Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

Hukum Pidana Umum dan Militer Menurut Undang-Undang

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Hukum Pidana Umum dan Militer Menurut Undang-Undang”

Oleh:
ANDIT PRAJAYA    (87576454)

Dosen Pembimbing:
DRS. Arisatun Ningsih, S.Sos,SH,M.Si


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
JURUSAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM
2011

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Umum dan Militer
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya sedangkan Peradilan militer adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. 
Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (disingkat PN), Pengadilan Tinggi (disingkat PT), dan Mahkamah Agung (disingkat MA). Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekertaris, dan jurusita.
Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (disingkat Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (disingkat Mahmilti), Mahkamah Militer Agung (disngkat Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung.
B.    Sejarah Kedudukan Peradilan Umum
Sejarah kedudukan Peradilan Umum pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a)    Pada tahun 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman  yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan.
b)    Pada tahun 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
c)    Pada tahun 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d)    Pada tahun 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
C.    Penyidik dan Penuntut Umum
Menurut Pasal 1 butir 1, penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Sedangkan pada butir 4 pasal itu mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Jadi, perbedaannya adalah penyidik itu terdiri dari polisi Negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenagn khusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik itu hanya terdiri dari polisi Negara saja.
Penyidik pejabat polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala  Kepolisian Republik Indonesia yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.
Penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahkan pegawai tersebut.
Penyidik angkatan bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut penyidik adalah atasan yang berhak menghukum, pejabat polisi, militer tertentu, dan oditur, yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai berikut:
1.    Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melakukan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
2.    Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Melihat perumusan undang-undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut fungsi.
Wewenang penuntut umum adalah sebagai berikut:
1.    Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.
2.    Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyedikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan member petunjuk dalam peneyempurnaan penyidikan dan penyidik.
3.    Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dililmpahkan oleh penyidik.
4.    Membuat surat dakwaan.
5.    Melimpahkan perkara ke pengadilan.
6.    Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan.
7.    Melakukan penuntutan.
8.    Menutup perkara demi kepentingan hokum.
9.    Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.
10.    Melaksanakan penetapan hakim.

D.    Penangkapan, Penahanan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan, dan Pemeriksaan surat
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi “penangkapan” sebagai berikut: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 21 ayat (4) KUHAP berbunyi “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana.”
Dalam KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan, yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (Pasal 20 sampai Pasal 31 KUHAP).
Macam-macam bentuk penahanan di dalam HIR mengenal hanya satu macam bentuk penahan yaitu penahanan di rumah tahanan atau penjara, sedangkan KUHAP menurut Pasal 22 mengenai selain penahanan di rumah tahanan Negara, dikenal pula penahanan rumah dan penahanan kota. Cara pelaksanaan penahanan tidak dibedakan.
Pemasukan rumah atau penggeledahan tempat kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik menurut hokum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seseorang.
Dalam KUHAP, ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang. Itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri.
Selain daripada itu,wewenang menggeledah dibatasi pula oleh Pasal 34 ayat (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan delik yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan delik yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan delik tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pembatasan penggeledahan selanjutnya adalah:
1.    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya (Pasal 33 ayat (3) KUHAP)
2.    Setiap kali memasuki rumah, harus disaksikan kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir (Pasal 33 ayat (4) KUHAP)
3.    Dalam waktu dua hari setelah memasuki rumah dan atau menggeledah rumah, harus dibuat sutu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 33 ayat (5) KUHAP)
4.    Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hokum di mana penggeledahan itu dilakukan (Pasal 36 KUHAP)
5.    Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang disita (Pasal 37 ayat (1) KUHAP)
Penyitaan dalam KUHAP pada Pasal 1 butir16 sebagai berikut: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.”
Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putuisan hakim
a)    Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi
b)    Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau tidak merupakan delik
c)    Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hokum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik.
Penyitaan berakhir setelah ada putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali kalau benda tersebut menurut keputusan hakim dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara lain.
Kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan, keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim melakukannya pemeriksaan dan hanya batas-batas dalam surat gugatan atau dakwaab itulah hakim memutuskan. Dakwaan merupakan dasar penting hokum acara pidana karena berdasakan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan dakwaan itu didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan dimana dapat diketemukan baik berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli misalnya visum et repertum. Di situlah dapat ditemukan perbuatan sungguh-sungguh dilakukan dan bagaimana dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya.
-->
E.    Tersangka dan Terdakwa
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tindak pidana.
Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak yang sering menimbulkan pro dan kontra dari sarjana hokum adalah hak tersangka atau terdakwa untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertannyaan baik oleh penyidik, penuntut umum, maupun oleh hakim.
Tersangka adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
F.    Penyelidikan dan Penyidikan
KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hokum acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen. Maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hokum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHP memberi definisi penyedikan sebagai berikut:
“ Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian hokum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
1.    Ketentuan tentang alat-alat penyidik
2.    Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3.    Pemeriksaan di tempat kejadian
4.    Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5.    Penahanan sementara
6.    Penggeledahan
7.    Pemeriksaan atau interogasi
8.    Berita acara (penggeledahan,interogasi, dan pemeriksaan di tempat)
9.    Penyitaan
10.    Penyampingan perkara
11.    Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Diketahui terjadinya delik
Diketahuinya terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu sebagai berikut:
1.    Kedapatan tertangkap tangan
2.    Karena laporan
3.    Karena pengaduan
4.    Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, mendengar radio atau orang bercerita, dan selanjutnya.

G.    Penuntutan
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantun definisi penuntutan sebagai  berikut: “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Pasal 137 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu delik dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili (Pasal 139 KUHAP).    

DAFTAR PUSTAKA


Fauzan, Achmad. 2007. Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Badan Peradilan. Bandung: CV. Yrama Widya.

Hamzah, Andi.2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.