BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pada
Umumnya pemikiran teoritis itu memiliki kaitan yang erat dengan
lingkungan tempat pemikiran itu dilakukan dan pemikiran teoritis itu
permulaan lahirnya filsafat di Yunani pada abad ke-6 sebelum masehi,
Yunani merupakan tempat dimana pemikiran ilmiah mulai tumbuh dan pada
zaman itu lahirlah para pemikir yang mengarah dan menyebabkan filsafat
itu dilahirkan.
Cirri-ciri
umum filsafat Yunani adalah rasionalisme. Rasionalisme Yunani itu
mencapai puncaknya pada orang-orang sophis untuk melihat rasionalisme
sofis perlu dipahami lebih terdahulu latar belakangnya. Latar belakang
itu terletak pada pemikiran filsafat yang ada sebelumnya.
Pada
bab selanjutnya penulis akan membahas tentang filsafat pra Socrates dan
filsafat Socrates beserta tokoh-tokohnya sekaligus pemikirannya.
B. Rumusan Masalah
1) Definisi Filsafat
2) Periode Pra Socrates
a. Thales
b. Anaximandros
c. Pythagoras
d. Zeno
3) Periode Zaman Ke’emasan (Socrates)
a. Socrates
b. Plato
c. Aristoteles
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi Filsafat
Secara
etimologis kata filsafat berasal dari bahasa Yunani yaitu philosophia,
Philosophia terdiri dari dua kata, yaitu philein yang berarti mencintai
atau philia yang berarti cinta serta sophos yang berarti kearifan atau
kebijaksanaan. Dari bahasa Yunani ini melahirkan kata dalam bahasa
Inggris philosophy yang diterjemahkan sebagai cinta
kearifan/kebijaksanaan. Cinta dapat diartikan sebagai suatu dinamika
yang menggerakan subjek untuk bersatu dengan objeknya dalam arti
dipengaruhi dan diliputi objeknya. Sedangkan kearifan atau kebijaksanaan
dapat diartikan ketepatan bertindak. Dalam bahasa Inggris dapat
ditemukan kata policy dan wisdom untuk menyebut kebijaksanaan. Namun
yang sering dipergunakan dalam filsafat adalah kata wisdom dan lebih
ditujukan pada pengertian kearifan.
B. Zaman Pra Socrates
Filsafat
pra-sokrates ditandai oleh usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
("arche" = ). Tidakkah di balik keanekaragaman realitas di alam semesta
itu hanya ada satu azas? Thales mengusulkan: air, Anaximandros: yang tak
terbatas, Empedokles: api-udara-tanah-air. Herakleitos mengajar bahwa
segala sesuatu mengalir ("panta rei" = selalu berubah), sedang
Parmenides mengatakan bahwa kenyataan justru sama sekali tak berubah.
Namun tetap menjadi pertanyaan: bagaimana yang satu itu muncul dalam
bentuk yang banyak, dan bagaimana yang banyak itu sebenarnya hanya satu?
Pythagoras (580-500 sM) dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk
merenungkan hal itu. Democritus (460-370 sM) dikenal oleh konsepnya
tentang atom sebagai basis untuk menerangkannya juga. Zeno (lahir 490
sM) berhasil mengembangkan metode reductio ad absurdum untuk meraih
kesimpulan yang benar.
Para filosof pada zaman ini diantaranya :
1) Thales (624 SM - 546 SM)
Thales
hidup sekitar 624-546 SM. Ia adalah seorang ahli ilmu termasuk ahli
ilmu Astronomi. Ia berpendapat bahwa hakikat alam ini adalah air.
Segala-galanya berasal dari air. Bumi sendiri merupakan bahan yang
sekaligus keluar dari air dan kemudian terapung-apung diatasnya.
Pandangan
yang demikian itu membawa kepada penyesuaian-penyesuain lain yang lebih
mendasar yaitu bahwa sesungguhnya segalanya ini pada hakikatnya adalah
satu. Bagi Thales, air adalah sebab utama dari segala yang ada dan
menjadi ahir dari segala-galanya.
Ajaran
Thales yang lain adalah bahwa tiap benda memiliki jiwa. Itulah sebabnya
tiap benda dapat berubah, dapat bergerak atau dapat hilang kodratnya
masing-masing. Ajaran Thales tentang jiwa bukan hanya meliputi
benda-benda hidup tetapi meliputi benda-benda mati pula.
