Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju
Tampilkan postingan dengan label HUKUM PIDANA. Tampilkan semua postingan
Tampilkan postingan dengan label HUKUM PIDANA. Tampilkan semua postingan

Materi Semantik atau Jenis-Jenis Makna (قياس المعنى)

Banyak orang mengira bahwa makna cukup dengan menjelaskan sebuah kalimat atau kata. Para ilmuan telah membedakan antara jenis-jenis makna dengan menjelaskannya terlebih dahulu daripada batasan-batasan makna suatu kalimat.
Dr. Muhammad Muhktar ‘Umad telah mengklasifikasikan jenis-jenis makna ke dalam lima jenis di antaranya sebagai berikut:
1. Makna Dasar/Asasi (المعنى الأساسى). Makna ini sering disebut juga sebagai makna awal (المعنى الأولى), atau makna utama (المعنى المركزى), makna gambaran (المعنى التصورى), atau makna pemahaman/conceptual meaning (المعنى المفهومى), dan makna kognitif (المعنى الإدراكي). Makna ini merupakan makna pokok dari suatu bahasa. Makna ini pun memiliki hubungan erat dengan makna bahkan bisa dikatakan sama dengan makna dalam fonologi atau nahwu.
Hubungan dengan fonologi karena suara (fon) dapat membentuk suatu makna gambaran (المعنى التصورية) dalam ilmu semantik. Hubungan makan ini dengan ilmu nahwu karena dapat dipecah menjadi susunan yang membentuk unit makna (الوحده الدلالة). Unit makna bergabung dan melahirkan suatu makna, sama halnya dalam ilmu nahwu seperti adanya suara, morfem terikat, kata, susunan kata, dan kalimat (صوت, المرفيم المتصلة, الكلمة, التركيب, الجملة).
Contohnya kalimat إمراة memiliki makna konseptual seperti berikut:
إمراة = + إنسان – ذكر + بالغ atau
Wanita = manusia, bukan laki-laki, baligh (dewasa).
2. Makna Tambahan (المعنى الإضافي أو العرضي أو الثانوي أو التضمني), yaitu makna yang ada di luar makna dasarnya. Makna ini dapat dikatakan sebagai makna tambahan dari makna dasar namun makna ini tidak tetap dan perubahannya menyesuaikan dengan waktu dan kebudayaan pengguna bahasa.
Contohnya kata ‘wanita’ (إمراة) yang memiliki makna dasar ‘manusia bukan lelaki yang dewasa’. Jika kata ini ditambahi dengan makna tambahan, maka banyak sekali makna yang akan timbul dari kata tersebut. Seumpama jika kata ‘wanita’ dimaknai oleh sebuah kelompok dengan ‘makhluk yang pandai memasak dan suka berdandan’, maka inilah makna tambahan yang keluar dari kata ‘wanita’ tersebut. Atau jika ‘wanita’ dimaknai dengan ‘makhluk yang lembut perasaannya, labil jiwanya, dan emosional’. Kedua makna tambahan ini tidak berlaku tetap sebagai makna tambahan dari kata ‘wanita’. Apabila suatu kelompok pada zaman tertentu menggunakannya maka makna tambahan itu masih berlaku. Namun jika makna itu sudah tidak dipakai lagi, maka tidak berlaku pulalah makna tambahan itu.
Contoh lainnya adalah kata ‘Yahudi’ (يهودي) memiliki makna dasar ‘orang yang menganut suatu agama Yahudi’ juga memiliki makna tambahan yaitu ‘orang yang jahat, licik, rakus, pelit, penentang, dsb.’
3. Makna Gaya Bahasa/Style (المعنى الإسلوبي), yaitu makna yang lahir karena disebabkan karena penggunaan bahasa tersebut. Penggunaan bahasa dapat dilihat dalam bahasa sastra, bahasa resmi, bahasa pergaulan, dan lain sebagainya. Perbedaan penggunaan bahasa menimbulkan gaya yang berbeda dengan makna yang berbeda pula. Dalam bahasa sastra sendiri memiliki perbedaan gaya bahasa seperti gaya bahasa puisi, natsr, khutbah, kitabah, dan lain sebagainya.
Kata daddy digunakan untuk panggilan mesra kepada sang ayah, sedangkan father digunakan sebagai panggilan hormat dan sopan kepada sang ayah. Kedua kata ini ternyata berpengaruh terhadap penggunaan bahasa yang bermakna ‘ayah’ dalam bahasa Arab.
Kalimat داد digunakan oleh orang-orang aristokrat yang memiliki jabatan yang tinggi. Kalimat الولد – والدي digunakan sebagai bahasa sopan dan hormat. Kalimat بابا – بابي digunakan dalam bahasa ‘Ammiyah Raaqin (عامي راق). Dan kalimat أبويا – آبا digunakan dalam bahasa ‘Aamiyah Mubtadzil (عامي مبتذل).
4. Makna Nafsi (المعنى النفسي) atau makna objektif, yaitu makna yang lahir dari suatu lafadz atau kata sebagai makna tunggal
5. Makna Ihaa’i (المعنى الإيحائي), yaitu jenis makna yang berkaitan dengan unsur lafadz atau kata tertentu dipandang dari penggunaannya. Dalam makna ini memiliki tiga pengaruh di antaranya sebagai berikut:
a) Pengaruh suara (fonetis), contohnya seperti suara-suara hewan yang menunjuk langsung pada hewan itu.
b) Pengaruh perubahan kata (sharfiyah) berupa akronim atau singkatan. Contohnya بسمله singkatan dari بسم الله الرحمن الرحيم, حمدله, صهصلق (من صهل وصلق).
c) Pengaruh makna kiasan yang digunakan dalam ungkapan atau peribahasa.

Dalam bukunya, Geoffrey Leech membedakan makna pada tujuh unsur yang berbeda, yaitu sebagi berikut:
1. Makna Konseptual, yaitu makna yang menekankan pada makna logis. Kadang-kadang makna ini disebut makna ‘denotatif’ atau ‘koginitif’. Makna konseptual memiliki susunan yang amat kompleks dan rumit, namun dapat dibandingkan dan dihubungkan dengan susunan yang serupa pada tingkatan fonologis maupun sintaksis.
2. Makna Konotatif,
3. Makna Stilistik,
4. Makna Afektif,
5. Makna Refleksi,
6. Makna Kolokatif,
7. Makna Tematik,

Para Ilmuan bahasa menggunakan ukuran makna untuk memperjelas tujuan makna. Ada bebarapa ukuran makna seperti di bawah ini:
1. Ukuran makna dasar pada kata-kata yang berlawanan. Pada dua kata yang berlawanan kata dan penggunaannya sesuai realita objektif padahal menunjukkan makna yang umum. Penggunaan kata ini mempengaruhi makna sehingga terjadi penyempitan makna untuk kata masing-masing. Seperti kata ‘panas’, ‘hangat’, ‘sedang’, ‘sejuk’, ‘dingin’, dan ‘beku’. Semua kata itu menunjukkan makna umum, yaitu cuaca namun perbedaan penggunaannya disebabkan karena realita yang ada. Perbedaan makna pada kata-kata di atas dibedakan karena tingkat kenyataannya.
2. Ukuran perbedaan dalam makna objektif dengan menyandarkan pada pemahaman orang yang berbeda-beda. Ukuran makna ini telah dijelaskan oleh Charles E. Osgood dengan teorinya yaitu ‘Psycho-semantics’. Dalam ukuran makna ini, sebuah kata memiliki perbedaan yang jelas dalam maknana dengan kata yang lain. Contohnya kata خشن yang berarti ‘kasar’ dan kata ناعم yang berarti ‘lembut’. Ukuran makna ini juga disebut sebagai lawan kata atau antonimi
3. Ukuran psikologi pengguna bahasa. Ukuran makna tergantung pada segala hal yang berhubungan langsung dengan psikologi manusia. Pemahaman manusia sangat mempengaruhi makna, apabila pemahaman sempit, maka makna itu menjadi sempit dan apabila pemahamannya luas maka makna itu akan menjadi luas. Perubahan makna kata menjadi lebih sempit dinamakan peyorasi sedangkan perubahan makna kata menjadi lebih luas dinamakan ameliorasi.
4. Ukuran tingkat makan seperti pada makna ‘ahdats’ (tertawa, berbicara, membaca, dan menulis) dan kata-kata sifat seperti cerdas, panjang, bodoh, mahir, dan lain sebagainya.

