MAKALAH
SEJARAH INTELEKTUAL
ILMU PENGETAHUAN MAXSISME
Disusun Oleh:
Nama : AINUN NITA RITA SARI
NPM : 07208761
Prodi : Pendidikan Sejarah
Semester : VI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2012
SEJARAH INTELEKTUAL
ILMU PENGETAHUAN MAXSISME
Disusun Oleh:
Nama : AINUN NITA RITA SARI
NPM : 07208761
Prodi : Pendidikan Sejarah
Semester : VI
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS MUHAMMADIYAH SIDOARJO
2012
KATA PENGANTAR
Allhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehinga penulis dapat menyelesaikan tugas sejarah intelektual dengan judul “Ilmu Pengetahuan Maxsisme”.
Terselesainya tugas ini tidak jauh dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penulis khususnya kepada Dra. Sumiyatun,M.Pd. selaku dosen mata kuliah sejarah yang telah memberikan arahan dalam menyusun tugas ini.
Penulis menyadari penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna tetapi tidak mengurangi tujuan penulisan tugas ini. Mudah-mudahan bisa menjadi wacana yang bermanfaat dan berguna khususnya bagi calon guru dan umumnya bagi masyarakat luas.
SIDOARJO, April 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
1. Penafsiran Sejarah Dari Sudut Ekonomi 3
2. Dinamika Perubahan Sosial 5
3. Revolusi Satu-Satunya Jalan Keluar 7
BAB I
PENDAHULUAN
Disegenap penjuru dunia yang beradab, ajaran-ajaran Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik yang resmi maupun yang liberal), yang memandang Marxisme semacam sekte yang jahat. Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak ada ilmu sosial yang netral dalam suatu masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas. Lewat satu dan lain cara, semua ilmu pengetahuan borjuis, yang resmi dan liberal, membela perbudakan upahan (wage slavery). Sedangkan marxisme telah jauh-jauh hari menyatakan perang tanpa henti terhadap perbudakan itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam masyarakat perbudakan upahan adalah bodoh, sama naifnya dengan mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah upah buruh dapat dinaikkan tanpa mengurangi keuntungan modal.
Tapi bukan hanya itu. Sejarah filosofi dan sejarah ilmu-ilmu sosial memperlihatkan dengan jelas bahwa dalam marxisme tidak terdapat adanya sektarianisme. Tidak terdapat adanya doktrin-doktrin yang sempit dan picik, doktrin yang dibangun jauh dari jalan raya perkembangan peradaban dunia. Sebaliknya, si jenius Marx dengan tepat menempatkan jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh pikiran-pikiran termaju dari umat manusia. Doktrin-doktrinnya bangkit sebagai kelanjutan langsung dari ajaran-ajaran besar dalam bidang filosofi, ekonomi-politik, dan sosialisme.
Doktrin-doktrin Marxist bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam tahyul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis. Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa pemikiran besar umat manusia dalam abad ke-19, yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis.
Inilah tiga sumber dari Marxisme, yang akan kita bahas secara ringkas berserta komponen-komponennya. Filsafat yang dipakai Marxisme adalah materialisme. Sepanjang sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad ke-18 di Prancis, dimana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu alam dan dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul, penyimpangan dan seterusnya. Musuh-musuh demokrasi selalu berusaha untuk menyangkal, mencemari dan memfitnah materialisme, membela berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu, dengan satu dan lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
Marx dan Engels membela filosofi materialisme dengan tekun dan berulangkali menjelaskan bagaimana kekeliruan terdahulu merupakan penyimpangan dari basis ini. Pandangan-pandangan mereka dijelaskan secara penjang lebar dalam karya Engels, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duehring, [2] yang seperti hanya Communist Manifesto, merupakan buku-buku pegangan bagi setiap pekerja yang memiliki kesadaran kelas. Tetapi marx tidak berhenti pada materialisme abad 18, ia mengembangkan lebih jauh, ketingkat yang lebih tinggi. Marx memperkaya materialisme dengan penemuan-penemuan dari filosofi klasik Jerman, khususnya sistem Hegel, yang kemudian mengarah kepada pemikiran Feuerbach.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penafsiran Sejarah Dari Sudut Ekonomi
Sebelum Marx, sejarah ditafsirkan dengan beberapa cara yang mempunyai corak-ragamnya tersendiri. Sebagaimana orang mencari kunci sejarah dalam berlakunya ketentuan yang Maha Kuasa, dan memandang bentuk perkembangan manusia sebagai satu bagian saja dari pembeberan rencana Tuhan dengan seluruh alam semesta. Kesukaran pokok dalam penafsiran sejarah dari sudut agama ini terletak pada kenyataan bahwa kemauan Tuhan tidak diketahui dan tidak akan dapat diketahui oleh manusia tuhan hanya satu, konsepsi manusia mengenai Tuhan dan rencananya dengan umat manusia adalah banyak dan berlainan.
