PENDAHULUAN
Siapa pun dapat memikirkan adanya harga atau nilai tertinggi, berupa kebaikan, keindahan, kebenaran, kesempurnaan, keserasian, cinta, energi, kesucian, keagungan dan kekuatan. Masing-masing nilai ini atau nilai-nilai lain yang mungkin ada, adalah bersumber pada Tuhan yang tak Berhingga, kedan yang memanifestasikan semua itu, seperti kapan dan bagaimana Dia kehendaki, sebab Dia adalah Prinsip Hidup bagi alam semesta.
Dia selalu aktif, tetapi tidak ada satu pun dari aktivitas-Nya yang sia-sia. Dia tidak hanya seperti pembuat benda-benda keramik yang membuat pot kemusian dihancurkan sesuka hatinya. Dia tidak seperti makhluk yang melahirkan sesuatu lain dan sesuatu lain itu menjadi sama dengan diri-Nya, atau menjadi kerabat atau pasangan-Nya. Dia bebas dari kesempurnaan. Dia juga tidak seperti kuncup dari kehidupan yang timbul dan berhenti berada. Semua keserupaan iu tidak mungkin terjadi pada-Nya. Bagi kita yang terbatas tidak dapat memahami Yang Tidak Terbatas. Kita harus mengisi-Nya dengan ide-ide kekekalan dan tidak ketidakterbatasan dan percaya bahwa alam semesta merupakan suatu manifestasi atau perluasan dari Kehendak-Nya.
Filsafat adalah suatu istilah suatu pengkajian realitas, pencarian kepastian dan pengkajian nilai-nilai dengan sarana nalar. Dalam pengertian ini, filsafat adalah penemuan Yunani. Orang-orang Yunani zaman dahulu membangun dasar-dasar dan aturan-aturan bangunan filsafat raksasa yang bersifat kaleidoskopis. Sejak saat itu orang-orang dari segala bangsa telah menambahkan sumbangan dan pengertiannya sendiri pada bangunan ini. Oleh karena ituorang tidak dapat menganggap pengkajian filsafat hanya sebagai penyelidikan rasional ke dalam realitas dan perbuatan-perbuatan. Hendaknya filsafat itu juga dipandang sebagai perumusan konseptual mengenai pengalaman-pengalaman manusia yang lebih dalam beerta penafsirannya mengenai dunia melalui suatu wawasan khusus yang timbul dari ethos lingkungan filosof itu sendiri.
PEMBAHASAN
A. Jiwa dan Sipatnya
Tulisan al-Kindi Tentang Akal Budi, tulisan-tulisan itu mencakup lima buah tulisannya yang terdaftar dalam al-Fihrist, yang diantaranya hanya dua yang sampai kepada kita. Disamping itu ada sebuah catatan berjudul: Suatu Risalah Oleh al-Kindi Mengenai Jiwa, singkat dan ringkas. Dengan cara yang tak dapat dipahami risalah ini menggarap hubungan jiwa dan badan, dan berusaha menunjukkan bahwa ide-ide Plato dan Aristoteles mengenai hubungan ini dapat diserasikan. Tulisan-tulisan yang sedikit ini luar biasa pentingnya dan sangat menarik karena memberikan penerangan tentang asal-muasal psikologi Muslim-Arab dan khususnya tentang ramalan alami.
Mengenai hakikat jiwa, al-Kindi menentang konsepsi materialistis apapun. Kebanyakan orang-orang muslim ortodoks dan juga kaum materialis seperti ad-Dahriyah percaya bahwa jiwa terdiri dari suatu bahan sangat halus dan lembut yang tidak dapat dilihat dengan mata telanjang. Tetapi tidaklah jelas, apakah yang dimaksudnya adalah kedua kelompok tersebut ketika dalam tulisannya bahwa ada substansi-substansi tanpa bahan ia membuktikan bahwa ide-ide Epicurus dan Stoik yang berpegang bahwa substansi-substansi, termasuk jiwa, terdiri dari materi.
