T.M. Hasbi Ash-Shieddieqy, Pengantar Fiqh., hal. 21 
1 37 Q. S. Al Maidah (5) : 1 
Maksud  ”      
“  “adalah bahwa setiap mu’min 
berkewajiban menunaikan apa yang telah dia janjikan dan akadkan 
baik  berupa perkataan maupun perbuatan, selagi tidak bersifat 
menghalalkan barang haram atau mengharamkan barang halal. Dan 
kalimat tersebut adalah merupakan asas ‘Uqud. 139
b.  Dalam kaidah fiqih dikemukakan yakni : 
Hukum asal dalam transaksi adalah keridlaan kedua belah pihak 
yang berakad, hasilnya adalah berlaku sahnya yang diakadkan. 140
Maksud keridlaan tersebut yakni keridlaan dalam transaksi adalah 
merupakan prinsip. Oleh karena itu, transaksi barulah sah apabila 
didasarkan kepada keridlaan kedua belah pihak. 
2.  Asas-asas Akad 
Dalam hukum Islam telah menetapkan beberapa asas akad yang 
berpengaruh kepada pelaksanaan akad yang dilaksanakan oleh pihak-pihak 
yang berkepentingan adalah sebagai berikut : 
a.  asas kebebasan berkontrak 
1 38 Departemen Agama RI., Al Qur’an dan Terjemahan, (Semarang : CV Tohaputra 
Semarang, 1989), hal. 156 
1 39 Ahmad Mustafa Al-Maraghi, Tafsir Al-Maraghi, diterjemahkan oleh Bahrun Abubakar 
dkk., Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cet. II (Semarang : PT. Karya Toha Putra, Semaran g, 1993) 
Juz. VI. Hal 81 
1 40 A. Djazuli, Kaidah-kaidah Fikih, Cet., I (Jakarta : Kencana, 2006), hal. 130 
98
b.  asas perjanjian itu mengikat 
c.  asas konsensualisme 
d.  asas ibadah 
e.  asas keadilan dan keseimbangan prestasi. 
f.  asas kejujuran (amanah). 141 
Asas kebebasan berkontrak didasarkan firman Allah dalam surat 
Maidah ayat 1 yang artinya :” Hai orang-orang yang beriman, penuhi 
aqad-aqad itu ………. “. 142 Kebebasan berkontrak pada ayat ini 
disebutkan dengankata “akad-akad” atau  dalam  teks  aslinya  adalah                 
al-‘uqud, yaitu bentuk jamak menunjukkan keumuman artinya orang boleh 
membuat bermacam-macam perjanjian dan perjanjian-perjanjian itu wajib 
dipenuhi. Namun kebebasan berkontrak dalam hukum Islam ada batas-
batasnya yakni sepanjang tidak makan harta sesama dengan jalan batil. 
Sesuai firman Allah Surat An Nisaa’ ayat 29 yang artinya, “Hai orang-
orang yang beriman, janganlah kamu saling memakan harta sesamamu 
dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang berlaku 
dengan suka sama suka diantara kamu ……………… “ 143
Asas perjanjain itumengikat dalam Al Qur’an memerintahkan 
memenuhi perjanjian seperti pada surat  Al  ‘Israa  ayat  34  yang  artinya,                  
1 41 Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah”, Makalah disampaikan dalam rangka Stadium 
General  Pada  Fakultas  Hukum  Universitas  Muhammadiyah  Yogyakarta,  diselenggarakan                    
F.H. UMY, Yogyakarta tanggal 14 Maret 2006. 
1 42 Departemen Agama RI., Al Qur’an., hal. 156 
1 43 ibid., hal. 122 
99
“ ……….. dan penuhilah janji : sesungguhnya janji itu pasti diminta 
pertanggungan jawabnya”. 144
Asas konsensualisme juga didasarkan surat An-Nisaa’ ayat 29 yang 
telah dikutip di atas yakni atas dasar kesepakatan bersama. 
Asas ibahah merupakan asas yang berlaku umum dalam seluruh 
muamalat selama tidak ada dalil khusus yang melarangnya. Ini didasarkan 
kaidah Fiqh yakni : 
Hukum asal dalam semua bentuk muamalah adalah boleh dilakukan 
kecuali ada dalil yang mengharamkannya. 145
Asas keadilan dan keseimbangan prestasi asas yang menegaskan 
pentingnya kedua belah pihak tidak saling merugikan. Transaksi harus 
didasarkan keseimbangan antara apa yang dikeluarkan oleh satu pihak 
dengan apa yang diterima. 
Asas kejujuran dan amanah, dalam bermuamalah menekankan 
pentingnya nilai-nilai etika di mana orang harus jujur, transparan dan 
menjaga amanah. 
Menurut Abdul Manan asas-asas akad adalah sebagai berikut : 
a.    kebebasan,  b.  persamaan  dan  kesetaraan,  c.  keadilan,  d.  kerelaan,                  
e. tertulis. 
1 44 ibid., hal. 429 
1 45 A. Djazuli, Kaidah-kaidah., hal. 130 
100
Di samping asas-asas tersebut di atas Gemala Dewi dkk, menambah 
dua asas yakni asas Ilahiyah dan asas kejujuran.  146
3.  Macam-macam Akad 
Macam-macam akad dalam fiqih sangat beragam, tergantung dari 
aspek mana melihatnya. Seperti dalam kitab Mazhab Hanafi sejumlah 
akad disebutkan menurut urutan adalah sebagai berikut : 
1.  al-Ijarah, 2. al-Istisna,  3.  al-Bai’,  4.  al-Kafalah,  5.  al-Hiwalah,                
6. al-Wakalah, 7. al-Sulh, 8. al-Syarikah, 9. al-Mudarabah, 10. al-Hibah, 
11. al. Rahn, 12. al-Muzara’ah, 13. al-Mu’amalah  (al-musaqat),                  
14.  al-Wadi’ah,  15.  al-‘Ariyah,  16.  al-Qismah,  17.  al-Wasoya,                          
18. al-Qardh. 147
Menurut Muhammad Firdaus NH. Dkk. Bahwa akad-akad syariah 
dilihat dari sisi  ekonomi dengan urutan sebagai berikut : 
1.  Bai’al-Murabahah, 2. Bai’al-Salam, 3. Bai’al-Istisna, 4. al-Ijarah,  
5. al-Musyarakah, 6. al-Qardh, 7. al-Kafalah, 8. al-Wakalah, 9. Hiwalah, 
10. al-Wadi’ah, 11. Daman, 12. Rahn.  148
Dari macam-macam akad tersebut di atas penyusun hanya membatasi 
dua akad yang berkaitan dengan penelitian ini yakni akad murabahah dan 
akad ijarah adalah sebagai berikut : 
1 46 Abdul Manan, “Hukum Kontrak”., hal. 33. Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan Islam di 
Indonesia, Cet. II, (Jakarta : kencana, 2006), hal. 30. 
1 47 Asmuni, ”Akad Dalam Perspektif Hukum Islam (Sebuah Catatan Penganta r)”, Makalah 
disampaikan pada acara Pelatihan Kontraktual Mahasiswa Program Pasca Sarjana Magister Studi 
Islam  Universitas  Islam  Indonesia  Yogyakarta,  diselenggarakan  MSI  UII  Yogyakarta  tanggal                 
09 – 10 Februari 2007. 
1 48 Muhammad Firdaus NH, dkk, Cara Mudah., hal. 25 
101
a.  Akad Murabahah 
Dalam pembahasan ini meliputi pengertian murabahah, rukun dan 
syarat murabahah, sebagai berikut : 
1)  Pengertian Murabahah 
Dalam fatwa Dewan Syariah nasional (DSN) No. 04 / DSN-
MUI/IV/2000. Pengertian Murabahah, yaitu menjual suatu barang 
dengan menegaskan harga belinya kepada pembeli dan pembeli 
membayarnya dengan harga yang lebih sebagai laba.  149
Menurut Muhammad Syafi’i Antonio, pengertian Bai’al 
Murabahah adalah jual beli barang pada harga asal dengan 
tambahan keuntungan yang disepakati.  15 0
Sedangkan menurut Imam Nawawi ; “Jual beli adalah 
pertukaran harta dengan harta yang lain untuk dimiliki”. Dan Ibnu 
Qudamah, mendefinisikan jual beli sebagai pertukaran harta 
dengan harta yang lain untuk dimilikkan dan dimiliki. 151
Dari definisi murabahah atau jual beli tersebut di atas dapat 
dikemukakan bahwa inti jual beli tersebut adalah, untuk penjual 
mendapatkan manfaat keuntungan dan bagi pembeli mendapat 
manfaat dari benda yang dibeli. 
1 49 Kerjasama Dewan Syariah Nasional MUI-Bank Indonesia, Himpunan Fatwa., hal. 20 
1 50 Muhammad Syafi’I Antonio, Bank Syariah Suatu Pengenalan Umum, Cet. I (Jakarta : Tazkia 
Institute, 1999), hal. 145.  
1 51 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh u al-Islam Wa Adillatuhu, yang diterjemahkan oleh Tim Counterpart 
Bank Muamalat, “Fiqh Muamalah Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT. Bank Muamalah 
Perbankan Syari’ah”, (Jakarta : PT.Bank Muamalah Indonesia, 1999), hal, 2 s/d 13 
102
2)  Rukun Murabahah atau Jual Beli 
Rukun jual beli menurut Madzab Hanafi adalah ijab dan Qabul, 
sedangkan menurut Jumhur ulaman ada empat rukun yakni : orang 
yang menjual, orang yang membeli, shighat dan barang yang 
diakadkan. 152
Menurut Madzab Hanafi bahwa ijab adalah menetapkan 
perbuatan tertentu yang menunjukkan keridhaan yang keluar 
pertama kali dari pembicaraan salah satu dari dua orang yang 
mengadakan aqad. Dan qabul adalah apa yang diucapkan kedua 
kali dari pembicaraan salah satu dari kedua belah pihak. Jadi yang 
dianggap adalah awal munculnya dan yang kedua saja. Baik yang 
berasal dari pihak penjual maupun dari pihak pembeli. 
Dan menurut ulama Jumhar ijab adalah apa yang muncul dari 
orang yang mempunyai hak dan memberikan hak kepemilikannya 
meskipun munculnya belakangan. Sedangkan qabul adalah apa 
yang muncul dari orang yang akan memiliki barang yang dibelinya 
meskipun munculnya diawal. 153
3)  Syarat Murabahah atau Jual Beli 
Syarat jualbeli adalah sesuai dengan rukun jual beli yakni : 
a)  Syarat orang yang berakal 
Orang yang melakukan jual beli harus memenuhi : 
1 52 ibid.,  hal 5 s/d 13 
1 53 ibid., hal. 6 s/d 13 
103
(1)  Berakal. Oleh karena itu jual beli yang dilakukan anak 
kecil dan orang gila hukumnya tidak sah. Menurut 
Jumhur ulama, bahwa orang yang melakukan akad jual 
beli itu harus telah baligh dan berakal. 
(2)  Yang melakukan akad jual beli adalah orang berbeda. 
b)  Syarat yang berkaitan dengan ijab qabul. 
Menurut para ulama fiqih syarat ijab dan qabul adalah : 
(1)  Orang yang mengucapkannya telah baligh dan berakal. 
(2)  Qabul sesuai dengan ijab. 
(3)  Ijab dab Qabul itu dilakukan dalam satu majelis. 
c)  Syarat barang yang dijualbelikan 
Syarat barang yang diperjual belikan yakni : 
(1)  Barang itu ada, atau tidak ada di tempat, tetapi pihak 
penjual menyatakan kesanggupannya untuk mengadakan 
barang itu. 
(2)  Dapat dimanfaatkan dan bermanfaat bagi manusia. 
(3)  Milik seseorang. Barang yang sifatnya  belum dimiliki 
seseorang tidak boleh dijual belikan. 
(4)  Boleh diserahkan saat akad berlangsung, dan pada waktu 
yang disepakati bersama ketika transaksi berlangsung.  154 
b.  Akad Ijarah 
1 54 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 115 
104
Dalam pembahasan akad ijarah meliputi pengertian ijarah, rukun dan 
syarat ijarah, kemudian tentang berakhirnya ijarah adalah sebagai 
berikut : 
1)  Pengertian Ijarah 
Kata al-Ijarah dalam bahasa Arab berarti memberi upah, 
mengganjar. 155 Secara bahasa ijarah berarti jual beli manfaat. 156
Menurut istilah, ulama Hanafiah mendefinisikan ijarah  ialah  :                  
Transaksi terhadap suatu manfaat dengan imbalan. Kalau menurut 
ulama Syafi’iyah ijarah ialah : transaksi terhadap suatu manfaat 
yang dituju tertentu, bersifat mubah dan boleh dimanfaatkan 
dengan imbalan tertentu, sedangkan menurut ulama malikiyah dan 
hanafiyah ijarah ialah : pemilikan manfaat sesuatu yang dibolehkan 
dalam waktu tertentu dengan suatu imbalan.  157
Dalam Fiqhus Sunnah disebutkan al-Ijarah adalah akad 
pemindahan hak guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran 
upah. 158
Dari definisi-definisi ijarah tersebut dapat dipahami bahwa ijarah 
sebenarnya adalah transaksi atas suatu manfaat. 
2)  Rukun Ijarah 
Menurut ulama Hanafiah Rukun ijarah terdiri dari ijab dan Qabul. 
1 55 Abd. Bin Nuh dan Oemar Bakry, Kamus., hal. 10 
1 56 Wahbah Zu haili, al-Fiqh al-Islam Wa Adilla tuhu, diterjemahkan Tim Counterpart Bank 
Muamalat., hal. 5/57. 
1 57 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 228 
1 58 Sayyid Sabiq, Firqhuu s Sunnah, Jilid III (ttp : dar al-Fikr, 1983), hal. 198 
105
Menurut Jumhur Ulama rukun ijarah ada empat yakni : Orang yang 
berakad (orang yang menyewakan barang atau pemilik dan 
penyewa), sighat, ujrah (ongkos sewa) dan Manfaat. 159
3)  Syarat-syarat Ijarah 
Adapun syarat-syarat ijarah adalah sebagai berikut : 
a)  Pihak-pihak yang berakad disyaratkan telah balig dan berakal. 
b)  Kedua belah pihak yang berakad menyatakan kerelaannya 
untuk melakukan akad ijarah. 
c)  Manfaat yang menjadi obyek ijarah harus diketahui secara 
sempurna. 
d)  Obyek ijarah itu boleh diserahkan dan dipergunakan secara 
langsung dan tidak bercacat. 
e)  Obyek ijarah itu sesuatu yang dihalalkan oleh syara’ 
f)  Yang disewakan itu bukan suatu kewajiban bagi penyewa. 
g)  Obyek ijarah itu merupakan sesuatu yang biasa disewakan. 
h)  Upah sewadalam akad ijarah harus jelas. 
i)  Upah sewa itu tidak sejenis dengan manfaat yang disewa. 160 
4)  Berakhirnya Ijarah 
Para ulama fiqih menyatakan bahwa akad ijarah akan berakhir 
apabila : 
a)  Obyek hilang atau musnah. 
1 59 Wahbah Zuhaili, Al-Fiqh Al-Islam wa Adillatuhu, diterjemahkan Tim Counterpart Bank 
Muamalat ; hal 4/57. Rachmat Syafei, Fiqh Muamalah ; hal. 125. 
1 60 Nasrun Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 232. Sayyid Sabiq, Fiqhus Sunnah., hal. 200 
106
b)  Tenggang waktu yang disepakati dalam akad ijarah telah 
berakhir. 
c)  Menurut Jumhur ulama unsur-unsur yang boleh membatalkan 
akad ijarah itu apabila obyeknya mengandung cacat atau 
manfaat yang dituju dalam akad itu hilang. 161 
B.  Unsur-unsur Yang Membentuk Akad 
Di dalam pembahasan  ini hanya mengenai Rukun dan syarat akad, adalah 
sebagai berikut : 
Di dalam Fiqih muamalah untuk terbentuknya akad yang sah dan mengikat 
harus dipenuhi rukun-rukun akad dan syarat-syarat akad. 
Dengan penjelasan sebagai berikut : 
1.  Rukun-rukun Akad 
Unsur-unsur akad sama maksudnya dengan rukun-rukun akad. Rukun 
dimaksudkan unsur-unsur yang membentuk sesuatu, sehingga sesuatu itu 
terwujud karena adanya unsur-unsur tersebut yang menjadi bagian-bagian 
yang membentuknya. 
Terbentuknya akad karena adanya unsur-unsur atau rukun-rukun yang 
membentuknya. Menurut ahli-ahli hukum Islam kontemporer, rukun yang 
membentuk akad ada empat yakni :  a).   para pihak yang  membuat  akad,             
1 61 Nazroen Haroen, Fiqh Muamalah., hal. 237 
107
b). pernyataan kehendak dari para  pihak,  c).    obyek  akad,  d).  tujuan                
akad. 162
Tujuan akad tersebut adalah tambahan ahli-ahli hukum Islam modern 
yang merupakan hasil ijtihad ahli-ahli hukum kontemporer dengan 
melakukan penelitian induktif dengan disyaratkan tidak bertentangan 
dengan  syarak.  163
2.  Syarat-syarat akad 
Syarat-syarat akad dibagi menjadi empat macam yakni ; 
a.  Syarat-syarat terbentuknya akad. 
b.  Syarat-syarat keabsahan akad. 
c.  Syarat-syarat berlakunya akibat hukum akad. 
d.  Syarat-syarat mengikatnya akad. 
Dengan uraian adalah sebagai berikut : 
a.  Syarat Terbentuknya Akad 
Tiap-tiap rukun pembentukan akad tersebut di atas diperlukan syarat-
syarat agar dapat berfungsi membentuk akad. Dalam arti tanpa adanya 
syarat-syarat akad maka rukun-rukun akad tidak dapat membentuk 
akad. Rukun pertama, yaitu para pihak yang membuat akad harus 
memenuhi dua syarat yakni : (1).  Tamyiz, dan (2).  Berbilang pihak. 
Rukun yang kedua yakni, pernyataan kehendak, harus memenuhi  dua 
syarat ialah (1).  Adanya persesuaian ijab dan kabul dalam arti 
tercapainya kata sepakat dan (2). Kesatuan majelis akad. Rukun ketiga 
1 62 Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 12 
1 63 ibid 
108
yakni obyek akad, harus memenuhi tiga syarat yakni (1).  Obyek itu 
dapat diserahkan, (2). Tertentu atau dapat ditentukan, dan (3).  Obyek 
itu dapat  ditransaksikan (bernilai dan dimiliki). Rukun keempat yakni 
tujuan akad, syaratnya tujuan akad itu harus sesuai dengan syariah atau 
tidak bertentangan dengan syariah. 
Syarat-syarat yang terkait dengan rukun akad tersebut, menurut 
pandangan ahli-ahli hukum Islam disebut syarat terbentuknya akad. 
Yang jumlahnya yakni : 
1).  Kecakapan  minimal  (tamyiz),  2).  Berbilang  pihak,                           
3).  Persesuaian ijab dan qabul, 4).  Kesatuan majelis akad, 5). Obyek 
akad dapat diserahkan, 6).  Obyek akad tertentu atau dapat ditentukan, 
7). Obyek akad dapat ditransaksikan (berupa benda bernilai dan 
dimiliki),   8).  Tidak bertentangan dengan syariah. 164
Rukun-rukun dan syarat-syarat yang tersebut di atas dinamakan 
pokok. Apabila pokok ini tidak terpenuhi, maka tidak terjadi akad 
dalam arti tidak memiliki wujud yuridis  syar’i atau disebut akad batil. 
b.  Syarat-syarat Keabsahan Akad 
Dengan dipenuhi rukun dan syarat terbetuknya akad, memang 
sudah mempunyai wujud yuridis syar’i namun belum serta merta sah. 
Untuk sahnya suatu akad, maka rukun dan syarat tersebut masih 
memerlukan sifat-sifat tambahan sebagai unsur penyempurna. 
1 64 ibid., hal. 13 
109
Rukun pertama, yakni para pihak, dengan dua syaratnya, yaitu 
tamyiz dan berbilang pihak, tidak memerlukan sifat penyempurna. 
Rukun kedua, yakni pernyataan kehendak dengan dua syarat yaitu 
syarat kesatuan majelis akad tidak memerlukan unsur penyempurna, 
sedangkan syarat kesesuaian ijab dan Kabul, memerlukan syarat 
penyempurna, yakni bahwa kesesuaian ijab dan Kabul itu dicapai 
secara bebas tanpa paksaan. Apabila tercapainya kesepakatan itu 
karena paksaan, maka akad menjadi fasid. Oleh karena itu bebas dari 
paksaan adalah syarat keabsahan akad. Rukun ketiga, yakni obyek, 
dengan tiga syaratnya, memerlukan unsur penyempurna  syarat             
“dapat diserahkan” hal ini memerlukan sifat-sifat yakni bahwa 
penyerahan itu tidak menimbulkan kerugian (darar) dan apabila 
menimbulkan kerugian, maka akadnya fasid. Mengenai  syarat                 
“obyek harus tertentu” memerlukan sifat-sifat penyempurna, yaitu 
tidak boleh mengandung garar, dan apabila mengandung garar akadnya 
menjadi fasid. Dan syarat obyek harus dapat ditransaksikan 
memerlukan unsur penyempurna dengan sifat tambahan, yaitu bebas 
dari fasid dan riba.  165
Dari uraian tersebut di atas dapat diketahui ada lima sebab-sebab 
yang menjadikan fasid suatu akad  yangtelah terpenuhi rukun dan 
syarat  terbentuknya, yakni : 1)  Paksaan, 2).  Penyerahan yang 
menimbulkan kerugian, 3).  Garar, 4).  Syarat-syarat  fasid,  dan                    
1 65 ibid., hal. 15 
110
5)  Riba. Oleh karena itu sempurnanya rukun dan syarat terbentuknya 
akad, bila bebas dari kelima faktor sifat-sifat tersebut maka dinamakan 
syarat keabsahan akad. 166
Jadi akad yang telah memenuhi rukun-rukunnya, syarat-syarat 
terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya dinyatakan sebagai akad 
yang sah. Apabila syarat-syarat keabsahan yang lima itu tidak 
terpenuhi, meskipun rukun dan syarat terbentuknya terpenuhi, maka 
akad tidak sah. 
c.  Syarat berlakunya Akibat Hukum 
Suatu akad dinyatakan sah yakni telah terpenuhi rukun-rukunnya, 
syarat-syarat terbentuknya dan syarat-syarat keabsahannya, namun ada 
kemungkinan akibat-akibat hukum akad tersebut belum dapat 
dilaksanakan. Bila kemungkinan ini terjadi disebut akad mauquf 
(terhenti atau tergantung). 