Cara kedua dalam usaha mendekati pengertian tentang sejarah manusia yangn berpengaruh sebelum Marx adalah cara politis. Bagi mereka yang labih menyukai cara ini: maharaja-maharaja, raja-raja, pembuat undang-undang, dan serdadu-serdadu adalah kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam sejarah. Tulisan-tulisan tentang sejarah, sebagian besar adalah keterangan-keterangan tentang raja-raja, dewan-dewan perwakilan rakyat, peperangan-peperangan, dan perjanjian-perjanjian perdamaian.
Cara pendekatan ketiga yang penting, penafsiran sejarah dari sudut kepahlawanan (yang dipopulerkan pada zaman modern oleh Carlyle). Erat sekali hubungannya dengan pendekatan politis, mengingat sebagian besar dari pahlawan-pahlawan sejarah dunia biasanya dipilih dari raja-raja, jendral-jendral, pembuat undang-undang, pendiri-pendiri negara baru, pelopor-pelopor perombakan, dan kaum revolusioner. Kelemahan pokok cara penafsiran dari sudut kepahlawanan ialah bahwa cara ini terlalu menekankan peranan orang perseorang dengan tidak mengindahkan lingkungan-lingkungan kultural, keagamaan, sosial, dan ekonomi yang lebih luas. Keadaan-keadaan sebagai latar belakang yang jika tidak ada, tidak akan memungkinkan terlaksananya kepemimpinan secara berarti. Meskipun tidak disangsikan lagi kebenarannya bahwa pemimpin membentuk peristiwa, tetapi tidak kurang pula benarnya bahwa peristiwa membentuk pemimpin.
Cara pendekatan keempat tentang pengertian mengenai sejarah sebelum Marx ialah melalui pengaruh ide-ide (gagasan-gagasan). Ide-ide dianggap (oleh Hegel, misalnya) sebagai sebab-sebab yang utama bagi timbulnya proses sejarah. Dan kondisi-kondisi materiil (sosial, ekonomi, teknologi, dan militer) masyarakat sesungguhnya dianggap berasal dari dan oleh ide-ide yang besar. Dititikberatkannya ide-ide ini seringkali juga menimbulkan pengertian bahwa sejarah secara progresif berkembang kearah terwujudnya buah-buah pikiran kunci, seperti kebebasan dan demokrasi.
Dalil pokok yang digunakan Marx dalam menganalisa masyarakat adalah penafsiran ekonomisnya tetang sejarah. Produksi barang dan jasa yang membantu manusia dalam hidupnya. Dan pertukaran barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dari segala proses dan lembaga-lembaga sosial. Marx tidak menuduh bahwa faktor ekonomis adalah satu-satunya yang penting dalam proses pembentukan sejarah. Ia memang mendakwa bahwa faktor ini adalah yang terpenting sabagai dasar untuk superstruktur kebudayaan, perundang-undangan, dan pemerintahan, diperkuat oleh ideologi-ideologi politik, sosial, keagamaan, kesusastraan, dan artistik yang sejalan. Secara umum, Marx melukiskan hubungan diantara kondisi-kondisi materiil kahidupan manusia dan ide-ide mereka sebagai berikut: “Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya mereka, akan tetapi sebaliknya. Adanya mereka dalam penghidupan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Dalam suatu masyarakat tani yang telah jadi, pemilikan tanah akan menjadi kunci bagi pembentukan lembaga-lembaga dan konsepsi-konsepsi, politik, sosial, hukum, dan kebudayaan. Dalam masyarakat semacam itu, manurut Marx, kelas yang memiliki tanah adalah pemerintah yang sebenarnya dari negara dan masyarakat. Tak peduli apakah ada kekuasaan formal yang berbeda tujuan. Kelas pemilik tanah juga akan menentukan ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial yang akan berlaku.
