2. Abu Hanifah, Syafi’i, dan Hanabilah berkata: orang-orang kafir hanya mewariskan kepada mereka yang kafir. Karena agama orang kafir memiliki cara tersendiri dalam warisan. Seperti yang difirmankah Allah: Adapun orang-orang yang kafir, sebagian mereka menjadi pelindung bagi sebagian yang lain (al-anfal : 73). Orang-orang kafir merupakan bagian dari mereka yang kafir. Dan firman Allah: Bagaimanakah kamu dipalingkan (dari kebenaran)? (yunus/32). Dan karena dalam seluruh agama bagi di mata Islam sama dalam hal kebatilan seperti agama yang satu. Karena selain muslim memusuhi orang-orang muslim. Mereka dihukumi agama yang satu. Dan dengan itu, perundangan Mesir menggunakannya, seperti yang tertulis dalam pasal 6 bahwa: orang-orang kafir hanya mewariskan kepada orang kafir.
3. Ibnu Abi laily berkata: orang-orang Yahudi dan Nasrani hanya mewariskan kepada golongan mereka sendiri. Mereka tidak mewariskan di antara mereka bahkan kepada Majusi.
Warisan orang murtad dan zindiq
Murtad: yaitu orang yang beralih dari agama Islam ke agama yang lain atau tidak beragama sama sekali. Tidak ada perbedaan pendapat bahwa seorang yang murtad atau sejenisnya tidak mewariskan sesuatu kepada yang lain. Tidak dari orang muslim atau kafir, karena mereka tidak menjadi bagian dari mereka yang lain. Islam juga tidak menentukan hukuman atas kemurtadanya itu, apabila dibunuh sekalipun, menurut imam Abu Hanifah, seorang murtad perempuan tidak diperkenankan dibunuh, karena nabi mencegah membunuh wanita, kalaupun dipenjarakan sampai kembali masuk Islam atau dibunuh. Al-Hanabilah memberi pengecualian: ketika orang yang murtad masuk Islam sebelum pembagian harta warisan, maka dia boleh mendapat bagian.
Adapun warisan dari orang murtad, ahli fiqih berbeda pendapat:
Abu Hanifah berkata: orang Islam mendapatkan pusaka dari orang kafir selama barang itu didapatkannya semenjak dia masih Islam. Dan adapun ketika pusaka itu didapat sewaktu dalam keadaan murtad, maka sepenuhnya adalah milik baitul mal. Kalau seorang murtad perempuan, maka semua harta bendanya adalah milik orang muslim.
Ada dua sahabat yang tidak beda pendapat antara murtad wanita dan pria. Keduanya mengatakan: seluruh kekayaan yang didapat orang murtad sewaktu Islam adalah milik orang muslim. Karena orang yang murtad tidak ditetapkan keyakinannya, namun tidak menutup kemungkinan akan masuk Islam lagi. Maka dalam hal ini sudah dijelaskan hukum Islam secara benar. Hal ini bukan dimaksudkan sebagai manfaat kepadanya, tapi dari barang yang ditinggalkannya.
jumhur (Maliki, Syafii, dan Hanabilah) berkata: orang murtad dan kafir tidak boleh mewariskan hartanya kepada orang mukmin. Tapi seluruh kekayaannya adalah milik baitul mal, baik itu yang didapat sewaktu masih Islam atau sudah murtad, karena dengan kemurtadannya itu mereka menjadi orang yang memerangi orang muslim. Maka hukum harta bendanya adalah sama seperti harta rampasan. Ini mungkin terjadi sewaktu dalam keadaan mati atau murtad. Kecuali jika harta bendanya diwakafkan, jika kembali ke Islam, maka itu adalah miliknya.
Salah satu dari suami istri murtad: al-Hanabilah berkata: jika salah satu dari pasangan suami istri murtad sebelum bersetubuh, maka terputuslah hubungan pernikahan itu, dan salah satu dari mereka tidak mewariskan kepada yang lain. Namun jika mereka sudah bersetubuh, dalam hal ini ada dua riwayat yang menjelaskannya: salah satunya agar lekas berpisah. Dan yang lain berhenti dulu untuk menunggu masa iddah, dan jika mereka mati maka mereka tidak boleh mewariskan kepada yang lain.