PEMUDA DAN SOSIALISASINYA DALAM PERMASALAHAN

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah
Masalah pemuda merupakan masalah yang abadi dan selalu dialami oleh setiap generasi dalam hubungannya dengan generasi yang lebih tua. Masalah-masalah pemuda ini disebakan karena sebagai akibat dari proses pendewasaan seseorang, penyusuan diri dengan situasi yang baru dan timbulah harapan setiap pemuda karena akan mempunyai masa depan yang baik daripada orang tuanya. Proses perubahan itu terjadi secara lambat dan teratur (evolusi)
Sebagian besar pemuda mengalami pendidikan yang lebih daripada orang tuanya. Orang tua sebagai peer group yang memberikan bimbingan, pengarahan, karena merupakan norma-norma masyarakat, sehingga dapat dipergunakan dalam hidupnya. Banyak sekali masalah yang tidak terpecahkan karena kejadian yang menimpa mereka belum pernah dialami dan diuangkapkannya.
Dewasa ini umum dikemukakan bahwa secara biologis dan politis serta fisik seorang pemuda sudah dewasa akan tetapi secara ekonomis, psikologis masih kurang dewasa. Contohnya seperti pemuda-pemuda yang sudah menikah, mempunyai keluarga, menikmati hak politiknya sebagai warga Negara tapi dalam segi ekonominya masih tergantung kepada orang tuanya.
B. Rumusan Masalah
Dalam perumusan masalah ini penulis akan merumuskan tentang:
1. Bagaimana Pengertian tentang pemuda.
2. Bagaimana pengertian sosialiasi
3. Bagaimana pengertian Internalisasi
4. Bagaimana gambaran pemuda dan identiasnya

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan makalah ini adalah untuk mengetahui tentang bagaimana pengertian dari pemuda, bagaimana pengertian dari sosialisasi dan Internalisasi pemuda. Dan bagaimana gambaran pemuda dengan identitas dirinya.
D. Metode Penulisan
Metode yang digunakan dalam penulisan makalah ini adalah menggunakan metode pustaka yaitu penulis menggunakan media pustaka dalam penyusunan makalah ini

BAB II
PEMUDA DAN SOSIALISASINYA DALAM PERMASALAHAN 
GENERASI NASIONAL

A. Pengertian Pemuda
Telah kita ketahui bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah nilai. hal ini merupakan pengertian idiologis dan kultural daripada pengertian ini. Di dalam masyarakat pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan bangsanya karma pemuda sebagai harapan bangsa dapat diartikan bahwa siapa yang menguasai pemuda akan menguasai masa depan.
Ada beberapa kedudukan pemuda dalam pertanggungjawabannya atas tatanan masyarakat, antara lain:
1. Kemurnian idealismenya
2. Keberanian dan Keterbukaanya dalam menyerap nilai-nilai dan gagasan-gagasan yang baru
3. Semangat pengabdiannya
4. Sepontanitas dan dinamikanya
5. Inovasi dan kreativitasnya
6. Keinginan untuk segera mewujudkan gagasan-gagasan baru
7. Keteguhan janjinya dan keinginan untuk menampilkan sikap dan keperibadiannya yang mandiri
8. Masih langkanya pengalaman-pengalaman yang dapat merelevansikan pendapat, sikap dan tindakanya dengan kenyataan yang ada.

B. Sosialisasi Pemuda
Sosialisasi adalah proses yang membantu individu melalui media pembelajaran dan penyesuaian diri, bagaimana bertindak dan berpikir agar ia dapat berperan dan berfungsi, baik sebagai individu maupun sebagai anggota masyarakat. Ada beberapa hal yang perlu kita ketahui dalam sosialisasi, antara lain: Proses Sosialisasi, Media Sosialisasi dan Tujuan Sosialisasi.
1. Proses sosialisasi 
Istilah sosialisasi menunjuk pada semua factor dan proses yang membuat manusia menjadi selaras dalam hidup ditengah-tengah orang kain. Proses sosialisasilah yang membuat seseorang menjadi tahu bagaimana mesti ia bertingkah laku ditengah-tengah masyarakat dan lingkungan budayanya. Dari proses tersebut, seseorang akan terwarnai cara berpikir dan kebiasaan-kebiasaan hidupnya.
Semua warga negara mengalami proses sosialisasi tanpa kecuali dan kemampuan untuk hidup ditengah-tengah orang lain atau mengikuti norma yang berlaku dimasyarakat. Ini tidak datang begitu saja ketika seseorang dilahirkan, melainkan melalui proses sosialisasi. 
2. Media Sosialisasi
Orang tua dan keluarga
Sekolah
Masyarakat
Teman bermain
Media Massa.
3. Tujuan Pokok Sosialisasi 
Individu harus diberi ilmu pengetahuan (keterampilan) yang dibutuhkan bagi kehidupan kelak di masyarakat.
Individu harus mampu berkomunikasi secara efektif dan mengenbangkankan kemampuannya. 
Pengendalian fungsi-fungsi organik yang dipelajari melalui latihan-latihan mawas diri yang tepat.
Bertingkah laku secara selaras dengan norma atau tata nilai dan kepercayaan pokok ada pada lembaga atau kelompok khususnya dan pada masyarakat umum.
C. Internalisasi
Adalah proses norma-norma yang mencakup norma-norma kemasyarakatan yang tidak berhenti sampai institusional saja, akan tetapi mungkin norma-norma tersebut sudah mendarah daging dalam jiwa anggota-anggota masyarakat.
1. Pendekatan klasik tentang pemuda 
Melihat bahwa muda merupakan masa perkembangan yang enak dan menarik. Kepemudaan merupakan suatu fase dalam pertumbuhan biologis seseorang yang bersifat seketika dan suatu waktu akan hilang dengan sendirinya, maka keanehan-keanehan yang menjadi ciri khas masa muda akan hilang sejalan dengan berubahnya usia.
Menurut pendekatan yang klasik ini, pemuda dianggap sebagai suatu kelompok yang mempunyai aspirasi sendiri yang bertentangan dengan aspirasi masyarakat. Selanjutnya munculah persoalan-persoalan frustasi dan kecemasan pemuda karena keinginan-keinginan mereka tidak sejalan dengan kenyataan. Dan timbulah konflik dalam berbagai bentuk proses. Di sinilah pemuda bergejolak untuk mencari identitas mereka.
2. Dalam hal ini hakikat kepemudaan ditinjau dari dua asumsi pokok.
Penghayatan mengenai proses perkembangan manusia bukan sebagai suatu koninum yang sambung menyambung tetapi fragmentaris, terpecah-pecah dan setiap pragmen mempunyai arti sendiri-sendiri.
Asumsi wawasan kehidupan adalah posisi pemuda dalam arah kehidupan sendiri. Perbedaan antar kelompok-kelompok yang ada, antar generasi tua dan pemuda, misalnya hanya terletak pada derajat ruang lingkup tanggung jawabnya.
Generasi tua sebagai angkatan-angkatan yang lalu (passing generation) yang berkewajiban membimbing generasi muda sebagai generasi penerus. Dan generasi pemuda yang penuh dinamika hidup berkewajiban mengisi akumulator generasi tua yang mulai melemah, disamping memetik buah-buah pengalamannya, yang telah terkumpul oleh pengalamannya.
Pihak generasi tua tidak bisa menuntut bahwa merekalah satu-satunya penyelamat masyarakat dan dunia. Dana melihat generasi muda sebagai perusak tatanan sosial yang sudah mapan, sebaliknya generasi muda juga tidak bisa melepaskan diri dari kewajiban untuk memelihara dunia. Dengan demikian maka adanya penilaian yang baku (fixed standard) yang melihat generasi tua adalah sebagai ahli waris. Dari segala ukuran dan nilai dalam masyarakat, karena itu para pemuda menghakimi karena cenderung menyeleweng dari ukuran dan nilai tersebut karena tidak bisa diterima. Bertolak dari suatu kenyataan, bahwa bukan saja pemuda tapi generasi tua pun harus sensitif terhadap dinamika lingkungan dengan ukuran standard yang baik.
Dengan pendapat di atas jelas kiranya bahwa pendekatan ekosferis mengenai pemuda, bahwa segala jenis ”kelainan” yang hingga kini seolah-olah menjadi hak paten pemuda akan lebih dimengerti sebagai suatu keresahan dari masyarakat sendiri sebagai keseluruhan. Secara spesifiknya lagi, gejolak hidup pemuda dewasa ini adalah respon terhadap lingkungan yang kini berubah dengan cepat.