Agar dapat dilaksanakan akibat hukumnya akad yang sudah sah itu 
harus ada dua syarat yang mempertautkan ketiga  rukun  akad  yakni  :             
1).  Adanya kewenangan atas tindakan hukum yang dilakukan, dan  
2).  Adanya kewenangan para pihak atas obyek akad. 
Kewenagan atas tindakan hukum terpenuhi bila telah mencapai 
tingkat kecakapan bertindak hukum yang dibutuhkan bagi tindakan 
hukum yang dilakukannya. Ada kalanya tindakan hukum yang hanya 
memerlukan tingkat kecakapan bertindak hukum minimal yaitu 
1 66 ibid. 
111
Tamyiz. Ada tindakan hukum yang memerlukan kecakapan bertindak 
hukum sempurna yaitu kedewasaan. Bagi anak mumayyis (remaja usia 
tujuh tahun hingga menjelang dewasa) untuk melakukan akad timbal 
balik belum cukup kewenangannya meskipun tindakannya sah. Tetapi 
akibat hukumnya belum dapat dilaksanakan karena masih tergantung 
kepada izin wali karena itu akadnya disebut akad mauquf apabila 
walinya kemudian mengizinkan, tindakan hukumya dapat dilaksanakan 
akibat-akibat hukumnya, dan apabila wali tidak mengizinkan akadnya 
harus dibatalkan. 
Kewenangan para pihak atas obyek akad, kewenangan atas obyek 
dapat terpenuhi bila para pihak mempunyai kepemilikan atas obyek 
yangbersangkutan, atau mendapat perwakilan dari para pemilik dan 
pada obyek tersebut tidak tersangkut hak orang lain. Seperti penjual 
yang menjual barang milik orang lain, adalah sah tindakannya, akan 
tetapi akibat hukum tindakan itu tidak dapat dilaksanakan karena 
akadnya mauquf, yaitu tergantung pada izin pemilik barang. Bila tidak 
diizinkan akadnya harus batal.  167
Dari apa yang dikemukakan di atas, maka dapat dipahami bahwa 
akad yang sah, dapat dibedakan menjadi dua macam yakni : 
1)  Akad maukuf, yakni akad yang sah, tetapi belum dapat 
dilaksanakan akibat hukumnya. 
1 67 ibid., hal. 17 
112
2)  Akad Nafiz, yaitu akad yang sah dan dapat dilaksanakan akibat 
hukumnya. 
d.  Syarat Mengikatnya Akad 
Bahwa akad yang sah dan nafiz (dapat dilaksanakan akibat hukumnya) 
adalah mengikat bagi para pihak dan tidak boleh salah satu pihak 
menarik kembali persetujuannya secara sepihak tanpa kesepakatan 
pihak lain. Namun ada beberapa akad yang menyimpang dari asas ini 
dan tidak serta merta mengikat. Hal ini disebabkan oleh sifat akad itu 
sendiri atau oleh adanya hak-hak khiyar (hak opsi untuk meneruskan 
atau membatalkan perjanjian secara sepihak). Akad ini mengikat 
apabila di dalamnya tidak lagi ada hak khiyar. 168
C.  Kedudukan Akad Dalam Fiqih Muamalah 
Di dalam pembahasan ini meliputi, akad sebagai perbuatan hukum, sah dan 
batalnya akad, cacat dalam akad dengan uraian sebagai berikut ; 
1.  Akad Sebagai Perbuatan Hukum 
Akad sebagai perbuatan hukum atau tindakan hukum dapat dilihat dari 
definisi-definisi akad atau kontrak diantaranya : 
Dalam Ensiklopedi hukum Islam dikemukakan bahwa akad adalah 
pertalian ijab (pernyataan melakukan ikatan) dan qabul (pernyataan 
penerimaan ikatan) sesuai dengan kehendak syariat yang berpengaruh 
pada obyek perikatan.  169
1 68 ibid 
1 69 Abdul Aziz Dahlan (ed),  Ensiklopedi Hukum Islam, cet. I (Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve, 
1996), hal 63, artikel “Akad”. 
113
Yang dimaksud dengan “yang sesuai dengan kehendak syariat” adalah 
bahwa seluruh perikatan yang dilakukan oleh dua pihak atau lebih tidak 
boleh apabila tidak sejalan dengan kehendak syarak. Sedangkan 
pencantuman kalimat “berpengaruh pada obyek perikatan” maksudnya 
adalah terjadinya perpindahan pemilikan dari satu pihak (yang melakukan 
ijab) kepada pihak lain (yang menyatakan Kabul). 
Selanjutnya definisi akad yang dikutip oleh Symasul Anwar yakni, 
“Pertemuan ijab (penawaran) yang datang dari salah satu pihak dengan 
Qabul (akseptasi) yang diberikan oleh pihak lain secara sah menurut 
hukum yang tampak akibatnya pada obyek akad.”  170
Definisi di atas menggambarkan bahwa akad dalam hukum Islam 
merupakan suatu tindakan hukum yang berdasarkan kehendak murni dan 
bebas dari paksaan. Hanya saja akad haruslah merupakan tindakan hukum 
berdasarkan kehendak dari dua pihak yang saling bertemu. 
Menurut Mustafa Ahmad az-Zarqa, menyatakan bahwa tindakan 
hukum yang dilakukan manusia terdiri atas dua bentuk yaitu ; Tindakan 
berupa perbuatan dan tindakan berupa perkataan kemudian tindakan yang 
berupa perkataan pun terbagi dua yaitu yang bersifat akad dan yang tidak 
bersifat akad. 
Tindakan berupa perkataan yang bersifat akad terjadi bila dua atau 
beberapa pihak mengikatkan diri untuk melakukan suatu perjanjian. 
1 70 Syamsul Anwar, “HukumPerjanjian  Syariah”., hal. 7. 
114
Sedangkan tindakan berupa perkataan yang tidak bersifat akad terbagi 
dua macam yakni : a). Yang mengandung kehendak pemilik untuk 
menetapkan atau melimpahkan hak, membatalkannyaatau 
menggugurkannya seperti wakaf, hibah dan talak. Akad seperti ini tidak 
memerlukan qabul. b).  Yang tidak mengandung kehendak pihak yang 
menetapkan atau yang menggugurkan suatu hak, tetapi perkataan itu 
memunculkan tindakan hukum seperti gugatan di pengadilan, pengakuan 
di depan sidang. 
Berdasarkan pembagian tindakan hukum tersebut di atas maka dapat 
dikemukakan bahwa suatu tindakan hukum lebih umum dari akad dan oleh 
karena itu setiap akad dikatakan sebagai tindakan hukum dari dua atau 
beberapa pihak, tetapi sebaliknya setiap tindakan hukum tidak dapat 
disebut sebagai akad. 171
Menurut Taufiq dalam uraiannya sama dengan Az Zarqa tersebut, 
yakni Tindakan hukum (tasharruf)  adalah semua yang timbul dari 
seseorang yang berasal kehendaknya, baik berupa perbuatan, maupun 
perkataan yang mempunyai akibat hukum. 172
Dari definisi tersebut dengan jelas tindakan hukum dapat dibedakan 
menjadi dua yakni : 
a.  Tindakan hukum yang berupa perbuatan, seperti menguasai barang-
barang yang halal, menggunakan barang bukan miliknya secara 
1 71 Abdul Aziz Dahlan (ed), Ensiklopedi., hal. 63 
1 72 Taufiq, “Nadhariyyatu al-Uqud al-Syar’iyyah”. , hal. 100. 
115
melawan hukum, menerima pembayaran hutang, menerima barang 
yang dijual dan lain-lain. 
b.  Tindakan hukum yang berupa perkataan dapat dibedakan menjadi dua 
yaitu : 
1)  Yang berupa akad yaitu kesepakatan antara dua kehendak, seperti 
berkongsi dan jual beli. 
2)  Yang berupa bukan akad, yaitu yang berupa pemberian informasi 
tentang adanya hak seperti gugatan dan pengakuan, dapat 
dimaksud untuk menimbulkan atau mengakhirinya, seperti wakaf, 
talak dan pembebasan kewajiban. 
Dari uraian tersebut dimuka bahwa tindakan hukum lebih luas 
daripada akad dan perikatan sebab tindakan hukum mencakup 
perbuatan, mencakup perkataan dan juga mengikat dan tidak mengikat. 
Oleh karena akad merupakan bagian dari tindakan hukum, tindakan 
yang berupa perkataan tertentu, maka yang lebih khusus tunduk 
kepada pengertian umum, tidak sebaliknya. Maka setiap akad adalah 
tindakan hukum dan tidak sebaliknya. 
Ijab dan qabul, tidak hanya berbentuk ucapan (lisan) tetapi bisa 
dengan Kitabah, Isyarah, perbuatan dan ta’athi (beri memberi). 173
Dari uraian-uraian tersebut di atas maka dapat difahami, bahwa 
akad sebagi perbuatan hukum. Setiap akad adalah tindakan hukum, 
tetapi setiap tindakan hukum tidak dapat disebut sebagai akad. 
1 73 T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah., hal. 25. Asmuni. “Akad Dalam 
Prespektif.” hal. 6 
116
2.  Sah dan Batalnya Akad 
Akad menjadi sah jika rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut dipenuhi 
dan tidak sah apabila rukun dan syarat tersebut tidak dipenuhi. Namun 
berhubung syarat-syarat akad itu bermacam-macam jenisnya. Maka 
keabsahan dan kebatalan akad, menjadi bertingkat-tingkat, hanya sejauh 
mana rukun dan syarat-syarat itu dipenuhi. 
Dalam Mazhab Hanafi tingkat kebatalan dan keabsahan dibagi menjadi 
lima tingkat yang sekaligus menggambarkan urutan akad dari yang paling 
tidak sah hingga sampai yang paling tinggi tingkat keabsahannya yakni : 
a.  Akad batil. 
b.  Akad fasid 
c.  Akad maukuf 
d.  Akad nafiz gair lazim, dan 
e.  Akad nafiz lazim.  174 
Menurut Jumhur Ulama fasid semakna dengan batil, tidak 
membedakan keduanya yakni sama-sama satu bingkai, sama-sama akad 
yang batal tidak menimbulkan konsekuensi apapun.  175
Dari akad dalam beragam tingkat kebatalan dan keabsahan  tersebut             
di atas dibagi menjadi dua golongan pokok yakni ; 
1).  Akad yang tidak sah yaitu terdiri akad batal dan akad fasid, 2).  Akad 
yang sah ada tiga tingkatan yakni akad maukuf, akad nafiz gair lazim, dan 
akad nafiz lazim. 
1 74 Syamsul Anwar,”Hukum Perjanjian Syariah”., hal. 21. 
1 75 Asmuni, “Aka d Dalam Prespektif.”, hal. 10. 
117
Dalam pembahasan berikut ini hanya empat peringkat akad yang 
belum mencapai tingkat akad sempurna di dalam rukun dan syaratnya, 
tidak termasuk akad nafiz lazim adalah sebagai berikut : 
a.  Akad Batil. 
Akad batal apabila terjadi pada orang-orang yang tidak memenuhi 
syarat-syarat kecakapan atau obyeknya tidak menerima hukum akad 
hingga pada akad itu terdapat hal-hal yang menjadikannya dilarang 
syarak. 176
Menurut Adiwarman A. Karim, akad batal, bila rukun-rukun akad 
tidak terpenuhi (baik satu rukun atau lebih),  maka  akad  menjadi            
batal. 177
Menurut Gemala Dewi, akad batal yaitu akad yang tidak 
memenuhi salah satu rukunnya atau ada larangan langsung dari  
syarak. 178 misalnya obyek jual beli tidak jelas. 
Ahli-ahli hukum Hanafi mendefinisikan akad batil yakni akad yang 
secara syarak tidak syah pokok dan sifatnya 179 yang dimaksud adalah 
akad yang tidak memenuhi seluruh rukun dan syarat pembentukannya 
akad, apabila salah satu saja dari rukun dan syarat pembentukannya 
akad tidak terpenuhi, maka akad itu disebut batal. 
Hukum akad batil, bahwa dipandang tidak pernah terjadi menurut 
hukum oleh karenanya tidak mempunyai akibat hukum sama sekali. 
1 76 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 114. 
1 77 Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan, Cet. III. (Jakarta : PT. Raja 
Grafindo Persada, 2006), hal. 47. 
1 78 Gemala Dewi dkk., Hukum Perikatan., hal. 147. 
1 79 Syamsul Anwar, ”Hukum Perjanjian Syariah.”, hal. 37. 
118
b.  Akad Fasid
Akad Fasid yakni, bila rukun sudah terpenuhi tetapi syarat tidak 
terpenuhi, maka rukun menjadi tidak lengkap sehingga transaksi 
tersebut menjadi fasid. 180
Menurut Gemala Dewi akad Fasid adalah akad yang pada dasarnya 
disyari’atkan, tetapi sifat yang diakadkan itu tidak jelas. 181
Menurut ahli-ahli hukum Hanafi, akad  fasid  adalah,                         
”akad  yang  menurut  syarak  sah  pokoknya,  tetapi  tidak  sah                  
sifatnya”. 182
Yang dimaksud pokok, adalah rukun-rukun dan syarat-syarat 
keabsahan akad, jadi akad fasid adalah akad yang telah memenuhi 
rukun dan syarat pembentukan akad, akan tetapi tidak memenuhi 
syarat keabsahan akad. 
Hukum akad fasid, menurut Jumhur ulama, tidak membedakan 
antara akad batil dan akad fasid, keduanya sama-sama akad yang tidak 
ada wujudnya, yaitu  sama-sama tidak sah karena akad tersebut tidak 
memenuhi ketentuan undang-undang syarak. 
Sedangkan menurut Mazhab Hanafi, membedakan akad batil dan 
akad fasid kalau akad batil sama sekali tidak ada wujudnya, tidak 
pernah terbentuk, sedangkan akad fasid telah terbentuk dan telah 
memiliki wujud syar’i hanya saja terjadi kerusakan pada sifat-sifatnya. 
1 80  Adiwarman A. Karim, Bank Islam., hal. 47. 
1 81 Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan., hal. 147 
1 82 Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.”  hal 24 
119
Hukum akad fasid menurut Mazhab Hanafi bila belum 
dilaksanakan wajib dibatalkan oleh para pihak maupun oleh Hakim. 
Bila sudah dilaksanakan  akad mempunyai akibat hukum tertentu dapat 
memindahkan hak milik, tetapi tidak sempurna. 183
c.  Akad Maukuf 
Akad Maukuf ialah akad yang terjadi dari orang yang memenuhi 
syarat  kecakapan,  tetapi  tidak  mempunyai  kekuasaan  melakukan              
akad. 184
Akad Mauquf hanya mempunyai akibat hukum apabila mendapat 
izin secara sah dari orang yang mempunyai kekuasaan melakukan 
akad. 
Sebab-sebab akad menjadi Maukuf ada dua yakni : 
1)  Tidak adanya kewenangan yang cukup atas tindakan hukum yang 
dilakukan dengan kata lain kekurangan kecakapan. 
Orang-orang tersebut yakni : 
a).  Remaja yang mumayyiz, b. Orang yang sakit ingatan tetapi 
tidak mencapai gila, c). Orang pandir yang memboroskan harta,  
d). Orang yang mempunyai cacat kehendak karena paksaan. 
2)  Tidak adanya kewenangan yang cukup atas obyek akad karena 
adanya hak orang lain pada obyek tersebut. Yang meliputi : 
a)  Akad fuduli (pelaku tanpa kewenangan). 
1 83 ibid 
1 84 ibid 
120
b)  Akad orang sakit mati yang membuat wasiat lebih dari 
sepertiga hartanya. 
c)  Akad orang di bawah pengapuan. 
d)  Akad penggadai yang menjual barang yang sedang 
digadaikannya. 
e)  Akad penjualan oleh pemilik terhadap benda miliknya yang 
sedang disewakan. 185 
Hukum akad maukuf adalah sah, hanya saja akibat hukumnya 
digantungkan artinya hukumnya masih ditangguhkan hingga akad 
itu dibenarkan atau dibatalkan oleh pihak yang berhak untuk 
memberikan pembenaran atau pembatalan tersebut. 
d.  Akad Nafiz Gair Lazim 
Akad Nafiz Gair lazim ialah akad Nafiz yang mungkin difasakh 
oleh masing-masing pihak, atau hanya oleh salah satu pihak yang 
mengadakan akad tanpa memerlukan persetujuan pihak lain. 186
Hukum Akad Nafiz gair lazim adalah sah, akan tetapi terdapat 
beberapa  macam  akad  yang  karena  sifat  aslinya  terbuka  untuk                         
di fasakh secara sepihak. Seperti akad pemberian kuasa, hibah, 
penitipan, pinjam pakai, gadai, penanggungan dan akad yang salah 
satu pihak mempunyai hak khiyar. 
3.  Cacat Dalam Akad 
1 85 Syamsul Anwar, “Hukum Perjanjian Syariah.”, hal 28 
1 86 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 119 
121
Tidak setiap akad (kontrak) mempunyai kekuatan hukum mengikat 
untuk terus dilaksanakan. Namun ada kontrak-kontrak tertentu yang 
mungkin menerima pembatalan, hal ini karena disebabkan adanya 
beberapa cacat yang bisa menghilangkan keridaan (kerelaan) atau 
kehendak sebagian pihak. Adapun faktor-faktor yang merusak ketulusan 
atau keridaan seseorang adalah sebagai berikut : 
a.  Paksaan / Intimidasi (Ikrah) 
Ikrah yakni memaksa pihak lain secara melanggar hukum untuk 
melakukan atau tidak melakukan suatu ucapan atau perbuatan yang 
tidak disukainya dengan gertakan atau ancaman sehingga 
menyebabkan terhalangnya hak seseorang untuk bebas berbuat dan 
hilangnya kerelaan. 187
Suatu kontrak dianggap dilakukan di bawah intimidasi atau 
paksaan bila terdapat hal-hal seperti, yaitu : 
1)  Pihak yang memaksa mampu melaksanakan ancamannya. 
2)  Orang yang diintimidasi bersangka berat bahwa ancaman itu akan 
dilaksanakan terhadapnya. 
3)  Ancaman itu ditujukan kepada dirinya atau keluarganya terdekat. 
4)  Orang yang diancam itu tidak punya kesempatan dan kemampuan 
untuk melindungi dirinya. 
1 87 Nur Kholis, “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”, (Yogyakarta : tnp., 2006), hal. 27 
122
Kalau salah satu dari hal-hal tersebut tidak ada, maka intimidasi itu 
dianggap main-main, sehingga tidak berpengaruh sama sekali terhadap 
kontrak yang dilakukan. 188
Menurut Ahmad Azhar Basyir, bila akad dilaksanakan ada unsur 
paksaan, mengakibatkan akad yang dilakukan menjadi tidak sah dan 
menurut Abdul Manan, bila kontrak atau akad dibuat dengan cara 
paksa diianggap cacat hukum dan dapat dimintakan pembatalan 
kepada pengadilan. 189
b.  Kekeliruan atau kesalahan (Ghalath) 
Kekeliruan  yang dimaksud adalah kekeliruan pada obyek akad atau 
kontrak. 
Kekeliruan bisa terjadi pada dua hal : 
1)  Pada zat (jenis) obyek, seperti orang membeli cincin emas tetapi 
ternyata cincin itu terbuat dari tembaga. 
2)  Pada sifat obyek kontrak, seperti orang membeli baju warna ungu, 
tetapi ternyata warna abu-abu. 
Bila kekeliruan pada jenis obyek, akad itu dipandang batal sejak 
awal atau batal demi hukum. Bila kekeliruan terjadi pada sifatnya akad 
dipandang sah, tetapi pihak yang merasa dirugikan berhak memfasakh 
atau bisa mengajukan pembatalan ke pengadilan. 190
c.  Penyamaran Harga Barang (Ghubn) 
1 88 ibid 
1 89 Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 101. Abdul Manan, “Hukum Kontrak.” hal. 44 
1 90 ibid. 
123
Ghubun secara bahasa artinya pengurangan. Dalam istilah ilmu 
fiqih, artinya tidak wujudnya keseimbangan antara obyek akad 
(barang) dan harganya, seperti lebih tinggi atau lebih rendah dari harga 
sesungguhnya.  191
Di kalangan ahli fiqh ghubn ada dua macam yakni : 
1)  Penyamaran ringan. Penyamaran ringan ini tidak berpengaruh pada 
akad. 
2)  Penyamaran berat yakni penyamaran harga yang berat, bukan saja 
mengurangi keridaan tapi bahkan melenyapkan keridaan. Maka 
kontrak penyamaran berat ini adalah batil. 
d.  Penipuan (al-Khilabah) 
Penipuan yaitu menyembunyikan cacat pada obyek akad agar tampil 
tidak seperti yang sebenarnya. Maka pihak yang merasa tertipu berhak 
fasakh. 
e.  Penyesatan (al-Taqrir) 
Menggunakan rekayasa yang dapat mendorong seseorang untuk 
melakukan akad yang disangkanya menguntungkannya tetapi 
sebenarnya tidak menguntungkannya. Taqrir tidak mengakibatkan 
tidak sahnya akad, tetapi pihak korban dapat mengajukan fasakh. 192
D.  Khiyar Akad Dan Berakhirnya Akad 
1 91 Nur Kholis, “Modul”., hal. 28 
1 92 Taufiq, Nadhariyyatu Al-Uqud., hal. 110 
124
Di dalam pembahasan ini meliputi tentang, khiyar akad berakhirnya akad 
adalah sebagai berikut : 
1.  Khiyar Akad 
Khiyar adalah hak yang dimiliki oleh kedua belah pihak yang berakad 
untuk memilih antara meneruskan akad atau membatalkannya. 193
Hak khiyar dimaksudkan guna menjamin agar akad yang diadakan 
benar-benar terjadi atas kerelaan penuh pihak-pihak bersangkutan karena 
sukarela itu merupakan asas bagi sahnya suatu akad. 