Adapun orang zindiq: dia adalah orang yang tampak Islam, namun menyembunyikan kekafirannya, dan dia adalah orang yang munafik, seperti yang pernah disebutkan nabi semasa hidupnya dengan kata munafik, namun akhir-akhir ini biasa disebut dengan kata zindiq, yaitu yang berbeda dengan kata munafik dalam kerusakan dan umbar-umbar yang tersembunyi untuk menyerang Islam dan merong-rong orang muslim dari kepercayaannya.
Hukumnya menurut kalangan jumhur selain perkataan Malik seperti orang murtad yang berbeda-beda sebelumnya, maka harta benda orang zindiq menurut Syafi’i dan kHanabilah diberikan kepada baitul mal.
Imam Malik berkata: warisan orang zindiq berbeda dengan orang-orang murtad. Mereka memberikan dan menerima dari kalangan muslim, jika yang tampak dari mereka adalah Islam.
Dan kesimpulannya: berdasarkan mayoritas pendapat, orang yang murtad tidak diperkenankan diberikan harta warisan, karena kemurtadannya adalah masalah khusus yang tidak ada hubungannya dengan perihal agama. Kemurtadan memiliki hukum tersendiri. Orang yang murtad benar-benar tidak boleh mewariskan hartanya. Dan tidak boleh menerima hartanya menurut jumhur kecuali imam Abu Hanifah. Boleh menerima warisan mereka menurut dua sahabat secara sah. Dan boleh diwariskan hartanya sewaktu didapat ketika Islam saja menurut imam Abu Hanifah.
Pencegah yang lain: dua kewenangan yang berbeda.
Maksud dari hal di atas adalah: pemimpin agama memcegahnya dan pemimpin Negara memperbolehkannya. Yang dimaksud dengan perbedaan kewenangan di atas adalah seyogyanya pewaris dan ahli waris mematuhi pemerintah dan pemangku agama yang terpisah itu, seperti yang terdapat di India dan Swedia.
Dan tampaklah apa yang tercegah antara urusan agama dan urusan perang atau peran pentingnya urusan perang itu sendiri. Adapun darul Islam atau Negara Islam, hal ini menjelaskan Negara kesatuan muslim, maka orang Islam mewariskan di Negara manapun. Karena Islam menjadikan Negara muslim berupa kesatuan wilayah, di antara keduanya merupakan wilayah yang berjauhan, pemerintahan yang berbeda, dan hubungan yang terbelah. Meskipun orang Islam mati di tanah musuh, harta warisannya milik Islam. Maka ini sesuatu yang berbeda dengan selain muslim, karena Negara Islam adalah Negara yang satu.
Adapun pewarisan dengan negaranya musuh, ada sejumlah pendapat:
Perbedaan kepengurusan tersebut dapat mencegah prosesi pewarisan menurut Abu Hanifah jika dengan orang kafir, selain orang Islam. Untuk menetapkan pewarisan antara pemerintah, orang bijak, dan pemimpin Negara, maka pencegahan ini khusus di luar orang Islam. Dan perbedaan kepengurusan itu ada tiga macam, secara hakikat dan hukum bersamaan, secara hukum saja, dan hakekat saja.
1. Perbedaan hakikat dan hukum bersamaan.
Ada perbedaan yang tetap dan berubah. Seperti waris kepada kafir harbi dan kafir dlimmy. Pewaris kafir dlimmy di darul Islam dan ketika ada kafir harbi yang mati di Darul Harby, dan dia memiliki bapak atau kafir dlimmydi darul Islam, atau ada orang dlimmy mati di darul Islam, dan ada ada baak atau anak di darul harbi, maka salah satu di antara mereka tidak boleh saling mewariskan, karena dlimmy dari darul Islam dan harby dari keluarga darul harby, meski keduanya berangkat dari satu agama, akan tetapi berbeda dalam status kerumahtanggaan secara hakikat yang memutus wilayah di antara mereka berdua. Maka terputuslah warisan karena factor wilayah tersebut, karena ahli waris ada di belakang pewaris berdasarkan harta bendanya secara kepemilikan dan pengalihannya.
b. perbedaan segi hukum.
Hal ini dibedakan dari segi tanggungjawab dan jenisnya. Seperti ahli waris dari Negara spanyol dan pewarisnya dari English yang bersama-sama di spanyol dan English. Bisa jadi yang satu dlimmy dan lainnya orang yang minta keamanan yang keduanya tinggal di darul Islam. Posisi orang yang minta aman dari darul harbi itu terjadi secara hukum.