D. Pemuda Dan Identitas
Telah kita ketahui bahwa pemuda atau generasi muda merupakan konsep-konsep yang selalu dikaitkan dengan masalah dan merupakan beban modal bagi para pemuda. Tetapi di lain pihak pemuda juga menghadapi pesoalan seperti kenakalan remaja, ketidakpatuhan kepada orang tua, frustasi, kecanduan narkotika, masa depan suram. Semuanya itu akibat adanya jurang antara keinginan dalam harapan dengan kenyataan yang mereka hadapi.
Kaum muda dalam setiap masyarakat dianggap sedang mengalami apa yang dinamakan ”moratorium”. Moratorium adalah masa persiapan yang diadakan masyarakat untuk memungkinkan pemuda-pemuda dalam waktu tertentu mengalami perubahan.
Menurut pola dasar pembinaan dan pengembangan generasi muda bahwa generasi muda dapat dilihat dari berbagai aspek sosial, yakni:
1. sosial psikologi
2. sosial budaya
3. sosial ekonomi
4. sosial politik
Masalah-masalah yang menyangkut generasi muda dewasa ini adalah:
1. Dirasakan menurunnya jiwa nasionalisme, idealisme dan patriotisme di kalangan generasi muda
2. Kekurangpastian yang dialami oleh generasi muda terhadap masa depannya
3. Belum seimbangnya jumlah generasi muda dengan fasilitas pendidikan yang tersedia
4. Kurangnya lapangan dan kesempatan kerja.
5. Kurangnya gizi yang dapat menghambat pertumbuhan badan dan perkembangan kecerdasan 
6. Masih banyaknya perkawinan-perkawinan di bawah umur
7. Adanya generasi muda yang menderita fisik dan mental
8. Pergaulan bebas
9. Meningkatnya kenakalan remaja, penyalahagunaan narkotika
10. Belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengangkut generasi muda.
Peran pemuda dalam masyarakat
1. Peranan pemuda yang didasarkan atas usaha pemuda untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan.
2. Peranan pemuda yang menolak unsur menyesuaikan diri dengan lingkungannya
3. Asas edukatif
4. Asas persatuan dan kesatuan bangsa
5. Asas swakarsa
6. Asas keselarasan dan terpadug
7. Asas pendayagunaan dan fungsionaliasi
Arah Pembinaan Dan Pengembangan Generasi Muda Arah pembinaan dan pengembangan generasi muda ditunjukan pada pembangunan yang memiliki keselarasn dan keutuhan antara ketiga sumbu orientasi hidupnya yakni.
1. Orientasi ke atas kepada Tuhan Yang Masa Esa.
2. Orientasi dalam dirinya sendiri
3. Orientasi ke luar hidup di lingkungan

Peranan mahasiswa dalam masyarakat
1. Agen of change
2. Agen of development
3. Agen of modernization




BAB III
KESIMPULAN

Pemuda merupakan satu identitas yang potensial sebagai penerus cita-cita perjuangan bangsa dan sumber insani bagi pembangunan Negara bangsa dan agama. Selain itu pemuda/ mahasiswa mempunyai peran sebagai pendekar intelektual dan sebagai pendekar social yaitu bahwa para pemuda selain mempunyai ide-ide atau gagasan yang perlu dikembangkan selain itu juga berperan sebagai perubah Negara dan bangsa ini. Oleh siapa lagi kalau bukan oleh generasi selanjutnya maka dari itu para pemuda harus memnpunyai ilmu yang tinggi dengan cara sekolah atau dengan yang lainnya, dengan begitu bangsa ini akan maju aman dan sentosa.
1. Jika dibandingkan dengan generasi sebelum dan generasi berikutnya, setiap generasi memiliki cirri-ciri khas corak atau watak pergerakan / perjuangan. Sehubungan dengan itu, sejak kebangkitan Nasional, di Indonesia pernah tumbuh dan berkembang tiga generasi yaitu generasi 20-an generasi 45 dan generasi 66, dengan masing-masing ciri khasnya.
2. Ada dua regenerasi, yaitu
a. Regenerasi yang berlangsung alamiah. Artinya generasi berjalan lumrah seperti yang terjadi pada kelompok dunia tumbuhan atau hewan. Proses regenerasi ini berjalan sebagai biasa-biasa saja, berlangsung secara alami, tidak di ekspos atau dipublikasikan.
b. Regenerasi berencana, artinya proses regenerasi ini sungguh-sungguh direncanakan, dipersiapkan. Pada masyarakat, suku-suku primitip, proses regenerasi dibakukan dalam lembaga dapat yang disebut inisiasi. Oleh karena itu system regenerasi seperti ini lebih tepat disebut regenerasi Kaderisasi. Pada hakikatnya system regenerasi-kaderisasi adalah proses tempat para kader pimpinan para suku atau bangsa digembleng serta dipersiapkan sebagai pimpinan suku atau bangsa pada generasi berikutnya. Menggantikan generasi tua. Regenerasi-kaderisasi suatu suku atau bangsa diperlukan untuk dipertahankan kelangsungan eksistensinya serta kesinambungan suatu generasi atau bangsa, disamping dihadapkan terjaminnya kelestarian nilai-nilai budaya nenek moyang.
3. Demi kesinambungan generasi dan kepemimpinan bangsa Indonesia telah memiliki KNPI dan AMPI sebagai wadah forum komunikasi dan tempat penggembleng. Menempa dan mencetak kader-kader dan pimpinan bangsa yang tangguh dan merakyat.
4. Generasi muda Indonesia mulai turut dalam peraturan aksi-aksi Tritura, Supersemar, 
5. Bidang pendidikan yang dapat menopang pembangunan dengan melahirkan tenaga-tenaga terampil dalam bidangnya masing-masing dapat digolongkan dalam tiga bidang yaitu pendidikan formal, pendidikan non-formal dan pendidikan informal.


DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, taufik, Pemuda dan Perubahan Social, LP3ES, Jakarta, 1974.
Drs. H. Abu Ahmadi, Ilmu Sosial Dasar, Rineka Cipta, Jakarta, 2003

Mahkamah Konstitusi Dalam Sistem Hukum Indonesia


Sistem Hukum 
Indonesia diidealkan dan dicita-citakan oleh the founding fathers sebagai suatu negera hokum (rechtsstaat/ the rule of law). Bahkan dalam rangka hasil perubahan keempat UUD 1945 Pasal 1 ayat (3) ditegaskan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Oleh karena itu, hokum hendaknya dapat dipahami dan dikembangkan sebagai satu kesatuan system. Dalam hokum sebagai suatu kesatuan system terdapat (1) elemen kelembagaan (elemen institusional), (2) elemen kaidah aturan (elemen instrumental), dan (3) elemen perilaku para subjek hokum yang menyandang hak dan kewajiban yang ditentukan oleh norma aturan itu (elemen subjektif dan cultural). Ketika elemen system hokum itu mencakup (a) kegiatan pembuatan hokum (law making), (b) kegiatan pelaksanaan atau penerapan hokum (law administrating), dan (c) kegiatan peradilan atas penerapan hokum (law adjudicating). Selain itu, ada pula kegiatan lain yang sering dilupakan orang, yaitu : (d) permasyarakatan dan pendidikan hokum (law socialization and law education) dalam arti seluas-luasnya yang juga berkaitan dengan (e) pengelolaan informasi hokum (law information managent) sebagai kegiatan penunjang. 
Kelima kegiatan itu biasanya dibagi ke dalam tiga wilayah fungsi kekuasaan Negara, yaitu (i) fungsi legislasi dan regulasi, (ii) fungsi eksekutif dan administrative, serta (iii) fungsi yudikatif atau judisial. Kesemua itu harus pula dihubungkan dengan hierkinya masing-masing mulai dari organ tertinggi sampai terendah, yaitu yang terkait dengan aparatur tingkat pusat, aparatur tingkat provinsi, dan aparatur tingkat kabupaten/kota. 
Pengertian system hokum yang harus dikembangkan dalam kerangka Negara Hukum Indonesia berdasarkan UUD 1945. sebagai sontoh, karena bangsa kita mewarisi tradisi hokum Benua Eropa (civil law), kita cenderung menumpahkan begitu banyak perhatian pada kegiatan pembuatan hokum (law making), tetapi kurang memberikan perhatian yang sama banyaknya terhadap kegiatan penegakan hokum (law enforcing). 
Teori fiktie di atas memang fikstie sifatnya atau khayalan saja, karena tidak mencerminkan realitas yang sebenarnya. Dalam masyarakat homogen seperti itu informasi hokum yang tersedia dalam masyarakat  bersifat simentris. Tetapi di Negara yang demikian besar wilayahnya, begitu banyak pula jumlah penduduknya, serta miskin dan terbelakang pula kondisi kesejahteraan dan pendidikannya seperti Indonesia, sudah tentu system informasi hokum dalam masyarat tidak bersifat simetris. Oleh karena itu, di samping adanya dan di antara kegiatan pembuatan hokum (lawa making) dan penegakan hokum (law enforcing), diperlukan kegiatan, yaitu pemasyarakatan hokum (law socialization) yang cenderung diabaikan dan dianggap tidak penting selama ini. Strategi pembangunan hokum ataupun pembangunan nasional untuk mewujudkan gagasan Negara hokum (rechtsstaat atau the ruleof law) juga tidak boleh terjebak hanya berorientasi membuat hokum saja, hanya dengan melihat salah satu elemen atau aspek saja dari keseluruhan system hokum tersebut di atas. Untuk itu bangsa Indonesia perlu menyusun suatu “blue-print”, suatu desain makro tentang Negara hokum dan system hokum Indonesia yang hendak kita bangun dan tegakkan di masa depan.
Mahkamah Konstitusi di Berbagai Negara
Kekuasaan ini dijalankan oleh lembaga pelaksana kekuasaan kehakiman yang dapat berdiri sendiri terpisah dari MA atau dilekatkan menjadi bagian dari fungsi MA. Keberadaan lembaga MK merupakan fenomena baru dalam dunia ketatanegaraan. Fungsinya biasanya dicakup dalam fungsi Supreme Court yang ada ditiap Negara. Salah satu contohnya ialah Amerika Serikat. Diberbagai Negara lainnya, terutama dilingkungan Negara-negara yang mengalami perubahan dari otoritarian menjadi demokrasi, pembentukan MK itu dapat dinilai cukup popular. Ada pula Negara lain seperti Jerman yang memiliki Federal Constitutional Court yang tersendiri. Di Afrika Selatan, MK dibentuk pertama kali pada tahun 1994 berdasarkan Interim Constitution 1993. anggotanya berjumlah 11 orang, terdiri atas 9 pria dan 2 orang wanita. Masa kerja mereka adalah 12 tahun dan tidak dapat diperpanjang lagi, dengan kemungkinan penggantian karena pension, yaitu apabila mencapai usia maksimum 70 tahun. Di Republik Cekoslowakia, MK terbentuk sejak Februari 1992, aebelum Republik Federal Cekoslowakia bubar dan menjadi dua Negara (Ceko dan Slowakia) pada tanggal 31 Desember 1992. Republik Lithuania jumlah anggotanya sebanyak 9 orang diangkat oleh parlemen (Seimas) dari calon-calon yang diusulkan oleh ketua parlemen 3 orang, oleh presiden 3 orang, dan 3 orang lainnya oleh ketua MA. Ketua MK itu dipilih dan ditetapkan oleh Seimas dari calon yang diajukan oleh Presiden.