Untuk memberikan sebuah gambaran yang praktis: penafsiran marxis tetang imperlialisme menunjukkan sebab yang utama adalah kepentingan-kepentingan dan pertentangan-pertentangan ekonomi. Peperangan dalam zaman kapitalis adalah puncak dari pertentangan-pertentangan imperialis. Tidak disangkal lagi bahwa imperialisme kuno maupun modern telah terwujud dalam sejarah yang asal-usulnya dapat diteliti, yakni berasal dari faktor ekonomi. Beberapa contoh dari ekspansi imperialisme klasik negara-negara kapitalis yang maju seperti Belanda, Inggris, dan Prancis pada abad ke-13 dan permulaan abad ke-19 dapat diselidiki asal-usulnya, yakni terutama kekuatan-kekuatan ekonomi.
2. Dinamika Perubahan Sosial
Sebelum Marx, perubahan pokok dibidang sosial sebagian besar dianggap sebagai perbuatan pemimpin-pemimpin besar politik, pembuatan undang-undang, dan kaum pelopor dalam membuat perubahan-perubahan. Marx menolak kebiasaan untuk meletakkan titik berat pada kekuatan pribadi sebagai kekuatan penggerak yang utama dalam suatu perubahan sosial yang penting, dan mencari keterangannya pada sebab-sebab ekonomis yang tidak ada hubungannya dengan kepribadian. Dua konsepsi utama yang digunakan Marx sebagai pendekatan dalam perubahan dasar bidang sosial: pertama, kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, hubungan produksi. Bentrokan diantara kedua faktor ini merupakan sebab yang lebih dalam dari perubahan dasar dibidang sosial. Seperti dinyatakan oleh Marx dalam bukunya Critique of Political Economy (1859), “Pada tingkat tertentu dari perkembangan mereka, kekuatan-kekuatan produktif yang berbentuk benda menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produktif yang ada.
Konsep Marxis mengenai kekuatan-kekuatan produksi menyatakan hubungan manusia dengan alam, dan sesungguhnya adalah apa yang kita maksudkan dewasa ini dengan “knowhow” di lapangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pengertian Marx tentang hubungan-hubungan produksi mengutarakan hubungan manusia dengan manusia, dan meliputi segala sesuatu dibawah pengertian istilah lembaga-lembaga sosial.
Aspek-aspek ekonomis suatu masyarakat bagi Marx adalah faktor pokok yang menentukan. Tidaklah heran apabila ia menurunkan derajat peristiwa umum berupa keterbelakangan diantara pengetahuan dan kebijaksanaan hingga keterbelakangan yang labih khas diantara kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi.
Demikianlah, untuk memberikan gambaran yang sesuai dengan pola Marxis: apabila kekuatan-kekuatan produktif baru berkembang dalam rangka hubungan produktif pada suatu sistem feodal, menurut Marx, revolusi sosial tidak dapat dielakkan. Karena hubungan produktif feodalisme (hubungan-hubungan hak milik, pengawasan pasar, bea dan tarif dalam negeri, ketidakstabilan di lapangan moneter tidak memungkinkan penggunaan kekuatan-kekuatan produktif yang baru berkembang dari kapitalisme industri.
Yang menentukan nasib segala bentuk organisasi ekonomi yang diketahui dalam sejarah, menurut Marx, ialah kenyataan bila kekuatan-kekuatan produktif baru berkembang, hubungan-hubungan produktif yang ada yakni, lembaga-lembaga sosial yang ada merupakan penghalang bagi penggunaan secara wajar. Setiap sistem dengan demikian mungkin menjadi suatu pemborosan potensi-potensi kreatif yang telah berkembang dalam rahimnya, tetapi tidak diberi kesempatan lahir dan tumbuh. Hanya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, menurut Marx, dapat menciptakan suatu sistem baru dalam hubungan-hubungan produktif berdasarkan produksi untuk penggunaan bersama.
Pandangan Marx bahwa pengetahuan manusia tentang alam fisik (“tenaga-tenaga produksi”) tumbuh lebih cepat dari kebijaksanaan dari menciptakan lembaga-lembaga sosial (“hubungan-hubungan produksi”) adalah teramat pentinga dalam memahami suatu sumber yang menentukan bagi ketergantungan dan konflik sosial, baik itu dalam lingkungan maupun diantara bangsa-bangsa. Yang membedakan Marx dar non-Marxis ialah penegasannya bahwa perubahan pokok dibidang sosial yang disebabkan oleh ketinggalan terlalu jauh diantara ilmu pengetahuan yang maju dan lembaga-lembaga sosial yang mundur hanya dapat dilaksanakan dengan revolusi. Sedangkan non-Marxis menegaskan bahwa perubahan-perubahan yang diperlukan dapat dilaksanakan dengan jalan yang damai.