Ada bermacam-macam khiyar diantaranya : 
a.  Khiyar majlis, yaitu hak kedua belah pihak untuk memilih antara 
meneruskan atau membatalkannya sepanjang keduanya belum berpisah 
seperti, akad jual beli dan ijarah. 
b.  Khiyar Ta’yin, yaitu hak yang dimiliki oleh pembeli untuk memastikan 
pilihan atas sejumlah benda sejenis dan setara sifat dan harganya, 
seperti jual beli. 
Pendapat tersebut yang dikemukakan Fuqaha Hanafiyah dan harus 
memenuhi tiga syarat yakni : 
1.  Maksimal berlaku pada tiga pilihan obyek 
2.  Sifat dan nilai benda-benda yang menjadi obyek pilihan harus 
setara dan harganya harus jelas. Jika masing-masing benda berbeda 
jauh, maka tidak ada khiyar ta’ yin. 
1 93 Ghufron A. MAs’adi, Fiqh Muamalah., hal. 108 
125
3.  Tenggang waktu khiyar ini tidak lebih tiga hari khiyar ta’ yin               
dipandang telah batal apabila pembeli telah menentukan pilihan 
secara jelas barang tertentu  yang dibeli.  
c.  Khiyar Syarat, yakni hak kedua belah pihak yang berakad, untuk 
melangsungkan akad atau membatalkan akad selama batas waktu 
tertentu yang dipersyaratkan ketika akad berlangsung. 
Khiyar ini hanya berlaku pada akad lazim yang dapat menerima 
fasakh seperti jual beli, ijarah, muzaro’ah, musyaqah, mudarabah, 
kafalah, hawalah dan lain-lain. 
Khiyar syarat berakhir bila telah terjadi sebab : 
1)  Terjadi penegasan pembatalan akad. 
2)  Berakhirnya batas waktu khiyar. 
3)  Terjadi kerusakan pada obyek akad. 
d.  Khiyar  ‘Aib (karena adanya cacat), yakni hak yang dimiliki oleh salah 
seorang dari kedua belah pihak yang berakad untuk membatalkan atau 
meneruskannya ia menemukan cacat pada obyek akad yang mana 
pihak lain tidak memberitahukannya pada saat berlangsungnya akad. 
Khiyar ‘aib harus memenuhi persyaratan yakni 1). Terjadinya ‘aib 
(cacat) sebelum akad atau sebelum terjadi penyerahan, 2). Pihak 
pembeli  tidak  mengetahui  cacat  tersebut  ketika  berlangsung  akad,              
3). Tidak ada kesepakatan bersyarat, bahwa penjual tidak bertanggung 
jawab terhadap segala cacat yang ada. 
126
Hak Khiyar ‘aib gugur apabila : pihak yang dirugikan merelakan 
setelah ia mengetahui cacat tersebut, pihak yang dirugikan tidak 
menuntut pembatalan akad, terjadi cacat baru dalam penguasaan 
pembeli, dan terjadi penambahan saat dalam penguasaan pembeli. 
e.  Khiyar Rukyat (melihat), adalah hak pembeli untuk membatalkan akad 
atau tetap untuk melangsungkannya ketika ia melihat obyek dengan 
syarat ia belum melihatnya ketika berlangsung akad.  
f.  Kemungkinan khiyar rukyat bisa terjadi karena sebelumnya hanya 
disebutkan sifat-sifatnya. Namun kemudian setelah melihat barangnya 
tidak sesuai dengan sifat-sifat yang disebutkan. 194 
2.  Berakhirnya Akad 
Pada Bab terdahulu telah disinggung tentang berakhirnya akad secara 
umum dan agar lebih jelasnya dapat diuraikan adalah sebagai berikut. 
Berakhirnya akad bisa juga disebabkan karena fasakh, kematian atau 
karena tidak adanya izin pihak lain dalam akad yang mauquf ; 
a.  Berakhirnya akad karena fasakh 
Yang menyebabkan timbulnya fasakhnya akad yakni : 
1)  Fasakh karena fasadnya akad 
Jika suatu akad berlangsung secara fasid maka akad harus 
difasakhkan baik oleh pihak yang berakad maupun oleh putusan 
1 94 ibid., Rachmat Syafei, Fiqih Muamalah., hal. 104. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 125 
127
pengadilan atau dengan kata lain sebab ia fasakh, karena adanya 
hal-hal yang tidak dibenarkan syara’ seperti akad rusak. 
2)  Fasakh karena khiyar, baik khiyar rukyat, cacat, syarat atau majlis, 
yang berhak khiyar, berhak memfasakh bila menghendakinya, 
kecuali dengan kerelaan pihak lainnya atau berdasarkan keputusan 
pengadilan. 
3)  Fasakh berdasarkan iqalah 
Iqalah ialah memfasahkan akad berdasarkan kesepakatan kedua 
belah pihak. Atau salah satu pihak dengan persetujuan pihak lain 
membatalkan karena merasa menyesal. 
4)  Fasakh karena tiada realisasi 
Karena kewajiban yang ditimbulkan oleh adanya akad tidak 
dipenuhi oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Fasakh ini berlaku 
pada khiyar naqd (pembayaran) yakni pembeli tidak melunasi 
pembayaran, atau jika pihak penjual tidak menyerahkan barang 
dalam batas waktu tertentu. 
5)  Fasakh karena jatuh tempo atau karena tujuan akad telah terealisir. 
128
Jika batas  waktu yang ditetapkan dalam akad telah berakhir atau 
tujuan akad telah terealisir maka akad dengan sendirinya menjadi 
fasakh (berakhir) seperti sewa menyewa. 195
b.  Berakhirnya Akad Karena Kematian 
Kematian menjadi penyebab berakhirnya sejumlah akad adalah sebagai 
berikut ; 
1)  Ijarah. Menurut Fuqaha Hanafiyah kematian seseorang 
menyebabkan berakhirnya akad ijarah. Menurut jumhur fuqaha 
selain Hanafiah, kematian tidak menyebabkan berakhirnya akad 
ijarah. 
2)  Al-Rahn (gadai) dan Kafalah (penjaminan hutang). Jika pihak 
penggadai meninggal maka barang gadai harus dijual untuk 
melunasi hutangnya. Dalam hal kafalah (penjamin) hutang, maka 
kematian orang yang berhutang tidak mengakibatkan berakhirnya 
kafalah, dilakukan pelunasan hutangnya. 
3)  Syirkah dan wakalah. Keduanya tergolong akad yang tidak lazim 
atas dua pihak. Oleh karena itu, kematian seorang dari sejumlah 
orang yang berserikat menyebabkan berakhir syarikah. Demikian 
juga berlaku pada wakalah. 
c.  Berakhirnya Akad Karena Tidak adanya izin pihak lain. 
1 95 Ghufran A. Mas’adi, Fiqh Muamalah., hal. 115. Gemala Dewi dkk, Hukum Perikatan., hal. 
92. Ahmad Azhar Basyir, Asas-asas., hal. 130. 
129
Akad mauquf berakhir apabila pihak yang mempunyai wewenang 
tidak mengijinkannya dan atau meninggal. 196
BAB V 
ANALISIS AKAD MURABAHAH DAN AKAD IJARAH  
DI BMT SAFINAH KLATEN 
Dalam analisis ini meliputi yakni, Analisis Kesesuaian Akad BMT Safinah 
Klaten dengan Hukum Kontrak dan Fiqih, serta Analisis Potensi Konflik Dari 
Akad-akad Tersebut dan Penyelesaiannya. 
A.  Analisis Kesesuaian Akad BMT Safinah Klaten Dengan Hukum Kontrak 
dan Fiqih. 
1 96 Ghufron A. Mas’adi, Fiqh Muamalah., hal. 116. 
130
Dalam analisis ini penyusun hanya membatasi dua akad saja, yakni akad 
murabahah dan akad ijarah. Sesuai dengan akad-akad penyaluran  dana                   
di BMT Safinah Klaten. 
1.  Analisis Akad Murabahah di BMT Safinah Klaten 
Dalam analisis akad murabahah ini dibatasi pada pembentukan akad 
murabahah di BMT Safinah Klaten. 
a.  Akad Murabahah Di BMT Safinah Klaten Menurut Perspektif 
Hukum Kontrak 
Telah diuraikan pada bab terdahulu pembentukan akad murabahah 
diawali dengan tahap pembuatan akad pemesanan barang, pembuatan 
akad wakalah, pembuatan akad waad wakalah, dan baru dibuat akad 
murabahah. 
Dalam akad murabahah tersebut terdiri dari rukun-rukunya yakni, 
adanya orang berakad yang terdiri dari pihak I dari pihak BMT 
sendiri dan pihak II dari nasabah. Adanya obyek akad, di BMT 
Safinah Klaten obyek akad berwujud barang berupa nota rincian 
harga-harga barang, yang semula BMT telah  membuat akad wakalah 
atau mewakilkan  kepada nasabah untuk memilihkan, membayarkan 
barang-barang atas nama BMT, kemudian nasabah menyerahkan 
nota rincian pembelian barang-barang tersebut tidak dengan riil 
barangnya. Selanjutnya ijab dan qobul yang diwujudkan dengan 
penandatanganan akad. 
131
Syarat-syarat akad murabahah BMT Safinah Klaten dilihat dari 
subyek terdiri dari pihak I dan pihak II semuanya telah dewasa, 
baligh. Kemudian syarat barang, di mana barang pada saat akad 
secara riil tidak ada yang ada nota pembelian barang, dilihat dari 
dapat dimanfaatkannya, harga bisa diketahui dari nama-nama barang 
di nota rincian pembelian barang, barang tersebut milik BMT, dan 
barang itu diserahkan secara simbolik berujud nota tersebut. Adapun 
syarat yang terkait ijab qobul, memang telah dilakukan dalam satu 
majelis. Mengenai qobul sesuai dengan ijab, yakni pernyataan qobul 
sesuai yang terlampir dalam nota pembelian barang tersebut. 
Dari paparan tersebut di atas ditinjau menurut syarat sahnya 
kontrak adalah sebagai berikut ; Menurut pasal 1320 KUH Perdata 
syarat syahnya kontrak bila memenuhi empat syarat ; 
1)  Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya. 
2)  Kecakapan untuk membuat suatu perikatan. 
3)  Suatu hal tertentu dan 
4)  Suatu sebab yang halal. 
Keempat syarat tersebut merupakan “essensialia” setiap 
persetujuan. Tanpa keempat syarat itu persetujuan dianggap tidak 
ada. 
Unsur-unsur pokok (“essensialia”) perjanjian jual beli adalah 
barang dan harga. Sesuai asas “konsensualisme” yang menjiwai 
Hukum perjanjian. Perjanjian jual beli itu sudah dilahirkan pada 
132
detik tercapainya “sepakat” mengenai barang dan harga. Saat pihak-
pihak itu setuju tentang barang dan harga, saat itulah lahir perjanjian 
jual beli yang sah. Hal ini sesuai dengan pasal 1458 KUH Perdata 
yakni ; jual beli dianggap sudah terjadi antara kerdua belah pihak 
seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, 
meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum 
dibayar”. 
Dari pasal tersebut maka dapat dipahami lahirnya perjanjian itu 
cukup dengan sepakat saja dan mengikat, atau bisa dikatakan bahwa 
jual beli tiada lain daripada persesuaian kehendak antara penjual dan 
pembeli mengenai barang dan harga, bila tanpa barang yang hendak 
dijual, tak mungkin terjadi jual beli, bila barang obyek jual beli tidak 
dibayar dengan suatu harga, jual beli dianggap tidak ada. 
Menurut Subekti perjanjian itu sudah cukup apabila sudah 
dicapai sepakat dan tidak diperlukan syarat-syarat lain, kecuali syarat 
sahnya perjanjian sebagaimana pasal 1320 KUH Perdata.197
Dari  uraian  tersebut  bila dikaitkan dengan akad murabahah di 
BMT Safinah Klaten sebagaimana tersebut di atas dapat di jelaskan 
sebagaia berikut ; 
1)  Syarat Kesepakatan 
197  Subekti, Aneka Perjanjian, hal.5 
133
Akad-akad  murabahah  tersebut  semuanya  telah 
ditandatangani kedua belah pihak, dengan demikian kedua belah 
pihak dinilai telah sepakat. Cara menyampaikan sepakat ada 
beberapa cara yakni dengan cara tertulis, dengan cara lisan, 
dengan simbol-simbol tertentu bahkan dengan berdiam diri.198
Cara penandatanganan oleh kedua belah pihak yang berakad 
di BMT Safinah tersebut memang sudah benar, meskipun tidak 
dibuat dihadapan pejabat yang berwenang. 
2)  Syarat kecakapan untuk membuat suatu perikatan 
Pihak-pihak  yang mengadakan akad di BMT Safinah Klaten 
semuanya telah berusia 21 tahun, telah dewasa, cakap bertindak 
Hukum, dengan demikian pihak-pihak yang berakad tersebut 
telah memenuhi syarat kecakapan. 
3)  Syarat dengan sesuatu hal tertentu 
Barang yang menjadi obyek akad murabahah di BMT 
Safinah Klaten apada saat akad dilaksanakan berwujud nota 
pembelian barang-barang, yang didalamnya tertulis jenis-jenis 
barang, jumlahnya dan harganya. Pihak BMT tidak perlu 
melihat barangnya karena sudah percaya barangnya sudah ada  
di pihak nasabah. 
198  Ahmadi Miru, Hukum Kontrak, hal.14 
134
Dalam  pasal  1332 KUH Perdata menyebutkan bahwa  hanya 
barang-barang yang dapat diperdagangkan saja dapat menjadi 
pokok persetujuan. 
Menurut pasal 1332 ini memang  semua barang-barang yang 
tertulis di nota pembelian menurut pengamatan penulis adalah 
barang-barang yang dapat diperdagangkan. 
Kemudian  apakah  barang-barang tersebut cukup disebutkan 
atau suatu keharusan dengan wujud barangnya secara riil ? 
Menurut pasal 1333 KUH Perdata yang berbunyi, ”Suatu 
persetujuan harus mempunyai sebagai pokok suatu barang yang 
paling sedikit di tentukan jenisnya”. Selanjutnya dalam pasal 
1334 yakni,” Barang-barang yang baru akan ada dikemudian 
hari dapat menjadi pokok suatu persetujuan.” 
Dalam  pasal  1333  tertulis, yang paling sedikit ditentukan 
jenisnya, kalimat ini dapat difahami bahwa pada saat perjanjian 
dapat dipastikan jenis barangnya tetapi belum berwujud 
barangnya,  kemudian  dipertegas    pasal  1334  bahwa                   
barang-barang yang baru ada di kemudian hari dapat menjadi 
pokok suatu perjanjian, dalam arti pada saat perjanjian 
berlangsung barang belum ada tetapi sudah pasti jenisnya. 
Berdasarkan pasal 1333 dan pasal 1334 KUH Perdata 
tersebut di atas jelaslah pada saat berlangsungnya perjanjian 
135
tidak diharuskan ada barangnya, cukup disebutkan minimal jenis 
barangnya. 
Dengan berlandaskan pasal 1333 dan pasal 1334 KUH 
Perdata, maka pelaksanaan akad murabahah di BMT Safinah 
Klaten yang berkaitan dengan obyek perjanjian yang berwujud 
nota pembelian barang tersebut di atas adalah diperbolehkan. 
4)  Syarat suatu sebab yang halal 
Bahwa akad  murabahah BMT Safinah Klaten yang mana isi 
akad atau perjanjian tidak bertentangan dengan undang-undang. 
Dari uraian-uraian tersebut di atas bahwa syarat sahnya akad-
akad murabahah di BMT Safinah Klaten telah sesuai dengan Hukum 
Kontrak. 
b.  Akad Murabahah BMT Safinah Klaten menurut perspektif fiqih. 
Akad-akad murabahah BMT Safinah Klaten sebagaimana  tersebut              
di atas bila dilihat dari segi terbentuknya akad yakni : 
1)  Dari segi Rukun dan syarat akad atau disebut syarat 
terbentuknya akad. 
a)  Para Pihak  
Pihak-pihak yang berakad di BMT Safinah Klaten 
semuanya telah dewasa atau baligh. Dan dilaksanakan lebih 
dari satu orang 
b)   Pernyataan Kehendak  
136
Bahwa pihak-pihak yang berakad murabahah di BMT 
Safinah Klaten telah memenuhi ijab dan qobul, kedua belah 
pihak telah mengadakan kesepakatan dengan 
menandatangani akad, yang sebelumnya pihak kedua 
dipersilahkan untuk membaca dulu, bila ada hal-hal yang 
belum paham, bila ada hal yang masih keberatan 
dipersilakan untuk menyatakannya dan  selanjutnya                        
dimusyawarahkan, pada umumnya telah menyatakan 
kerelaannya. 
c)  Obyek Akad 
Syarat obyek akad ada tiga yakni : 
(1) Obyek itu dapat diserahkan, (2) tertentu atau dapat 
ditentukan, (3) obyek itu dapat ditransaksikan. 
Yang dimaksud obyek itu dapat diserahkan, yaitu pada saat 
yang telah ditentukan dalam akad, obyek akad dapat 
diserahkan dalam akad, obyek akad dapat diserahkan 
karena memang benar-benar ada di bawah kekuasaan yang 
sah pihak yang bersangkutan. Menurut Ahmad Azhar 
Basyir, bahwa obyek akad dapat diserahkan mengharuskan 
obyek akad itu telah wujud dan jelas.199
Penyerahan  barang  saat akad di BMT Safinah Klaten 
hanya berupa nota pembelian barang, tidak dengan wujud 
199  Ahmad Azhar Basyir, Asas-Asas, hal,82 
137
barangnya. Pihak BMT tidak melihat barangnya namun 
pihak BMT sudah percaya, barang ada dipihak nasabah 
sebagai pembeli. 
Menurut  Al-Kasani  mengatakan  bahwa  terkait  dengan 
obyek akad ini sangat beragam, antara lain barang yang 
menjadi obyek akad secara faktual harus benar-benar ada. 
Tidak boleh melakukan jual beli terhadap barang yang 
belum ada. Maksudnya agar tidak terjadi garar.200
Para  fuqaha  mensyaratkan  bahwa  barang  yang  akan 
diperjual belikan sungguh-sungguh ada pada saat akad 
berlangsung. Jika barang tidak ada, sekalipun akan ada 
pada waktu akan datang dianggap sudah masuk unsur garar. 
Berkaitan  dengan  obyek  akad  ini,  terdapat  sejumlah 
hipotesa yakni : 
(1)  Suatu barang secara sempurna ada pada saat akad 
dilakukan. 
(2)  Suatu barang pada dasarnya ada pada waktu akad 
dilaksanakan, kemudian wujudnya akan sempurna 
setelah akad dilaksanakan. 
(3)  Suatu barang pada dasarnya tidak ada pada saat akad 
dilaksanakan, akan tetapi keberadaannya sudah pasti 
pada masa akan datang. 
200  Asmuni, ”Akad Dalam Persepektif Hukum Islam.”, hal.18 
138
(4)  Suatu barang pada dasarnya tidak ada pada waktu akad 
dilaksanakan atau pada dasarnya ada tetapi tidak dapat 
dipastikan keberadaannya pada masa akan datang. 
(5)  Suatu barang pada dasarnaya tidak ada pada waktu 
akad dilaksanakan artinya ketiadaannya pada masa 
akan datang sudah pasti.201 
Hipotesa pertama dan terakhir tidak mengandung 
unsur garar. Hipotesa pertama, barang sudah pasti ada 
secara sempurna pada waktu akad dilaksanakan, maka 
jelas kebolehannya, Hipotesa kelima (terakhir) bahwa 
sesuatu pada dasarnya tidak ada pada waktu akad 
dilaksanakan, artinya ketiadaannya pada masa akan 
datang sudah pasti. Akad yang demikian ini jelas batal. 
Kemudian  hipotesa  nomor  dua,  bahwa  sesuatu 
barang pada dasarnya ada pada waktu akad 
dilaksanakan, kemudian wujudnya akan sempurna 
setelah akad dilaksanakan. Mengenai masalah ini unsur 
garar hampir tidak ditemukan. Maka dari itu melakukan 
akad ini dibolehkan. 
Mengenai hipotesa yang  ketiga bahwa suatu barang 
pada dasarnya tidak ada pada saat akad dilaksanakan, 
201  ibid 
139
akan tetapi keberadaannya sudah pasti ada pada masa 
akan datang. 
Sehubungan dengan hipotesa ini merupakan 
pengecualian dari prinsip umum yang maksudnya 
bahwa jual beli terhadap barang yang belum ada adalah 
batal. Kecuali jual beli dengan akad salam, dan istisna. 
Hipotesa yang ketiga ini unsur garar tidak ada.  
Adapun   hipotesa yang ke empat yakni suatu barang 
pada dasarnya tidak ada pada waktu akad dilaksanakan 
atau pada dasarnya ada tetapi tidak dapat dipastikan 
keberadaanya pada masa yang akan datang. Pada 
hipotesa ini jelas termasuk unsur garar. 
Bila  akad  murabahah  di  BMT  Safinah  Klaten                    
dihubungkan dengan kelima hipotesa tersebut, maka 
akad tersebut termasuk dalam hipotesa yang nomor 
empat, sebab sejak awal nasabah (pihak II) sebagai 
wakil atau kuasa dari pihak BMT (pihak I) tidak 
menyerahkan barang yang dikuasakannya kecuali nota 
pembelian barang kepada BMT (pihak I) sebagai 
pemilik barang. Dan pada waktu pelaksanaan akad, 
tidak dicantumkan dalam akad (perjanjian) penyerahan 
barang secara pasti untuk masa yang akan datang dari 
BMT kepada nasabah (pembeli). 