Cara Dan Contoh Membuat Surat Perjanjian

SURAT PERJANJIAN

KONTRAK  RUMAH

1.      Pihak pertama (1) Sebagai pemilik rumah di  jl. Bendungan, RT 05, RW02, Suka Batu-Jaya Pura-Papua.

Nama                           : M. Fauzi                               

Alamat                         : Desa Gondang Wetan RT 09,RW 04.Malang-Jawa Tmur

Yang telah di kontrakan kepada pihak ke II (DUA).


 Nama                          : Slamet Riyanto. SH

Alamat                         : Wilangun RT 06, RW 02 Suka Batu-Jaya Pura-Papua.

Masa kontrak              : 2 (dua) Tahun (07 Agt 2011S/D 07 Agt 2013).

Harga                          : Rp. 6.000.000.00 (Enam juta rupiah).

2.      Selama menempati rumah, pihak ke 2 wajib membayar kewajiban yang telah ditentukan oleh warga maupun instansi yang terkait ( PLN/membayar listrik, Sampah,dll).

3.      Selama menempati rumah, pihak ke 2 Tidak boleh menambah dan mengurangi bangunan tanpa seizin pihak ke 1(satu).

4.      Selama menempati rumah, pihak ke 2(dua) wajib merawat rumah dengan sebaik-baiknya.

5.      Apabila masa kontrak 2 tahun telah habis, piak ke 2(dua) di beri kelonggaran waktu 15 hari.

Saksi/mengetahui                      Pihak  ke 1(satu)                               Pihak ke 2(dua)

    ( Muslik )                                    ( M. Fauzi )                                      ( Slamet Riyanto)

STUDI KASUS SUAMI ANIAYA ISTRI HINGGA BABAK BELUR

 Mendapat perlakuan kasar dari suaminya, seorang istri terpaksa melapor ke polisi Kamis (20/5/2010) sore. Korban  SA 28, adalah warga Perumahan Griya Kencana, Tanah Sareal, Kota Bogor.
Dalam laporannya, korban menuturkan WA, yang tidak lain merupakan suaminya sendiri, sering menganiaya hanya karena persoalan ekonomi. Cekcok mulut awalnya, lalu berujung penganiayaan oleh suaminya hingga dirinya babak belur mengalami luka di bagian wajah dan tangannya.
Berdasarkan laporan SA kepada polisi, aksi penganiayaan tersebut terjadi ketika minggu (16/05) sekitar pukul 11.15 Wib.  Menurutnya, cekcok mulut yang berujung pemukulan tersebut merupakan buntut dari cekcok mulut yang terjadi sejak sehari sebelumnya.
Bahkan Sabtu (15/05) subuh, SA dan WA kembali terlibat percekcokan karena masalah uang. Saat itu, SA mengaku kalau dirinya sempat ditampar oleh sang suami. Diduga, karena keduanya tidak bisa mengendalikan emosi, percekcokan tersebut kembali terjadi pada hari Minggu (16/05) siang.
Kepada polisi, SA mengaku kalau aksi penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya, memang sering terjadi. Menurutnya, karena persoalan sepele, ia dan suaminya memang sering terlibat cekcok mulut yang berujung pada penganiayaan. Bahkan, sebelumnya, Kamis (06/05) SA juga mengaku sempat menjadi korban amukan sang suami. Saat itu, cekcok mulut terjadi hanya karena SA telat menyiapkan makanan untuk sang suami.
Kanit PPA (Pelayanan Perempuan dan Anak), Ipda Ika Shanti membenarkan adanya laporan tersebut. Menurutnya, hingga kini pihaknya masih terus melakukan penyelidikan kasus penganiayaan yang dialami oleh SA.
“Laporan sudah kami terima. Saat ini kami masih memintai keterangan dari pelapor dan terlapor serta beberapa saksi lainnya,” ujar Ika.
Menurutnya, jika dalam pemeriksaan ternyata WA terbukti telah melakukan penganiayaan terhadap istrinya, maka WA terancam hukuman penjara hingga 15 tahun penjara karena telah melanggar pasal 44 undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). (dio).


PEMBAHASAN


A.    Pengertian Kejahatan Terhadap Tubuh
Secara umum, tindak pidana terhadap tubuh pada KUHP disebut “penganiayaan” tetapi KUHP sendiri tidak memuat arti penganiyaan tersebut. Penganiayaan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dimuat artinya sebagai berikut: “perlakuan yang sewenang-wenang......”
Dari pengertian diatas  maka kasus terebut dapat disebut sebagai kejahatan terhadap tubuh karena dengan sengaja menyebabkan sakit atau luka pada orang lain. “korban menuturkan WA, yang tidak lain merupakan suaminya sendiri, sering menganiaya hanya karena persoalan ekonomi. Cekcok mulut awalnya, lalu berujung penganiayaan oleh suaminya hingga dirinya babak belur mengalami luka di bagian wajah dan tangannya”

B. Bentuk Penganiayaan Dan Sanksinya
Dari  penganiayaan yang dilakukan oleh suaminya hingga babak belur sampai mengalami luka di bagian wajah dan tangannnya. Maka tersangka (si suami) terjerat pasal 351 yaitu yang berbunyi:
Pasal 351 KUHP berbunyi sebagai berikut:
1.    Penganiayaan dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya dua tahun delapan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.
2.    Jika perbuatan mengakibatkan luka-luka berat yang bersalah dikenakan pidana penjara paling lama lima tahun.
3.    Jika mengakibatkan mati, dikenakan pidana penjara paling lama tujuh tahun.
4.    Dengan penganiayaan disamakan sengaja merusak kesehatan
5.    Percobaan untuk melakukan kejahatan ini tidak dipidana.
Dan karena yang dianiyaya adalah istrinya maka tersangka juga terjerat pasal 356 yang berbunyi:


Pasal 356 KUHP yang bunyinya:
“ Pidana yang ditentukan dalam pasal 351, 353, 354, dan 355 dapat ditambah dengan sepertiga:
ke-1. Bagi yang melakukan kejahatan itu terhadap ibunya, bapaknya menurut undang-undang, istrinya atau anaknya.
ke-2   Jika kejahatan dilakukan terhadap seorang pejabat ketika atau karena menjalankan tugasnya yang sah
ke-3   Jika kejahatan dilakukan dengan memberikan bahan yang berbahaya bagi nyawa atau kesehatan untuk dimakan atau diminum

Dapat disimpulkan pelaku tersebut terkena pasal 351 KUHP tentang penganiayaan dengan hukuman lima tahun dan ditambah dengan sepertiga yang ditentukan dalam pasal 356 tentang penganiayaan yang dilakukan terhadap orang-orang yang berkualitas yaitu istrinya sendiri. Namun dalam pemeriksaan dan putusannya pelaku terancam hukuman penjara hingga 15 tahun penjara karena telah melanggar pasal 44 undang-undang nomor 23 tahun 2002 tentang penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT).