3. Revolusi Satu-Satunya Jalan Keluar
Dalam Manifesto Komunis, Marx menerangkan apa sebabnya revolusi merupakan satu-satunya cara bagi perubahan bentuk yang pokok dibidang sosial. Apabila “knowhow” dilapangan teknologi (“tenaga-tenaga produksi”) mulai mengatasi lembaga-lembaga sosial, hukum dan politik yang ada (“hubungan-hubungan produksi”), para pemilik alat-alat produksi tidak melapangkan jalan secara terhormat untuk membiarkan sejarah mengikuti arah yang mau tidak mau ditempuhnya.
Marx tidak berhasil mendapatkan contoh dalam sejarah ketika suatu sistem sosial dan ekonomi yang berpengaruh, secara sukarela menyerah kalah terhadap penggantinya. Berdasarkan anggapan bahwa masa depan itu akan menyerupai masa yang silam, orang-orang komunis, seperti dikatakan oleh Manifesto Komunis, “Dengan terus terang menyatakan bahwa tujuan mereka hanya dapat tercapai dengan merombak segala kondisi-kondisi sosial yang ada dengan jalan kekerasan”. Ini adalah salah satu dari prinsip-prinsip yang menentukan dari Marxisme-Leninisme. Satu prinsip yang paling jelas dan tegas membedakannya dari demokrasi.
Marx tidak mempunyai pandangan yang terang dan jelas bagaimana perubahan politik dari kapitalisme ke komunisme akan berlangsung. Meskipun dalam Manifesto Komunis, juga melalui banyak pernyataannya tentang soal tersebut, ia percaya akan perlunya revolusi. Kadang-kadang Marx tidak begitu dogmatik.
Pendapat yang kuno dari Marxisme-komunisme adalah tetap bahwa perubahan dasar dibidang sosial dan ekonomi tidaklah mungkin kecuali dengan peperangan kelas, kekerasan, dan revolusi. Pada permulaan tahun 1830 terjadi dua revolusi besar yang gagal dinilai oleh Marx dengan sewajarnya. Pada tahun 1832, dikeluarkan Reform Act di Inggris.
Tujuan revolusi pada tahun 1848 adalah menegakkan bagi golongan kelas menengah bagian yang wajar dibidang kekuasaan sosial dan politik. Hal itu telah dicapai secara damai oleh golongan kelas menengah di Inggris pada tahun 1832.
Andaikata Marx mengakui secara wajar pentingnya faktor polotik, andaikata ia menangkap sepenuhnya kepentingan arti Reform Act di Inggris dan revolusi Jackson di Amerika Serikat, ia akan menginsafi bahwa sosialisme mungkin juga akan dapat terlaksana tanpa kekerasan di negara-negara yang mempunyai tradisi-tradisi yang demokratis.
Apabila Marx mengakui, kadang-kadang di negar-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda revolusi kekerasan tidak akan diperlukan untuk merubah kapitalisme menjadi masyarakat proletar yang tidak berkelas. Teranglah bahwa persamaan yang ada pada ketiga negara tersebut adalah demokrasi politik yang didukung oleh adat kebiasaan dan lembaga-lembaga demokratis disetiap hubungan manusia yang bersifat politik maupun tidak.
Diantara tahun 1872 dan 1917, baik Inggris maupun Amerika Serikat memperluas hak pilih dan bergerak secara teratur menuju labih banyak perubahan dibidang politik dan sosial. Hanya setahun setelah maninggalnya Marx, seorang pemimpin liberal Inggris, Sir William Harcourt, pada tahun 1884 mengatakan “Kita semua sekarang adalah kaum sosialis”. Pernyataan ini menunjukkan diterimanya perubahan pokok dilapangan sosial dan ekonomi oleh semua partai.
Catatan sejarah pada tahun 1872-1917 sebenarnya kelihatan bertentangan dengan dogma Lenin. Maka, dianggap perlu untuk menulis sejarah.
Allhamdulillah puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya, sehinga penulis dapat menyelesaikan tugas sejarah intelektual dengan judul “Ilmu Pengetahuan Maxsisme”.
Terselesainya tugas ini tidak jauh dari bantuan berbagai pihak. Oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penulis khususnya kepada Dra. Sumiyatun,M.Pd. selaku dosen mata kuliah sejarah yang telah memberikan arahan dalam menyusun tugas ini.
Penulis menyadari penyusunan tugas ini masih jauh dari sempurna tetapi tidak mengurangi tujuan penulisan tugas ini. Mudah-mudahan bisa menjadi wacana yang bermanfaat dan berguna khususnya bagi calon guru dan umumnya bagi masyarakat luas.