140
Kemudian bila penyerahan barang dilihat dari teori 
al-istihalah al-muthlaqah dan al-istihalah al-nisbiyah, 
jika termasuk pada istihalah al-muthlaqah maka akad 
jual beli menjadi batal, misalnya : Budak yang kabur 
menjadikan penyerahannya kepada pembeli menjadi 
istihalah muthlaqah dengan demikian akad jual belinya 
batal.  Akan tetapi jika ada seseorang datang ke tuannya 
menginformasikan bahwa budaknya ada pada 
seseorang, juallah budak itu ke saya, dan saya akan 
mengambil dari dia, maka statusnya menjadi istihalah 
nisbiyah karena diperkirakan oleh pembeli bahwa 
budak tersebut dapat diserahkan. Dengan demikian 
akadnya sah tetapi mauquf pada serah terima. Kalau 
menurut teori ini akad murabahah di BMT Safinah 
Klaten masuk Teori yang kedua. 
Yang  dimaksud  obyek  akad  itu  tertentu  atau  dapat 
ditentukan yakni obyek akad harus dapat ditentukan 
dan diketahui oleh kedua belah pihak yang berakad. 
Barang tersebut harus jelas bentuk fungsi dan 
keadaannya, ketidak jelasan obyek akad mudah 
menimbulkan sengketa di kemudian hari. Jika suatu 
barang tidak diketahui maka akad menjadi fasid. 
141
Ada dua hipotesa cara mengetahui barang yakni ; 
suatu barang (obyek akad) berada di tempat 
pelaksanaan akad atau suatu barang tidak berada 
ditempat pelaksanaan akad. 
Menurut  Fuqaha  Hanafiyah  dan  Hanabilah,  jika 
suatu barang berada di tempat akad, maka untuk 
mengetahui barang tersebut dengan menunjukkannya, 
meskipun ditempat tertutup seperti gula dalam karung. 
Kemudian menurut Malik, tidak sah membeli barang 
yang ada ditempat akad kecuali dengan cara 
melihatnya, kecuali ada kesulitan melihat barang 
tersebut, maka dapat dijual berdasarkan kriteria dan 
sifat-sifatnya. 
Sedangkan menurut Syafi’i  dalam keadaaan apapun 
barang yang menjadi obyek akad harus dilihat dengan 
mata telanjang.202
Yang  dimaksud  obyek  itu  dapat  ditransaksikan 
yakni barang yang diperjual belikan harus merupakan 
benda bernilai bagi pihak-pihak yang mengadakan akad 
jual beli. Dan benda yang diperjual belikan itu 
merupakan benda hak milik. 
2)  Dari segi syarat-syarat keabsahan akad 
202  ibid, hal.20 
142
Bahwa  sempurnanya rukun dan syarat terbentuknya akad 
bila terhindar dari lima sifat-sifat  yakni  ;  a)  paksaan,                            
b) penyerahan yang menimbulkan kerugian, c) garar, d) syarat-
syarat fasid, e) riba. 
Telah  disinggung  di  muka  bahwa  obyek  akad  murabahah               
di BMT Safinah Klaten ada unsur garar yang bila dikaitkan 
dengan syarat keabsahan akad ada dua kemungkinan yakni akad 
tersebut menjadi mauquf dan atau fasid. 
3)  Dari segi berlakunya akibat Hukum 
Agar dapat dilaksanakan akibat Hukumnya akad yang sudah 
sah itu harus ada dua syarat yaitu adanya kewenangan atas 
tindakan Hukum yang dilakukan dan adanya kewenangan para 
pihak atas obyek itu. 
Dua  syarat  kewenangan  tersebut  kaitannya  dengan 
pelaksanaan akad murabahah di BMT Safinah Klaten telah 
terpenuhi. 
4)  Segi syarat mengikatnya akad. 
Bahwa akad murabahah di BMT Safinah Klaten telah bebas 
dari hak-hak khiyar. 
143
Dari  pembahasan  tersebut di atas bahwa penyelenggaraan 
akad murabahah di BMT Safinah Klaten dapat dipahami yakni 
dalam penyelenggaraan akad tersebut mengandung unsur garar 
dengan hukumnya ; 
a)  Bila dilihat dari sistem al-istihalah al nisbiyah, akad 
murabahah di BMT Safinah termasuk akad mauquf. 
b)  Bila menurut Malik saat berlangsungnya akad harus melihat 
barangnya, bila barangnya tidak terlihat menjadikan akad 
tidak sah. Demikian juga pendapat Syafi’i. 
c)  Menurut Mazhab Hanafi bahwa Akad Batil sama sekali tidak 
ada wujudnya, sedang akad fasid telah terbentuk akadnya. 
Dengan demikian akad murabahah di BMT Safinah Klaten 
termasuk akad fasid, karena sudah terbentuk akadnya. 
2.  Analisis Akad Ijarah di BMT Safinah Klaten 
Dalam analisis akad ijarah  ini dibatasi pada pembentukan akad ijarah 
di BMT Safinah Klaten. 
a.  Akad ijarah di BMT Safinah Klaten menurut perspektif Hukum 
kontrak. 
1)  Ditinjau dari syarat-syaratnya kontrak 
Unsur perjanjian sewa menyewa dasarnya adalah pasal 1320 
KUH Perdata. 
144
a)  Dalam hal kata sepakat, bahwa akad ijarah (sewa menyewa) 
di BMT Safinah Klaten telah terpenuhi, dengan diwujudkan 
kedua belah pihak menandatangani surat perjanjian, berarti 
kedua belah pihak telah consensus. Menurut asas 
konsensualisme dengan kata sepakat tersebut telah lahir 
perjanjian. 
b)  Dalam hal cakap untuk membuat suatu perjanjian, pihak-
pihak yang melaksanakan akad ijarah di BMT Safinah 
Klaten telah memenuhi umur dewasa, telah cakap bertindak 
Hukum. 
c)  Mengenai suatu hal tertentu adalah obyek sewa-menyewa 
sebagaimana dirumuskan dalam pasal 1548 KUH Perdata 
yakni adanya kenikmatan suatu barang yaitu adanya manfaat 
barang yang disewakan. Dalam waktu tertentu sesuai dengan 
ketentuan yang disepakati. Dan dengan jumlah sewa yang 
tertentu. 
Akad ijarah BMT Safinah Klaten telah memenuhi 
ketentuan pasal 1548 KUH Perdata tersebut, yakni barang 
yang disewakan telah ada misal sewa rumah kontrakan, 
kemudian harga sewanya juga telah dicantumkan dengan 
jelas. 
d)  Suatu sebab yang halal 
145
Akad ijarah di BMT Safinah Klaten dibuat (isinya) tidak 
bertentangan dengan undang-undang. 
2)  Menurut momentum terjadinya kontrak.  Bahwa  telah                          
diterangkan di muka, yang mana akad ijarah telah memenuhi asas 
konsensualisme. Akad  ijarah tersebut telah terjadi pada saat 
pihak I dan pihak II menandatangani akad. 
3)  Dilihat dari bentuk kontrak 
Bentuk  akad  ijarah  BMT  Safinah  Klaten  adalah  merupakan 
perjanjian dibawah tangan yang ditanda tangani kedua belah 
pihak, tetapi tidak dibuat di hadapan dan di muka pejabatan yang 
berwenang untuk itu, jadi hanya mengikat kedua belah pihak 
yang berakad itu saja tidak mempunyai kekuatan mengikat pihak 
ketiga. 
4)  Dilihat dari tehnik penyusunan kontrak. 
a.  Dalam tiap-tiap perancangan kontrak ada tiga tahap yakni ; 
(1)  Tahap pra perancangan kontrak ; meliputi, identifikasi 
para pihak, penelitian awal, nota kesepahaman dan 
negosiasi. 
Dalam kaitan dengan akad ijarah BMT Safinah 
Klaten, bahwa BMT telah melaksanakan tahap pra 
perancangan kontrak tersebut kecuali nota 
kesepahaman. 
(2)  Tahap perancangan kontrak 
146
BMT Safinah Klaten dalam pembuatan akad ijarah, 
dalam hal pembuatan draf kontrak telah di blangkokan 
secara tetap, maka tidak ada istilah saling menukar draf, 
revisi dan penyelesaian akhir naskah kontrak. 
(3)  Tahap pasca perancangan kontrak 
Yang  telah  diperhatikan  BMT  Safinah  Klaten 
setelah akad ijarah dibuat adalah alternatif penyelesaian 
sengketa dimana disebutkan dalam struktur akad ijarah 
yang maksudnya bila terjadi hal-hal yang tidak 
diinginkan maka kedua belah setuju menyelesaikan 
melalui peraturan / prosedur yang ada di BMT Safinah 
Klaten. 
b.  Dalam struktur dan Anatomi Kontrak 
Akad ijarah di BMT Safinah Klaten bila dilihat dari segi 
struktur dan anatomi kontrak adalah sebagai berikut 
diantaranya yang perlu dikemukakan yakni ; 
(1)  Yang berkaitan resital (konsiderans atau  pertimbangan) 
tidak dicantumkan, misalnya latar belakangnya, sebab-
sebabnya dan lain-lain. 
(2)  Yang berkaitan dengan definisi, tidak dicantumkan 
padahal dalam akad ijarah BMT Safinah Klaten 
tersebut banyak istilah yang perlu dirumuskan yakni ; 
memuat titipan uang dari pihak II untuk membayarkan 
147
ke obyek sewa, memuat tentang perwakilan dari pihak I 
kepada pihak II untuk membayarkan uang sewa kepada 
pemilik obyek sewa dan tentang sewa menyewa pihak I 
kepada pihak II itu sendiri. 
(3)  Yang berkaitan dengan hak dan kewajiban (substansi 
kontrak) 
Pada akad ijarah BMT Safinah Klaten bahwa isi 
perjanjian ijarah (sewa menyewa) telah terpenuhi yang 
pokok adalah barang yang disewa telah ada misalnya 
mengontrak rumah, kemudian harga sewa telah 
dicantumkan dengan jelas dalam kontrak untuk waktu 
yang ditentukan. 
Dari pembahasan tersebut di atas maka dapat dipahami 
bahwa sah dan tidaknya akad ijarah di BMT Safinah Klaten 
menurut Hukum kontrak adalah tidak terlepas dari unsur 
esensialia, yang dimaksud adalah sesuatu yang harus ada 
yang merupakan hal pokok sebagai syarat yang tidak boleh 
diabaikan dan harus dicantumkan dalam perjanjian. Tanpa 
hal pokok tersebut perjanjian atau kontrak tidak sah. 
Adapun yang menjadi hal pokok dalam perjanjian sewa 
menyewa adalah kesepakatan tentang barang dan sewanya. 
Pada akad ijarah  di BMT Safinah Klaten yang berkaitan 
dengan hal pokok perjanjian sewa menyewa yakni tentang 
148
barang dan sewanya telah dicantumkan dengan jelas pada 
akad ijarah (perjanjian sewa menyewa) sebagaimana telah 
diuraikan di atas. 
Dengan demikian akad ijarah BMT Safinah Klaten 
dibolehkan menurut Hukum kontrak. 
b.  Akad Ijarah di BMT Safinah Klaten Menurut Fiqih 
Dalam analisis ini dibatasi pada pembentukan akad ijarah di BMT 
Safinah Klaten adalah sebagai berikut : 
1)  Dilihat dari rukun dan syarat pembentukan akad ijarah 
Telah  diuraikan  dimuka  rukun dan syarat ijarah di BMT 
Safinah Klaten telah terpenuhi yakni adanya pihak yang 
menyewakan (pihak I) dan pihak penyewa (pihak II) kedua-
duanya telaah cakap Hukum. 
Dari segi ijab dan qobul kedua belah pihak telah sepakat 
artinya telah ada persesuaian antara ijab dan qobul dan dilakukan 
dalam satu majelis. 
Dari segi obyek, obyek yang disewakan adalah manfaat 
langsung dari benda, di BMT Safinah Klaten misalnya sewa 
menyewa rumah, ini dapat diketahui secara jelas, dapat diserah 
terimakan dan dimanfaatkan, manfaatnya tidak bertentangan 
dengan syara’. 
2)  Dilihat dari syarat-syarat keabsahan akad. 
149
Syarat-syarat keabsahan akad yakni : a) terhindar dari 
paksaan, b) terhindar dari penyerahan yang menimbulkan 
kerugian, c) terhindar dari garar, d) terhindar fasid, e) terhindar 
riba’. 
Akad ijarah di BMT Safinah Klaten sudah jelas tidak ada 
unsur paksaan, dalam penyerahan tidak menimbulkan kerugian 
dan tidak ada unsur riba. Adapun tentang garar dan fasid perlu 
pembahasan lebih lanjut. 
Dalam  dokumen  akad  ijarah di BMT Safinah Klaten pada 
struktur dan anatominya, bila diperhatikan dalam satu akad ijarah 
(satu transaksi) berisi tiga akad yakni ; 
a)  Akad penitipan uang (wadiah yad amanah) yang disebutkan 
pada pasal 2, yakni pihak I menyerahkan  uang  sebesar                     
Rp. .......... kepada pihak II. 
b)  Akad wakalah (perwakilan) yang disebutkan dalam pasal 3 
yakni pihak II mewakili pihak I melakukan urusan pada  
pasal 2. 
c)  Kemudian akad ijarah, disebutkan pada pasal 4 yakni barang 
/ jasa pada pasal 2 tersebut, disewa oleh pihak II dari pihak I. 
Dilihat dari tata urutan, bahwa akad penitipan uang dan akad 
wakalah dibuat terlebih dahulu sebelum akad ijaroh. 
Ketika pihak II sebagai wakil pihak I akan membayarkan 
uang sewa kepada pemilik obyek sewa diperlukan waktu, 
150
maka dalam akad wakalah dan akad penitipan uang dibatasi 
waktu, agar dalam waktu tertentu tersebut pihak II telah 
selesai melaksanakan urusan tersebut. 
Setelah pihak II membayarkan uang sewa tersebut dan 
barulah  obyek  sewa  berpindah  penguasaannya  kepada              
pihak I dan baru kemudian dapat dibuat akad ijarah karena 
obyek sewa sudah menjadi kewenangan pihak I. 
Dengan demikian, melihat proses sewa tersebut di atas 
yakni dari penguasaan obyek sewa oleh pemilik asli barang 
hingga berpindah penguasaannya kepada pihak I diperlukan 
waktu tertentu. 
Oleh  karena  itu  bila  dilihat  kembali  proses  akad  ijarah           
di BMT Safinah Klaten yakni, akad penitipan uang, akad 
wakalah, dan akad ijarah dibuat dalam waktu, hari dan 
tanggal yang sama adalah merupakan suatu kejanggalan. 
Adapun kejanggalan tersebut yakni saat akad ijarah 
dibuat, pihak II sebagai wakil dari pihak I belum 
melaksanakan pembayaran kepada pemilik obyek sewa, 
dengan demikian obyek sewa belum berpindah 
penguasaannya pada pihak I. Dalam arti pada saat akad 
ijarah dibuat oleh kedua belah pihak obyek sewa belum pasti 
atau belum jelas. 
151
Di samping masalah tersebut diatas tentang konsep satu 
akad ijarah (transaksi) berisi tiga akad tersebut, juga 
menimbulkan ketidak jelasan, mana yang seharusnya 
digunakan (berlaku) apakah akad wakalah atau akad ijarah. 
Menurut Adiwarman A. Karim suatu transaksi dapat 
dikatakan tidak sah, bila terjadi salah satu atau lebih ada 
faktor-faktor di bawah ini ; 
a)  Rukun dan syarat tidak terpenuhi. 
b)  Terjadi Ta’allug yakni bila dihadapkan pada dua akad 
yang saling dikaitkan, maka berlakunya akad yang satu 
tergantung pada akad yang kedua. 
c)  Terjadi “Two in One” yakni dua akad dalam satu 
transaksi.203 
Selanjutnya Two in One terjadi bila semua dari ketiga 
faktor di bawah ini terpenuhi sekaligus yakni ; 
a)  Obyek sama 
b)  Pelaku sama 
c)  Jangka waktu sama 
Bila satu saja dari faktor di atas tidak terpenuhi, maka two in 
one tidak terjadi, dengan demikian akad menjadi sah. 
Bila akad ijarah di BMT Safinah Klaten diukur dengan ketiga 
faktor two in one (dua akad dalam satu transaksi) tersebut di atas 
203  Adiwarman A. Karim, Bank Islam, hal.48 
152
dapat diketahui bahwa pelaksanaan akad ijarah tersebut ada unsur 
garar. Dan jika ada unsur garar maka unsur garar itu sendiri 
masuk syarat fasid. 
3)  Dilihat dari Syarat Berlakunya Akibat Hukum 
Bila dikaitkan dengan syarat adanya kewenangan para pihak 
atas obyek akad, pelaksanaan akad ijarah BMT Safinah Klaten 
ada ketidak jelasan obyek sama yakni, pada saat dibuat akad sewa 
dan saat itu juga dibuat akad wakalah, jadi belum dilaksanakan 
pembayaran kepada pemilik obyek sewa, tetapi obyek sewa 
tersebut sudah dapat dipastikan berdasarkan negosiasi 
sebelumnya. Dengan demikian akad ijarah tersebut termasuk 
akad mauquf. 
4)  Dilihat Syarat Mengikatnya Akad 
Pelaksanaan  akad  ijarah  di BMT Safinah Klaten selama ini 
belum ada yang terkait dengan hak-hak khiyar. 
Berdasarkan pembahasan tersebut di atas akad ijarah di BMT 
Safinah Klaten bila dilihat dari proses pembentukan akad, pada 
dasarnya telah terpenuhi rukun dan syarat-syaratnya, hanya pada 
teknik pembuatan akad ijarah tersebut terdapat kecacatan yakni tiga 
akad dibuat dalam satu transaksi yang mengakibatkan garar, yakni 
ketidak jelasan akad mana yang digunakan. Dan hukumnya menjadi 
fasid bila dilihat dari syarat-syarat keabsahan akad. 
153
Disamping hal tersebut di atas timbulnya garar karena akibat dari 
obyek sewa saat terjadinya akad belum dibayar oleh pihak II sebagai 
wakil dari pihak I, maka akibat hukumnya belum ada kewenangan 
atas obyek akad tersebut dan belum dapat dilaksanakan karena 
menunggu pelaksanaan pembayaran, maka akad tersebut termasuk 
akad mauquf (akadanya sah tetapi masih menggantung). 
B.  Analisis Potensi Konflik Pada Akad-Akad Di BMT Safinah Klaten Dan 
Penyelesaiannya 
Pada pembahasan ini meliputi tiga hal yakni potensi konflik pada akad 
murabahah dan akad ijarah, akad pemsanan barang, dan penyelesaian konflik. 
1.  Potensi konflik pada akad murabahah dan akad ijarah 
Telah dijelaskan pada bab terdahulu bahwa produk-produk yang macet 
di BMT Safinah Klaten sebesar 0,6 %, untuk pembiayaan akad 
murabahah sebanyak 25 orang nasabah untuk  akad  ijarah  sebanyak                     
6 orang nasabah. 
Adapun  sebab-sebab  pembayaran atau pengangsuran dari nasabah 
macet yakni karena kena tipu, usahanya bangkrut dan karena itikad 
nasabah yang tidak baik. 
Dari sebab-sebab tersebut mengakibatkan nasabah tersebut tidak dapat 
memenuhi peraturan-peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam akad 
murabahah dan akad ijarah. 
154
Dalam pasal IV pada akad murabahah di BMT Safinah Klaten 
disebutkan, apabila terjadi hal-hal sebagaimana tersebut di atas maka 
disebut peristiwa cidera janji atau wanprestasi. 
Dengan  demikian  potensi  konflik pada akad murbahah dan akad ijarah 
di BMT Safinah Klaten adalah berupa cidera janji atau wanprestasi. 
a  Wanprestasi Menurut Hukum Kontrak 
Wanprestasi  bila  debitur  tidak melakukan apa yang dijanjikan 
karena alpa atau lalai atau ingkar janji. 
Wanprestasi tersebut dapat berupa  : 
1)   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya ; 
2)  Melakukan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana 
dijanjikan ; 
3)  Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat ; 
4)  Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh 
dilakukannya, 
Akibat wanprestasi debitur diharuskan membayar ganti rugi sesuai 
pasal 1365 KUH Perdata, bahwa setiap perbuatan melanggar hukum 
yang membawa kerugian terhadap orang lain, mewajibkan orang kena 
kesalahannya menimbulkan kerugian itu mengganti kerugian 
tersebut.204  
Wanprestasi  yang  dilakukan  oleh nasabah BMT Safinah Klaten 
yakni karena tertipu, karena usahanya bangkrut hal ini termasuk 
204  Subekti, Hukum Perjanjian, hal.45 
155
perbuatan lalai, sedangkan karena itikad tidak baik termasuk 
perbuatan ingkar janji, maka mereka bisa dikenakan ganti rugi. 
Adanya kemacetan dana dari debitur atau nasabah dari BMT 
Safinah Klaten tersebut sebesar 0,6 % kelihatannya masih kecil, 
namun bila dilihat akibatnya yang mana BMT safinah Klaten 
menutup biaya tersebut memerlukan dana sebesar Rp. 123 juta lebih 
yang diambilkan dari dana cadangan beresiko adalah merupakan dana 
yang tidak sedikit, seandainya debitur yang wanprestasi meningkat 
lagi tentu akan menghabiskan dana cadangan beresiko yang lebih 
besar lagi bahkan bisa juga dana cadangan akan habis. Bila hal ini 
terjadi akan menambah kesulitan bagi BMT Safinah Klaten. 
Dengan demikian adanya wanprestasi tersebut merupakan potensi 
konflik yang tidak bisa dihindari di BMT Safinah Klaten. 