Menurut al-Kindi, jiwa adalah “tunggal dan bersifat sempurna dan mulia”. Esensinya berasal dari esensi Sang Pencipta, seperti halnya sinar matahari berasal dari matahari. Telah dijelaskan bahwa jiwa terpisah dari badan dan berbeda daripadanya, dan bahwa esensinya adalah ilahi dan spiritual menilik akan keunggulan sipatnya dan kejijikannya terhadap nafsu dan keberingasan yang membinasakan badan. Jika jiwa itu bersipat ilahi, maka ini berarti bahwa manusia dapat mencapai suatu keadaan sebaik-baiknya, kemuliaan dan kebahagiaan di dunia ini dan juga di dunia lain dengan mensucikan jiwa dari segala pencemaran material. Seperti halnya cermin yang digosok memantulkan bentuk semua benda, demikian pula jiwa yang digosok, yakni jiwa yang disucikan, mampu memantulkan misteri-misteri alam semesta yang tersembunyi. Menurut Plato dengan meninggalkan badan dan kembali ke dunianya sendiri, dunia keilahian, maka jiwa itu memperoleh suatu kesanggupan untuk pengetahuan dan mengetahui apa yang akan terjadi, mirip dengan Yang Kuasa.
Jiwa itu tunggal dan kalau terpisah dari badan di waktu tidur, mampu melihat yang akan datang. Lagi pula, jiwa selalu waspada, tidak pernah tertidur, dan abadi. Selama tidur, jiwa itu hanya mengendorkan pengendaliannya atas indera-indera, tetapi tidak kehilangan kesadaran. Jiwa itu baqa dan kehadirannya di dunia ini bersifat fana atau sementara. Bumi ini hanyalah suatu ‘jembatan’ ke dunia surgawi yang lebih mulia di mana jiwa-jiwa bersemayam dengan abadi di dekat Sang Pencipta. Di surga ini jiwa-jiwa itu dapat melihat-Nya secara akali bukan secara inderawi.
Al-Kindi nampaknya tidak percaya kepada hukuman jiwa yang abadi. Ia percaya kepada penyelamatan jiwa yang terakhir. Tetapi tidak semua jiwa langsung berakhir di dalam alam surgawi, tuturnya. Beberapa dari jiwa yang terlepas dari badan-badannya, karena terlekati ketidaksucian tertentu sehingga tercegah untuk selang beberapa waktu dalam pencapaiannya ke alam surgawi tersebut. Jiwa-jiwa tadi harus tinggal dalam sfera-sfera Bulan dan kemudian Merkurius hingga tersucikan seluruh dari ketidaksuciaan material. Lalu, dengan melewati sfera yang paling atas, jiwa-jiwa itu naik ke alam akali. Tempat kediaman dalam “purgatory” (tempat di mana arwah-arwah disucikan) dari sfera-sfera planit-planit, ini nampaknya cukup untuk menyelamatkan semua jiwa. Al-Kindi berbeda debgan orang-orang muslim ortodoks yang percaya bahwa pada akhirnya hanya jiwa-jiwa muslim yang akan diselamatkan, mengatakan bahwa penyelamatan adalah semacam pensucian yang berakhir dalam gnosis.
Dengan menggambarkan bumi ini sebagai sebuah jembatan bagi jiwa. Al-kindi dengan melukiskan bumi sebagai ‘jembatan’ akan nampak berpraduga bahwa jiwa pada mulanya penghuni dalam keabadian, melewati masa kesementaraan di atas ‘jembatan’ bumi agar memasuki kembali keabadian. Sebuah petunjuk lainnya berupa suatu tulisan al-Kindi yang hilang yang berjudul Tentang Kenang-Kenangan Jiwa dalam dunia yang dapat terpahami sebelum turun ke dunia yang dapat terinderai. Bukti ini akan memperkuat pandangan bahwa al-Kindi percaya akan pra-eksistensi jiwa itu. Tetapi istilah ‘jembatan’ mungkin hanya suatu tamsil retoris tanpa makna filosofis. Sedangkan kita tidak yakin isi tulisan yang hilang itu. Oleh karena itu, sampai kita mempunyai bukti yang lebih kuat, akan terlalu mengandung resikolah jika kita mengukuhkan bahwa al-Kindi beranjak dari pandangan Islami yang diterima tentang penciptaan jiwa dan kebaqaannya.