SIDOARJO, April 2012
Penulis
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL i
KATA PENGANTAR ii
DAFTAR ISI iii
BAB I PENDAHULUAN 1
BAB II PEMBAHASAN 3
1. Penafsiran Sejarah Dari Sudut Ekonomi 3
2. Dinamika Perubahan Sosial 5
3. Revolusi Satu-Satunya Jalan Keluar 7
BAB I
PENDAHULUAN
Disegenap penjuru dunia yang beradab, ajaran-ajaran Marx ditentang dan diperangi oleh semua ilmu pengetahuan borjuis (baik yang resmi maupun yang liberal), yang memandang Marxisme semacam sekte yang jahat. Tidak bisa diharapkan adanya sikap lain, karena tidak ada ilmu sosial yang netral dalam suatu masyarakat yang berbasiskan perjuangan kelas. Lewat satu dan lain cara, semua ilmu pengetahuan borjuis, yang resmi dan liberal, membela perbudakan upahan (wage slavery). Sedangkan marxisme telah jauh-jauh hari menyatakan perang tanpa henti terhadap perbudakan itu. Mengharapkan sikap netral dari ilmu pengetahuan dalam masyarakat perbudakan upahan adalah bodoh, sama naifnya dengan mengharapkan sikap netral dari para pemilik pabrik dalam menghadapi pertanyaan apakah upah buruh dapat dinaikkan tanpa mengurangi keuntungan modal.
Tapi bukan hanya itu. Sejarah filosofi dan sejarah ilmu-ilmu sosial memperlihatkan dengan jelas bahwa dalam marxisme tidak terdapat adanya sektarianisme. Tidak terdapat adanya doktrin-doktrin yang sempit dan picik, doktrin yang dibangun jauh dari jalan raya perkembangan peradaban dunia. Sebaliknya, si jenius Marx dengan tepat menempatkan jawaban-jawaban terhadap berbagai pertanyaan yang diajukan oleh pikiran-pikiran termaju dari umat manusia. Doktrin-doktrinnya bangkit sebagai kelanjutan langsung dari ajaran-ajaran besar dalam bidang filosofi, ekonomi-politik, dan sosialisme.
Doktrin-doktrin Marxist bersifat serba guna karena tingkat kebenarannya yang tinggi. Juga komplit dan harmonis, serta melengkapi kita dengan suatu pandangan dunia yang integral, yang tidak bisa dipersatukan dengan berbagai macam tahyul, reaksi, atau tekanan dari pihak borjuis. Marxisme merupakan penerus yang sah dari beberapa pemikiran besar umat manusia dalam abad ke-19, yang direpresentasikan oleh filsafat klasik Jerman, ekonomi-politik Inggris dan sosialisme Prancis.
Inilah tiga sumber dari Marxisme, yang akan kita bahas secara ringkas berserta komponen-komponennya. Filsafat yang dipakai Marxisme adalah materialisme. Sepanjang sejarah Eropa modern, dan khususnya pada akhir abad ke-18 di Prancis, dimana terdapat perjuangan yang gigih terhadap berbagai sampah dari abad pertengahan, terhadap perhambaan dalam berbagai lembaga dan gagasan, materialisme terbukti merupakan satu-satunya filosofi yang konsisten, benar terhadap setiap cabang ilmu alam dan dengan gigih memerangi berbagai bentuk tahyul, penyimpangan dan seterusnya. Musuh-musuh demokrasi selalu berusaha untuk menyangkal, mencemari dan memfitnah materialisme, membela berbagai bentuk filosofi idealisme, yang selalu, dengan satu dan lain cara, menggunakan agama untuk memerangi materialisme.
Marx dan Engels membela filosofi materialisme dengan tekun dan berulangkali menjelaskan bagaimana kekeliruan terdahulu merupakan penyimpangan dari basis ini. Pandangan-pandangan mereka dijelaskan secara penjang lebar dalam karya Engels, Ludwig Feuerbach dan Anti-Duehring, [2] yang seperti hanya Communist Manifesto, merupakan buku-buku pegangan bagi setiap pekerja yang memiliki kesadaran kelas. Tetapi marx tidak berhenti pada materialisme abad 18, ia mengembangkan lebih jauh, ketingkat yang lebih tinggi. Marx memperkaya materialisme dengan penemuan-penemuan dari filosofi klasik Jerman, khususnya sistem Hegel, yang kemudian mengarah kepada pemikiran Feuerbach.