Oleh karena itu terdapat perintah undang-undang agar perjanjian-
perjanjian dilaksanakan dengan itikad baik, seperti yang dinyatakan 
dalam pasal 1338 ayat (3) KUH Perdata. 
Namun bila berbuat sebaliknya melanggar hukum yang 
mengakibatkan kerugian bagi pihak lain, maka baginya yang 
wanprestasi tersebut dikenai ganti rugi seperti yang dimaksud dalam 
pasal 1365 KUH Perdata tersebut di atas. 
b.  Wanprestasi Menurut Fiqih 
Telah diterangkan di muka bahwa wanprestasi merupakan potensi 
konflik di BMT Safinah Klaten. 
156
Wanprestasi merupakan perbuatan yang merugikan, yang sangat 
potensial di BMT dan dapat diperkirakan, di BMT Safinah Klaten 
telah menyisihkan dana cadangan beresiko yang disediakan untuk 
menangani perbuatan wanprestasi tersebut. Sebab kejadian 
wanprestasi berdampak negatif terhadap pendapatan dan permodalan 
BMT yang tidak dapat dihindari. 
Untuk penggantian dampak negatif atau kerugian tersebut dapat 
dikenakan dengan ganti rugi sebagaimana fatwa Dewan Syari’ah 
Nasional No. 43/DSN-MUI/VIII/2004 tentang Ganti rugi. Dalam 
ketentuan umum yakni : 
1)  Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan atas pihak yang 
dengan sengaja atau karena kelalaian melakukan sesuatu yang 
menyimpang dari ketentuan akad dan menimbulkan kerugian 
pada pihak lain. 
2)  Kerugian yang dapat dikenakan ta’widh sebagaimana dimaksud 
dalam ayat 1 adalah kerugian riil yang dapat diperhitungkan 
dengan jelas. 
3)  Kerugian riil sebagaimana yang dimaksud ayat 2 adalah biaya-
biaya riil yang dikeluarkan dalam rangka penagihan hak yang 
seharusnya dibayarkan. 
4)  Besarnya ganti rugi (ta’widh) adalah sesuai dengan nilai kerugian 
riil  (real loss) yang pasti dialami (fixed cost) dalam transaksi 
157
tersebut dan bukan kerugian yang diperkirakan akan terjadi 
(potential loss) karena adanya peluang yang hilang. 
5)  Ganti rugi (ta’widh) hanya boleh dikenakan pada transaksi (akad) 
yang menimbulkan utang piutang (dain), seperti salam, istishna, 
serta murabahah dan ijarah. 
6)  Dalam akad murabahah dan musyarakah, ganti rugi hanya boleh 
dikenakan oleh shahibul mal atau salah satu pihak dalam 
musyarakah apabila bagian keuntungannya sudah jelas tetapi 
tidak dibayarkan.205 
Berdasarkan fatwa tersebut di atas ganti rugi diperbolehkan hanya 
untuk kerugian riil yang dapat diperhitungkan dengan jelas. Tidak 
diperbolehkan kerugian yang diperkirakan akan terjadi. 
Dalam fiqih disebutkan bahwa ganti rugi (al-daman) mengandung 
unsur-unsur seperti kesalahan (al-khata’), kerugian (al-dharar) dan 
hubungan kausalitas (‘alaqah salabiyah).206
Maka yang menjadi sebab-sebab timbulnya al-daman (ganti rugi) 
adalah karena adanya pelanggaran dengan melakukan perbuatan yang 
dilarang oleh syari’ah atau tidak melakukan perbuatan wajib. 
Pelanggaran  yang  mengharuskan  ganti  rugi  (al-daman)  mesti                 
di ikuti oleh kerugian. Apabila terjadi pelanggaran namun tidak 
mengakibatkan kerugian, maka al daman dengan sendirinya tidak 
berlaku. 
205  Kerjasama Dewan Syari’ah Nasional MUI-Bank Indonesia, Himpunan Fatwa, hal.307 
206  Asmuni,”Teori Penyelesaian Sengketa Di Lembaga Keuangan Syari’ah Perspektif Hukum 
Islam”, Yog yakarta : tnp, tt), hal.6 
158
Syarat lain bagi al-daman atau ganti rugi adalah adanya hubungan 
kausalitas antara pelanggaran dengan kerugian, maksudnya 
menyandarkan kerugian kepada perbuatan pelanggar. 
Dari hal-hal tersebut di atas dapat difahami adanya ganti rugi 
karena adanya pelanggaran akad yang menimbulkan kerugian. 
Dengan demikian pelanggaran akad yang menimbulkan kerugian 
merupakan potensi konflik, sebagaimana adanya cidera janji atau 
wanprestasi terhadap akad murabahah dan akad ijarah di BMT 
Safinah Klaten. 
2.  Potensi Konflik Akad Pemesanan Barang  
Pada akad Pemesanan barang di BMT Safinah Klaten belum 
dicantumkan umur para pihak dan belum dicantumkan para pihak. 
Keharusan dicantumkan umur adalah untuk mengetahui para pihak 
telah dewasa atau belum, bila ternyata pihak pemesan barang belum 
dewasa, berakibat tidak syah. Begitu juga bila para pihak tidak 
dicantumkan berakibat akad pemesanan barang tidak syah, karena suatu 
akad atau kontrak disyaratkan berbilang pihak. 
Bila karena hal tersebut menyebabkan akad pemesanan barang tidak 
syah, maka akan menimbulkan konflik. 
3.  Penyelesaian Konflik 
Penyelesaian sengketa (konflik) pada umumnya mengacu pada 
klausula yang tercantum pada perjanjian atau menyertai perjanjian 
pokoknya. Biasanya dalam perjanjian tertulis, penyelesaian perselisihan, 
159
misalnya melalui Badan Arbritrase Muamalat Indonesia. Menurut pasal 
11 ayat (1) Undang-undang No. 30 tahun 1999 tentang Arbitrase dan 
alternatif penyelesaian sengketa yakni adanya suatu perjanjian arbritrase 
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian 
sengketa ke Pengadilan Negeri.207
Penunjukan Badan Arbritrase tersebut maksudnya para pihak yang 
membuat perjanjian tersebut sudah sepakat penyelesaian sengketanya 
dengan Badan Arbritrase bukan yang lainnya. 
Penyelesaian konflik dan sengketa di BMT Safinah Klaten dapat 
dilihat pada klausula akad-akadnya. 
a.  Pada akad murabahah di BMT Safinah Klaten  
Dalam kaitannya penyelesaian sengketa yang mana klausulanya 
disebutkan pada pasal Domisili Hukum yakni ”Tentang akad ini dan 
segala akibatnya, para pihak memilih domisili hukum yang tetap dan 
umum di Kantor Kepaniteraan Pengadilan Negeri Klaten”. 
Mengenai pasal Domisili Hukum yang berbunyi, ”Tentang akad 
ini dan segala akibatnya……….”, hal ini masih memerlukan 
penafsiran lebih lanjut, apakah segala akibatnya itu termasuk 
penyelesaian sengketanya ? Bila dihubungkan dengan domisili 
Hukum maka dapat dimaksudkan termasuk penyelesaian sengketanya 
menunjuk Pengadilan Negeri. 
207  Munir Fuady,  Arbritrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, cet I (Bandung;                  
PT Citra Aditya Bakti, 2000 ), hal. 213 
160
Adapun masalah cidera janji atau wanprestasi terhadap akad 
murabahah di BMT Safinah Klaten, pihak BMT dalam 
menyelesaikannya ternyata tidak mengacu pada klausula  tersebut               
di atas, namun diselesaikan dengan cara pendekatan kepada nasabah 
yang wanprestasi tersebut dengan tidak dibatasi waktu sampai dia 
mampu melunasinya. 
Bila merujuk pada Fatwa Dewan Syari’ah Nasional (DSN), yang 
mana setiap fatwa-fatwanya selalu mencatumkan, bila salah satu 
pihak tidak menunaikan kewajibannya atau jika terjadi perselisihan 
diantara pihak, maka penyelesaiannya dilakukan melalui Badan 
Arbritrase Syari’ah setelah tidak tercapai kesepakatan melalui 
musyawarah. 
BMT Safinah Klaten di dalam penghimpunan dan pembiayaan 
akadnya adalah berdasarkan fatwa-fatwa DSN, seperti akad 
murabahah dan akad ijarah seharusnya klausula penyelesaian 
sengketanya juga dicantumkan melalui Badan Arbritrase Syari’ah, 
dalam arti penyelesaiannya berdasar prinsip syariah. 
Dalam pasal 60 Undang-Undang Nomor 30 tahun 1999 tentang 
Arbritrase dan alternatif penyelesaian sengketanya disebutkan, 
putusan arbritrase bersifat final dan mempunyai kekuatan hukum 
tetap dan mengikat para pihak.208  
208  Munir Fuady, Arbritrase Nasional, hal. 227 
161
Namun apabila para pihak tidak melaksanakan putusan arbritrase 
secara sukarela, maka salah satu pihak yang lain dapat memohonkan 
eksekusi kepada Pengadilan Negeri. 
b.  Pada akad ijarah di BMT Safinah Klaten 
Penyelesaian sengketa pada akad ijarah di BMT Safinah Klaten 
dapat dilihat dalam klausulanya, yang bunyinya adalah sebagai 
berikut ; Dalam pelaksanaan pembiayaan ini tidak diharapkan 
terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, dikarenakan dasar transaksi 
ini semata-mata karena Allah SWT, namun apabila terjadi sebaliknya 
maka kedua belah pihak setuju menyelesaikan melalui peraturan atau 
prosedur yang ada di BMT Safinah dan putusan akhir yang mengikat. 
Dari klausula tersebut di atas, maka penyelesaian bagi nasabah 
yang cidera janji diselesaikan dengan peraturan dan tata cara yang ada 
di BMT sebagaimana diterangkan di muka. Dan penyelesaian yang 
dilakukan BMT tersebut tidak mempunyai kekuatan hukum yang 
pasti dalam arti tidak dapat dieksekusi. 
Dalam pembuatan akad ijarah di BMT Safinah Klaten tidak 
mencantumkan klausula penyelesaian sengketa atau konflik merujuk 
Badan Arbritrase Syari’ah sebagaimana difatwakan oleh Dewan 
Syari’ah nasional. 
162
BAB     VI 
PENUTUP 
A.  Kesimpulan 
Berdasarkan pembahasan yang diuraikan pada bab-bab di  atas  dapat                     
disimpulkan sebagai berikut : 
163
1.  Pelaksanaan akad murabahah dan akad ijarah di BMT Safinah Klaten 
sudah sesuai dengan hukum kontrak sebagaimana tersebut dalam pasal 
1320 Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 
2.  Pelaksanaan akad murabahah dan akad ijarah di BMT Safinah Klaten 
belum sesuai dengan fiqih, masih mengandung garar. 
3.  Dalam akad murabahah dan akad ijarah di BMT Safinah Klaten ada 
potensi konflik diantaranya :  
-    Adanya nasabah yang cidera janji atau wanprestasi,  
-  Dalam akad pemesanan barang belum dicantumkan tentang umur dan 
pihak-pihak. 
4.  Penyelesaian konflik di BMT Safinah Klaten belum ditempuh menurut 
jalur hukum yang diatur Undang-undang maupun petunjuk Dewan 
Syari’ah Nasional, sehingga hasil penyelesaian konflik oleh BMT tersebut 
tidak mempunyai kekuatan hukum yang pasti artinya tidak dapat 
dieksekusi. 
B.  Saran-saran 
Kepada para peneliti, untuk dilanjutkan penelitian ini tentang akad-akad 
penghimpunan dana dan pembiayaan di BMT-BMT terutama aspek 
pendanaan yang berasal dari bank. Aspek pembiayaan murabahah yang 
berkaitan dengan kehendak nasabah yang menghendaki pinjam dana (hutang) 
dan lain-lain. 
164
Hendaknya pendekatan yang digunakan penelitian di BMT lebih dari satu, 
agar dapat memperoleh hasil yang komprehensif. 
Pada saat pembuatan akad murabahah di samping Nota Pembelian barang, 
hendaknya juga memperlihatkan sebagian jenis-jenis pembelian barangnya. 
Sebaiknya akad penitipan uang ijarah (sewa) dan akad wakalah dibuat 
tersendiri sebelum dibuat akad ijarah, setelah dilaksanakan baru dibuat akad 
ijarah. 
Untuk penyelesaian konflik (sengketa) agar dalam pembuatan akad-akad 
di BMT dicantumkan klausula penyelesaiannya sesuai dengan fatwa Dewan 
Syariah Nasional, sehingga hasil dari penyelesaian itu dapat mempunyai 
kepastian hukum. 
DAFTAR PUSTAKA 
As-Siddieqy, T.M. Hasbi.1984. Pengantar Fiqh Mu’amalah, Cetakan Kedua. 
Jakarta : PT. Bulan Bintang. 
Abubakar, Bahrun dkk. 1993. Terjemahan Tafsir Al Maraghi, Cetakan Kedua. 
Semarang ; PT. Karya Toha Putra. 
165
Antonio, Muhammad Syafi’i. 1999. Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum. 
Cetakan Pertama. Jakarta : Tazkia Institute. 
----------------. 2001. Bank Syari’ah Dari Teori  Ke Praktek. Cetakan Pertama. 
Jakarta : Gema Insani Press. 
Al-Mushlih, Abdullah dan Sholeh Ash-Shawi. 2004. Fiqh Ekonomi Keuangan 
Islam. Penerjemah Abu Umar Basyir. Kata Pengantar Adiwarman 
A. Karim. Cetakan Pertama. Jakarta : Darul Haq. 
‘Aid, Abd Ar-Rahman Bin. 2004.’Aqad Al Muqawalah. Cetakan pertama, Riyad :  
Maktabah Al-Mulk. 
AK-Syahmin.2006.  Hukum Kontrak Internasional. Jakarta : PT Raja Grafindo 
Persada. 
Anwar, Syamsul.2006.”Hukum Perjanjian Syari’ah’.. Yogyakarta : Tanpa Nama 
Penerbit. 
Asmuni. 2007.”Akad Dalam Perspektif Hukum Islam (Sebuah Catatan 
Pengantar)”. Makalah Pelatihan. 
----------------- . Tanpa Tahun.”Teori Penyelesaian Sengketa Di Lembaga 
Keuangan Syari’ah Perspektif Hukum Islam”. Yogyakarta : 
Tanpa Nama Penerbit. 
Basyir, Ahmad Azhar. 2000. Asas-asas Hukum Muamalat. Yogyakarta  :                     
UII Press.       
Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an Dan Terjemahan.  Semarang  :                     
CV. Toha Putra Semarang. 
Djazuli, A.2006. Kaidah-kaidah Fikih. Cetakan Pertama. Jakarta : Kencana 
Danupranata, Gita. 2006. Ekonomi Islam. Yogyakarta : UPFE-UMY 
Dewi, Gemala dkk.2006. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Cetakan Kedua. 
Jakarta : Kencana. 
Dahlan, Abdul Azis (ed). Ensiklopedi Hukum Islam.1996. Cetakan Pertama. 
Jakarta : Ichtiar Baru Van Hoeve. 
166
Fuady, Munir.2000. Arbritrase Nasional Alternatif Penyelesaian Sengketa 
Bisnis. Cetakan Pertama. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 
Harahap, M.Yahya.1986. Segi-segi Hukum Perjanjian. Bandung : PT Citra 
Aditya Bakti. 
H.S. Salim. 2006. Hukum Kontrak Teori dan Teknik Penyusunan Kontrak. 
Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika. 
------------------ dkk. 2007. Perancangan Kontrak dan Memorandum of 
Understanding. Cetakan Pertama. Jakarta : Sinar Grafika. 
Haroen, Nasrun. 2007. Fiqh Muamalah. Cetakan Kedua. Jakarta : Gaya Media 
Pratama. 
Ilmi, Makhalul. 2002. Teori dan Praktek Lembaga Mikro Keuangan Syariah. 
Cetakan Pertama. Yogyakarta : UII Press. 
Ibrahim, Johnny. 2006. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. 
Malang : Bayu Media Publishing. 
Kasmir. 2005. Bank dan Lembaga Keuangan Lainnya. Jakarta : PT. Raja 
Grafindo. 
Kerjasama dewan Syariah Nasional MUI – Bank Indonesia. 2006. Himpunan 
Fatwa Dewan Syariah Nasional. Cipasung Ciputat : CV. Gaung 
Persada. 
Karim, Adiwarman A. 2006. Bank Islam Analisis Fiqh dan Keuangan. Jakarta : 
PT.Raja Grafindo Persada. 
Kholis, Nur. 2006. “Modul Transaksi Dalam Ekonomi Islam”. Yogyakarta : 
Tanpa Nama Penerbit. 
Mertokusumo, Sudikno. 1988. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta : 
Liberty. 
Manan, Abdul. 2000. Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan 
Peradilan Agama. Jakarta : Yayasan Al-Hikmah. 
-------------------- . 2006. “Hukum Kontrak Dalam Sistem Ekonomi Syari’ah”. 
Dalam Varia Peradilan. No. 247. Th. Ke. XXI. 
167
Muhammad. 2000. Lembaga-lembaga Keuangan Umat Kontemporer. 
Yogyakarta : UII Press. 
Mu’allim, Amir dan Yusdani. 2001. Konfigurasi Pemikiran Hukum Islam. 
Yogyakarta : UII Press. 
Majelis Ekonomi Pimpinan Pusat Muhamamdiyah Pusat Pembangunan Usaha 
Kecil dan Kewirausahaan Muhammadiyah. 2002. Pedoman Cara 
Pendirian BTM dan BMT di Lingkungan Muhammadiyah. Jakarta 
: Tanpa Nama Penerbit. 
Mas’adi, Ghufron A. 2002. Fiqh Muamalah Kontekstual. Jakarta : PT. Raja 
Grafindo Persada. 
Miru, Ahmadi. 2007. Hukum Kontrak Perancangan Kontrak. Jakarta : PT. Raja 
Grafindo Persada. 
Nuh, Abd. Bin. Dan Oemar Bakry. 1964. Kamus Arab. Indonesia, Inggris. 
Jakarta : Mutiara. 
Nasution. S. 2003. Metode Research (Penelitian Ilmiah). Cetakan Keenam. 
Jakarta : Bumi Kasara. 
N.H., Muhammad Firdaus, dkk. Memahami Akad-akad Syari’ah. Jakarta : 
Renaisan. 
Narbuko, Cholid dan Abu Achmadi. 2005. Metodologi Penelitian.  Jakarta  :                  
PT. BumiAksara. 
Pengadilan Tinggi Agama Surabaya. 1992. Kumpulan Peraturan Undang-
undang Dalam Lingkungan Peradilan Agama. Tanpa Tempat 
Penerbit : Tanpa Nama Penerbit. 
PINBUK. Tanpa Tahun. Peraturan Dasar dan Contoh AD ART BMT. Jakarta : 
wasantara Net. id. 
------------------ . Tanpa Tahun. Pedoman Cara Pembentukan BMT. Jakarta. 
Wasantara Net. id 
Profil BMT Safinah Klaten. 2006. 
------------------ . 2007. Simpanan BMT Safinah Klaten. 
Rahman, Hasanuddin. 2003. Contract Draft ing Seri Ketrampilan Merancang 
Kontrak Bisnis. Bandung : PT Citra Aditya Bakti. 
168
Ridwan, Muhammad.2004. Manajemen Baitul Maal Wa Tamwil (BMT). 
Yogyakarta : UII Press. 
------------------. 2006. Sistem Dan Prosedur Pendirian Baitul Maal wa Tamwil 
(BMT). Yogyakarta : Citra Media. 
Rizky, Awalil. 2007. BMT Fakta dan Prospek Baitul Maal wat Tamwil. 
Yogyakarta : UCY Press. 
Raiwidjaya, I.G. 2007. Merancang Suatu Kontrak (Contract Drafting). Jakarta : 
Ke Saint Blanc. 
Sosroatmodjo, Arso Dan Wasit Aulawi. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia. 
Jakarta : Bulan Bintang. 
Sabiq, Sayyid. 1983. Fiqhus Sunnah. Tanpa Tempat Penerbit : Dar al-Fikr. 
Subekti, R dan R. Tjitro Sudibio. 1985. Kitab Undang-undang Hukum Perdata. 
Jakarta : Pradnya Paramita. 
------------------. 1995. Aneka Perjanjian. Bandung : PT. Citra Aditya Bakti. 
------------------. 1996. Hukum Perjanjian. Yogyakarta :  PT. Inter Masa. 
Sigit, Soehardi. 1999. Pengantar Metodologi Penelitian Sosial. Tanpa Tempat 
Penerbit : Tanpa Nama Penerbit. 
Sholahuddin. M. 2006. Lembaga Ekonomi dan Keuangan Islam. Surakarta : 
Muhamamdiyah University Press. 
Saliman, Abdul Rasyid dkk. 2006. Hukum Bisnis Untuk Perusahaan Teori dan 
Contoh Kasus. Jakarta : Kencana 
Syahrani, Ridwan. 2006. Seluk Beluk dan Asas-asas Hukum Perdata. Bandung : 
PT. Alumni. 
Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum Dan Jurimetri. 
Jakarta : Ghalia Indonesia. 
Syafei, Rachmat. 2006. Fiqih Muamalah. Bandung : Pustaka Setia. 
Taufiq. 2006. “Nadhariyyatu Al-Uqud Al-Syar’iyyah”. Dalam Suara Uldilag III 
(9) : 99. Jakarta. 
Tim Penyusun PAS BMT 002. 2007. Pedoman  Akad  Syari’ah  Pada  BMT                 
(PAS BMT. 002). Tanpa Tempat Penerbit : BMT Center. 
169
Widjaya, Gunawan. 2005. Alternatif Penyelesaian Sengketa. Jakarta : PT. Raja 
Grafindo Persada. 
