SEJARAH PELAKSANAAN
DEMOKRASI DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
Dosen : MASTUR, S.H.
Disusun Oleh :
Nama : JOKO WASKITO
NIM : 07 601 1376
FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2007/2008
1
I. PENDAHULUAN
Istilah demokrasi berasal dari perkataan Yunani demokratia, arti pokok : Demos
= rakyat : kratos = kekuasaan ; jadi kekuasaan rakyat, atau suatu bentuk
pemerintahan negara, dimana rakyat berpengaruh di atasnya, singkatnya,
pemerintahan rakyat.
Sejak abad ke-6 sebelum masehi, bentuk pemerintahan negara kota (City
States) di Yunani adalah berdasarkan demokrasi. Athena membuktikan dalam sejarah
tentang demokrasi yang tertua di seluruh dunia. Pemerintahan demokrasi yang tulen
adalah suatu pemerintahan, yang sungguh-sungguh melaksanakan kehendak rakyat
yang sebenarnya. Akan tetapi kemudian penafsiran atas demokrasi itu berubah
menjadi suara terbanyak dari rakyat banyak.
Tafsiran terakhir ini tidak asli lagi oleh karena demokrasi diartikan sebagai
pelaksanaan suara yang lebih banyak dari rakyat banyak, jadi tidak melaksanakan
kehendak seluruh rakyat. Dalam hal ini, demokrasi dapat disalahgunakan oleh
golongan yang lebih besar dalam suatu negara untuk memperoleh pengaruh pada
pemerintahan negara, dengan selalu mengalahkan kehendak golongan yang kecil
jumlah anggotanya. Dalam demokrasi yang tulen dijaminlah hak-hak kebebasan tiap-
tiap orang dalam suatu anggota.
Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga kita
tidak akan lepas dari alur periodesasi sejarah politik di Indonesia, yaitu apa yang
disebut periode pemerintahan masa Orde Lama. Orde Baru, dan Reformasi.1
II. ALUR ATAU PERIODESASI PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
A. Demokrasi dalam Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan
Periode pertama pemerintahan negara Indonesia adalah periode
kemerdekaan. Para penyelenggara pada awal periode kemerdekaan mempunyai
komitmen yang sangat besar dalam mewujudkan demokrasi politk di Indonesia.
Tahukah Anda, mengapa demikian? Ya., hal itu terjadi karena latar belakang
pendidikan mereka. Mereka percaya bahwa demokrasi bukan merupakan suatu
yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang
perlu diwujudkan. Tentu saja, tidak terlampau banyak yang akan dibicarakan
menyangkut demokrasi pada pemerintahan periode ini (1945-1949), kecuali
beberapa hal penting yang merupakan peletakan dasar bagi demokrasi di
Indonesia untuk masa-masa selanjutnya.
1 Amin Suprihatini, S.Pd., dkk. 2005. Kewaganegaraan Kelas X. Cempaka Putih : Jakarta. hlm :
124 - 129
Pertama, hak politik (political franchise) yang menyeluruh. Para pembentuk
negara, sudah sejak semula mempunyai komitmen yang sangat besar terhadap
demokrasi. Sehingga begitu menyatakan kemerdekaann dari pemerintah kolonial
Belanda, semua warga negara yang sudah dianggap dewasa memiliki hak-hak
politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras, agama, suku,
dan kedaerahan.
Kedua, presiden yang secara konstitusional memiliki peluang untuk menjadi
diktator, dibatasi kekuasaannya ketika Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP)
dibentuk untuk menggantikan parlemen.
Ketiga, dengan maklumat wakil presiden dimungkinkan terbentuknya
sejumlah partai politik, yang kemudian menjadi peletak dasar bagi sistem
kepartaian di Indonesia untuk masa-masa selanjutnya dalam sejarah kehidupan
politik di tanah air.
Perlu Anda ketahui bahwa pelaksanaan demokrasi pada masa
pemerintahan revolusi kemerdekaann baru terbatas pada interaksi politik di
parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Elemen-
elemen demokrasi yang lain belum sepenuhnya terwujud, karena situasi dan
kondisi yang tidak memungkinkan. Sebab, pemerintah harus memusatkan seluruh
energinya untuk bersama-sama dengan rakyat mempertahankan kemerdekaan
dan menjaga kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap terwujud.