CONTOH SURAT GUGATAN DAN KUASA DALAM TATA CARA PERADILAN

Perihal: Gugatan                                                                                   Lamongan,  26 April 2011

Kepada Yth,

Bapak Ketua Pengadilan Agama Lamongan

Di

Tempat

Dengan hormat,

Bersama ini, saya Ummi Maghfirotul Malik anak dari Malik Ibrahim, agama Islam, umur 27 tahun, pekerjaan ibu rumah tangga beralamat di Jl. Keranggan No. 02 Kecamatan Gelagah Kabupaten Lamongan, selanjutnya akan disebut sebagai PENGGUGAT.

Dengan ini penggugat hendak mengajukan gugatan perceraian terhadap:

Muhammad Rizal Sholihin anak dari Rifa’i, agama Islam, umur 30 tahun, pekerjaan swasta, beralamat di Jl. Anggrek No. 10 Sidoarjo, yang untuk selanjutnya akan disebut sebagai TERGUGAT.

Adapun yang menjadi dasar-dasar dan alasan diajukannya gugatan perceraian adalah sebagai berikut:

    Pada 2 Februari 2006, Penggugat dan Tergugat telah melangsungkan perkawinan dan tercatat di Kantor Urusan Agama Gelagah Kabupaten Lamongan dengan Akta Perkawinan dengan nomor _180/27658/02_____tertanggal____02/02/2006_____
    Selama melangsungkan perkawinan Penggugat dan Tergugat telah dikaruniai 2 orang anak yaitu: Nazril Vano Ransa Sholihin, laki-laki, lahir di Lamongan, tanggal 22 Juni 2007_______dengan Akta Kelahiran No_1562____tertanggal__22 Juni 2007___ , Sahrini Kumala Dewi Sholihin, perempuan, lahir di Lamongan, tanggal__14 Oktober 2008___dengan Akta Kelahiran No___2345____tertanggal_____14 Oktober 2008.
    Sejak awal perkawinan berlangsung, Tergugat telah memiliki kebiasaan dan sifat yang baru diketahui oleh Penggugat saat perkawinan berlangsung yaitu suka bermain perempuan, bermabuk-mabukan, dan jarang pulang ke rumah.
    Apabila Penggugat memberikan nasehat, Tergugat bukannya tersadar serta mengubah kebiasaan buruknya namun malah pergi meninggalkan rumah dan tidak kembali ke rumah untuk beberapa hari, sehingga nafkah untuk anak dan keluarga tidak dapat tercukupi.
    Kebiasaan meninggalkan rumah dan mabuk-mabukan semakin menjadi saat akhir-akhir tahun 2010.
    Tergugat juga tidak pernah mendengarkan dan membicarakan masalah ini secara baik dengan Penggugat yang akhirnya mendorong Penggugat untuk membicarakan masalah ini dengan keluarga Tergugat untuk penyelesaian terbaik dan pihak keluarga Tergugat selalu menasehati yang nampaknya tidak pernah berhasil dan Tergugat tetap tidak mau berubah.
    Sikap dari Tergugat tersebut yang menjadikan Penggugat tidak ingin lagi untuk melanjutkan perkawinan dengan Tergugat
    Lembaga perkawinan yang sebenarnya adalah tempat bagi Penggugat dan Tergugat saling menghargai, menyayangi, dan saling membantu serta mendidik satu sama lain tidak lagi didapatkan oleh Penggugat. Rumah tangga yang dibina selama ini juga tidak akan menanamkan budi pekerti yang baik bagi anak-anak Penggugat/Tergugat.


Berdasarkan uraian diatas, Penggugat memohon kepada Majelis Hakim yang memeriksa perkara ini untuk memutuskan:

    Menerima gugatan penggugat.
    Mengabulkan gugatan penggugat untuk keseluruhan.
    Menyatakan putusnya ikatan perkawinan antara Penggugat dan Tergugat sebagaimana dalam Akta Perkawinan No_180/27658/02___yang tercatat di Kantor Urusan Agama Gelagah Kabupaten Lamongan.
    Menyatakan hak asuh dan pemeliharaan anak berada dalam kekuasaan penggugat.
    Menghukum Tergugat untuk memberikan uang iddah, nafkah anak sebesar Rp. 10.000.000 / bulan
    Membebankan seluruh biaya perkara kepada Tergugat.

Apabila Majelis Hakim berkehendak lain, Penggugat mohon putusan yang seadil-adilnya.Atas perhatiannya, kami ucapkan terima kasih.

Lamongan, 26 April 2011

Hormat Penggugat

Ummi Maghfirotul Malik

SURAT KUASA

Pada hari selasa tanggal 10 Mei 2011 telah menghadap saya Hardiansyah Bachruddin, SH. Panitera Pengadilan Agama kelas IA Lamongan. Seorang yang bertanda tangan dibawah ini:

Nama                         : Soraya Juniati Taufik.

Umur                          : 30 tahun.

Pekerjaan  : Ibu rumah tangga.

Alamat                       : Jl. Tanah Tinggi No.08 Kecamatan Paciran Kabupaten Lamongan.

Selanjutnya dalam hal ini disebut sebagai PEMBERI KUASA.

Yang menyatakan kepada saya, bahwa dengan hal ini ia menyerahkan kuasa kepada seorang anggota keluarga / orang lain bernama:

Nama                         : Uliez Niyati Zahid.

Umur                          : 23 tahun.

Pekerjaan  : Pengacara/ Advokat.

Alamat                       : Jl. Lamongrejo No.66 Lamongan.

Selanjutnya dalam hal ini sebagai PENERIMA KUASA.

KHUSUS

Untuk dan atas
nama pemberi kuasa guna bertindak dan mewakili pemberi kuasa dalam hal
mengajukan gugatan cerai terhadap suami pemberi kuasa bernama RIZAL SYARIF HANAFI. Umur
33 tahun, pekerjaan Pegawai Swasta beralamat dan tempat tinggal di Jl. Soasio No.32 Sidoarjo. Melalui
Pengadilan Agama Kelas IA Lamongan, selanjutnya dalam hal ini disebut TERGUGAT.

Setelah ditandatanganinya surat
kuasa ini penerima kuasa telah berhak untuk :

    Membuat dan menandatangani surat gugatan untuk diajukan kepada
    Pengadilan Agama Kelas IA Lamongan.
    Menghadap dihadapan atau di muka persidangan
    Pengadilan Kelas IA Lamongan.
    Mengajukan bukti-bukti, Saksi-saksi untuk diajukan /
    dihadapkan atau di muka persidangan pengadilan Agama.
    Mengadakan perdamaian baik di dalam maupun di luar
    persidangan pengadilan Agama Kelas IA Lamongan.
    Menghadap kepada semua instansi baik sipil maupun
    militer yang ada kaitannya dengan maksud pemberian kuasa ini,
    Dan  melakukan segala upaya hukum demi
    kepentingan pemberi kuasa dalam menjalankan perkara ini.

Selanjutnya bila
dipandang perlu kepada penerima kuasa diberi hak untuk memberikan kuasa kepada
pihak lain dengan hak substitusi.

Lamongan, 10 Mei 2011

Penerima Kuasa,                                                        Pemberi Kuasa

Uliez Niyati Zahid, SHi.                                                                     Soraya Juniarti Taufik             

                                                    

     

Hukum Pelanggaran Pemilu Menurut Undang-Undang

BAB I
PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) merpakan slah satu unsur yang harus ada dalam suatu pemerintahan demokrasi. Pemilihan umum di Negara-negara demokrasi dpat dipandang sebagai awal dari paradigm demokrasi. Di samping itu, Negara demokrasi juga harus ada unsur pertanggungjawaban kekuasaan. Baik dari pihak legislative maupun eksekutif. Berdasarkan UU No.22 Tahun 2007, pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah (Pilkada) juga dimasukkan sebagai bagian dari suatu pemilihan umum. Namun, masyarakat umumnya mengartikan pemilu kepada pemilu legislative dan pemilu presiden dan wakil presiden yang diadakan lima tahun sekali.
Pemilu legislative yang terakhir dilaksanakan di Indonesia adalah pada tahun 2009. Sistem pemilu yang digunakan berbeda jauh dengan pemilu sebelum era reformasi, di mana sekarang yang menentukan wakil rakyat dan pemimpin adalah masyarakat sendiri secra langsung.
Dengan melihat pada system pemilu saat ini, pemilahan umum telah dianggap menjadi ukuran demokrasi karena rakyat dapat berpartisipasi menentukan sikapnya terhadap pemerintahan dan negaranya. Pemilhan umum adalah hal yang penting dalam kehidupan Negara. Pemilu selain merupakan mekanisme bagi rakyat untuk memilih para wakilnya, juga dapat dilihat sebagai proses evaluasi dan pembentukan kembali kontrak social. Pemilu menyediakan ruang untuk terjadinya proses diskusi antara pemilih dan calon-calon wakil rakyat, baik sendiri-sendiri maupun melalui partai politik.
Ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi agar pemilu benar-benar menghasilkan pemerintahan yang demokratis secara substantif dan bukan sekedar prosesi ritual. Prasyarat tersebut antara lain adalah : tersedianya aturan main yang jelas dan adil bagi semua peserta, adanya penyelenggara yang independen dan tidak diskriminatif, pelaksanaan aturan yang konsisten, dan adanya sanksi yang adil kepada semua pihak. Tahapan penyelenggaraan pemilu 2009 telah diawali dengan permasalahan hukum seperti penyerahan data kependudukan atau Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4) oleh Pemerintah kepada KPU yang tidak lengkap dan proses pembentukan struktur KPU di daerah yang tidak sesuai jadwal, keterlambatan pembuatan beberapa aturan, kesalahan pengumuman DCT dan pengumuman DPT yang belum final.