2) Anaximandros (610 SM - 546 SM)
Anaximandros
adalah salah satu murid Thales. Anaximandros adalah seorang ahli
astronomi dan ilmu bumi. Meskipun dia murid Thales namun ia mempunyai
prinsip dasar alam satu akan tetapi bukanlah dari jenis benda alam
seperti air sebagai mana yang dikatakan oleh gurunya.
Prinsip
dasar alam haruslah dari jenis yang tak terhuitung dan tak terbatas
yang oleh dia disebut Apeiron yaitu zat yang tak terhingga dan tak
terbatas dan tidak dapat dirupakan tidak ada persamaannya dengan apapun.
Meskipun
tentang teori asal mula kejadian alam tidak begitu jelas namun dia
adalah seorang yang cakap dan cerdas dia tidak mengenal ajaran Islam
atau yang lainnya.
3) Pythagoras (582 SM - 496 SM)
Pythagoras
lahir dipulau Samos yang termasuk daerah Ionia dalam kota ini
Pythagoras mendirikan suatu tarekat beragama yang sifat-sifatnya akan
dibicarakan di bawah ini. Tarekat yang didirikan Pythagoras bersifat
religious, mereka menghomati dewa Apollo.
Menurut
kepercayaan Pythagoras manusia asalnya tuhan, jiwa itu adalah
penjelmaan dari tuhan yang jatuh kedunia karena berdosa dan dia akan
kembali kelangit kedalam lingkungan tuhan bermula, apabila sudah habis
dicuci dosanya itu, hidup didunia ini adalah persediaan buat akhirat.
Sebab itu semula dari sini dikerjakan hidup untuk hari kemudian.
Pythagoras
tersebut juga sebagai ahli pikir. Terutama dalam ilmu matematik dan
ilmu berhitung. Falsafah pemikirannya banyak diilhami oleh rahasia
angka-angka. Dunia angka adalah dunia kepastian dan dunia ini erat
hubungannya dengan dunia bentuk. Dari sini dapat dilihat kecakapannya
dia dalam matematik mempengaruhi terhadap pemikiran filsafatnya sehingga
pada segala keadaan ia melihat dari angka-angka dan merupakan paduan
dari unsur angka.
4) Zeno (490 SM)
Lahir
di Elea sekitar 490 SM. Ajarannya yang penting adalah pemikirannya
tentang dialektika. Dialektika adalah satu cabang filsafat yang
mempelajari argumentasi.
C. Zaman Ke’emasan (Socrates)
Puncak
zaman Yunani dicapai pada pemikiran filsafati Sokrates (470-399 sM),
Plato (428-348 sM) dan Aristoteles (384-322 sM). Disebut demikian karena
pada zaman ini sejarah menyebutkan bahwa awal mula dari munculnya ilmu
kedokteran, ilmu alam dan lain-lain adalah pada zaman ini.
1) Sokrates (470-399 sM)
Hidup
pada masa yang sama dengan mereka yang menamakan diri sebagai "sophis"
("yang bijaksana dan berapengetahuan"), Sokrates lebih berminat pada
masalah manusia dan tempatnya dalam masyarakat, dan bukan pada
kekuatan-kekuatan yang ada dibalik alam raya ini (para dewa-dewi
mitologi Yunani). Seperti diungkapkan oleh Cicero kemudian, Sokrates
"menurunkan filsafat dari langit, mengantarkannya ke kota-kota,
memperkenalkannya ke rumah-rumah". Karena itu dia didakwa
"memperkenalkan dewa-dewi baru, dan merusak kaum muda" dan dibawa ke
pengadilan kota Athena. Dengan mayoritas tipis, juri 500 orang
menyatakan ia bersalah. Ia sesungguhnya dapat menyelamatkan nyawanya
dengan meninggalkan kota Athena, namun setia pada hati nuraninya ia
memilih meminum racun cemara di hadapan banyak orang untuk mengakhiri
hidupnya.
Sokrates
menyumbangkan teknik kebidanan (maieutika tekhne) dalam berfilsafat.
Bertolak dari pengalaman konkrit, melalui dialog seseorang diajak
Sokrates (sebagai sang bidan) untuk "melahirkan" pengetahuan akan
kebenaran yang dikandung dalam batin orang itu. Dengan demikian Sokrates
meletakkan dasar bagi pendekatan deduktif, Pemikiran Sokrates dibukukan
oleh Plato, muridnya.
