Perbankan syariah saat ini, jika diibaratkan bunga, setiap orang yang melihat ingin memetik dan menghirup bau wanginya. Keadaan ini bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi hampir secara menyeluruh dunia seakan dibuat terpaku kepadanya. Krisis keuangan yang melanda tahun 1998, dan kembali berulang di tahun 2007, membuat mata dunia terbuka akan satu sisitem perekonomian yang ramah terhadap lingkungannya. Begitu pula yang terjadi di Indonesia, perbankan yang sudah ada beramai ramai mendirikan perbankan syariah, dari yang hanya dari unit usahanya sampai melakukan spin of atas unit usahanya. Sampai saat ini sudah ada lima bank umum syariah di Indonesia. Diawali oleh Bank Muamalat, lalu disusul Syariah Mandiri, kemudian Mega Syariah, dan diikuti oleh BRI yang menspin off kan unit usaha syariahnya, serta yang baru baru ini BNI syariah pun menyusul berdiri secara mandiri.
Hal ini tentu saja dikarenakan pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Dari seluruh Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun perbankan, baru sekitar 5% yang masuk ke perbankan syariah. Padahal jika dilihat dalam penyaluranya sebagai pelaksanaan fungsi intermediasi bank, maka hampir semua perbankan syariah mempunyai LDR di atas 90%, berbeda dengan perbankan konvensional yang paling besar LDR nya hanya mencapai 65% dan rata rata hanya sekitar 40%, sisanya lebih banyak ditanam di Bank Indonesia. Selain itu pula, bagi hasil perbankan syariah masih sangat menguntungkan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Rata rata bunga yang diberikan atas tabungan oleh bank konvensional adalah sekitar 4 sampai 6% sedangkan perbankan syariah dapat memberikan bagi hasil jika disetarakan bunga mencapai 7-8,5%. Bahkan jika kita meminjam di bank syariah, maka tidak ada biaya pinalti jika kita melunasinya sebelum masa waktu berakhir. Walaupun begitu pergerakan perbankan syariah di Indonesia masih di hitung sangat lambat.
Berbagai kritik dan celaan terus diarahkan kepada pihak perbankan syariah, walaupun tidak sedikit pula pujian yang dialamatkan kepada perbankan syariah. Dari tuduhan penjualan nilai nilai agama, sampai bank konvensional yang berjilbab terus menerus dilontarkan kepada perbankan syariah. Berbagai kritikan ini kebanyakan berasal dari sistem pinjaman yang masih dianut di perbankan syariah di Indonesia.
Dalam pelaksanaan di lapangan, sistem perbankan syariah ada dua sistem yaitu sistem revenew sharing dan sistem profit sharing. Di Indonesia sendiri masih menggunakan system revenew sharing , belum didasarkan pada loss and profit. Hal inilah yang dijadikan kritik dari beberapa pihak yang kurang senang dengan sistem perbankan syariah yang ada di Indonesia. Sistem revenew sharing membuat para peminjam harus tetap mengembalikan pokok dan margin walaupun usahanya rugi.
Selain itu masih tumpang tindih system perbankan syariah dengan perbankan konvensional membuat masyarakat sulit membedakan mana yang syariah mana yang tidak jika dilihat dari transakasi yang dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada pembiayaan perbankan syariah, walaupun menggunakan akad yang sesuai dengan sistem ekonomi Islam, tetapi dalam prakteknya masih mencampurkan sistem konvensional didalamnya. Ini terlihat pada penggunaan anuitas di dalam pembiayaan perbankan syariah. Hal ini pernah saya keluhkan, ketika waktu itu membantu saudara mencari pembiayaan KPR . Pada waktu itu saudara saya menggambil pembiayaan dengan jangka waktu 15 tahun dengan cicilan setiap bulan fix dan flat sebesar 5 juta rupiah. Salah kami waktu itu adalah kami tidak bertanya bagaimana perbandingan antara pokok dan margin dalam cicilan 5 juta tersebut, padahal sebelumnya bank bank yang lain kami menanyakannya. Akhirnya ditandatanganilah akad pembiayaan KPR tersebut.
