Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

MAKALAH HUKUM PIDANA ISLAM (JARIMAH DAN HUKUM-HUKUMNYA)

PERCOBAAN MELAKUKAN JARIMAH

Diajukan untuk memenuhi tugas mata kuliah

“Hukum Pidana Islam”

Dosen Pembimbing:

Bpk. Sahid HM

Disusun Oleh:

ROJAK AMINUDDIN

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI FAKULTAS SYARI’AH

AKHWAL AL SYAHSIYAH

SURABAYA

2003







BAB I

PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang

Dalam mata kuliah hukum pidana islam, kita telah mengetahui bahwa hukum pidana islam dalam bahasa arab adalah jarimah yang berarti dosa, kesalahan, atau kejahatan. Yang secara terminologis adalah larangan hukum yang diancam Allah dengan hukuman had atau ta’zir. Jariamah umumnya dipakai sebagai perbuatan dosa seperti pencurian, pembunuhan, atau perkosaan. Dalam perbuatan jarimah ini seseorang dalam melakukannya ada yang dilakukan secara sengaja, secara individual, kerjasama, ataupun dengan melakukan percobaan berbuat jarimah. Disini pemakalah akan membahas tentang percobaan melakukan jarimah, mengenai pengertian jarimah, macam-macamnya, dan apakah dalam melakukan percobaan jarimah akan dikenai hukuman atau tidak menurut syariat islam.

bab ii

pembahasan

Percobaan Melakukan Jarimah

A.    Percobaan Melakukan Jarimah

      Menurut KUHP Mesir pasal 45, percobaan jarimah adalah mulai melaksanakan sesuatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak perilaku[1]. Sedangkan pada umumnya kata “percobaan” atau poging berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum selesai[2].


      Percobaan menurut para fuqoha

      Penyebab para ulama tidak banyak bicara tentang percobaan melakukan tindak pidana ada dua hal:

a.       Percobaan melakukan jarimah tidak dikenakan hukuman had atau qishosh melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macam-macamnya jarimah itu.

b.      Dengan adanya aturan-aturan yang sudah mencakup dari syara’ tentang hukuman untuk jarimah ta’zir maka aturan –aturan yang khusus untuk percobaan tidak perlu diadakan, sebab hukuman ta’zir dijatuhkan atas perbuatan maksiat yang tidak dikenakan hukuman had atau kifarat.

1.      Fase-Fase Pelaksanaan Jarimah

Fase-fase pelaksanaan jarimah ada tiga yaitu[3]:

1)      Fase pemikiran dan pelaksanaan (marhalah al tafkir)

Dalam fase pemikiran seseorang tidak dapat dikenai sanksi. Rasulullah SAW, bersabda:

عن ابى هريرة رضى الله عنه قال قال النبي ص م ان لله تجا وزى عن امتى ما سوست به صدورها مالم تعمل او تكلم

Abu Hurairah ra berkata: Nabi SAW telah bersabda:”Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan”.

Sedangkan dalam ilmu pidana di Indonesia, hal ini dinamakan sebagai unsur melawan hukum yang subyektif[4].

Maksudnya, niat adalah sikap batin yang memberi arah tertentu kepada perbuatan yang dilakukan. Jika niat itu mulai dilakukan dengan kesengajaan dan dikenai hukuman. Namun, jika sebaliknya hanya berupa niat tanpa disertai dengan perbuatan maka tidak dapat dikenai hukuman pidana.

2)      Fase persiapan (marhalah al tahdhir)

                     Fase ini merupakan fase yang kedua dimana pelaku menyiapkan alat-alat yang akan dipakai untuk melaksanakan jarimah[5].

                     Dalam fase ini ada dua kemungkinan, kemungkinan pertama ia tidak dikenai sanksi bila perbuatannya itu bukan maksiat dan yang kedua pelakunya dapat dikenai sanksi, bila perbuatannya merupakan maksiat.

3)      Fase pelaksanaan (Marhalah al Tanfids)

                     Pada fase inilah pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dapat dikenakan hukuman bila perbuatannya itu merupakan suatu maksiat meskipun belum selesai. Perbuatan pelaksanaan adalah perbuatan yang sedemikian berhubungan langsung dengan kejahatan, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan daripada kejahatan sudah dinulai[6]. Hal ini sesuai dengan pasal 53 KUHP[7] ayat 1 yaitu percobaan akan melakukan kejahatan dipidana, jika niat untuk itu telah ternyata dari adanya permulaan pelaksanaan dan tidak selesainya pelaksanaan itu, bukan semata-mata disebabkan karena kehendaknya sendiri.