BAB II
PEMBAHASAN
1. Penafsiran Sejarah Dari Sudut Ekonomi
Sebelum Marx, sejarah ditafsirkan dengan beberapa cara yang mempunyai corak-ragamnya tersendiri. Sebagaimana orang mencari kunci sejarah dalam berlakunya ketentuan yang Maha Kuasa, dan memandang bentuk perkembangan manusia sebagai satu bagian saja dari pembeberan rencana Tuhan dengan seluruh alam semesta. Kesukaran pokok dalam penafsiran sejarah dari sudut agama ini terletak pada kenyataan bahwa kemauan Tuhan tidak diketahui dan tidak akan dapat diketahui oleh manusia tuhan hanya satu, konsepsi manusia mengenai Tuhan dan rencananya dengan umat manusia adalah banyak dan berlainan.
Cara kedua dalam usaha mendekati pengertian tentang sejarah manusia yangn berpengaruh sebelum Marx adalah cara politis. Bagi mereka yang labih menyukai cara ini: maharaja-maharaja, raja-raja, pembuat undang-undang, dan serdadu-serdadu adalah kekuatan-kekuatan yang menentukan dalam sejarah. Tulisan-tulisan tentang sejarah, sebagian besar adalah keterangan-keterangan tentang raja-raja, dewan-dewan perwakilan rakyat, peperangan-peperangan, dan perjanjian-perjanjian perdamaian.
Cara pendekatan ketiga yang penting, penafsiran sejarah dari sudut kepahlawanan (yang dipopulerkan pada zaman modern oleh Carlyle). Erat sekali hubungannya dengan pendekatan politis, mengingat sebagian besar dari pahlawan-pahlawan sejarah dunia biasanya dipilih dari raja-raja, jendral-jendral, pembuat undang-undang, pendiri-pendiri negara baru, pelopor-pelopor perombakan, dan kaum revolusioner. Kelemahan pokok cara penafsiran dari sudut kepahlawanan ialah bahwa cara ini terlalu menekankan peranan orang perseorang dengan tidak mengindahkan lingkungan-lingkungan kultural, keagamaan, sosial, dan ekonomi yang lebih luas. Keadaan-keadaan sebagai latar belakang yang jika tidak ada, tidak akan memungkinkan terlaksananya kepemimpinan secara berarti. Meskipun tidak disangsikan lagi kebenarannya bahwa pemimpin membentuk peristiwa, tetapi tidak kurang pula benarnya bahwa peristiwa membentuk pemimpin.
Cara pendekatan keempat tentang pengertian mengenai sejarah sebelum Marx ialah melalui pengaruh ide-ide (gagasan-gagasan). Ide-ide dianggap (oleh Hegel, misalnya) sebagai sebab-sebab yang utama bagi timbulnya proses sejarah. Dan kondisi-kondisi materiil (sosial, ekonomi, teknologi, dan militer) masyarakat sesungguhnya dianggap berasal dari dan oleh ide-ide yang besar. Dititikberatkannya ide-ide ini seringkali juga menimbulkan pengertian bahwa sejarah secara progresif berkembang kearah terwujudnya buah-buah pikiran kunci, seperti kebebasan dan demokrasi.
Dalil pokok yang digunakan Marx dalam menganalisa masyarakat adalah penafsiran ekonomisnya tetang sejarah. Produksi barang dan jasa yang membantu manusia dalam hidupnya. Dan pertukaran barang-barang dan jasa-jasa ini adalah dari segala proses dan lembaga-lembaga sosial. Marx tidak menuduh bahwa faktor ekonomis adalah satu-satunya yang penting dalam proses pembentukan sejarah. Ia memang mendakwa bahwa faktor ini adalah yang terpenting sabagai dasar untuk superstruktur kebudayaan, perundang-undangan, dan pemerintahan, diperkuat oleh ideologi-ideologi politik, sosial, keagamaan, kesusastraan, dan artistik yang sejalan. Secara umum, Marx melukiskan hubungan diantara kondisi-kondisi materiil kahidupan manusia dan ide-ide mereka sebagai berikut: “Bukanlah kesadaran manusia yang menentukan adanya mereka, akan tetapi sebaliknya. Adanya mereka dalam penghidupan sosiallah yang menentukan kesadaran mereka.
Dalam suatu masyarakat tani yang telah jadi, pemilikan tanah akan menjadi kunci bagi pembentukan lembaga-lembaga dan konsepsi-konsepsi, politik, sosial, hukum, dan kebudayaan. Dalam masyarakat semacam itu, manurut Marx, kelas yang memiliki tanah adalah pemerintah yang sebenarnya dari negara dan masyarakat. Tak peduli apakah ada kekuasaan formal yang berbeda tujuan. Kelas pemilik tanah juga akan menentukan ukuran-ukuran dan nilai-nilai sosial yang akan berlaku.