Dua bulan kemudian saya berkunjung kembali ke saudara saya, tiba tiba saudara saya bilang, kalau dia tidak jadi melunasi pinjamannya dalam jangka lima tahun (sebelumnya dia sudah menghitung kemungkinan untuk melunasinya dengan bonus bonus dari perusahaan tempat dia dan suaminya bekerja),. Ketika ditanya lebih lanjut jawabannya cukup mencenggangkan dan membuat malu saya (waktu itu yang ngotot ke bank syaraiah itu saya), ternyata dari cicilan lima juta, pokoknya hanya 900ribu rupiah dan marginya 4.100.000 rupiah, dan ini berlaku anuitas dengan pergerakan yang lamban. Tentu saja ketika saudara saya akan melunasi di tahun kelima walaupun tanpa pinalti ini tentu saja masih sangat besar pokok yang harus dibayarkan.
Perlakuan anuitas inilah yang menjadi pertanyaan besar di seluruh nasabah perbankan syariah , terutama bagi mereka yang mempunyai pendidikan ilmu yang tinggi. Bukankah secara teori apa yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah sistem anuitas. Lalu bagaimana mungkin sistem anuitas diadopsi oleh perbankan syariah secara mentah mentah. Untungnya waktu itu saudara saya sudah yakin benar tentang yang penting ‘Halal’. Tetapi persoalaanya tidak lantas hanya berhenti pada pemahaman halal dan haram. Pihak perbankan syariah harus dapat memberikan jawaban yang rasional bagaimana perbankan syariah dapat mempergunakan sistem anuitas didalam sitem pembiayaannya. Nah disinilah kejelian para debitur harus bermain, diman memilih perbankan yang murah.
Sebenarnya adanya ketidakseragaman dalam sistem perbankan syariah di Indoinesia, dikarenakan juga karena peraturan yang ada belum mendukung perkembangan ke arah sana. Hal ini pulalah yang membuat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia berjalan lamban, bank syariah tidak dapat mengekplor daya kreativitas mereka karena tidak adanya kejelasan hukumnya. Dan ini menjadi PR besar bank Indonesia dengan lembaga legislative yang mengurus perundang undangan.
TIPS
Dalam memilih pembiayaan yang murah melalui perbankan syariah , sebenarnya ada tips mudah, sehingga kita tidak terjebak pada persen margin yang kecil.
1. Tanyalah seluruh perbankan syariah yang ada, berapakah margin yang diberikan
2. Pastikan bahwa margin tersebut, floating, fix ataupun flat, Pilihlah yang fix dan flat
3. Hitunglah margin tersebut dengan margin efektif , dari situ akan terlihat sebenarnya berapa margin dari pinjaman.
4. Bertanyalah berapakah porsi antara pokok dengan margin dalam cicilan setiap bulannya, pada bulan bulan di tahun pertama lalu coba tanya di berapakah proporsinya di tahun kelima. Ambilah yang perbandingannya tidak terlalu besar. Misal seperti salah satu bank waktu itu, dengan cicilan 5juta maka perbandingan anatara pokok dan margin sekitar 43% dengan 57 %. Coba bandingakan dengan 900.000 dan 4.100.000 maka perbandingannya adalah 18% dan 82%.
Setelah semua tahap tadi dilihat maka pilihlah yang paling kecil selisih perbandingannya. Pada waktu dulu sebenarnya saudara saya itu sudah mau ke bank dengan perbandingan 43 dan 51, tetapi karena maksimal pinjaman yang akan diberikan tidak mencukupi maka saudara saya memilih ketempat lainnya, dengan pikiran semua bank syariah sama. Dan memang itu menjadi kelalaian kita ketika tidak bertanya pada bank pilihan kami berapakah perbandingan anatara pokok dan margin daris etiap cicilan yang dibayarkan.
Tetapi waktu itu saudara saya tidak terlihat kecewa walaupun sebanarnya bank yang bersangkutan sudah sangat merugikan dirinya, dia hanya berkata yang penting halal, walupun mahal tidak apa apa. Memang benar, jika bukan kita sendiri yang menyokong sistem perbankan syariah ini maka kepada siapa lagi perbankan syariah ini akan berharap selain hanya kepada kita yang jelas ada kesamaan dalam hal aqidah dan yang menyakini bahwa segala sesuatu dari Allah SWT itulah yang terbaik. Bukankah segala sesuatu itu memang ada prosesnya, bukan seperti membalik telapak tangan.