Pada masa pemerintahan revolusi kemerdekaan, partai-partai politik
tumbuh dan berkembang dengan pesat. Tetapi, fungsinya yang paling utama
adalah ikut serta memenangkan revolusi kemerdekaan dengan menanamkan
kesadaran untuk bernegara serta menanamkan semangat antiimperialisme dan
kolonialisme. Karena keadaan tidak mengizinkan, pemilihan umum belum dapat
dilakukan, sekalipun hal itu sudah merupakan salah satu agenda politik yang
utama.
B. Demokrasi Parlementer (1949 – 1959)
Periode kedua pemerintahan negara Indonesia adalah tahun 1950 sampai
dengan 1959, dengan menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)
sebagai landasan konstitusional. Mengapa periode pemerintahan dalam masa ini
disebut sebagai pemerintahan parlementer? Tentu Anda ingin tahu jawabannya
bukan? Ya, karena pada masa ini merupakan kejayaan parlemen dalam sejarah
politik Indonesia.
Masa demokrasi parlementer merupakan masa kejayaan demokrasi
Indonesia, karena hampir semua elemen demokrasi dapat ditemukan
perwujudannya dalam kehidupan politik Indonesia.
Pertama, lembaga perwakilan rakyat atau parlemen memainkan peranan
yang sangat penting dalam proses politik yang berjalan. Perwujudan kekuasaan
parlemen ini diperlihatkan dengan adanya sejumlah mosi tidak percaya kepada
pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Kedua, akuntabilitas pemegan jabatan dan plitisi pada umumnya sangat
tinggi. Hal ini dapat terjadi, karena berfungsinya parlemen dan juga sejumlah
media masa sebagai alat kontrol sosial. Sejumlah kasus jatuhnya kabinet dalam
periode ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga, kehidupan kepartaian boleh dikatakan memperoleh peluang yang
sebesar-besarnya untuk berkembang secara maksimal. Dalam periode ini,
Indonesia menganut sistem banyak partai (multyparty system). Ada hampir 40
partai politik yang terbentuk dengan tingkat otonomi yang sangat tinggi dalam
proses rekrutmen, baik pengurus atau pimpinan partainya maupun para
pendukungnya. Campur tangan pemerintah dalam hal rekrutmen internal partai
boleh dikatakan tidak ada sama sekali, sehingga setiap partai bebasmemilih ketua
dan segenap anggota pengurusnya.
Empat, sekalipun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali, yaitu pada
tahun 1955, tetapi pemilihan umum tersebut benar-benar dilaksanakan dengan
prinsip demokrasi. Kompetisi antarpartai politik berjalan dengan baik dan sehat.
Partai-partai politik dapat mengajukan nominasi calonnya dengan bebas,
kampanye dilaksanakan degnan penuh tanggung jawab dalam rangka mencari
dukungan yang kuat dari masyarakat pemilih. Dan yang tidak kalah pentingnya
adalah setiap pemilih dapat menggunakan hak pilihnya dengan bebas tanpa ada
tekanan atau rasa takut.
Kelima, masyarakat pada umumnya dapat merasakan bahwa hak-hak
dasar mereka tidak dikurangi sama sekali, sekalipun tidak semua warga dapat
memanfaatkannya dengan maksimal. Hak untuk berserikat dan berkumpul dapat
diwujudkan dengan jelas, dengan terbentuknya sejumlah partai politik serta
organisasi peserta pemilihan umum.
Kebebasan pers juga dirasakan dengan baik, karena tidak dikenal adanya
lembaga yang menghambat kebebasan tersebut. Pers memainkan peranan yang
sangat besar dalam meningkatkan dinamika kehidupan politik, terutama sebagai
alat kontrol sosial. Sekalipun pers itu sendiri merupakan instrumen politik yang
sangat efektif dari sejumlah partai politik. Setiap partai politik yang besar
mempunyai surat kabar. Partai Nasional Indonesia (PNI) memiliki Suluh Indonesia,
yang kemudian berubah menjadi Suluh Marhaen. Partai Sosial Indonesia
mempunyai afiliasi dengan harian Pedoman, Masyumi memiliki harian Abadi, dan
Partai Komunis Indonesia (PKI) menerbitkan harian Rakyat. Demikian juga
dengan kebebasan berpendapat (freedom of expression), masyarakat yang
mampu melaksanakannya dapa saja menggunakan haknya tanpa ada rasa
khawatir untuk menghadapi resiko, sekalipun mengkritik pemerintah dengan
keras.