Zuhaili, Wahbah. Al-Fiqhu Al. Islam wa Adillatuhu. Diterjemahkan oleh Tim 
Counter Part Bank Muamalat. 1999. Fiqh Muamalah Perbankan 
Syari’ah. Jakarta : PT. Bank Muamalah Indonesia. 
WAWANCARA : 
M. Burhan Nasruddin .L Manajer Utama BMT Safinah Klaten 
Danang Pontjo Sudibyo. Manajer Pembiayaan BMT Safinah Klaten. 
Tugiman Hadi Brata. Pengurus BMT Safinah Klaten. 
II
Lampiran 2 
AKAD PEMESANAN BARANG 
No.       /PMN/BMT        /     bln/200…. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa kepada 
Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, Pada 
hari ini : …………., tanggal : ………………….., tempat : …………….. saya  : 
Nama    : ………………………………………….. 
Alamat   : ………………………………………….. 
No. KTP   : ………………………………………….. 
Memohon kepada KJKS BMT ……………………………… yang 
berkedudukan di …………………………………. Untuk mengadakan 
barang / barang-barang dengan ketentuan sebagai berikut : 
1.  Jenis Barang, Spesifikasi, Jumlah dan harga. 
No  Barang  Spesifikasi (*) Jumlah  Harga Satuan  Total 
•  Keterangan / Spesifikasi barang, tersebut dalam lampiran 
2.  Untuk pemenuhan pengadaan barang tersebut, maka saya mengikatkan diri 
pada janji (akad) pemesanan barang kepada KJKS BMT……………..agar 
membelikan untuk saya barang-barang dengan jenis, spesifikasi, jumlah serta 
harga sebagaimana tercantum dalam butir 1.  
III
3.  Saya berjanji bahwa selambat-lambatnya ………. hari setelah barang 
disediakan, saya akan membeli barang pesanan saya tersebut (Wa’ad 
Murobahah). 
4.  Bahwa untuk menjamin kesungguhan dalam per mintaan pemesanan 
barang/wa’ad pemesanan barang, maka saya bersepakat untuk membayar uang 
sejumlah Rp. ……………… (…………………………………………………) 
sebagai uang muka (Urbun) bagi pemesanan barang yang telah saya lakukan 
sebagaimana tertulis dalam perjanjian ini. 
5.  Saya bersepakat bahwa dalam hal berjanjian berlangsung sebagaimana 
ketentuan dan syarat, maka sejumlah uang yang telah saya bayar tersebut 
berlaku sebagai uang muka bagi Perjanjian Jual Beli yang akan dibuat 
dikemudian hari. 
6.  Saya bersepakat bahwa dalam hal dikemudian hari saya membatalkan 
Perjanjian Pemesanan Barang ini secara sepihak, maka saya terikat untuk 
memberikan ganti rugi (Ta’widh) sejumlah ………………………………… 
(……………………………………………………….) yang diambilkan dari 
uang muka yang telah saya berikan tersebut. 
7.  Saya bersepakat bahwa dalam hal terjadi nilai uang muka lebih kecil dari nilai 
ganti rugi, maka saya akan membayar kekurangannya. 
Demikian Surat Perjanjian (akad) Pemesanan Barang ini dibuat dan telah saya 
tandatangani dengan sukarela (ridlo) tanpa paksaan dari pihak manapun. 
………………., …………… 200… 
Pemesan 
( ………………………… ) 
IV
Lampiran 3 
AKAD WAKALAH 
No.           /WKL/BMT          /       bln/200….. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa  
kepada Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………, tanggal : ………………….., 
tempat : ……………………………, oleh pihak sebagai berikut  : 
1.  Nama : …………………………………….., Kepala Divisi Marketing Capem 
……………………………….., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya 
tersebut, berdasarkan Surat Kuasa Manajer KJKS BMT ……………………, 
yang dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama Koperasi Jasa 
Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwill …………………………………., 
yang berkedudukan dan berkantor di …………………………………………, 
untuk selanjutnya disebut Pihak I ……………………………………………. 
2.  Nama : …………………………………………., bertempat tinggal di ………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten  …………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …… 
………………………………………………….. 
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing sebagaimana 
tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian pemberian 
V
kuasa/perwakailan (Wakalah) yang terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat 
sebagai berikut : ……………………….. 
Pasal I 
PEMBERIAN KUASA DAN JANGKA WAKTU KUASA 
Pihak I melimpahkan kekuasaannya kepada Pihak II secara khusus untuk 
melakukan hal-hal sebagaimana berikut : 
1.  Memilihkan untuk Pihak I barang/barang-barang dengan jumlah, spesifikasi 
dan harga yang telah disepakati bersama sebagaimana bunyi surat permohonan 
Pembiayaan Murabahah dan Waad Pemesanan barang nomor ………………., 
yang dibuat oleh Pihak II, yang merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan 
dan tidak terpisahkan dari akad perjanjian ini. 
2.  Membayarkan untuk Pihak I barang-barang yang tertuang pada pasal 1ayat (1) 
perjanjian ini. 
3.  Bertanda tangan untuk dan atas nama Pihak I terhadap barang-barang yang 
telah dibeli dan menjadi konsekwensi dari berpindahnya kepemilikan atas 
barang tersebut. 
4.  Kedua belah pihak telah bersepakat bahwa jangka waktu berlakunya akad 
wakalah ini adalah ketika pihak II telah menyelesaikan semua kewajibannya 
sesuai dengan bunyi ketentuan-ketentuan akad ini, atau selambat-lambatnya 
……………. hari terhitung setelah ditandatangani akad ini atau tanggal ……..  
Pasal II 
PENITIPAN UANG 
Pihak I sepakat bahwa untuk terpenuhinya ketentuan pasal 1, maka pihak I akan 
menitipkan (Wadiah yad amanah) kepada pihak II, uang sejumlah Rp…………… 
(……………………………………………………………). 
VI
Pasal III 
PENITIPAN JAMINAN 
Untuk menjamin kesungguhan dalam menjalankan akad wakalah ini maka pihak 
II menitipkan jaminan berupa ………………………………….. 
Pasal IV 
PERISTIWA CIDERA JANJI 
Apabila terjadi hal-hal dibawah ini, setiap kejadian demikian, masing-masing 
secara tersendiri atau bersama-sama disebut peristiwa cidera janji : 
1.  Kelalaian Pihak II untuk melaksanakan kewajiban menurut perjanjian ini 
untuk memilih dan membayarkan barang sesuai ketentuan. 
2.  Apabila terdapat suatu janji, pernyataan, jaminan, atau kesepakatan menurut 
perjanjian ini atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu surat, 
sertifikat atau bukti-bukti lain yang perlu diadakan menurut Perjanjian ini atau 
sehubungan dengan suatu perjanjian yang disebut dalam Perjanjian ini 
ternyata tidak beres, tidak tepat atau menyesatkan. 
3.  Diputuskan oleh suatu pengadilan atau instansi Pemerintah lainnya bahwa 
suatu perjanjian atau dokumen yang merupakan bukti kepemilikan atas barang 
yang dipilih pihak II adalah tidak sah atau dengan cara yang lain tidak dapat 
diberlakukan. 
4.  Jikalau Pihak II melanggar dan atau tidak dapat memenuhi peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini atau tidak dapat 
memenuhi syarat-syarat perjanjian ini serta perjanjian- perjanjian lainnya yang 
bersangkutan dan atau syarat-syarat serta ketentuan yang ditetaapkan oleh 
KJKS/BMT ………….. baik surat-surat/dokumen-dokumen termasuk jaminan 
yang diberikan. 
5.  Jikalau Pihak II tidak menjalankan wakalah dengan sungguh-sungguh dan atau 
melanggar syar’i dan atau melanggar hukum yang berlaku maka seluruh akad 
akan menjadi jatuh tempo dan seluruh kewajiban-kewajiban dan biaya-biaya 
yang menjadi kewajiban Pihak II harus dibayarkan kepada Pihak I, dan Pihak I 
VII
dapat mengambil tindakan apapun yang perlu yang berhubungan dengan 
perjanjian ini. 
Pasal V 
KEADAAN MEMAKSA (FOR CE MAJEURE) 
1.  Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan salah satu untuk memenuhi 
kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian ini, yang disebabkan oleh 
karena keadaan yang memaksa seperti bencana alam, huru-hara dan sabotase, 
dan tidak dapat dihindari dengan melakukan tindakan  sepatutnya, maka 
kerugian yang diakibatkan tersebut ditanggung secara bersama oleh para 
pihak. 
2.  Dalam hal terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang 
dikategorikan keadaan memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang 
hal tersebut kepada pihak lainnya dengan melampirkan bukti secukupnya dari 
kepolisian atau instansi yang berwenang mengenai kejadian memaksa tersebut 
selambat-lambatnya 14 hari sejak keadaan yang memaksa tersebut. 
3.  Apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana 
ayat 2 belum atau tidak ada tanggapan dari pihak yang menerima 
pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh 
pihak tersebut. 
4.  Apabila keadaan memaksa tersebut mengakibatkan kegagalan dalam 
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini selama 3 bulan, maka 
perjanjian ini dapat diakhiri dengan suatu perjanjian antara para pihak. 
Pasal VI 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah bersepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur 
dalam akad ini, akan diatur dalam addendum-addendum dan atau surat-surat dan 
atau lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak 
terpisahkan dengan perjanjian ini. 
VIII
Pasal VII 
DOMISILI HUKUM 
Tentang akad ini dan segala akibatnya, para pihak memilih domisili hukum yang 
tetap dan umum di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri …….. di 
………………………… 
Pasal VIII 
PASAL TAMBAHAN 
Perjanjian ini ditanda tangani ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), masing-masing 
bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama, ditanda 
tangani kedua belah pihak dengan sukarela (saling ridlo) tanpa  paksaan dari pihak 
manapuin, serta disaksikan oleh : 
1.   …………………………………… 
2.  …………………………………… 
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
Saksi-saksi : 
1.  ……………………………. 
2.  ……………………………. 
IX
Lampiran 4 
AKAD WAAD WAKALAH 
No.           /WKL/BMT          /       bln/200….. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa kepada 
Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………, tanggal : ………………….., 
tempat : ……………………………, oleh pihak sebagai berikut  : 
1.  Nama : …………………………………….., Kepala Divisi Marketing Capem 
……………………………….., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya 
tersebut, berdasarkan Surat Kuasa Manajer KJKS BMT ……………………, 
yang dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama Koperasi Jasa 
Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwill …………………………………., 
yang berkedudukan dan berkantor di …………………………………………, 
untuk selanjutnya disebut Pihak I ……………………………………………. 
2.  Nama : …………………………………………., bertempat tinggal di ………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten  …………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …… 
………………………………………………….. 
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing 
sebagaimana tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian pemberian 
kuasa/perwakilan (Wakalah) yang terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat 
sebagai berikut : ……………………….. 
X
Pasal I 
PEMBERIAN KUASA DAN JANGKA WAKTU KUASA 
Pihak I melimpahkan kekuasaannya kepada Pihak II secara khusus untuk 
melakukan hal-hal sebagaimana berikut : 
1.  Memilihkan untuk Pihak I barang / barang-barang dengan jumlah, spesifikasi 
dan harga yang telah disepakati bersama sebagaimana bunyi surat Perjanjian / 
waad pemesanan barang nomor …………… yang dibuat oleh Pihak II, yang 
merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari akad 
perjanjian ini. 
2.  Kedua belah pihak telah bersepakat bahwa jangka waktu berlakunya akad 
wakalah ini adalah ………….. hari, sehingga selambat-lambatnya terhitung … 
hari setelah ditanda tanganinya akad ini pihak II telah menyelesaikan semua 
kewajibannya sesuai dengan bunyi ketentuan-ketentuan akad ini. 
Pasal II 
PEMBAYARAN BARANG 
Pihak I sepakat bahwa untuk terpenuhinya akad Murabahah yang akan dibuat 
kemudian, maka Pihak I akan membayarkan barang / barang-barang sebagaimana 
yang tersebut dalam pasal 1 
Pasal V 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah bersepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur 
dalam akad ini, akan diatur dalam addendum-addendeum dan atau surat-surat dan 
atau lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak 
terpisahkan dengan perjanjian ini. 
XI
Pasal VI 
PASAL TAMBAHAN 
Perjanjian ini ditandatangani, dibuat dalam rangkap 2 (dua), masing-masing 
mempunyai kekuatan pembuktian yang sama, ditanda tangani kedua belah pihak 
dengan sukarela (saling ridlo) tanpa paksaan dari pihak manapun.  
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
XII
Lampiran 5 
NOTA PEMBELIAN BARANG 
Kepada 
Yth. :   KJKS BMT ……………………… 
Di ………………………………… 
Dengan hormat, 
Berikut ini rincian barang-barang yang telah anda beli dari kami, agar menjadi 
periksa adanya. 
No Barang  Spesifikasi Jumlah Harga Satuan Total 
Terima kasih, atas kerjasamanya.   
…………….. , …………………… 
TOKO / SUPLIER 
( …………………… ) 
XIII
Lampiran 6 
AKAD MURABAHAH 
NO.        /MRB/BMT/         /      bln/200…… 
Bismillahirrohmanirrahim  
“ Hai orang–orang yang beriman ! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) 
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang 
berlaku dengan sukarela diantaramu…..” 
(Q.s. An-Nisa’ (4) : 29) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………., tanggal : …………., tempat 
: ……………………………., oleh para pihak sebagai berikut : 
1.  Nama : …………………………., Kepala Divisi Marketing Capem : ……… 
……………….., dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama 
Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwil ………………… 
……………………yang berkedudukan dan berkantor di ……………….. 
untuk selanjutnya disebut Pihak I. 
2.  Nama : ……………………………, bertempat tinggal di …………..………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………..….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten …………………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini telah mendapat 
persetujuan isteri/suami bernama………………………. bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …..…  
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing sebagaimana 
tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian jual beli (murabahah) yang 
terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut : 
……………………….. 
Pasal 1 
JUAL – BELI 
Pihak I menjual barang kepada Pihak II berupa barang/barang-barang yang 
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 
akad perjanjian ini, sebesar : ………………………………………………………. 
XIV
(……………………………………………………………………………). 
Dengan perincian harga pokok sebesar : 
……………………………………………………………………………………… 
(………………………………………………………………………………) dan 
margin sebesar : …………………………… (…………………………… 
…………………………………………….) 
Pasal II 
SISTIM, JANGKA WAKTU PEMBAYARAN KEMBALI  DAN  
BIAYA-BIAYA 
Pihak II sepakat untuk membeli barang sebagaimana tersebut pada pasal 1 dengan 
ketentuan-ketentuan sebagai berikut : ……………………………….. 
1.  Sistim pembayaran adlah angsuran / jatuh tempo. 
2.  Tata cara pembayaran diatur pada lembar tersendiri yang merupakan bagian 
yang melekat dan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini. 
3.  Jangka waktu pembayaran adalah ……….. oleh karena itu perjanjian jual beli 
ini berlaku sejak tanggal ditandatanganinya. Adapun pelunasan pembayaran 
dapat dilakukan sebelum jatuh tempo selambat-lambatnya akan jatuh tempo 
pada ……………. 
4.  Wajib membayar seluruh kewajiban yang muncul akibat adanya perjanjian 
jual beli ini sampai dengan lunas penuh sebagaimana mestinya kepada Pihak I. 
5.  Dalam hal pembayaran angsuran yang dilakukan Pihak II sesuai kesepakatan 
jatuh pada hari ahad dan atau hari libur umum atau hari bukan hari kerja 
lainnya, maka pembayaran dilakukan pada hari sebelumnya tersebut. 
6.  Dalam hal terjadi kelalaian dalam membayar seperti apa yang diperjanjian 
Pihak II sebagaimana bunyi perjanjian ini, maka segala ongkos penagihan, 
denda, ganti rugi, termasuk juga biaya kuasa dari Pihak I, harus dipikul dan 
dibebankan serta dibayar oleh Pihak II. 
XV
Pasal III 
PENGUTAMAAN PEMBAYARAN 
Pihak II akan melakukan angsuran pembayaran sesuai dengan kesepakatan 
sebagaimana bunyi pasal 2 berikut tata cara pembayarannya secara tertib dan 
teratur dan akan lebih mengutamakan kewajiban pembayaran ini daripada 
kewajiban pembayaran kepada pihak lain. 
Pasal IV 
PERNYATAAN JAMINAN 
Untuk menjamin keamanan dan terpenuhinya akad sebagaimana tujuan perjanjian 
jual beli ini, maka Pihak II menyerahkan jaminan. 
1.  Pihak II menyerahkan jaminan berupa : ……………………………………..  
sebagai jaminan atas akad jual beli yangtelah disepakati ……………… 
2.  Obyek jaminan menjadi milik Pihak I, sedang obyek jaminan tersebut tetap 
berada pada kekuasaa Pihak II selaku peminjam pakai, obyek jaminan hanya 
dapat dipergunakan oleh Pihak IImenurut sifat dan peruntukannya. 
3.  Pihak II berkewajiban untuk memelihara obyek jaminan tersebut dengan 
sebaik-baiknya dan melakukan semua tindakan yang diperlukan untuk 
pemeliharaan dan perbaikan atas obyek jaminan atas biaya dan tanggungan 
Pihak II sendiri serta membayar pajak, restribusi dan beban lainnya yang 
berkaitan dengan itu. 
4.  Apabila bagian dan atau seluruhnya dari obyek jaminan tersebut rusak, hilang, 
atau diantara obyek jaminan tersebut tidak dapat dipergunakan lagi, maka 
Pihak II dengan ini mengikatkan diri untuk mengganti bagian dan atau 
seluruhnya dari obyek jaminan sejenis dan atau yang nilainya setara dengan 
yang digantikan serta disetujui oleh Pihak I. 
5.  Pihak II tidak berhak untuk melakukan penjaminan ulang atas obyek jaminan 
dan juga tidak diperkenankan untuk membebankan dengan cara apapun, 
menggadaikan atau menjual atau mengalihkan obyek jaminan kepada pihak 
lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak I. 
XVI
6.  Pihak II bersedia dan bertanggungjawab untuk melepaskan hak atas jaminan 
tersebut pada pasal IV ayat 1 kepada Pihak I, apabila Pihak II selama tiga 
periode angsuran tidak memenuhi kewajibannya untuk mengangsur 
sebagaimana diatur pada pasal II perjanjian ini. Dengan ini Pihak I memiliki 
hak terhadap barang tersebut dengan tanpa sesuatu yang dikecualikan untuk 
menarik jaminan dan atau untuk menjualnya kepada pihak manapun untuk 
melunasi kewajiban Pihak II. 
Pasal V 
PERISTIWA CIDERA JANJI 
Apabila terjadi hal-hal di bawah ini, setiap kejadian demikian, masing-masing 
secara tersendiri atau bersama-sama disebut peristiwa cidera janji. 
1.  Kelalaian Pihak II untuk melaksanakan kewajiban menurut perjanjian ini 
untuk memilih barang sesuai ketentuan. 
2.  Apabila terdapat suatu janji, pernyataan, jaminan atau kesepakatan menurut 
perjanjian ini atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu surat, 
sertifikat atau bukti-bukti lain yang perlu diadakan menurut Perjanjian ini atau 
sehubungan dengan suatu perjanjian yang disebut dalam Perjanjian ini 
ternyata tidak benar, tidak tepat atau menyesatkan. 
3.  Diputuskan oleh suatu pengadilan atau instansi Pemerintah lainnya bahwa 
suatu perjanjian atau dokumen yang merupakan bukti kepemilikan atas barang 
yang dipilih Pihak II adalah tidak sah atau dengan cara yang lain tidak dapat 
diberlakukan.  
4.  Jikalau Pihak II melanggar dan atau tidak dapat memenuhi peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini atau tidak dapat 
memenuhi syarat-syarat perjanjian ini serta perjanjian- perjanjian lainnya yang 
bersangkutan dan atau syarat-syarat serta ketentuan yang ditetapkan oleh 
KJKS / BMT …………… baik surat-surat / dokumen-dokumen termasuk 
jaminan yang diberikan. 
5.  Jikalau Pihak II tidak menjalankan wakalah dengan sungguh-sungguh dan atau 
melanggar syar’i dan atau melanggar hukum yang berlaku. 
XVII
Maka seluruh akad akan menjadi jatuh tempo dan seluruh kewajiban-kewajiban 
dan biaya-biaya yang menjadi kewajiban Pihak II harus dibayarkan  kepada                 
Pihak I dan Pihak I dapat mengambil tindakan apapun yang perlu yang 
berhubungan dengan perjanjian ini. 
Pasal VI 
KEADAAN MEMAKSA (FOR CE MAJEURE) 
1.  Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan salah satu pihak untuk 
memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian ini, yang 
disebabkan oleh karena keadaan yang memaksa seperti bencana alam, huru 
hara dan sabotase, dan tidak dapat dihindari dengan melakukan tindakan 
sepatutnya, maka kerugian yang diakibatkan tersebut ditanggung secara 
bersama oleh para pihak. 
2.  Dalam hal terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang 
dikategorikan keadaa memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang 
hal tersebut kepada pihak lainnya dengan melampirkan bukti secukupnya dari 
kepolisian atau instansi yang berwenang mengenai kejadian memaksa tersebut 
selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak keaddan yang memaksa tersebut. 
3.  Apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberiitahuan sebagaimana 
ayat 2 tersebut belum atau tidak ada tanggapan dari pihak yang menerima 
pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh 
pihak tersebut. 
4.  Apabila keadan memaksa tersebut mengakibatkan kegagalan dalam 
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini selama 3 bulan, maka 
perjanjian ini dapat diakhiri dengan suatu perjanjian antara para pihak. 
XVIII
Pasal VII 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah sepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam 
akad ini, akan diatur dalam addendum-adendum dan atau surat-surat dan atau 
lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan 
dengan perjanjian ini. 
Pasal VIII 
DOMISILI HUKUM 
Tentang akad ini dan segala akibatnya, para pihak memilih domisili hukum 
yangtetap dan umum di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri ………. di 
…………. 