”……mereka berpendapat ,sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Al Quran Surat Al Baqarah : 275
Mari bersama bergandengan tangan, apapun kekurangan perbankan syariah saat ini tentunya itupun dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.Dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membuatnya lebih baik. Amin.
Hal ini tentu saja dikarenakan pasar perbankan syariah di Indonesia masih sangat terbuka lebar. Dari seluruh Dana Pihak Ketiga yang berhasil dihimpun perbankan, baru sekitar 5% yang masuk ke perbankan syariah. Padahal jika dilihat dalam penyaluranya sebagai pelaksanaan fungsi intermediasi bank, maka hampir semua perbankan syariah mempunyai LDR di atas 90%, berbeda dengan perbankan konvensional yang paling besar LDR nya hanya mencapai 65% dan rata rata hanya sekitar 40%, sisanya lebih banyak ditanam di Bank Indonesia. Selain itu pula, bagi hasil perbankan syariah masih sangat menguntungkan dibandingkan dengan perbankan konvensional. Rata rata bunga yang diberikan atas tabungan oleh bank konvensional adalah sekitar 4 sampai 6% sedangkan perbankan syariah dapat memberikan bagi hasil jika disetarakan bunga mencapai 7-8,5%. Bahkan jika kita meminjam di bank syariah, maka tidak ada biaya pinalti jika kita melunasinya sebelum masa waktu berakhir. Walaupun begitu pergerakan perbankan syariah di Indonesia masih di hitung sangat lambat.
Berbagai kritik dan celaan terus diarahkan kepada pihak perbankan syariah, walaupun tidak sedikit pula pujian yang dialamatkan kepada perbankan syariah. Dari tuduhan penjualan nilai nilai agama, sampai bank konvensional yang berjilbab terus menerus dilontarkan kepada perbankan syariah. Berbagai kritikan ini kebanyakan berasal dari sistem pinjaman yang masih dianut di perbankan syariah di Indonesia.
Dalam pelaksanaan di lapangan, sistem perbankan syariah ada dua sistem yaitu sistem revenew sharing dan sistem profit sharing. Di Indonesia sendiri masih menggunakan system revenew sharing , belum didasarkan pada loss and profit. Hal inilah yang dijadikan kritik dari beberapa pihak yang kurang senang dengan sistem perbankan syariah yang ada di Indonesia. Sistem revenew sharing membuat para peminjam harus tetap mengembalikan pokok dan margin walaupun usahanya rugi.
Selain itu masih tumpang tindih system perbankan syariah dengan perbankan konvensional membuat masyarakat sulit membedakan mana yang syariah mana yang tidak jika dilihat dari transakasi yang dilakukan. Hal ini bisa dilihat pada pembiayaan perbankan syariah, walaupun menggunakan akad yang sesuai dengan sistem ekonomi Islam, tetapi dalam prakteknya masih mencampurkan sistem konvensional didalamnya. Ini terlihat pada penggunaan anuitas di dalam pembiayaan perbankan syariah. Hal ini pernah saya keluhkan, ketika waktu itu membantu saudara mencari pembiayaan KPR . Pada waktu itu saudara saya menggambil pembiayaan dengan jangka waktu 15 tahun dengan cicilan setiap bulan fix dan flat sebesar 5 juta rupiah. Salah kami waktu itu adalah kami tidak bertanya bagaimana perbandingan antara pokok dan margin dalam cicilan 5 juta tersebut, padahal sebelumnya bank bank yang lain kami menanyakannya. Akhirnya ditandatanganilah akad pembiayaan KPR tersebut.
Dua bulan kemudian saya berkunjung kembali ke saudara saya, tiba tiba saudara saya bilang, kalau dia tidak jadi melunasi pinjamannya dalam jangka lima tahun (sebelumnya dia sudah menghitung kemungkinan untuk melunasinya dengan bonus bonus dari perusahaan tempat dia dan suaminya bekerja),. Ketika ditanya lebih lanjut jawabannya cukup mencenggangkan dan membuat malu saya (waktu itu yang ngotot ke bank syaraiah itu saya), ternyata dari cicilan lima juta, pokoknya hanya 900ribu rupiah dan marginya 4.100.000 rupiah, dan ini berlaku anuitas dengan pergerakan yang lamban. Tentu saja ketika saudara saya akan melunasi di tahun kelima walaupun tanpa pinalti ini tentu saja masih sangat besar pokok yang harus dibayarkan.