2.      Sebab Tidak Selesainya Perbuatan

Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebabkan karena salah satu dari dua hal sebagai berikut:

a.       Adakalanya karena terpaksa

b.      Adakalanya karena kehendak sendiri. Berdasarkan karena kehendak sendiri, ini ada dua macam:

·         Bukan karena taubat

·         Karena taubat

Jika tidak selesainya jarimah itu karena terpaksa maka pelaku tetap harus dikenakan hukuman, selama perbuatannya berkategorikan maksiat. Demikian pula halnya dengan tidak menyelesaikan jariamah karena kehendak sendiri tetapi bukan karena taubat.

Apabila tidak selesainya kejahatan itu disebabkan pelakunya bertaubat, para ulama berbeda pendapat:

1.      Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam Syafi’I, dan Imam Ahmad berpendapat bahwa taubat itu tidak menghapuskan hukuman

لقد تاب توبة لوقسمت علي سبعين من اهل المدينة لو سعتهم

“Sesungguhnya ia telah taubat dan andaikata taubatnya dibagikan kepada tujuh puluh orang penduduk Madinah akan mencukupi”.

2.      Sebagian Syafi’iyyah menyatakan bahwa taubat dapat menghapuskan hukuman.

فمن تاب من بعد ظلمه واصلح فان الله يتوب عليه ان الله غفور رحيم (المائدة :٣٩)

 “Maka barang siapa yang taubat setelah berbuat aniaya dan ia berbuat baik maka sesungguhnya Allah menerima taubatnya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun dan Penyayang. (QS Al-Maidah: 39)

3.      Menurut Ibnu Taimiyah dari Ibnu Qayyim bila kejahatannya merupakan hak Allah, maka taubatnya itu dapat menghapuskan hukuman, dan bila kejahatannya itu merupakan hak adami, maka taubatnya tidak menghapuskan hukuman.

c.       Hukuman untuk Jarimah Percobaan

Menurut ketentuan pokok dalam syariat islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan qishosh, hukuman-hukuman yang telah ditetapkan untuk jarimah yang sudah selesai, tidak boleh untuk jariamah yang sudah selesai (percobaan). Ketentuan ini berdasarkan hadist yang diriwayatkan oleh Iamam Baihaqi dari Nu’man Ibnu Basyr bahwa Rasulullah SAW bersabda:

من بلغ حدافي غير حد فهو من المعتدين

“Barang siapa yang mencapai (melaksanakan ) hukuman had bukan dalam jarimah hudud maka ia termasuk orang yang melampaui batas”.

Dalam hukum pidana Indonesia. Hukuman percobaan ini tercantum dalam pasal 53 ayat 2.

d.      Percobaan Melakukan Tindak Pidana yang Mustahil

Percobaan melakukan tindak pidana yang mustahil adalah melakukan percobaan , tetapi mustahil maksud pelakunya dapat tercapai melalui percobaan itu. Dalam kasus semacam ini dalam islam dilihat apakah perbuatan percobaan itu maksiat atau bukan. Apabila perbuatannya merupakan maksiat maka dapat dijatuhi hukuman ta’zir.

BAB III

KESIMPULAN

                                   

Percobaan melakukan jarimah, dalam hal ini kata percobaan berarti suatu usaha mencapai suatu tujuan, yang pada akhirnya tidak atau belum selesai. Percobaan jarimah menurut para fuqoha tidak dikenakan hukuman had atau qishosh melainkan dengan hukuman ta’zir bagaimanapun macamnya jarimah itu. Fase-fase pelaksanaan jarimah ada tiga yaitu; fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, fase pelaksanaan. Suatu perbuatan jarimah tidak selesai dilakukan oleh pembuat disebakan karena salah satu dari dua hal: karena terpaksa atau karena kehendak sendiri. Menurut ketentuan pokok dalam syariat islam yang berkaitan dengan jarimah hudud dan qishosh hukuman yang telah ditetapkan

DAFTAR PUSTAKA

§  Djazuli. 2000. Fiqih Jinayah. Jakarta: PT Raja Grafinda Persada

§  Muslich, Ahmad Wardi. 2004. Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam. Jakarta: Sinar Grafika

§  Prodjodikoro, Wirjono. 1989. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: PT Eresco

§  Salah, Ruslan. 1987. KUHP dan penjelasannya. Jakarta: Aksara Baru

§  Moeljatno. 2008. KUHP. Jakarta:PT Bumi aksara

[1] Muslih, Ahmad wardi. Pengantar dan asas hukum pidana islam, hal; 60

[2] Prodjodikoro, wijono. Asas – asas hukum pidana di Indonesia. Hal: 97

[3] Djazuli. Fiqih jinayah. Hal:21-22

[4] Saleh, Roesla. KUHP dengan penjelasannya. Hal:94

[5] SDA 1 hal:62

[6] Ibid. hal: 94

[7] Moelyatno, KUHP. Hal:24-25