2) Plato (428-348 sM)
Plato
menyumbangkan ajaran tentang "idea". Menurut Plato, hanya idea-lah
realitas sejati. Semua fenomena alam hanya bayang-bayang dari bentuknya
(idea) yang kekal. Dalam wawasan Plato, pada awal mula ada idea-kuda.
Dunia idea mengatasi realitas yang tampak, bersifat matematis, dan
keberadaannya terlepas dari dunia inderawi. Dari idea-kuda itu muncul
semua kuda yang kasat-mata. Karena itu keberadaan bunga, pohon, burung,
... bisa berubah dan berakhir, tetapi idea bunga, pohon, burung, ...
kekal adanya. Itulah sebabnya yang Satu dapat menjadi yang Banyak.
Plato
berpendapat, bahwa pengalaman hanya merupakan ingatan (bersifat
intuitif, bawaan, dalam diri) seseorang terhadap apa yang sebenarnya
telah diketahuinya dari dunia idea, -- konon sebelum manusia itu masuk
dalam dunia inderawi ini. Menurut Plato, tanpa melalui pengalaman
(pengamatan), apabila manusia sudah terlatih dalam hal intuisi, maka ia
pasti sanggup menatap ke dunia idea dan karenanya lalu memiliki sejumlah
gagasan tentang semua hal, termasuk tentang kebaikan, kebenaran,
keadilan, dan sebagainya.
Plato
mengembangkan pendekatan yang sifatnya rasional-deduktif sebagaimana
mudah dijumpai dalam matematika. Problem filsafati yang digarap oleh
Plato adalah keterlemparan jiwa manusia kedalam penjara dunia inderawi,
yaitu tubuh. Itu persoalan ada ("being") dan mengada (menjadi,
"becoming").
3) Aristoteles (384-322 sM)
Aristoteles
menegaskan bahwa ada dua cara untuk mendapatkan kesimpulan demi
memperoleh pengetahuan dan kebenaran baru, yaitu metode
rasional-deduktif dan metode empiris-induktif. Dalam metode
rasional-deduktif dari premis dua pernyataan yang benar, dibuat konklusi
yang berupa pernyataan ketiga yang mengandung unsur-unsur dalam kedua
premis itu. Inilah silogisme, yang merupakan fondasi penting dalam
logika, yaitu cabang filsafat yang secara khusus menguji keabsahan cara
berfikir. Logika dibentuk dari berarti sesuatu yang diutarakan. ,
dan kata Daripadanya logika berarti pertimbangan pikiran atau
akal yang dinyatakan lewat kata dan dinyatakan dalam bahasa.
Dalam
metode empiris-induktif pengamatan-pengamatan indrawi yang sifatnya
partikular dipakai sebagai basis untuk berabstraksi menyusun pernyataan
yang berlaku universal.
Aristoteles
mengandalkan pengamatan inderawi sebagai basis untuk mencapai
pengetahuan yang sempurna. Itu berbeda dari Plato. Berbeda dari Plato
pula, Aristoteles menolak dualisme tentang manusia dan memilih
"hylemorfisme": apa saja yang dijumpai di dunia secara terpadu merupakan
pengejawantahan material ("hyle") sana-sini dari bentuk ("morphe") yang
sama. Bentuk memberi aktualitas atas materi (atau substansi) dalam
individu yang bersangkutan. Materi (substansi) memberi kemungkinan
("dynamis", Latin: "potentia") untuk pengejawantahan (aktualitas) bentuk
dalam setiap individu dengan cara berbeda-beda. Maka ada banyak
individu yang berbeda-beda dalam jenis yang sama. Pertentangan
Herakleitos dan Parmendides diatasi dengan menekankan kesatuan dasar
antara kedua gejala yang "tetap" dan yang "berubah".
Aristoteles
menganggap Plato (gurunya) telah menjungkir-balikkan segalanya. Dia
setuju dengan gurunya bahwa kuda tertentu "berubah" (menjadi besar dan
tegap, misalnya), dan bahwa tidak ada kuda yang hidup selamanya. Dia
juga setuju bahwa bentuk nyata dari kuda itu kekal abadi. Tetapi
idea-kuda adalah konsep yang dibentuk manusia sesudah melihat
(mengamati, mengalami) sejumlah kuda. Idea-kuda tidak memiliki
eksistensinya sendiri, idea-kuda tercipta dari ciri-ciri yang ada pada
(sekurang-kurangnya) sejumlah kuda. Bagi Aristoteles, idea ada dalam
benda-benda.