Adanya persoalan menyangkut aturan ini berkibat pada penanganan pelanggaran yang inkonsisten atau justru mendorong pembiaran atas pelanggaran karena peraturan yang ada tidak cukup menjangkau. Demi untuk mewujudkan penyelenggaraan pemilu yang berkualitas dan memiliki integritas tinggi maka perlu dilakukan penyempurnaan terhadap aturan yang telah ada melalui penambahan aturan, penegasan maksud dan sinkronisasi antar peraturan perundang-undangan yang ada salah satu diantaranya adalah melalui pembuatan instrumen-instrumen komplain atas terjadinya pelanggaran pemilu yang lengkap, mudah diakses, terbuka, dan adil. Lebih penting lagi adalah memastikan bahwa aturan main yang ditetapkan tersebut dijalankan secara konsisten.
Tersedianya aturan yang konkrit penting untuk menjamin kepastian dan keadilan hukum sehingga pemilu memiliki landasan legalitas dan legitimasi yang kuat sehingga pemerintahan yang dihasilkan melalui pemilu tetap mendapatkan dukungan masyarakat luas. Untuk itu maka segala pelanggaran yang terjadi dalam proses pelaksanaan pemilu harus diselesaikan secara adil, terbuka dan konsisten.
1.2. Rumusan Masalah
a. Apa saja bentuk-bentuk pelanggaran dalam pemilu di Indonesia yang terdapat pada buku undang-undang
b. Bagaimana tata cara penyelesaian pelanggaran pemilu tersebut berdasarkan hokum yang berlaku
1.3. Tujuan Penulisan
a. Mengetahui macam-macam bentuk pelanggaran yang terjadi selama proses pemilu di Indonesia.
b. mengetahui mekanisme penyelesaian pelanggaran pemlu berdasarkan hukum yang berlaku.

BAB II
LANDASAN TEORI

UU 10 Tahun 2008 tentang Pemiliham Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD mengatur pada setiap tahapan dalam bentuk kewajiban, dan larangan dengan tambahan ancaman atau sanksi. Potensi pelaku pelanggaran pemilu dalam UU pemilu antara lain:
1. Penyelenggara Pemilu yang meliputi anggota KPU, KPU Propinsi, KPU Kabupaten/Kota, anggota Bawaslu, Panwaslu Propinsi, Panwaslu Kabupaten Kota, Panwas Kecamatan, jajaran sekretariat dan petugas pelaksana lapangan lainnya;
2. Peserta pemilu yaitu pengurus partai politik, calon anggota DPR, DPD, DPRD, tim kampanye;
3. Pejabat tertentu seperti PNS, anggota TNI, anggota Polri, pengurus BUMN/BUMD, Gubernur/pimpinan Bank Indonesia, Perangkat Desa, dan badan lain lain yang anggarannya bersumber dari keuangan negara;
4. Profesi Media cetak/elektronik, pelaksana pengadaan barang, distributor;
5. Pemantau dalam negeri maupun asing;
6. Masyarakat Pemilih, pelaksana survey/hitungan cepat, dan umum yang disebut sebagai “setiap orang”.
Meski banyak sekali bentuk pelanggaran yang dapat terjadi dalam pemilu, tetapi secara garis besar Undang-Undang Pemilu membaginya berdasarkan kategori jenis pelanggaran pemilu menjadi:
1. pelanggaran administrasi pemilu;
2. pelanggaran pidana pemilu; dan
3. perselisihan hasil pemilu.
1. Pelanggaran Administrasi Pasal 248 UU Pemilu mendefinisikan perbuatan yang termasuk dalam pelanggaran administrasi adalah pelanggaran terhadap ketentuan UU Pemilu yang tidak termasuk dalam ketentuan pidana pemilu dan ketentuan lain yang diatur dalam Peraturan KPU. Dengan demikian maka semua jenis pelanggaran, kecuali yang telah ditetapkan sebagai tindak pidana, termasuk dalam kategori pelanggaran administrasi. Contoh pelanggaran administratif tersebut misalnya: tidak memenuhi syarat-syarat untuk menjadi peserta pemilu, menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah dan tempat pendidikan untuk berkampanye, tidak melaporkan rekening awal dana kampanye, pemantau pemilu melanggar kewajiban dan larangan.
2. Tindak Pidana Pemilu Pasal 252 UU Pemilu mengatur tentang tindak pidana pemilu sebagai pelanggaran pemilu yang mengandung unsur pidana. Pelanggaran ini merupakan tindakan yang dalam UU Pemilu diancam dengan sanksi pidana. Sebagai contoh tindak pidana pemilu antara lain adalah sengaja menghilangkan hak pilih orang lain, menghalangi orang lain memberikan hak suara dan merubah hasil suara. Seperti tindak pidana pada umumnya, maka proses penyelesaian tindak pidana pemilu dilakukan oleh lembaga penegak hukum yang ada yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan.
3. Perselisihan Hasil Pemilu Yang dimaksud dengan perselisihan hasil pemilu menurut pasal 258 UU Pemilu adalah perselisihan antara KPU dan peserta pemilu mengenai penetapan jumlah perolehan suara hasil pemilu secara nasional. Perselisihan tentang hasil suara sebagaimana dimaksud hanya terhadap perbedaan penghitungan perolehan hasil suara yang dapat memengaruhi perolehan kursi peserta pemilu. Sesuai dengan amanat Konstitusi yang dijabarkan dalam UU No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi, maka perselisihan mengenai hasil perolehan suara diselesaikan melalui peradilan konstitusi. Satu jenis pelanggaran yang menurut UU No. 22 Tahun 2007 tentang Penyelenggaraan Pemilu (UU KPU) menjadi salah satu kewenangan Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menyelesaikannya adalah pelanggaran pemilu yang bersifat sengketa. Sengketa adalah perbenturan dua kepentingan, kepentingan dan kewajiban hukum, atau antara kewajiban hukum dengan kewajiban hukum (konflik) yang dalam konteks pemilu dapat terjadi antara peserta dengan penyelenggara maupun antara peserta dengan peserta. Pada pemilu 2004, tata cara penyelesaian terhadap jenis pelanggaran ini diatur dalam satu pasal tersendiri (pasal 129 UU 12/2003).
Terhadap sengketa pemilu ini yaitu perselisihan pemilu selain yang menyangkut perolehan hasil suara, UU 10/2008 tidak mengatur mekanisme penyelesaiannya. Sengketa juga dapat terjadi antara KPU dengan peserta pemilu atau pihak lain yang timbul akibat dikeluarkannya suatu Peraturan dan Keputusan KPU. Kebijakan tersebut, karena menyangkut banyak pihak, dapat dinilai merugikan kepentingan pihak lain seperti peserta pemilu (parpol dan perorangan), media/pers, lembaga pemantau, pemilih maupun masyarakat.
Berbeda dengan UU 12/2003, yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat, dalam UU KPU dan UU Pemilu tidak ada ketentuan yang menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Dengan demikian maka Keputusan KPU yang dianggap merugikan terbuka kemungkinan untuk dirubah. Persoalannya, UU Pemilu juga tidak memberikan “ruang khusus” untuk menyelesaikan ketidakpuasan tersebut.
Contoh KASUS yang telah nyata ada adalah :
1. Sengketa antara calon peserta pemilu dengan KPU menyangkut Keputusan KPU tentang Penetapan Partai Politik Peserta Pemilu. Keputusan KPU tersebut dianggap merugikan salah satu atau beberapa calon peserta pemilu.
2. Sengketa antara partai politik peserta pemilu dengan anggota atau orang lain mengenai pendaftaran calon legislatif. Pencalonan oleh partai politik tertentu dianggap tidak sesuai dengan atau tanpa seijin yang bersangkutan.