Perlakuan anuitas inilah yang menjadi pertanyaan besar di seluruh nasabah perbankan syariah , terutama bagi mereka yang mempunyai pendidikan ilmu yang tinggi. Bukankah secara teori apa yang membedakan perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah sistem anuitas. Lalu bagaimana mungkin sistem anuitas diadopsi oleh perbankan syariah secara mentah mentah. Untungnya waktu itu saudara saya sudah yakin benar tentang yang penting ‘Halal’. Tetapi persoalaanya tidak lantas hanya berhenti pada pemahaman halal dan haram. Pihak perbankan syariah harus dapat memberikan jawaban yang rasional bagaimana perbankan syariah dapat mempergunakan sistem anuitas didalam sitem pembiayaannya. Nah disinilah kejelian para debitur harus bermain, diman memilih perbankan yang murah.
Sebenarnya adanya ketidakseragaman dalam sistem perbankan syariah di Indoinesia, dikarenakan juga karena peraturan yang ada belum mendukung perkembangan ke arah sana. Hal ini pulalah yang membuat pertumbuhan perbankan syariah di Indonesia berjalan lamban, bank syariah tidak dapat mengekplor daya kreativitas mereka karena tidak adanya kejelasan hukumnya. Dan ini menjadi PR besar bank Indonesia dengan lembaga legislative yang mengurus perundang undangan.
TIPS
Dalam memilih pembiayaan yang murah melalui perbankan syariah , sebenarnya ada tips mudah, sehingga kita tidak terjebak pada persen margin yang kecil.
1. Tanyalah seluruh perbankan syariah yang ada, berapakah margin yang diberikan
2. Pastikan bahwa margin tersebut, floating, fix ataupun flat, Pilihlah yang fix dan flat
3. Hitunglah margin tersebut dengan margin efektif , dari situ akan terlihat sebenarnya berapa margin dari pinjaman.
4. Bertanyalah berapakah porsi antara pokok dengan margin dalam cicilan setiap bulannya, pada bulan bulan di tahun pertama lalu coba tanya di berapakah proporsinya di tahun kelima. Ambilah yang perbandingannya tidak terlalu besar. Misal seperti salah satu bank waktu itu, dengan cicilan 5juta maka perbandingan anatara pokok dan margin sekitar 43% dengan 57 %. Coba bandingakan dengan 900.000 dan 4.100.000 maka perbandingannya adalah 18% dan 82%.
Setelah semua tahap tadi dilihat maka pilihlah yang paling kecil selisih perbandingannya. Pada waktu dulu sebenarnya saudara saya itu sudah mau ke bank dengan perbandingan 43 dan 51, tetapi karena maksimal pinjaman yang akan diberikan tidak mencukupi maka saudara saya memilih ketempat lainnya, dengan pikiran semua bank syariah sama. Dan memang itu menjadi kelalaian kita ketika tidak bertanya pada bank pilihan kami berapakah perbandingan anatara pokok dan margin daris etiap cicilan yang dibayarkan.
Tetapi waktu itu saudara saya tidak terlihat kecewa walaupun sebanarnya bank yang bersangkutan sudah sangat merugikan dirinya, dia hanya berkata yang penting halal, walupun mahal tidak apa apa. Memang benar, jika bukan kita sendiri yang menyokong sistem perbankan syariah ini maka kepada siapa lagi perbankan syariah ini akan berharap selain hanya kepada kita yang jelas ada kesamaan dalam hal aqidah dan yang menyakini bahwa segala sesuatu dari Allah SWT itulah yang terbaik. Bukankah segala sesuatu itu memang ada prosesnya, bukan seperti membalik telapak tangan.
”……mereka berpendapat ,sesungguhnya jual beli itu sama dengan riba, padahal Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba” Al Quran Surat Al Baqarah : 275
Mari bersama bergandengan tangan, apapun kekurangan perbankan syariah saat ini tentunya itupun dalam rangka menuju ke arah yang lebih baik.Dan menjadi tanggung jawab kita bersama untuk membuatnya lebih baik. Amin.