Pola
pemikiran Aristoteles ini merupakan perubahan yang radikal. Menurut
Plato, realitas tertinggi adalah yang kita pikirkan dengan akal kita,
sedang menurut Aristoteles realitas tertinggi adalah yang kita lihat
dengan indera-mata kita. Aristoteles tidak menyangkal bahwa bahwa
manusia memiliki akal yang sifatnya bawaan, dan bukan sekedar akal yang
masuk dalam kesadarannya oleh pendengaran dan penglihatannya. Namun
justru akal itulah yang merupakan ciri khas yang membedakan manusia dari
makhluk-makhluk lain. Akal dan kesadaran manusia kosong sampai ia
mengalami sesuatu. Karena itu, menurut Aristoteles, pada manusia tidak
ada idea-bawaan.
Pemikiran
Aristoteles merupakan hartakarun umat manusia yang berbudaya.
Pengaruhnya terasa sampai kini, itu berkat kekuatan sintesis dan
konsistensi argumentasi filsafatinya, dan cara kerjanya yang berpangkal
pada pengamatan dan pengumpulan data. Singkatnya, ia berhasil dengan
gemilang menggabungkan (melakukan sintesis) metode empiris-induktif dan
rasional-deduktif tersebut diatas.
Aristoteles
menempatkan filsafat dalam suatu skema yang utuh untuk mempelajari
realitas. Studi tentang logika atau pengetahuan tentang penalaran,
berperan sebagai organon ("alat") untuk sampai kepada pengetahuan yang
lebih mendalam, untuk selanjutnya diolah dalam theoria yang membawa
kepada praxis. Aristoteles mengawali, atau sekurang-kurangnya secara
tidak langsung mendorong, kelahiran banyak ilmu empiris seperti botani,
zoologi, ilmu kedokteran, dan tentu saja fisika. Ada benang merah yang
nyata, antara sumbangan pemikiran dalam Physica (yang ditulisnya),
dengan Almagest (oleh Ptolemeus), Principia dan Opticks (dari Newton),
serta Experiments on Electricity (oleh Franklin), Chemistry (dari
Lavoisier), Geology (ditulis oleh Lyell), dan The Origin of Species
(hasil pemikiran Darwin). Masing-masing merupakan produk refleksi para
pemikir itu dalam situasi dan tradisi yang tersedia dalam zamannya
masing-masing.
BAB III
KESIMPULAN
1. Pra Socrates
Filsafat
Pra Socrates adalah filsafat yang dilahirkan karena kemenangan akal
asas atas dongeng atau mite-mite yang diterima dari agama yang
memberitahukan tentang asal muasal segala sesuatu.
Dan
filsafat pra Socrates ditandai usaha mencari asal (asas) segala sesuatu
(arche) tidakkah dibalik keanekaragaman realitas di alam semesta itu
hanya satu azas? Thales mengusulkan air, Anaximandros: yang tak
terbatas, Pythagoras dikenal oleh sekolah yang didirikannya untuk
merenungkan hal itu, dan Zeno tentang dialektika.
2. Socrates
mercu
kehebatan pemikiran dan falsafah tamadun Yunani, proses ini dapat
dicapaii Zaman Keemasan Tradisi Sastra dan Seni, pendahulu dari
Eksistensialisme, disebut demikian karena tokoh-tokoh pemikir dunia
terkenal seperti Socrates, Plato dan akhirnya Disebut demikian karena
pada zaman ini sejarah menyebutkan bahwa awal mula dari munculnya ilmu
kedokteran, ilmu alam dan lain-lain adalah pada zaman ini.
Tokoh-tokohnya yaitu
1. Socrates
2. Plato
3. Aristiteles
DAFTAR PUSTAKA
1. Bakker, Anton 1984. Metode Metode Filsafat, Jakarta : Ghalia Indonesia.
2. Noor, Hadian. Pengantar Sejarah Filsafat. Malang : Citra Mentari Group. 1997.
3. Osborne, Richard. Filsafat Untuk Pemula. Yogyakarta : Kanisius. 2001.
4. Russell, Bertrand. Sejarah Filsafat Barat. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. 2004.
5. Turnbull, Neil. Bengkel Ilmu Filsafat. Jakarta : Erlangga. 2005.
6. www.filsafat-ilmu.blogspot.com/2008/01/teori-kebenaran.html