BAB III
PEMBAHASAN

Tata cara penyelesaian yang diatur dalam Undang-Undang hanya mengenai pelanggaran pidana. Pelanggaran administrasi diatur lebih lanjut melalui Peraturan KPU dan selisih hasil perolehan suara telah diatur dalam Undang-Undang Mahkamah Konstitusional.
a. Waktu Terjadinya Pelanggaran. Laporan pelanggaran pemilu oleh peserta pemilu, pemantau dan pemilih harus disampaikan kepada Bawaslu paling lama 3 hari sejak terjadinya pelanggaran. Dalam konteks hukum pidana, waktu kejadian perkara (tempus delicti) terhitung sejak suatu tindak pidana atau kejadian dilakukan oleh si pelaku dan bukan pada saat selesainya suatu perbuatan atau timbulnya dampak/akibat hukum. Ketentuan ini secara sengaja telah menutup celah bagi proses hukum terhadap pelanggaran pemilu yang tidak terjadi di ruang terbuka. Sebagai contoh pemberian atau penerimaan dana kampanye yang melebihi jumlah yang telah ditentukan tetapi dilakukan melalui transfer rekening antar bank pada hari jumat malam. Karena membutuhkan proses administrasi dan terkendala hari libur maka dana baru diterima setelah 3 hari. Secara konseptual terjadinya pelanggaran adalah hari jumat sehingga pelanggaran tidak dapat diproses.
b. Penanganan Laporan. Peraturan Bawaslu No. 05 Tahun 2008 tentang Tata Cara Pelaporan Pelanggaran Pemilu DPR, DPD, dan DPRD tidak memberikan rincian lebih jauh dibandingkan dengan apa yang telah diatur dalam UU Pemilu. Beberapa format laporan sebagai lampiran dari Peraturan dimaksud lebih menunjukkan bahwa Peraturan mengarah kepada petunjuk teknis dan pedoman Bawaslu tentang penerimaan laporan pelanggaran pemilu. Bawaslu perlu mengatur lebih detail tentang tata cara penanganan laporan/temuan pelanggaran terkait dengan dokumen bukti indentitas, informasi/keterangan yang cukup, jenis alat bukti minimal, materi pelanggaran, dan standar laporan dan berkas yang akan diteruskan kepada penyidik.
c. Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi. Sampai saat ini KPU belum menerbitkan Peraturan tentang Tata Cara Penyelesaian Pelanggaran Administrasi yang diamanatkan UU 10/2008. Belum adanya aturan mengenai masalah ini akan mengakibatkan penanganan pelanggaran administrasi yang berbeda antara kasus satu dengan yang lain bergantung kepada kemauan KPU sehingga tidak memberikan kepastian hukum dan dapat mencederai rasa keadilan. Karena itu KPU harus segera membuat aturan tersebut sesegera mungkin sebagai pedoman bagi semua pihak yang terlibat dan berkepentingan dengan penyelenggaraan pemilu. Peraturan tentang tata cara penyelesaian pelanggaran administrasi setidaknya mengatur mengenai kategorisasi tingkat pelanggaran, pemanggilan pelaku, pembuktian, adanya kesempatan pelaku untuk membela diri, jenis sanksi yang dapat dijatuhkan berdasar tingkat pelanggaran atau kesalahan, proses pelaksanaan sanksi, dan ketersediaan waktu yang cukup dan pasti.
d. Penegasan wewenang dan tanggung jawab penyelesaian pelanggaran administrasi. Terjadi kerancuan pengaturan dalam ketentuan UU Pemilu antara pasal 248-251 dengan pasal 113 ayat (2), pasal 118 ayat (2), dan 123 ayat (2) serta UU KPU pasal 78 ayat (1) huruf c. Beberapa ketentuan yang bertolak belakang ini menyebabkan ketidakpastian proses penanganan pelanggaran pemilu yang tidak mengandung unsur pidana. Dikuatirkan KPU dan Bawaslu saling melepaskan tanggung jawab untuk menangani pelanggaran tersebut. Perlu ada kesepakatan antara KPU dan Bawaslu mengenai pembagian tugas dan wewenang penyelesaian pelanggaran administrasi. Wewenang Panwaslu Kabupaten/Kota untuk menangani pelanggaran administrasi pada tahap kampanye apakah merupakan suatu pengecualian, atau disepakati untuk dikesampingkan karena bertentangan dengan asas kepastian dan keadilan. Kalau dianggap pengecualian, maka bagaimana tata cara penyelesaiannya.
e. Pengertian ”hari”. UU Pemilu tidak meberikan definisi dan penjelasan mengenai “hari” untuk menangani pelanggaran pemilu. Yang dimaksud apakah hanya hari kerja atau termasuk hari libur dan yang diliburkan (cuti bersama). Akibatnya terjadi perbedaan pemahaman antar instansi penegak hukum pemilu. Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan telah bersepakat bahwa yang dimaksud dengan hari adalah 1 x 24 jam (termasuk di dalamnya hari libur) tetapi MA dan MK menegaskan bahwa hari adalah hari kerja. KPU, meski beberapa tahapan penyelenggaraan pemilu juga dibatasi dengan hari, tidak mengatur mengenai hal tersebut. Tidak adanya pengertian yang sama mengenai masalah ini akan berpotensi mengganggu proses penanganan pelanggaran khususnya menyangkut batas waktu (daluarsa).
f. Tindakan terhadap TNI. UU 12/2003 pasal 132 dengan tegas menyatakan bahwa tindakan kepolisian terhadap pejabat negara seperti anggota DPR, DPD, DPRD, dan PNS harus dengan ijin khusus sebagaiman diatur dalam UU 13/1970 tidak berlaku. Ketentuan ini tidak terdapat dalam UU 10/2008, sehingga keputusan Kepolisian dan Kejaksaan untuk memeriksa anggota legislatif dan PNS tanpa ijin tersebut memiliki resiko hukum tersendiri. Selain itu, UU Pemilu juga tidak mengatur keterlibatan POM TNI untuk memeriksa kasus yang menyangkut anggota TNI sementara penyidik Kepolisian merasa tidak memiliki wewenang untuk memeriksa anggota TNI.
g. Gakkumdu. Pembuatan nota kesepahaman antara Bawaslu, Kepolisian dan Kejaksaan dan kesepakatan pembentukan Sentra Penegakan Hukum Terpadu (Gakumdu) belum menjawab kebutuhan terhadap kecepatan penanganan perkara. Pasal 12 MOU menyangkut proses pengembalian berkas perkara dari PU kepada Penyidik untuk diperbaiki dimungkinkan terjadi 2 kali masing-masing 3 hari. Kesepakatan ini dapat dianggap bertentangan ketentuan pasal 253 UU Pemilu yang memberikan kesempatan pengembalian/perbaikan berkas dari PU ke Penyidik hanya satu kali (3 hari). Pengulangan ini akan mengakibatkan perkara yang sampai ke PU telah melampaui tenggat waktu dari yang telah ditentukan dalam UU Pemilu.
h. Banding. Proses penanganan banding atas putusan PN dilakukan dalam waktu 7 hari yang terhitung “sejak permohonan banding diterima”. Sementara proses pelimpahan berkas perkara banding dari PN ke PT dapat dilakukan paling lama 3 hari yang dihitung sejak “permohonan banding diterima”. Adanya titik hitung yang sama untuk dua persoalan yang berkelanjutan mengakibatkan waktu pemeriksaan di tingkat banding berkurang menjadi 4 hari. Dengan pemeriksaan yang sangat singkat dikhawatirkan PT tidak cukup waktu untuk menangani perkara.
i. Jumlah aparat. Khusus untuk menangani perkara pemilu Kejaksaan telah menugaskan 2 orang jaksa sementara PN dan PT harus menyediakan hakim khusus 3 – 5 orang sebagaimana diatur dalam Perma No. 03 tahun 2008 dan SEMA 07/A/2008. Jumlah aparat tersebut dapat menyebabkan proses penanganan perkara terbengkalai apabila terjadi penumpukan perkara pada tahapan tertentu karena batasan waktu yang singkat dalam penanganannya termasuk apabila pelanggaran terjadi di wilayah yang memiliki kendala geografis.
j. Jenis Pidana dan Hukum Acara Pemeriksaan. KUHP membedakan tindak pidana sebagai pelanggaran (tindak pidana yang ancaman hukumannya kurang dari 12 bulan ) dan kejahatan (ancaman hukumannya 12 bulan ke atas). Dalam KUHAP pelanggaran menggunakan hukum acara singkat dan kejahatan dengan hukum acara biasa. tetapi UU 10/2008 tidak membedakannya. Tidak ada penjelasan acara apa yang akan digunakan untuk mengadili, apakah pelimpahan dengan menggunakan acara pemeriksaan singkat atau dengan pemeriksaan biasa. Karena menyangkut tanggung jawab dari perkara inklusif perkara dan barang bukti. Apabila acara pemeriksaan singkat maka meski berkas perkara telah dilimpahkan tetapi tanggungjawab tersangka tetap ada pada jaksa sampai proses persidangan. Tetapi apabila menggunakan acara pemeriksaan biasa, maka sejak pelimpahan berkas tanggung jawab terhadap barang bukti dan tersangka menjadi tanggung jawab pengadilan. Selain itu sanksi pidana pemilu berbentuk kumulatif dengan rentang perbedaan yang cukup tinggi sehingga dapat memunculkan disparitas putusan.
k. Pelaksanaan Putusan. UU memerintahkan 3 hari sejak putusan PN/PT dijatuhkan maka harus segera dilaksanakan oleh jaksa selaku eksekutor. Permasalahannya untuk melakukan eksekusi mengharuskan jaksa memperoleh salinan putusan dari pegadilan. Kalau dalam waktu 3 hari salinan putusan belum disampaikan apakah eksekusi tetap dapat dilaksanakan? Karena terhadap tersangka jaksa tidak dapat melakukan penahanan seperti pasal 21 KUHAP. Selain itu perlu juga ditegaskan mengenai bentuk salinan putusan dimaksud, apakah salinan putusan yang diketik, kutipan atau petikan putusan?
l. Sengketa Putusan KPU. UU KPU dan UU Pemilu tidak menegaskan bahwa Keputusan KPU bersifat final dan mengikat. Padahal Keputusan KPU berpotensi menimbulkan sengketa. Namun begitu UU juga tidak mengatur mekanisme untuk menyelesaikan sengketa tersebut. Sementara mekanisme gugatan melalui PTUN sulit dilakukan. Pasal 2 huruf g UU PTUN (UU 5/1986 yang telah dirubah dengan UU No. 9/2004) menegaskan ”tidak termasuk ke dalam pengertian Keputusuan TUN adalah Keputusan KPU baik di Pusat maupun di daerah mengenai hasil pemilu”. Sekalipun yang dicantumkan secara eksplisit dalam ketentuan pasal tersebut adalah mengenai hasil pemilu, tetapi SEMA No. 8/2005 tentang Petunjuk Teknis Sengketa Pilkada mengartikan hasil pemilu ”meliputi juga keputusan-keputusan lain yang terkait dengan pemilu”. Selain itu, dalam berbagai Yurisprudensi MA, telah digariskan bahwa keputusan yang berkaitan dan termasuk dalam ruang lingkup politik dalam kasus pemilihan tidak menjadi kewenangan PTUN untuk memeriksa dan mengadilinya. Untuk mengisi kekosongan hukum dan menghindari penafsiran menyimpang tersebut maka SEMA No. 8/2005 sebaiknya dicabut.