Untuk memberikan sebuah gambaran yang praktis: penafsiran marxis tetang imperlialisme menunjukkan sebab yang utama adalah kepentingan-kepentingan dan pertentangan-pertentangan ekonomi. Peperangan dalam zaman kapitalis adalah puncak dari pertentangan-pertentangan imperialis. Tidak disangkal lagi bahwa imperialisme kuno maupun modern telah terwujud dalam sejarah yang asal-usulnya dapat diteliti, yakni berasal dari faktor ekonomi. Beberapa contoh dari ekspansi imperialisme klasik negara-negara kapitalis yang maju seperti Belanda, Inggris, dan Prancis pada abad ke-13 dan permulaan abad ke-19 dapat diselidiki asal-usulnya, yakni terutama kekuatan-kekuatan ekonomi.
2. Dinamika Perubahan Sosial
Sebelum Marx, perubahan pokok dibidang sosial sebagian besar dianggap sebagai perbuatan pemimpin-pemimpin besar politik, pembuatan undang-undang, dan kaum pelopor dalam membuat perubahan-perubahan. Marx menolak kebiasaan untuk meletakkan titik berat pada kekuatan pribadi sebagai kekuatan penggerak yang utama dalam suatu perubahan sosial yang penting, dan mencari keterangannya pada sebab-sebab ekonomis yang tidak ada hubungannya dengan kepribadian. Dua konsepsi utama yang digunakan Marx sebagai pendekatan dalam perubahan dasar bidang sosial: pertama, kekuatan-kekuatan produksi, dan kedua, hubungan produksi. Bentrokan diantara kedua faktor ini merupakan sebab yang lebih dalam dari perubahan dasar dibidang sosial. Seperti dinyatakan oleh Marx dalam bukunya Critique of Political Economy (1859), “Pada tingkat tertentu dari perkembangan mereka, kekuatan-kekuatan produktif yang berbentuk benda menjadi bertentangan dengan hubungan-hubungan produktif yang ada.
Konsep Marxis mengenai kekuatan-kekuatan produksi menyatakan hubungan manusia dengan alam, dan sesungguhnya adalah apa yang kita maksudkan dewasa ini dengan “knowhow” di lapangan teknologi dan ilmu pengetahuan. Pengertian Marx tentang hubungan-hubungan produksi mengutarakan hubungan manusia dengan manusia, dan meliputi segala sesuatu dibawah pengertian istilah lembaga-lembaga sosial.
Aspek-aspek ekonomis suatu masyarakat bagi Marx adalah faktor pokok yang menentukan. Tidaklah heran apabila ia menurunkan derajat peristiwa umum berupa keterbelakangan diantara pengetahuan dan kebijaksanaan hingga keterbelakangan yang labih khas diantara kekuatan-kekuatan produksi dan hubungan-hubungan produksi.
Demikianlah, untuk memberikan gambaran yang sesuai dengan pola Marxis: apabila kekuatan-kekuatan produktif baru berkembang dalam rangka hubungan produktif pada suatu sistem feodal, menurut Marx, revolusi sosial tidak dapat dielakkan. Karena hubungan produktif feodalisme (hubungan-hubungan hak milik, pengawasan pasar, bea dan tarif dalam negeri, ketidakstabilan di lapangan moneter tidak memungkinkan penggunaan kekuatan-kekuatan produktif yang baru berkembang dari kapitalisme industri.
Yang menentukan nasib segala bentuk organisasi ekonomi yang diketahui dalam sejarah, menurut Marx, ialah kenyataan bila kekuatan-kekuatan produktif baru berkembang, hubungan-hubungan produktif yang ada yakni, lembaga-lembaga sosial yang ada merupakan penghalang bagi penggunaan secara wajar. Setiap sistem dengan demikian mungkin menjadi suatu pemborosan potensi-potensi kreatif yang telah berkembang dalam rahimnya, tetapi tidak diberi kesempatan lahir dan tumbuh. Hanya pemilikan alat-alat produksi oleh masyarakat, menurut Marx, dapat menciptakan suatu sistem baru dalam hubungan-hubungan produktif berdasarkan produksi untuk penggunaan bersama.