Keenam, dalam masa pemerintahan parlementer, daerah-daerah
memperoleh otonomi yang cukup, bahkan otonomi yang seluas-luasnya dengan
asas desentralisasi sebagai landasan untuk berpijak dalam mengatur hubungan
kekuasaan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah. Daerah-daerah
diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
aspirasi yang berkembang di daerah tersebut. Termasuk di dalamnya
kewenangan untuk menggali sumber daya keuangan dan kewenangan untuk
mengisi jabatan lokal yang sesuai dengan kondisi politik lokal.
Memang, demokrasi mempunyai kaitan erat dengan derajat tinggi
rendahnya desentralisasi dalam penyelenggaraan negara. Semakin demokratis
sebuah negara, maka semakin ada kecenderungan ke arah pemerintahan yang
sentralistis.
Pada saat berlangsungnya sistem ini di Indonesia, pemerintahan dipimpin
oleh seorang perdana menteri. Sedangkan, presiden hanya berkedudukan
sebagai kepala negara. Dalam sistem ini, perdana menteri (kabinetnya)
bertanggung jawab kepada parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Akibat pelaksanaan demokrasi parlementer, roda pemerintahan tidak stabil.
Hal ini disebabkan oleh begitu mudahnya oposisi dalam parlemen mengajukan
mosi tidak percaya terhadap kabinet atau pemerintah yang berkuasa.
C. Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Geleide democratie ialah demokrasi terpimpin menurut Ir. Soekarno,
sedang menurut Dr. Moh. Hatta maksudnya demokrasi terdidik ; kedua tafsiran ini
arti dan maksudnya sama saja. Dengan demokrasi terpimpin atau demokrasi
terdidik diartikan bahwa berhubung dengan terdapatnya jarak yang memisahkan
para pemimpin (kaum intelek) yang telah mampu atau belum untuk demokrasi ;
oleh karenanya untuk melaksanakan demokrasi para pemimpin harus memimpin
atau mendidik rakyat berdemokrasi.2
Sejak berakhirnya pemilihan umum 1955, Presiden Ir. Soekarno sudah
menunjukkan gejala ketidaksenangannya pada partai-partai politik. Hal itu terjadi,
karena partai politik sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan
kurang memperhatikan kepentingan politik nasional secara menyeluruh. Bahkan,
pernah pada suatu kesempatan di Istana Merdeka, beliau melontarkan
keinginannya untuk membubarkan saja partai-partai politik. Selain itu, Ir. Soekarno
juga melontarkan gagasan, bahwa demokrasi parlementer tidak sesuai dengan
kepribadian bangsa Indonesia yang dijiwai oleh semangat gotong royong dan
kekeluargaan. Ir. Soekarno juga menekankan bagaimana besarnya peranan
pemimpin dalam proses politik yang berjalan dalam masyarakat kita. Ir. Soekarno
kemudian juga mengusulkan agar dibentuk pemerintahan bersifat gotong royong
yang melibatkan semua kekuatan politik yang ada, termasuk Partai Komunis
Indonesia yang selama ini tidak pernah terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet.
Untuk mewujudkan gagasan tersebut, Ir. Soekarno kemudian mengajukan usulan
yang dikenal sebagai "Konsepsi Presiden". Melalui konsepsi tersebut, terbentuk
kemudian apa yang disebut Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik
dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Konsepsi presiden dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan
yang sangat kuat dari sejumlah partai politik, terutama Masyumi serta PSI.
Penentang konsepsi presiden menyatakan, bahwa pembentukan Dewan Nasional
merupakan pelanggaran yang sangat mendasar terhadap konstitusi negara,
karena lembaga tersebut tidak dikenal dalam konstitusi. Pada saat yang sama,
sejumlah faktor lain muncul secara hampir bersamaan.