Mengenai hubungan jiwa dengan badan, al-Kindi mengatakan bahwa hal ini adalah aksidental. Ia menekankan keterpisahannya jiwa dari badan dan substansialitasnya, tetapi memperkenalkan ide baru dalam artian bahwa perbuatan jiwa atas badan merupakan bentuk badan itu.
Dalam tulisanyya tentang definisi benda-benda, al-Kindi memberikan tiga definisi jiwa yang berbeda. Yang dua menurut Aristoteles dan yang satu lagi menurut Pythagoras. Namun, ia tidak menyuarakan pendapat pribadi apapun. Sementara itu, dalam tulisannya yang berjudul suatu risalah tentang jiwa, ia mencoba untuk merujukkan Plato dan Aristoteles dengan suatu cara yang mendahului metode ahli-ahli filsafat Muslim. Yang masih lebih penting adalah antisipasinya kepada Ibnu Sina dalam teori bahwa jiwa itu adalah bentuk dari pada makhluk hidup yang dapat terpahami atau dengan perkataan lain, jiwa itu adalah apa yang menjadikan suatu makhluk hidup tertentu anggota dari suatu species yang hidup. Istilah ‘bentuk’ ini bernada Aristoteles, tetapi tidak demikian halnya. Suatu ‘bentuk’ yang dapat terpahami merupakan suatu substansi yang berada sendiri, yang dipersatukan pada badan melalui perbuatannya. Ide, bahwa jiwa itu dapat berada terpisah dari badannya, dimaksudkan untuk merujukkan dua segi pandangan, yaitu pandangan Aristoteles dan pandangan Platonis.
Persatuan antara jiwa dan badan tidaklah dapat diartikan sama dengan persatuan antara unsur-unsur dalam transmutasi dan transformasi, melainkan sebagai suatu persatuan antara perbuatan dan objek perbuatan itu. Jiwa berbuat atas badan, dan ini adalah ‘bentuk’ manusia yang hidup dalam artian bahwa jiwa itu berbuat atas badan dalam kemampuannya menjadi khusus, tetapi tidaklah berarti dengan badan dalam dzatnya. Jiwa itu menghuni badan, tetapi pada hakikatnya tidaklah satu dengannya. Sebenarnya, jiwa itu selalu berusaha untuk membebaskan dirinya dari semua ikatan material dan dari batas-batas yang kaku dari dunia yang suram ini, yang menjauhkannya dari cahaya dunia yang dapat terpahami. Jiwa itu abadi dan tidak mati bersama badan.
Mengenai bagaimana jiwa berbuat atas badan, perlu ditunjukkan di sini bahwa al-Kindi mempersamakan jiwa dengan kemampuan akal budi pada manusia, atau kepada nalarnya. Dan ia menegaskan bahwa jiwa manusia adalah penghuni dari dua dunia. Jiwa sebagai suatu substansi yang terpisah termasuk alam akal, tetapi bidang perbuatannya pada waktu di dunia ini adalah badan manusia. Dalam tulisannya suatu risalah tentang jiwa al-Kindi berkata: “Keduanya (Aristoteles dan Plato) membuktikan pada suatu bagian dalam tulisan-tulisan mereka bahwa jiwa itu melakukan perbuatannya atas badan-badan yang mengalami pembentukan melalui penyebab badan-badan langit, dan ia menjelaskan bahwa itu berarti bahwa perbuatan jiwa atas badan itu tidaklah seperti perbuatan satu badan jasmaniah atas yang lain, tetapi seperti perbuatan-perbuatan planit-planit atas suatu badan jasmaniah. Menurut al-Kindi, Aristoteles mengatakan bahwa jiwa itu adalah suatu substansi sederhana yang mewujudkan perbuatan-perbuatannya dalam badan-badan.