Atau mereka berdua orang yang minta aman dari dua Negara yang berbeda, yang keduanya hidup di darul Islam, karena keduanya merupakan kafir harbi dari Negara yang berbeda. Maka mereka tidak diperkenankan saling mewariskan di antara mereka semuanya karena segi tanggungjawab.
c. perbedaan secara hakekat
hal ini dibedakan dalam bentuk tetap yang disertakan dengan adanya persatuan penjagaan atau tanggungjawab. Seperti penduduk jerman yang salah satu dari mereka menetap di perancis, dan yang lainnya menetap di amerika, berikut dengan adanya penjagaan bagi status mereka, dan seperti mereka yang minta keselamatan kepada Negara kami dengan musuh kami di darul harbi. Keduanya dari Negara yang satu, yang saling mewariskan, karena adanya ikatan tanggungjawab.
Dua macam yang pertama dan kedua merupakan penghalang dari prosesi pewarisan, karena segi tanggungjawab, dan karena ketercegahan tertentu dari pihak Negara tertentu. Dan perbedaan dari segi hukum itu adalah yang menyebabkan salah satunya adalah mencegah proses waris-mewaris.
Adapun bagian yang ketiga yang tidak mencegah yaitu adanya persatuan dalam tanggungjawab.
Hal ini tampak karena sesungguhnya dua kafir harbi bila ada di dua Negara dari darul harbi dengan adanya ikatan perjanjian kewarganegaraan itu adalah maksud dari bagian dar al-khaqiqi tanpa adanya ketercegahan. Dan adapun di Negara kita menggunakan segi hukum yang melarang adanya warisan. Maka tidak ada perihal waris dalam darul Islam bagi mereka kecuali jika mereka mau menjadi golongan dlimmy.
Dari kalangan syafiyyah berbeda pendapat soal tersebut, tidak ada hal yang mencegah dari beberapa yang mencegah untuk memberi dan menerima harta warisan, akan tetapi mereka mengatakan: tidak ada saling mewariskan antara kafir harbi dengan pihak yang mau bertanggungjawab. Dan itu berlaku untuk kafir dlimmy dan orang yang minta keamanan, tidak ada kesinambungan keduanya, seperti yang akan datan, kaum hanafi sepakat dengan macam yang pertama ini.
Dan tidak ada perbedaan yang mutlak tentang dar dalam pandangan kaum Maliki, dan hanabil menolak untuk pewarisan ini. Maka diwariskanlah harta kafir harbi kepada golongan mereka sendiri, seperti halnya menafaqohkan harta mereka atau semacamnya.
Adapun dalam perundangan Mesir pasal 6 hanya menyebutkan bahwa perbedaan Negara tidak menghangi dalam perihal pewarisan dengan kaum muslimin. Dan tidak mencegah antara selain orang muslim kecuali jika ada peraturan Negara asing yang mencegah keterlibatan orang asing dalam pewarisan tersebut.
Perundangan ini berlaku karena tidak menekankan pada pencegahan harta warisan yang dilimpahan kepada pihak selain orang Islam, seperti yang dikatakan kaum Maliki dan Hanabilah, kecuali jika ada peraturan dari Negara asing yang tidak memperbolehkan adanya pewarisan dari pihak asing kepadanya. Jika hal itu terjadi maka pemberian dan menerima harta warisan bisa tercegah, transaksi perdagangan misalnya.
Adapun perundangan dari sirya dalam pasal 264 disebutkan bahwa tidak diperbolehkan pihak asing menentukan perihal waris kecuali ketika terdapat perundangan yang memperbolehkan hal itu di sejumlah daerah di suryah. Dan hal itu bisa dimulai dari jual beli misalnya. Hal-hal tersebut juga terjadi dalam Islam dari berbagai jenis yang ada. Ahli fiqh tidak mengurangi sedikitpun dari hal itu.
Misalnya, penduduk sirya tidak mewariskan apapun dari harta bendanya, begitu juga mereka tidak memperdagangkannya misalnya, maka hal ini tidak boleh secara syara' karena bertentangan dengan nash al-quran: sesungguhnya sesama orang mukmin adalah saudara.
Akan tetapi jika kalimat "asing" dimaksudkan dengan selain muslim dan dan selain majusi yang bermukim di daerah Islam, di sana tidak ada perbedaan, karena kaum muslim tidak menyangka Negara Islam dengan asing. Seperti yang dilakukan selain Islam yang bermukim di Negara Islam mereka mewariskan ke golongan mereka sendiri.