Pertama, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah
semakin memburuk. Sejumlah perwira Angkatan Darat di daerah-daerah
membentuk misalnya Dewan Banteng, Dewan Garuda, dan Dewan Gajah di
Sumatera, yang kemudian mengambil alih pemerintahan sipil. Demikian pula yang
terjadi di Sulawesi. Semuanya itu kemudian mencapai puncaknya dengan
terjadinya pemberontakan daerah yang dipelopori oleh PRRI dan Permesta.
Kedua, Dewan Konstituante ternyata mengalami jalan buntu untuk
mencapai kesepakatan guna merumuskan ideologi nasional, karena tidak
tercapainya titik temu antara dua kubu politik, yaitu kelompok yang menginginkan
Islam sebagai ideologi negara dan kelompok lain yang menginginkan Pancasila
2 Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pendidikan
Kewarganegaraan di PerguruanTinggi. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2003), hlm. 110.
sebagai dasar negara. Ketika votting dilakukan, ternyata suara mayoritas yang
diperlukan tidak tercapai. Bahkan hal tersebut berlarut-larut, karena semakin
banyak anggota Konstituante yang tidak mau lagi menghadiri sidang lembaga
perwakilan rakyat tersebut.
Agar dapat keluar dari persoalan politik yang sangat pelik tersebut, dengan
pertimbangan demi kepentingan negara, Ir. Soekarno kemudian pada tanggal 5
Juli 1959 mengeluarkan Dekrit Presiden yang membubarkan Konstituante dan
menyatakan kembali pada Undang-Undang Dasar 1945. Dekrit Presiden tersebut
merupakan palu godam bagi demokrasi parlementer, yang kemudian membawa
dampak yang sangat besar dalam kehidupan politik nasional. Era baru demokrasi
dan pemerintahan di Indonesia mulai memasuki apa yang kemudian oleh Ir.
Soekarno disebut sebagai Demokrasi Terpimpin. Untuk mewujudkan demokrasi
terpimpin ini, maka terbentuklah Front Nasional.
Dibentuknya Front Nasional dan penyederhanaan partai membawa akibat
adanya stabilitas yang semu. Keadaan ini terjadi karena tidak meletakkan dasar
yang kuat dalam proses pergantian pimpinan nasional. Selain itu, karena
mengandalkan adanya blok politik yang dapat mengelola Front Nasional. Adanya
pengkultusan terhadap Presiden Ir. Soekarno setelah tahun 1963 semakin
menyebabkan saluran politik tersumbat. Kecuali, dari kelompok-kelompok yang
memberikan kontribusi kepada elite politik. Begitu pula pengangkatan Presiden Ir.
Soekarno sebagai presiden seumur hidup adalah tindakan inkonstitusional yang
bertentangan dengan UUD 1945. Berbagai situasi politik yang tidak menentu
sangat menguntungkan bagi PKI, sehingga partai ini menjadi semakin besar.
D. Demokrasi Pancasila (1965 – 1998)
Demokrasi Pancasila dimulai ketika rezim Ir. Soekarno berakhir. Demokrasi
Pancasila adalah paham demokrasi yang bersumber pada kepribadian dan
falsafah serta budaya hidup bangsa Indonesia. Dalam Demokrasi Pancasila,
kedaulatan yang dimaksud adalah kedaulatan yang berdasarkan musyawarah
yang meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan hankam yang
berketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
serta persatuan dan kesatuan bangsa. Demokrasi Pancasila berdasarkan paham
kekeluargaan dan gotong royong, yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat seperti
tercamtum dalam Pembukaan UUD 1945. Hal ini bisa terjadi apabila Pancasila
benar-benar dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Konsep yang baik dari Demokrasi Pancasila dalam pelaksanaannya tidak
bisa diwujudkan dengan mudah. Pemerintahan rezim Orde Baru telah mencoba mewujudkannya,
diantaranya bidang politik dengan mengeluarkan lima paket
Undang-Undang Politik berikut :
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu.
b. Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Kedudukan MPR dan DPR.
c. Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1985 tentang Partai Politik (Parpol) dan
Golongan Karya (Golkar).
d. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
e. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan
(Ormas).
Kelima undang-undang tersebut disusun untuk mengatur kehidupan politik
di tanah air. Akan tetapi, dalam praktiknya undnag-undang ini dipergunakan untuk
mempertahankan status quo kekuasaan Orde Baru.