B. Kemampuan-Kemampuan Jiwa
Dengan mengikuti plato, al-Kindi membagi jiwa menjadi tiga bagian: yang berakal budi, yang bernafsu amarah, dan yang bernafsu syahwat; dan seperti Plato dalam Phaedrus ia memperbandingkan yang berakal budi sebagai seorang sais kereta dan kedua bagian lainnya sebagai dua ekor kuda yang menarik kereta itu. Dua bagian yang tersebut kemudian itu, kata al-Kindi, tidak bisa satu dengan yang berakal budi. Sesuai dengan hukum kontradiksi, yang mendorong tidak bisa sama dengan yang didorong.
Pembagian jiwa menjadi tiga bagian tidak dimaksudkan merupakan klasifikasi selengkapnya dari semua fungsi jiwa. Al-Kindi menyebutkan tiga jenis kemampuan: penginderaan; kemampuan-kemampuan pertengahan, yang mencakup kemampuan mengingat, nafsu syahwat dan keberingasan, nutrisi dan pertumbuhan, juga kemampuan imajinatif; dan kemampuan akalbudi, yang terpenting dari semuanya itu.
Penginderaan adalah kemampuan untuk mempersepsi citra dari objek inderawi dalam selubung materialnya. Organ-organnya adalah pancaindera luar, atau alat-alat sekunder yang oleh al-Kindi disebut mata, telinga, hidung, lidah, dan kulit. Dengan kata sekunder yang ia maksudkan adalah organ-organ yang kurang dapat dipercaya, yang kejelasannya dan kekuatan persepsinya ditentukan oleh susunan materialnya. Sekarang, karena organ-organ itu tidak tinggal tetap dalam keadaan sehat yang seragam, maka citra-citra yang ditangkapnya tidak selalu berkualitas sama.
Pengideraan hanya mempersepsi partikular-partikular, seperti warna, bentuk, suara dan bau dari objek-objek individual. Dan kemampuan ini tidak dapat mencakup konsep-konsep dan citra-citra baru; perbuatan-perbuatannya terbatas pada persepsi-indera badan-badan individual. Tetapi lepas dari definisinya tentang jiwa yang bersipat Platonis, al-Kindi melihat fungsi kemampuan-kemampuan itu dengan pandangan Aristoteles. Dengan tidak melupakan konsepsi Aristoteles tentang jiwa sebagai suatu persatuan, ia mengukuhkan bahwa “kemampuan inderawi itu tidak lain dari pada jiwa; kemampuan itu tidak berada di dalam jiwa sebagai suatu organ dari pada badan, tetapi kemampuan dan jiwa adalah sesuatu yang sama”.
Di antara kemampuan-kemampuan pertengahan tersebut, al-Kindi memberikan kepada kemampuan mengingat tugas untuk menyimpan bentuk-bentuk yang diberitahukan oleh Kemampuan Imajinatif. Kenangan nampak tidak menjadi salah satu dari fungsi-fungsinya seperti halnya dengan sistem Ibnu Sina.
Yang terpenting dari kemampuan-kemampuan pertengahan itu adalah apa yang oleh al-Kindi dinamakan kemampuan imajinatif (al-ushawwifah) dan dipersamakannya dengan pengertian phantasia dari Yunani. Fungsi utamanya adalah membuat kita mempersepsi bentuk-bentuk individual yang dapat terinderai terpisah dari semua benda, sesudah objek yang mula-mula telah membangkitkan kemampuan ini ditarik. Ini berarti bahwa fungsi dari kemampuan imajinatif seperti itu terbatas pada pemahaman dan penggambaran objek-objek partikular yang terselubung dalam sipat-sipatnya yang dapat terinderai.
Jelaslah, bahwa kemampuan imajinatif adalah berbeda dengan penginderaan dalam beberapa hal. Pertama, kemampuan inderawi itu membuat kita mempersepsi apa yang dapat terinderai dalam materinya, sedangkan kemampuan imajinatifmembuat kita mempersepsinya terpisah dari materi sesudah objek yang membangkitkannya di tarik. Kedua, kemampuan inderawi itu menggunakan alat-alat sekunder untuk mempersepsi, sedangkan kemampuan imajinatif memakai sebuah primer, yaitu otak. Perbedaan ketiga antara indera dan imajinasi tersiratkan kepada yang kedua itu.