Pasal IX 
PASAL TAMBAHAN 
AKAD 
sama, ditanda tangani kedua belah pihak dengan sukarela (saling ridlo) tanpa  
paksaan dari pihak manapuin, serta disaksikan oleh : 
1.   …………………………………… 
2  …………………………………… 
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
Saksi-saksi : 
1.  ……………………………. 
2.  ……………………………. 
XIX
Lampiran 7 
AKAD PE MBIAYAAN IJARAH 
No. Akad : 2.02.05.00000 
Bimillahirrahmanirrahiim 
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad (perjanjian) itu, 
cukupkanlah takaran jangan kamu menjadi orang-orang yang merugi.” 
(Surat Al Maaidah : 181) 
Perjanjian pembiayaan ini ditandatangani dan dibuat pada hari : ………….. 
tanggal … / … / … oleh dan antara : 
I.  KSU BMT SAFINAH Jl. Pramuka No. 60 Klaten. 
Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK I (BMT) dalam hal ini diwakili 
oleh : 
Nama    :  ……………………… 
Jabatan     :  ……………………… 
Dalam hal ini bertindak dalam hal kedudukan dari dan oleh karenanya 
bertindak dan atas nama seperti kepentingan BMT. 
II.  Nama    : ………………………. 
No. rek    :  ……………………… 
Alamat    :  .................................... 
Tempat Lahir  : ………………………. 
Tanggal lahir  :  …… / …… / ……….. 
Pekerjaan    :  ……………………… 
Untuk selanjutnya disebut PIHAK II (Nasabah) 
XX
Telah bersepakat melaksanakan perjanjian Pembiayaan Ijarah dengan ketentuan 
yang tercantum pada pasal-pasal sebagai berikut : 
Pasal 1 
Perjanjian pembiayaan ini dilandasi oleh Ketaqwaan kepada Allah SWT saling 
percaya Ukhuwah Islamiyah dan rasa tanggung jawab. 
Pasal 2 
Bahwa PIHAK I dengan ini menyerahkan uang sebesar Rp.   0  kepada PIHAK II 
untuk biaya …………… 
Pasal 3 
PIHAK II bertindak mewakili PIHAK I, melakukan urusan  pada pasal 2. 
Pasal 4 
Selanjutnya barang / jasa pada psal 2 tersebut, disewa oleh PIHAK II dari PIHAK 
I dengan harga : Rp. 0 
Pasal 5 
Pembayaran sewa akan dilakukan secara mengangsur kepada PIHAK I, dengan 
ketentuan sebagai berikut : 
1.  Pembayaran akan dilakukan selama 0 kali, selama ……………….. 
2.  Pembayaran angsuran, pertama kali dilakukan pada tanggal …. / …. / …… , 
dan angsuran berikutnya dilakukan setiap ….  jatuh tempo tanggal …. / ….. / 
…….. 
3.  Biaya administrasi sejumlah Rp. 0 dibebankan kepada Pihak II. 
4.  Besarnya pembayaran anngsuran : Rp. 0 
Dengan rincian sebagai berikut   : Sewa Pokok  :  Rp.  0 
Mark Up  :  Rp.  0 
XXI
Pasal 6 
Untuk menambah rasa tanggung jawab maka PIHK II bersedia melampirkan salah 
satu barang berupa : 
Pasal 7 
Berhubung dengan pasal 6, permasalahan aturan pembiayan mengalami hal-hal 
yang tidak diinginkan dan  mengalami jalan akhir maka PIHAK I berwenang 
penuh akan barang jaminan tersebut. 
Pasal 8 
Pembayaran Angsuran dan pemberian Bagi Hasil dari PIHAK II kepada PIHAK I 
diserahkan ke kantor BMT Safinah Jl. Pramuka No. 60 Klaten pada jam 
pelayanan kas. 
Pasal 9 
Dalam pelaksanaan pembiayaan ini tidak diharapkan terjadi hal-hal yang tidak 
diinginkan, dikarenakan dasar transaksi ini semata-mata karena Allah SWT 
namun apabila terjadi sebaliknya maka kedua belah pihak setuju menyelesikan 
melalui peraturan atau prosedur yang ada di BMT SAFINAH dan putusan akhir 
yang mengikat. 
XXII
Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani dengan sebenar-benarnya tanpa 
ada unsur paksaan dari pihak manapun. 
Semoga Allah memudahkan segala Ikhtiar kita. Amin. 
Pihak II 
Pihak I 
Saksi-saksi : 
Isteri / Suami :  
…………………… 
………………………. 
………………………. 
……………………. 
Mengetahui 
Pengurus KSU BMT Safinah, 
Menajer KSU BMT Safinah, 
………………… 
…………………… 
XXIII
WAWANCARA TESIS 
1.  Sejarah berdirinya BMT Safinah Klaten. 
2.  Pertama berdiri berapa orang ? 
Sekarang sudah berapa orang ? 
(Pendiri, Pengurus, Pengelola, Anggota) 
3.  Berapa orang yang bertempat tinggal di sekitar BMT ini ? 
4.  BMT Safinah terletak di desa ? 
5.  Denah kerja BMT meliputi wilayah ? 
6.  Visi BMT Safinah Klaten ? 
Misi BMT Safinah Klaten ? 
Tujuan BMT Safinah Klaten ? 
Prinsip-prinsip BMT Safinah Klaten ? 
7.  Asas/Landasan BMT Safinah Klaten dan legalitas  hukumnya ! 
8.  Modal BMT Safinah Klaten hingga Juli 2007 sudah berapa ? 
9.  Modal yang telah beredar hingga Juli tahun 2007 berapa ? 
10. Jumlah nasabah hingga bulan Juli tahun 2007 berapa ? Pada tahun 2006 ada 
berapa nasabah ? Tahun 2007 ada berapa ? 
11. Pengelolaan dana BMT Safinah Klaten meliputi ? 
(Dana Pihak I, dana Pihak II (pinjam dari luar), Dana Pihak Ke III 
(Simpanan)). 
12. Produk-produk BMT Safinah Klaten apa saja ? 
13. Prosedur Nasabah mendapatkan pembiayaan sampai dengan penanda tanganan 
akad. 
a.  Prosedur Murabahah 
b.  Prosedur Mudharabah 
c.  Prosedur Ijarah. 
14. Produk-produk yang macet BMT Safinah Klaten apa saja ? 
15. Sebab-sebabya ? 
16. Bagaimana penyelesaiannya produk yang macet ? 
XXIV
PROSEDUR AKAD 
-  Nama Pimpinan / pengelola BMT Safinah Klaten : 
-  Alamat Rumah 
A.  AKAD MURABAHAH 
1.  Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
2.  Nasabah datang menghadap sendiri : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
3.  Usia nasabah rata-rata berusia : 
a.  21 tahun 
b.  Di atas 21 tahun 
4.  Apa ada nasabah di bawah usia 21 tahun : 
a.  Ada 
b.  Tidak ada 
c.  Ada tetapi  sudah nikah 
5.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Ada 
b.  Belum ada 
c.  Tidak ada 
d.  Atau …………. 
6.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Barangnya jelas 
b.  Barangnya tidak jelas 
c.  Belum jelas 
7.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Barangnya halal 
b.  Barangnya tidak halal 
XXV
8.  Dalam penentuan margin / keuntungan : 
a.  Musyawarah dengan nasabah 
b.  Tidak ada musyawarah 
9.  Besarnya margin / keuntungan : 
a.  Ditentukan dulu 
b.  Berdasarkan hasil musywarah 
10. Margin / keuntungan sebesar  rata-rata : 
a.  1 % 
b.  1 ½% 
c.  2% 
d.  2½% 
e.  Atau berapa ….. % 
11. Apa ada batasan pengambilan margin / keuntungan : 
a.  Ada, yakni … s/d ……% 
b.  Tidak ada 
c.  Belum jelas 
12. Dalam kesepakatan akad, nasabah dalam keadaan : 
a.  Rela 
b.  Tidak rela 
c.  Keberatan 
13. Sebelum penanda tanganan akad nasabah dalam keadaan : 
a.  Sudah paham 
b.  Belum paham 
c.  Tidak paham 
14. Setelah terjadinya akad nasabah menerima : 
a.  Bentuk barang 
b.  Bentuk uang 
c.  Atau ………… 
XXVI
15. Pembuatan akad apakah pakai jasa notaris : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
c.  Atau ………. 
16. Apa ada beban pajak : 
a.  Ada 
b.  Tidak ada 
B.  AKAD IJARAH 
1.  Barang yang disewakan merupakan hak milik yang menyewakan : 
a.  Ya 
b.  Bukan 
c.  Tidak jelas 
2.  Barang yang disewakan mengandung manfaat : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
c.  Tidak jelas 
3.  Bila barang yang disewakan milik orang lain, harus ada ijin pemiliknya : 
a.  Ya 
b.  Tidak perlu 
4.  Saat berlangsungnya akad barangnya disyaratkan harus ada dan jelas : 
a.  Ya 
b.  Tidak ada 
c.  Atau tidak disyaratkan 
5.  Saat berlangsungnya akad lamanya waktu sewa ditentukan : 
a.  Ya 
b.  Belum ditentukan 
c.  Tidak ditentukan 
6.  Saat berlangsungnya akad ongkos / harga sewa ditentukan  /  diketahui               
dulu : 
a.  Ya 
XXVII
b.  Belum ditentukan 
c.  Tidak ditentukan dulu 
7.  Harga sewa / ongkos sewa yang telah ditentukan kedua belah pihak : 
a.  Sepakat / rela 
b.  Tidak sepakat 
c.  Belum sepakat 
8.  Pembayaran sewa oleh para nasabah dilakukan : 
a.  Diangsur tiap bulan 
b.  Tidak diangsur 
c.  Dibayar kontan 
9.  Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) proses akad pemindahan hal milik 
barang dilakukan pada awal sewa : 
a.  Ya 
b.  Tidak  
10. Proses akad pemindahan hak milik barang (IMBT) dilakukan pada akhir 
masa sewa : 
a.  Ya 
b.  Tidak  
11. Saat penanda tanganan akad nasabah : 
a.  Sudah paham 
b.  Belum paham 
c.  Tidak paham 
ii
Lampiran 2 
AKAD PEMESANAN BARANG 
No.       /PMN/BMT        /     bln/200…. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa kepada 
Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, Pada 
hari ini : …………., tanggal : ………………….., tempat : …………….. saya  : 
Nama    : ………………………………………….. 
Alamat   : ………………………………………….. 
No. KTP   : ………………………………………….. 
Memohon kepada KJKS BMT ……………………………… yang 
berkedudukan di …………………………………. Untuk mengadakan 
barang / barang-barang dengan ketentuan sebagai berikut : 
1.  Jenis Barang, Spesifikasi, Jumlah dan harga. 
No  Barang  Spesifikasi (*) Jumlah  Harga Satuan  Total 
•  Keterangan / Spesifikasi barang, tersebut dalam lampiran 
2.  Untuk pemenuhan pengadaan barang tersebut, maka saya mengikatkan diri 
pada janji (akad) pemesanan barang kepada KJKS BMT……………..agar 
membelikan untuk saya barang-barang dengan jenis, spesifikasi, jumlah serta 
harga sebagaimana tercantum dalam butir 1.  
iii
3.  Saya berjanji bahwa selambat-lambatnya ………. hari setelah barang 
disediakan, saya akan membeli barang pesanan saya tersebut (Wa’ad 
Murobahah). 
4.  Bahwa untuk menjamin kesungguhan dalam per mintaan pemesanan 
barang/wa’ad pemesanan barang, maka saya bersepakat untuk membayar uang 
sejumlah Rp. ……………… (…………………………………………………) 
sebagai uang muka (Urbun) bagi pemesanan barang yang telah saya lakukan 
sebagaimana tertulis dalam perjanjian ini. 
5.  Saya bersepakat bahwa dalam hal berjanjian berlangsung sebagaimana 
ketentuan dan syarat, maka sejumlah uang yang telah saya bayar tersebut 
berlaku sebagai uang muka bagi Perjanjian Jual Beli yang akan dibuat 
dikemudian hari. 
6.  Saya bersepakat bahwa dalam hal dikemudian hari saya membatalkan 
Perjanjian Pemesanan Barang ini secara sepihak, maka saya terikat untuk 
memberikan ganti rugi (Ta’widh) sejumlah ………………………………… 
(……………………………………………………….) yang diambilkan dari 
uang muka yang telah saya berikan tersebut. 
7.  Saya bersepakat bahwa dalam hal terjadi nilai uang muka lebih kecil dari nilai 
ganti rugi, maka saya akan membayar kekurangannya. 
Demikian Surat Perjanjian (akad) Pemesanan Barang ini dibuat dan telah saya 
tandatangani dengan sukarela (ridlo) tanpa paksaan dari pihak manapun. 
………………., …………… 200… 
Pemesan 
( ………………………… ) 
iv
Lampiran 3 
AKAD WAKALAH 
No.           /WKL/BMT          /       bln/200….. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa  
kepada Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………, tanggal : ………………….., 
tempat : ……………………………, oleh pihak sebagai berikut  : 
1.  Nama : …………………………………….., Kepala Divisi Marketing Capem 
……………………………….., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya 
tersebut, berdasarkan Surat Kuasa Manajer KJKS BMT ……………………, 
yang dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama Koperasi Jasa 
Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwill …………………………………., 
yang berkedudukan dan berkantor di …………………………………………, 
untuk selanjutnya disebut Pihak I ……………………………………………. 
2.  Nama : …………………………………………., bertempat tinggal di ………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten  …………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …… 
………………………………………………….. 
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing sebagaimana 
tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian pemberian 
v
kuasa/perwakailan (Wakalah) yang terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat 
sebagai berikut : ……………………….. 
Pasal I 
PEMBERIAN KUASA DAN JANGKA WAKTU KUASA 
Pihak I melimpahkan kekuasaannya kepada Pihak II secara khusus untuk 
melakukan hal-hal sebagaimana berikut : 
1.  Memilihkan untuk Pihak I barang/barang-barang dengan jumlah, spesifikasi 
dan harga yang telah disepakati bersama sebagaimana bunyi surat permohonan 
Pembiayaan Murabahah dan Waad Pemesanan barang nomor ………………., 
yang dibuat oleh Pihak II, yang merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan 
dan tidak terpisahkan dari akad perjanjian ini. 
2.  Membayarkan untuk Pihak I barang-barang yang tertuang pada pasal 1ayat (1) 
perjanjian ini. 
3.  Bertanda tangan untuk dan atas nama Pihak I terhadap barang-barang yang 
telah dibeli dan menjadi konsekwensi dari berpindahnya kepemilikan atas 
barang tersebut. 
4.  Kedua belah pihak telah bersepakat bahwa jangka waktu berlakunya akad 
wakalah ini adalah ketika pihak II telah menyelesaikan semua kewajibannya 
sesuai dengan bunyi ketentuan-ketentuan akad ini, atau selambat-lambatnya 
……………. hari terhitung setelah ditandatangani akad ini atau tanggal ……..  
Pasal II 
PENITIPAN UANG 
Pihak I sepakat bahwa untuk terpenuhinya ketentuan pasal 1, maka pihak I akan 
menitipkan (Wadiah yad amanah) kepada pihak II, uang sejumlah Rp…………… 
(……………………………………………………………). 
vi
Pasal III 
PENITIPAN JAMINAN 
Untuk menjamin kesungguhan dalam menjalankan akad wakalah ini maka pihak 
II menitipkan jaminan berupa ………………………………….. 
Pasal IV 
PERISTIWA CIDERA JANJI 
Apabila terjadi hal-hal dibawah ini, setiap kejadian demikian, masing-masing 
secara tersendiri atau bersama-sama disebut peristiwa cidera janji : 
1.  Kelalaian Pihak II untuk melaksanakan kewajiban menurut perjanjian ini 
untuk memilih dan membayarkan barang sesuai ketentuan. 
2.  Apabila terdapat suatu janji, pernyataan, jaminan, atau kesepakatan menurut 
perjanjian ini atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu surat, 
sertifikat atau bukti-bukti lain yang perlu diadakan menurut Perjanjian ini atau 
sehubungan dengan suatu perjanjian yang disebut dalam Perjanjian ini 
ternyata tidak beres, tidak tepat atau menyesatkan. 
3.  Diputuskan oleh suatu pengadilan atau instansi Pemerintah lainnya bahwa 
suatu perjanjian atau dokumen yang merupakan bukti kepemilikan atas barang 
yang dipilih pihak II adalah tidak sah atau dengan cara yang lain tidak dapat 
diberlakukan. 
4.  Jikalau Pihak II melanggar dan atau tidak dapat memenuhi peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini atau tidak dapat 
memenuhi syarat-syarat perjanjian ini serta perjanjian- perjanjian lainnya yang 
bersangkutan dan atau syarat-syarat serta ketentuan yang ditetaapkan oleh 
KJKS/BMT ………….. baik surat-surat/dokumen-dokumen termasuk jaminan 
yang diberikan. 
5.  Jikalau Pihak II tidak menjalankan wakalah dengan sungguh-sungguh dan atau 
melanggar syar’i dan atau melanggar hukum yang berlaku maka seluruh akad 
akan menjadi jatuh tempo dan seluruh kewajiban-kewajiban dan biaya-biaya 
yang menjadi kewajiban Pihak II harus dibayarkan kepada Pihak I, dan Pihak I 
vii
dapat mengambil tindakan apapun yang perlu yang berhubungan dengan 
perjanjian ini. 
Pasal V 
KEADAAN MEMAKSA (FOR CE MAJEURE) 
1.  Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan salah satu untuk memenuhi 
kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian ini, yang disebabkan oleh 
karena keadaan yang memaksa seperti bencana alam, huru-hara dan sabotase, 
dan tidak dapat dihindari dengan melakukan tindakan  sepatutnya, maka 
kerugian yang diakibatkan tersebut ditanggung secara bersama oleh para 
pihak. 
2.  Dalam hal terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang 
dikategorikan keadaan memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang 
hal tersebut kepada pihak lainnya dengan melampirkan bukti secukupnya dari 
kepolisian atau instansi yang berwenang mengenai kejadian memaksa tersebut 
selambat-lambatnya 14 hari sejak keadaan yang memaksa tersebut. 
3.  Apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberitahuan sebagaimana 
ayat 2 belum atau tidak ada tanggapan dari pihak yang menerima 
pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh 
pihak tersebut. 
4.  Apabila keadaan memaksa tersebut mengakibatkan kegagalan dalam 
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini selama 3 bulan, maka 
perjanjian ini dapat diakhiri dengan suatu perjanjian antara para pihak. 
Pasal VI 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah bersepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur 
dalam akad ini, akan diatur dalam addendum-addendum dan atau surat-surat dan 
atau lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak 
terpisahkan dengan perjanjian ini. 
viii
Pasal VII 
DOMISILI HUKUM 
Tentang akad ini dan segala akibatnya, para pihak memilih domisili hukum yang 
tetap dan umum di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri …….. di 
………………………… 
Pasal VIII 
PASAL TAMBAHAN 
Perjanjian ini ditanda tangani ini dibuat dalam rangkap 2 (dua), masing-masing 
bermaterai cukup dan mempunyai kekuatan pembuktian yang sama, ditanda 
tangani kedua belah pihak dengan sukarela (saling ridlo) tanpa  paksaan dari pihak 
manapuin, serta disaksikan oleh : 
1.   …………………………………… 
2.  …………………………………… 
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
Saksi-saksi : 
1.  ……………………………. 
2.  ……………………………. 
ix
Lampiran 4 
AKAD WAAD WAKALAH 
No.           /WKL/BMT          /       bln/200….. 
Bismillahirrahmanirrahiim  
“…….Maka, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah 
yang dipercayai itu menunaikan amanatnya dan hendaklah dia bertaqwa kepada 
Allah Tuhannya…….” 
(Qs. Al-Baqarah (2) : 283) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya, akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………, tanggal : ………………….., 
tempat : ……………………………, oleh pihak sebagai berikut  : 
1.  Nama : …………………………………….., Kepala Divisi Marketing Capem 
……………………………….., dalam hal ini bertindak dalam jabatannya 
tersebut, berdasarkan Surat Kuasa Manajer KJKS BMT ……………………, 
yang dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama Koperasi Jasa 
Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwill …………………………………., 
yang berkedudukan dan berkantor di …………………………………………, 
untuk selanjutnya disebut Pihak I ……………………………………………. 
2.  Nama : …………………………………………., bertempat tinggal di ………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten  …………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …… 
………………………………………………….. 
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing 
sebagaimana tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian pemberian 
kuasa/perwakilan (Wakalah) yang terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat 
sebagai berikut : ……………………….. 
x
Pasal I 
PEMBERIAN KUASA DAN JANGKA WAKTU KUASA 
Pihak I melimpahkan kekuasaannya kepada Pihak II secara khusus untuk 
melakukan hal-hal sebagaimana berikut : 
1.  Memilihkan untuk Pihak I barang / barang-barang dengan jumlah, spesifikasi 
dan harga yang telah disepakati bersama sebagaimana bunyi surat Perjanjian / 
waad pemesanan barang nomor …………… yang dibuat oleh Pihak II, yang 
merupakan bagian yang menjadi satu kesatuan dan tidak terpisahkan dari akad 
perjanjian ini. 
2.  Kedua belah pihak telah bersepakat bahwa jangka waktu berlakunya akad 
wakalah ini adalah ………….. hari, sehingga selambat-lambatnya terhitung … 
hari setelah ditanda tanganinya akad ini pihak II telah menyelesaikan semua 
kewajibannya sesuai dengan bunyi ketentuan-ketentuan akad ini. 
Pasal II 
PEMBAYARAN BARANG 
Pihak I sepakat bahwa untuk terpenuhinya akad Murabahah yang akan dibuat 
kemudian, maka Pihak I akan membayarkan barang / barang-barang sebagaimana 
yang tersebut dalam pasal 1 
Pasal V 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah bersepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur 
dalam akad ini, akan diatur dalam addendum-addendeum dan atau surat-surat dan 
atau lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak 
terpisahkan dengan perjanjian ini. 
xi
Pasal VI 
PASAL TAMBAHAN 
Perjanjian ini ditandatangani, dibuat dalam rangkap 2 (dua), masing-masing 
mempunyai kekuatan pembuktian yang sama, ditanda tangani kedua belah pihak 
dengan sukarela (saling ridlo) tanpa paksaan dari pihak manapun.  