Pandangan Marx bahwa pengetahuan manusia tentang alam fisik (“tenaga-tenaga produksi”) tumbuh lebih cepat dari kebijaksanaan dari menciptakan lembaga-lembaga sosial (“hubungan-hubungan produksi”) adalah teramat pentinga dalam memahami suatu sumber yang menentukan bagi ketergantungan dan konflik sosial, baik itu dalam lingkungan maupun diantara bangsa-bangsa. Yang membedakan Marx dar non-Marxis ialah penegasannya bahwa perubahan pokok dibidang sosial yang disebabkan oleh ketinggalan terlalu jauh diantara ilmu pengetahuan yang maju dan lembaga-lembaga sosial yang mundur hanya dapat dilaksanakan dengan revolusi. Sedangkan non-Marxis menegaskan bahwa perubahan-perubahan yang diperlukan dapat dilaksanakan dengan jalan yang damai.
3. Revolusi Satu-Satunya Jalan Keluar
Dalam Manifesto Komunis, Marx menerangkan apa sebabnya revolusi merupakan satu-satunya cara bagi perubahan bentuk yang pokok dibidang sosial. Apabila “knowhow” dilapangan teknologi (“tenaga-tenaga produksi”) mulai mengatasi lembaga-lembaga sosial, hukum dan politik yang ada (“hubungan-hubungan produksi”), para pemilik alat-alat produksi tidak melapangkan jalan secara terhormat untuk membiarkan sejarah mengikuti arah yang mau tidak mau ditempuhnya.
Marx tidak berhasil mendapatkan contoh dalam sejarah ketika suatu sistem sosial dan ekonomi yang berpengaruh, secara sukarela menyerah kalah terhadap penggantinya. Berdasarkan anggapan bahwa masa depan itu akan menyerupai masa yang silam, orang-orang komunis, seperti dikatakan oleh Manifesto Komunis, “Dengan terus terang menyatakan bahwa tujuan mereka hanya dapat tercapai dengan merombak segala kondisi-kondisi sosial yang ada dengan jalan kekerasan”. Ini adalah salah satu dari prinsip-prinsip yang menentukan dari Marxisme-Leninisme. Satu prinsip yang paling jelas dan tegas membedakannya dari demokrasi.
Marx tidak mempunyai pandangan yang terang dan jelas bagaimana perubahan politik dari kapitalisme ke komunisme akan berlangsung. Meskipun dalam Manifesto Komunis, juga melalui banyak pernyataannya tentang soal tersebut, ia percaya akan perlunya revolusi. Kadang-kadang Marx tidak begitu dogmatik.
Pendapat yang kuno dari Marxisme-komunisme adalah tetap bahwa perubahan dasar dibidang sosial dan ekonomi tidaklah mungkin kecuali dengan peperangan kelas, kekerasan, dan revolusi. Pada permulaan tahun 1830 terjadi dua revolusi besar yang gagal dinilai oleh Marx dengan sewajarnya. Pada tahun 1832, dikeluarkan Reform Act di Inggris.
Tujuan revolusi pada tahun 1848 adalah menegakkan bagi golongan kelas menengah bagian yang wajar dibidang kekuasaan sosial dan politik. Hal itu telah dicapai secara damai oleh golongan kelas menengah di Inggris pada tahun 1832.
Andaikata Marx mengakui secara wajar pentingnya faktor polotik, andaikata ia menangkap sepenuhnya kepentingan arti Reform Act di Inggris dan revolusi Jackson di Amerika Serikat, ia akan menginsafi bahwa sosialisme mungkin juga akan dapat terlaksana tanpa kekerasan di negara-negara yang mempunyai tradisi-tradisi yang demokratis.
Apabila Marx mengakui, kadang-kadang di negar-negara seperti Inggris, Amerika Serikat, dan Belanda revolusi kekerasan tidak akan diperlukan untuk merubah kapitalisme menjadi masyarakat proletar yang tidak berkelas. Teranglah bahwa persamaan yang ada pada ketiga negara tersebut adalah demokrasi politik yang didukung oleh adat kebiasaan dan lembaga-lembaga demokratis disetiap hubungan manusia yang bersifat politik maupun tidak.
Diantara tahun 1872 dan 1917, baik Inggris maupun Amerika Serikat memperluas hak pilih dan bergerak secara teratur menuju labih banyak perubahan dibidang politik dan sosial. Hanya setahun setelah maninggalnya Marx, seorang pemimpin liberal Inggris, Sir William Harcourt, pada tahun 1884 mengatakan “Kita semua sekarang adalah kaum sosialis”. Pernyataan ini menunjukkan diterimanya perubahan pokok dilapangan sosial dan ekonomi oleh semua partai.
Catatan sejarah pada tahun 1872-1917 sebenarnya kelihatan bertentangan dengan dogma Lenin. Maka, dianggap perlu untuk menulis sejarah.