E. Demokrasi Masa Reformasi (1998 – Sekarang)
Masa reformasi membawa angin segar bagi demokrasi. Dalam kurun waktu
32 tahun dibawah rezim Orde Baru, kehidupan politik terbelenggu oleh ketentuan
yang ada dalam lima paket Undang-Undang Politik. Berbagai alur aksi menentang
rezim dianggap kontra produktif dengan pembangunan. Sejak terpuruknya kondisi
perekonomian Indonesia, aksi-aksi menuntut turunnya Orde Baru semakin tinggi
frekuensinya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto lengser keprabon dari
kursi presiden dan menunjuk Habibie wakilnya sebagai penggantinya.
Masa pemerintahan Habibie diwarnai dengan iklim keterbukaan demokrasi,
misalnya menerapkan adanya kebebasan pers. Dengan adanya keterbukaan ini,
keadaan politik dalam negeri mengalami euforia demokrasi. Tuntutan masyarakat
dalam aksi protes muncul silih berganti. Hal ini menimbulkan sikap anarki dan
tindak kekerasan.
Keadaan ini diharapkan akan berakhir, setelah diadakan pemilihan umum
1999 tanggal 7 Juni 1999 agar terwujud pemerintahan yang memenuhi aspirasi
seluruh rakyat. Pemilu ini diikuti oleh 48 partai politik. Dalam Sidang Umum MPR
1999 pada tanggal 1 – 21 Oktober 1999, dihasilkan perubahan besar dengan
keputusan untuk mengamandemen Undang-Undang Dasar 1945. Hal itu
merupakan wujud keinginan untuk mereformasi total sistem ketatanegaraan
Indonesia agar lebih demokratis. Pemilihan presiden dilakukan dalam suasana
yang transparan dan demokratis dalam ketatanegaraan Indonesia. Abdurrahman
Wahid (Gus Dur) dan Megawati Soekarnoputri masing-masing terpilih sebagai
presiden dan wakil presiden.
Dibawah dua kepemimpinan ini, roda pemerintahan ternyata tidak juga
berjalan mulus. Hubungan legislatif dan eksekutif terburuk terjadi di era
pemerintahan ini. DPR mengajukan memorandum kepada Gus Dur karena telah
dianggap menyalahgunakaan kekuasaan. Sementara itu, Gus Dur
menanggapinya dengan mengeluarkan dekrit yang salah satu isinya adalah ;
Membekukan lembaga DPR dan MPR. Namun, Gus Dur ternyata tidak
mempunyai cukup pendukung. Dekrit ini kemudian menjadi bumerang dengan
penolakan DPR/MPR atas dekrit tersebut dan memaksa Gus Dur turun lewat
Sidang Istimewa MPR. Hanya selang empat hari setelah dekrit tersebut
dikeluarkan, Gus Dur harus menyaksikan Megawati Soekarnoputri mengambil alih
posisinya dengan Hamzah Haz sebagai wakilnya.
III. PENUTUP
Seiring dengan bergulirnya sejarah demokrasi di Indonesia, yang menyebabkan
dampak yang nyata bagi kehidupan, khususnya bangsa Indonesia sendiri. Dampak itu
memang berbeda-beda yang dirasakan oleh setiap individu, ada yang potisif dan ada
yang negatif. Namun di balik itu semua, merupakan suatu pelajaran yang patut kita
petik maknya yang terkandung di dalamnya.
Demikian makalah yang dapat kami ketengahkan, kami sangat mengharapkan
masukan dari pembaca sekalian demi kesempurnaan makalah ini. Kekurangan dari
makalah ini merupakan kami dalam ilmu pengetahun yang kami miliki, dan kelebihan
hanya semata-mata datang dari Allah SWT., semoga bermanfaat bagi kita semua.
Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Suprihatini, S.Pd., Amin dkk. 2005. Kewaganegaraan Kelas X (Cempaka Putih : Jakarta,
2005). hlm : 124-129
C.S.T. Kansil Prof. Drs., S.H. dan S.T. Kansil, S.H Cristine., M.H. Pendidikan
Kewarganegaraan di PerguruanTinggi. (Jakarta : PT. Pradnya
Paramita, 2003), hlm. 110.