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
xii
Lampiran 5 
NOTA PEMBELIAN BARANG 
Kepada 
Yth. :   KJKS BMT ……………………… 
Di ………………………………… 
Dengan hormat, 
Berikut ini rincian barang-barang yang telah anda beli dari kami, agar menjadi 
periksa adanya. 
No Barang  Spesifikasi Jumlah Harga Satuan Total 
Terima kasih, atas kerjasamanya.   
…………….. , …………………… 
TOKO / SUPLIER 
( …………………… ) 
xiii
AKAD MURABAHAH 
NO.        /MRB/BMT/         /      bln/200…… 
Bismillahirrohmanirrahim  
“ Hai orang–orang yang beriman ! Janganlah kalian saling memakan (mengambil) 
harta sesamamu dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan yang 
berlaku dengan sukarela diantaramu…..” 
(Q.s. An-Nisa’ (4) : 29) 
Dengan berlindung kepada Allah dan senantiasa memohon Rahmat-Nya akad ini 
dibuat dan ditandatangani pada hari : ………………., tanggal : …………., tempat 
: ……………………………., oleh para pihak sebagai berikut : 
1.  Nama : …………………………., Kepala Divisi Marketing Capem : ……… 
……………….., dalam hal ini berwenang bertindak untuk dan atas nama 
Koperasi Jasa Keuangan Syari’ah Baitul Maal Wattamwil ………………… 
……………………yang berkedudukan dan berkantor di ……………….. 
untuk selanjutnya disebut Pihak I. 
2.  Nama : ……………………………, bertempat tinggal di …………..………. 
………………….., kelurahan/Desa ……………………………………..….., 
kecamatan  ………………..,  Kabupaten …………………………..,  memiliki                   
No. KTP ……………………………., yang dalam hal ini telah mendapat 
persetujuan isteri/suami bernama………………………. bertindak untuk dan 
atas nama pribadi/diri sendiri, yang untuk selanjutnya disebut Pihak II …..…  
Kedua belah pihak bertindak dalam kedudukannya masing-masing sebagaimana 
tersebut di atas, telah sepakat mengadakan perjanjian jual beli (murabahah) yang 
terikat dengan ketentuan dan syarat-syarat sebagai berikut : 
……………………….. 
Pasal 1 
JUAL – BELI 
Pihak I menjual barang kepada Pihak II berupa barang/barang-barang yang 
tercantum dalam lampiran yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari 
akad perjanjian ini, sebesar : ………………………………………………………. 
(……………………………………………………………………………). 
xiv
Dengan perincian harga pokok sebesar : 
……………………………………………………………………………………… 
(………………………………………………………………………………) dan 
margin sebesar : …………………………… (…………………………… 
…………………………………………….) 
Pasal II 
SISTIM, JANGKA WAKTU PEMBAYARAN KEMBALI  DAN  
BIAYA-BIAYA 
Pihak II sepakat untuk membeli barang sebagaimana tersebut pada pasal 1 dengan 
ketentuan-ketentuan sebagai berikut : ……………………………….. 
1.  Sistim pembayaran adlah angsuran / jatuh tempo. 
2.  Tata cara pembayaran diatur pada lembar tersendiri yang merupakan bagian 
yang melekat dan tidak terpisahkan dengan perjanjian ini. 
3.  Jangka waktu pembayaran adalah ……….. oleh karena itu perjanjian jual beli 
ini berlaku sejak tanggal ditandatanganinya. Adapun pelunasan pembayaran 
dapat dilakukan sebelum jatuh tempo selambat-lambatnya akan jatuh tempo 
pada ……………. 
4.  Wajib membayar seluruh kewajiban yang muncul akibat adanya perjanjian 
jual beli ini sampai dengan lunas penuh sebagaimana mestinya kepada Pihak I. 
5.  Dalam hal pembayaran angsuran yang dilakukan Pihak II sesuai kesepakatan 
jatuh pada hari ahad dan atau hari libur umum atau hari bukan hari kerja 
lainnya, maka pembayaran dilakukan pada hari sebelumnya tersebut. 
6.  Dalam hal terjadi kelalaian dalam membayar seperti apa yang diperjanjian 
Pihak II sebagaimana bunyi perjanjian ini, maka segala ongkos penagihan, 
denda, ganti rugi, termasuk juga biaya kuasa dari Pihak I, harus dipikul dan 
dibebankan serta dibayar oleh Pihak II. 
xv
Pasal III 
PENGUTAMAAN PEMBAYARAN 
Pihak II akan melakukan angsuran pembayaran sesuai dengan kesepakatan 
sebagaimana bunyi pasal 2 berikut tata cara pembayarannya secara tertib dan 
teratur dan akan lebih mengutamakan kewajiban pembayaran ini daripada 
kewajiban pembayaran kepada pihak lain. 
Pasal IV 
PERNYATAAN JAMINAN 
Untuk menjamin keamanan dan terpenuhinya akad sebagaimana tujuan perjanjian 
jual beli ini, maka Pihak II menyerahkan jaminan. 
1.  Pihak II menyerahkan jaminan berupa : ……………………………………..  
sebagai jaminan atas akad jual beli yangtelah disepakati ……………… 
2.  Obyek jaminan menjadi milik Pihak I, sedang obyek jaminan tersebut tetap 
berada pada kekuasaa Pihak II selaku peminjam pakai, obyek jaminan hanya 
dapat dipergunakan oleh Pihak IImenurut sifat dan peruntukannya. 
3.  Pihak II berkewajiban untuk memelihara obyek jaminan tersebut dengan 
sebaik-baiknya dan melakukan semua tindakan yang diperlukan untuk 
pemeliharaan dan perbaikan atas obyek jaminan atas biaya dan tanggungan 
Pihak II sendiri serta membayar pajak, restribusi dan beban lainnya yang 
berkaitan dengan itu. 
4.  Apabila bagian dan atau seluruhnya dari obyek jaminan tersebut rusak, hilang, 
atau diantara obyek jaminan tersebut tidak dapat dipergunakan lagi, maka 
Pihak II dengan ini mengikatkan diri untuk mengganti bagian dan atau 
seluruhnya dari obyek jaminan sejenis dan atau yang nilainya setara dengan 
yang digantikan serta disetujui oleh Pihak I. 
5.  Pihak II tidak berhak untuk melakukan penjaminan ulang atas obyek jaminan 
dan juga tidak diperkenankan untuk membebankan dengan cara apapun, 
menggadaikan atau menjual atau mengalihkan obyek jaminan kepada pihak 
lain tanpa persetujuan tertulis terlebih dahulu dari pihak I. 
xvi
6.  Pihak II bersedia dan bertanggungjawab untuk melepaskan hak atas jaminan 
tersebut pada pasal IV ayat 1 kepada Pihak I, apabila Pihak II selama tiga 
periode angsuran tidak memenuhi kewajibannya untuk mengangsur 
sebagaimana diatur pada pasal II perjanjian ini. Dengan ini Pihak I memiliki 
hak terhadap barang tersebut dengan tanpa sesuatu yang dikecualikan untuk 
menarik jaminan dan atau untuk menjualnya kepada pihak manapun untuk 
melunasi kewajiban Pihak II. 
Pasal V 
PERISTIWA CIDERA JANJI 
Apabila terjadi hal-hal di bawah ini, setiap kejadian demikian, masing-masing 
secara tersendiri atau bersama-sama disebut peristiwa cidera janji. 
1.  Kelalaian Pihak II untuk melaksanakan kewajiban menurut perjanjian ini 
untuk memilih barang sesuai ketentuan. 
2.  Apabila terdapat suatu janji, pernyataan, jaminan atau kesepakatan menurut 
perjanjian ini atau berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam suatu surat, 
sertifikat atau bukti-bukti lain yang perlu diadakan menurut Perjanjian ini atau 
sehubungan dengan suatu perjanjian yang disebut dalam Perjanjian ini 
ternyata tidak benar, tidak tepat atau menyesatkan. 
3.  Diputuskan oleh suatu pengadilan atau instansi Pemerintah lainnya bahwa 
suatu perjanjian atau dokumen yang merupakan bukti kepemilikan atas barang 
yang dipilih Pihak II adalah tidak sah atau dengan cara yang lain tidak dapat 
diberlakukan.  
4.  Jikalau Pihak II melanggar dan atau tidak dapat memenuhi peraturan-
peraturan dan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini atau tidak dapat 
memenuhi syarat-syarat perjanjian ini serta perjanjian- perjanjian lainnya yang 
bersangkutan dan atau syarat-syarat serta ketentuan yang ditetapkan oleh 
KJKS / BMT …………… baik surat-surat / dokumen-dokumen termasuk 
jaminan yang diberikan. 
5.  Jikalau Pihak II tidak menjalankan wakalah dengan sungguh-sungguh dan atau 
melanggar syar’i dan atau melanggar hukum yang berlaku. 
xvii
Maka seluruh akad akan menjadi jatuh tempo dan seluruh kewajiban-kewajiban 
dan biaya-biaya yang menjadi kewajiban Pihak II harus dibayarkan  kepada                 
Pihak I dan Pihak I dapat mengambil tindakan apapun yang perlu yang 
berhubungan dengan perjanjian ini. 
Pasal VI 
KEADAAN MEMAKSA (FOR CE MAJEURE) 
1.  Apabila terjadi keterlambatan atau kegagalan salah satu pihak untuk 
memenuhi kewajiban sebagaimana tercantum dalam perjanjian ini, yang 
disebabkan oleh karena keadaan yang memaksa seperti bencana alam, huru 
hara dan sabotase, dan tidak dapat dihindari dengan melakukan tindakan 
sepatutnya, maka kerugian yang diakibatkan tersebut ditanggung secara 
bersama oleh para pihak. 
2.  Dalam hal terjadi keadaan memaksa, pihak yang mengalami peristiwa yang 
dikategorikan keadaa memaksa wajib memberitahukan secara tertulis tentang 
hal tersebut kepada pihak lainnya dengan melampirkan bukti secukupnya dari 
kepolisian atau instansi yang berwenang mengenai kejadian memaksa tersebut 
selambat-lambatnya 14 hari terhitung sejak keaddan yang memaksa tersebut. 
3.  Apabila dalam waktu 30 hari sejak diterimanya pemberiitahuan sebagaimana 
ayat 2 tersebut belum atau tidak ada tanggapan dari pihak yang menerima 
pemberitahuan, maka adanya peristiwa tersebut dianggap telah disetujui oleh 
pihak tersebut. 
4.  Apabila keadan memaksa tersebut mengakibatkan kegagalan dalam 
pelaksanaan ketentuan-ketentuan dalam perjanjian ini selama 3 bulan, maka 
perjanjian ini dapat diakhiri dengan suatu perjanjian antara para pihak. 
xviii
Pasal VII 
ADDENDUM 
Kedua belah pihak telah sepakat, bahwa segala sesuatu yang belum diatur dalam 
akad ini, akan diatur dalam addendum-adendum dan atau surat-surat dan atau 
lampiran-lampiran yang akan dibuat dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan 
dengan perjanjian ini. 
Pasal VIII 
DOMISILI HUKUM 
Tentang akad ini dan segala akibatnya, para pihak memilih domisili hukum 
yangtetap dan umum di kantor kepaniteraan Pengadilan Negeri ………. di 
…………. 
Pasal IX 
PASAL TAMBAHAN 
AKAD 
sama, ditanda tangani kedua belah pihak dengan sukarela (saling ridlo) tanpa  
paksaan dari pihak manapuin, serta disaksikan oleh : 
1.   …………………………………… 
2  …………………………………… 
…………….. , ……………. 200 … 
Pihak I 
Pihak II 
( …………………………. ) 
( ……………………….. ) 
Saksi-saksi : 
1.  ……………………………. 
2.  ……………………………. 
xix
Lampiran 7 
AKAD PE MBIAYAAN IJARAH 
No. Akad : 2.02.05.00000 
Bimillahirrahmanirrahiim 
“Hai orang-orang yang beriman penuhilah akad-akad (perjanjian) itu, 
cukupkanlah takaran jangan kamu menjadi orang-orang yang merugi.” 
(Surat Al Maaidah : 181) 
Perjanjian pembiayaan ini ditandatangani dan dibuat pada hari : ………….. 
tanggal … / … / … oleh dan antara : 
I.  KSU BMT SAFINAH Jl. Pramuka No. 60 Klaten. 
Untuk selanjutnya disebut sebagai PIHAK I (BMT) dalam hal ini diwakili 
oleh : 
Nama    :  ……………………… 
Jabatan     :  ……………………… 
Dalam hal ini bertindak dalam hal kedudukan dari dan oleh karenanya 
bertindak dan atas nama seperti kepentingan BMT. 
II.  Nama    : ………………………. 
No. rek    :  ……………………… 
Alamat    :  .................................... 
Tempat Lahir  : ………………………. 
Tanggal lahir  :  …… / …… / ……….. 
Pekerjaan    :  ……………………… 
Untuk selanjutnya disebut PIHAK II (Nasabah) 
xx
Telah bersepakat melaksanakan perjanjian Pembiayaan Ijarah dengan ketentuan 
yang tercantum pada pasal-pasal sebagai berikut : 
Pasal 1 
Perjanjian pembiayaan ini dilandasi oleh Ketaqwaan kepada Allah SWT saling 
percaya Ukhuwah Islamiyah dan rasa tanggung jawab. 
Pasal 2 
Bahwa PIHAK I dengan ini menyerahkan uang sebesar Rp.   0  kepada PIHAK II 
untuk biaya …………… 
Pasal 3 
PIHAK II bertindak mewakili PIHAK I, melakukan urusan  pada pasal 2. 
Pasal 4 
Selanjutnya barang / jasa pada psal 2 tersebut, disewa oleh PIHAK II dari PIHAK 
I dengan harga : Rp. 0 
Pasal 5 
Pembayaran sewa akan dilakukan secara mengangsur kepada PIHAK I, dengan 
ketentuan sebagai berikut : 
1.  Pembayaran akan dilakukan selama 0 kali, selama ……………….. 
2.  Pembayaran angsuran, pertama kali dilakukan pada tanggal …. / …. / …… , 
dan angsuran berikutnya dilakukan setiap ….  jatuh tempo tanggal …. / ….. / 
…….. 
3.  Biaya administrasi sejumlah Rp. 0 dibebankan kepada Pihak II. 
4.  Besarnya pembayaran anngsuran : Rp. 0 
Dengan rincian sebagai berikut : Sewa Pokok  :  Rp.  0 
Mark Up  :  Rp.  0 
xxi
Pasal 6 
Untuk menambah rasa tanggung jawab maka PIHK II bersedia melampirkan salah 
satu barang berupa : 
Pasal 7 
Berhubung dengan pasal 6, permasalahan aturan pembiayan mengalami hal-hal 
yang tidak diinginkan dan  mengalami jalan akhir maka PIHAK I berwenang 
penuh akan barang jaminan tersebut. 
Pasal 8 
Pembayaran Angsuran dan pemberian Bagi Hasil dari PIHAK II kepada PIHAK I 
diserahkan ke kantor BMT Safinah Jl. Pramuka No. 60 Klaten pada jam 
pelayanan kas. 
Pasal 9 
Dalam pelaksanaan pembiayaan ini tidak diharapkan terjadi hal-hal yang tidak 
diinginkan, dikarenakan dasar transaksi ini semata-mata karena Allah SWT 
namun apabila terjadi sebaliknya maka kedua belah pihak setuju menyelesikan 
melalui peraturan atau prosedur yang ada di BMT SAFINAH dan putusan akhir 
yang mengikat. 
xxii
Demikian perjanjian ini dibuat dan ditandatangani dengan sebenar-benarnya tanpa 
ada unsur paksaan dari pihak manapun. 
Semoga Allah memudahkan segala Ikhtiar kita. Amin. 
Pihak II 
Pihak I 
Saksi-saksi : 
Isteri / Suami :  
…………………… 
………………………. 
………………………. 
……………………. 
Mengetahui 
Pengurus KSU BMT Safinah, 
Menajer KSU BMT Safinah, 
………………… 
…………………… 
xxiii
WAWANCARA TESIS 
1.  Sejarah berdirinya BMT Safinah Klaten. 
2.  Pertama berdiri berapa orang ? 
Sekarang sudah berapa orang ? 
(Pendiri, Pengurus, Pengelola, Anggota) 
3.  Berapa orang yang bertempat tinggal di sekitar BMT ini ? 
4.  BMT Safinah terletak di desa ? 
5.  Denah kerja BMT meliputi wilayah ? 
6.  Visi BMT Safinah Klaten ? 
Misi BMT Safinah Klaten ? 
Tujuan BMT Safinah Klaten ? 
Prinsip-prinsip BMT Safinah Klaten ? 
7.  Asas/Landasan BMT Safinah Klaten dan legalitas  hukumnya ! 
8.  Modal BMT Safinah Klaten hingga Juli 2007 sudah berapa ? 
9.  Modal yang telah beredar hingga Juli tahun 2007 berapa ? 
10. Jumlah nasabah hingga bulan Juli tahun 2007 berapa ? Pada tahun 2006 ada 
berapa nasabah ? Tahun 2007 ada berapa ? 
11. Pengelolaan dana BMT Safinah Klaten meliputi ? 
(Dana Pihak I, dana Pihak II (pinjam dari luar), Dana Pihak Ke III 
(Simpanan)). 
12. Produk-produk BMT Safinah Klaten apa saja ? 
13. Prosedur Nasabah mendapatkan pembiayaan sampai dengan penanda tanganan 
akad. 
a.  Prosedur Murabahah 
b.  Prosedur Mudharabah 
c.  Prosedur Ijarah. 
14. Produk-produk yang macet BMT Safinah Klaten apa saja ? 
15. Sebab-sebabya ? 
16. Bagaimana penyelesaiannya produk yang macet ? 
xxiv
PROSEDUR AKAD 
-  Nama Pimpinan / pengelola BMT Safinah Klaten : 
-  Alamat Rumah 
A.  AKAD MURABAHAH 
1.  Nasabah mengajukan permohonan pembiayaan secara tertulis : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
2.  Nasabah datang menghadap sendiri : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
3.  Usia nasabah rata-rata berusia : 
a.  21 tahun 
b.  Di atas 21 tahun 
4.  Apa ada nasabah di bawah usia 21 tahun : 
a.  Ada 
b.  Tidak ada 
c.  Ada tetapi  sudah nikah 
5.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Ada 
b.  Belum ada 
c.  Tidak ada 
d.  Atau …………. 
6.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Barangnya jelas 
b.  Barangnya tidak jelas 
c.  Belum jelas 
7.  Barang yang dimohonkan nasabah : 
a.  Barangnya halal 
b.  Barangnya tidak halal 
xxv
8.  Dalam penentuan margin / keuntungan : 
a.  Musyawarah dengan nasabah 
b.  Tidak ada musyawarah 
9.  Besarnya margin / keuntungan : 
a.  Ditentukan dulu 
b.  Berdasarkan hasil musywarah 
10. Margin / keuntungan sebesar  rata-rata : 
a.  1 % 
b.  1 ½% 
c.  2% 
d.  2½% 
e.  Atau berapa ….. % 
11. Apa ada batasan pengambilan margin / keuntungan : 
a.  Ada, yakni … s/d ……% 
b.  Tidak ada 
c.  Belum jelas 
12. Dalam kesepakatan akad, nasabah dalam keadaan : 
a.  Rela 
b.  Tidak rela 
c.  Keberatan 
13. Sebelum penanda tanganan akad nasabah dalam keadaan : 
a.  Sudah paham 
b.  Belum paham 
c.  Tidak paham 
14. Setelah terjadinya akad nasabah menerima : 
a.  Bentuk barang 
b.  Bentuk uang 
c.  Atau ………… 
xxvi
15. Pembuatan akad apakah pakai jasa notaris : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
c.  Atau ………. 
16. Apa ada beban pajak : 
a.  Ada 
b.  Tidak ada 
B.  AKAD IJARAH 
1.  Barang yang disewakan merupakan hak milik yang menyewakan : 
a.  Ya 
b.  Bukan 
c.  Tidak jelas 
2.  Barang yang disewakan mengandung manfaat : 
a.  Ya 
b.  Tidak 
c.  Tidak jelas 
3.  Bila barang yang disewakan milik orang lain, harus ada ijin pemiliknya : 
a.  Ya 
b.  Tidak perlu 
4.  Saat berlangsungnya akad barangnya disyaratkan harus ada dan jelas : 
a.  Ya 
b.  Tidak ada 
c.  Atau tidak disyaratkan 
5.  Saat berlangsungnya akad lamanya waktu sewa ditentukan : 
a.  Ya 
b.  Belum ditentukan 
c.  Tidak ditentukan 
6.  Saat berlangsungnya akad ongkos / harga sewa ditentukan  /  diketahui               
dulu : 
a.  Ya 
xxvii
b.  Belum ditentukan 
c.  Tidak ditentukan dulu 
7.  Harga sewa / ongkos sewa yang telah ditentukan kedua belah pihak : 
a.  Sepakat / rela 
b.  Tidak sepakat 
c.  Belum sepakat 
8.  Pembayaran sewa oleh para nasabah dilakukan : 
a.  Diangsur tiap bulan 
b.  Tidak diangsur 
c.  Dibayar kontan 
9.  Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT) proses akad pemindahan hal milik 
barang dilakukan pada awal sewa : 
a.  Ya 
b.  Tidak  
10. Proses akad pemindahan hak milik barang (IMBT) dilakukan pada akhir 
masa sewa : 
a.  Ya 
b.  Tidak  
11. Saat penanda tanganan akad nasabah : 
a.  Sudah paham 
b.  Belum paham 
c.  Tidak paham