C. Akal Pikiran
Akal pikiran digambarkan oleh al-Kindi sebagai suatu “esensi sederhana yang dapat mengetahui relitas-realitas sebenarnya dari pada benda-benda”. Ada empat jenis akal budi yang pertama diantaranya terpisah dan nampak dijelaskan dalam citra akalbudi aktif Aristoteles. Itu berada di luar jiwa manusia, bersifat Ilahi dan selalu dalam aktualitas. Dan walaupun al-Kindi, seperti juga al-Farabi dan Ibnu Sina, percaya bahwa sfera-sfera selestial memiliki akal budi, nampaknya tidak ada petunjuk bahwa filosof kita pernah menganggap akal budi pertama sebagai akal budi bulan, yang dikenal lebih baik sebagai “Donatur Bentuk-bentuk “, seperti yang dikatakan oleh para filosof tersebut di atas.
Akalbudi-akalbudi sekunder tiga jumlahnya, menunjuk kepada akalbudi manusia, dan dalam lebih dari satu hal sama dengan akal budi Aristoteles. Akal budi-akal budi itu tidak terpisah dari jiwa seperti halnya akal budi pertama.
Trinitasnya bersesuaian dengan tiga keadaan yang dilaksanakan oleh jiwa atas pengetahuan abstrak dan penyampaiannya.
Akal budi yang kedua oleh al-Kindi disebut akal budi dalam potensialitas adalah keadaan potensialitas murni di dalam jiwa. Ini adalah semata-semata pengaturan untuk menerima kesan-kesan inderawi dan juga bentuk-bentuk akali. Dengan kata lain, ini adalah akal pikiran manusia sebelum menerima bentuk-bentuk yang inderawi dan yang akali.
Akal budi yang ketiga adalah akal budi perolehan. Ini adalah akal pikiran manusia itu setelah lewat dari potensialitas ke dalam aktualitas, yaitu setelah bersatu dengan bentuk-bentuk yang dipahaminya sehingga menjadi satu dengannya. Kemungkinan besar al-Kindi menggunakan perkataan “perolehan” itu untuk menunjukkan fakta bahwa akal budi itu diperoleh oleh jiwa dari luar, yakni dari akal budi pertama yang menyebabkan akal dalam potensialitas lewat ke dalam aktualitas dengan bersatu dengan apa yang dapat terpahami. Tetapi nampaknya merupakan arti yang kurang mungkin untuk istilah “perolehan” itu, yaitu bahwa akal budi adalah suatu perolehan yang telah didapat dan bisa dipakai sekehendaknya. Akal budi tidak memasuki taraf aktualitas sampai sesudah memiliki universalia-universalia yang membuatnya sedemikian adanya.
PENUTUP
Kesimpulan
Jiwa adalah “tunggal dan bersifat sempurna dan mulia”. Esensinya berasal dari esensi Sang Pencipta, seperti halnya sinar matahari berasal dari matahari. Al-Kindi mengatakan bahwa ia menekankan keterpisahannya jiwa dari badan dan substansialitasnya, tetapi memperkenalkan ide baru dalam artian bahwa perbuatan jiwa atas badan merupakan bentuk badan itu. Jiwa berbuat atas badan, dan ini adalah ‘bentuk’ manusia yang hidup dalam artian bahwa jiwa itu berbuat atas badan dalam kemampuannya menjadi khusus
Dan al-Kindi membagi jiwa menjadi tiga bagian: yang berakal budi, yang bernafsu amarah, dan yang bernafsu syahwat.
Sedangkan Akalbudi-akalbudi sekunder tiga jumlahnya, menunjuk kepada akalbudi manusia. Akal budi yang kedua oleh al-Kindi disebut akal budi dalam potensialitas. Akal budi yang ketiga adalah akal budi perolehan.