Beberapa Pengertian Tentang Studi Kasus Hukum keluarga islam

1.    Dalam kajian Ushul al-fiqh di kenal istilah:
a.    Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau al- Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya.
b.    Ihtisan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial .
c.    Maslahah mursalah adalah cara menentukan hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
d.    Urf adalah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Cara mengaplikasikan konsep maslahah mursalah dalam pemecahan hukum, menurut Al-Ghozali adalah :
a.    Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum islam yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, harta, keturunan atau kehormatan.
b.    Maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’.
c.    Maslahat tersebut menempati level daruriyah atau hajiyah yang setingkat dengan daruriyah.
d.    Kemaslahatannya harus bersifat qath’i atau zann yang mendekati qath’i.
e.    Dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qathiyyah, daruriyah dan kulliyah.
Imam al-Ghazali memandang  maslahah-mursalah  hanya  sebagai  sebuah  metode  istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Ruang lingkup operasional maslahah mursalah hanya berlaku di bidang muammalah saja dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.

2.    Konsep Thariq Istimbatul Hukm adalah mengambil hokum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu biasa bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh terhadap arti tertentu.
Cara operasionalisasi metode qiyas dalam pemecahan hukum yakni, dalam rukun dan syarat qiyas, telah disebutkan bagaimana cara pemecahan hukum menggunakan qiyas.
Rukun qiyas adalah :
a.    Al-ashlu atau objek qiyâs, dimana diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
b.    Hukum asli adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.
c.    Al-far’u adalah sesuatu yang dikiaskan, karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d.    Al-‘illah adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u.
Dari rukun qiyas diatas, dapat disimpulkan bahwa cara operasionalisasi pengambilan dengan metode qiyas dilakukan dengan tahap-tahap diatas.
Setelah kita mengetahui rukun Qiyas itu terbagi empat bagian yaitu : Al-ashlu, hukmu al-ashli, Al- Far’u, dan ‘Illat, maka dengan demikian tentunya kita harus mengetahui pula syarat-syaratnya masing-masing agar dalam melaksanakan tindakan hukum tidak tersesat dan atau menyesatkan, diantara syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.    Syarat asal atau pokok, Hukum Ashal harus masih tetap atau masih.
b.    Syarat far’I, Hukum Far’i janganlah berwujud lebih dahulu daripada hukum ashal, ‘Ilat. Hendaknya menyamai ‘ilatnya Ashal/Pokok, hukum yang ada pada far’i itu menyamai hukum ashal/pokok.
c.    Syarat ‘illat hendaknya “ilat itu berturut-turut. artinya jika ‘illat itu ada , maka dengan sendirinya hukumpun ada, dan sebaliknya. “Illat jangan menyalahi Nash, karena “illat itu tidak dapat mengalahkannya maka dengan demikian Nash lebih dahulu mengalahkan ‘illat.
Contohnya adalah Qiyâs keharaman extasy atau pil koplo atau narkotika atau sabu-sabu.  Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Mâidah ayat 90, Allah SWT berfirman:  Artinya:  "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
a.    Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
b.     hukum asli: haram
c.    Al-far'u: extasy    
d.    Al-'illah: memabukkan
Disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illat, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.
-->
3.    Pendapat saya mengenai hukum bayi tabung (artificial infitro) adalah
a.    Diperbolehkan, jika bayi tabung tersebut berasal dari sel sperma dan ovum dari suami isteri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), jika keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya. Dan status anak hasil bayi tabung macam ini sah menurut Islam.
b.    Tidak diperbolehkan (haram) jika bayi tabung ini berasal dari sperma dan atau ovum donor diharamkan (dilarang keras) Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar  perkawinan yang sah.
Proses menggunakan bayi tabung ada tiga macam:
1)    Proses bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, status anak yang dilahirkan tersebut dapat dipertalikan keturunannya dengan ayah beserta ibunya dan anak itu mempunyai kedudukan yang sah menurut syariat islam, ini diperbolehkan.
2)    Proses bayi tabung yang menggunakan sperma donor. Ada larangan penggunaan sperma donor seperti terdapat dalam surat al-baqarah: 223 dan an-nur : 30-31. Dan di dalam hadist nabi disebutkan : “tidak ada suatu dosa yang lebih besar disisi Allah sesudah syirik dari pada seorang laki-laki yang meletakkan maninya ke dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya”. Maka status anak yang dilahirkan seperti anak zina, maka proses ini tidak diperbolehkan.
3)    Proses bayi tabung yang menggunakan cara surrogate mother (rahim titipan). alam proses ini menurut saya tetap saja tidak diperbolehkan karena meskipun hanya meminjam rahim namun perkembangan dan pertumbuhan si bayi tetap mendapat nutrisi makanan dari ibu yang dititipi rahim tersebut dan ini juga sangat mempengaruhi perubahan pada si bayi dan percampuran nasab pada si bayi.
Bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madarat daripada maslahanya. Adapun madarat bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain: pencampuran nasab, bertentangan dengan sunnatullah atau hokum Islam, bayi tabung pada hakikatnya sama dengan zina, karena terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa perkawinan yang sah, kehadiran anak hasil bayi tabung bias menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor, dan lain sebagaianya. Landasan hokum yang mengharamkan bayi tabung dengan donor ialah terdapat dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 dan At-Tin ayat 4.

4.    “Taghyirul ahkam bi taghyirul azmanah wal amkanah”, artinya berubahnya  hukum karena adanya perubahan zaman dan tempat. Relevansi kaidah tersebut dalam penerapan konsep hukum waris dalam logika feminisme adalah, dalam perkembangan dunia yang telah  mengalami perubahan, setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Tidak terkecuali dalam hukum waris Islam dalam pelaksanaannya harus dapat pula menyesuaikan perkembangan dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai keadilan menurut hukum waris Islam kini tela pula mengalami pergeseran nilai. Dengan semakin marakanya isu gender ini pula yang membuat tatanan hukum kewarisan Islam mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan mendasar ini terlihat dari hukum waris telah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai keadilan pada zaman sekarang menuntut penyesuaian antara hak laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai mahluk yang mempunyai kewajiban yang sama. Sudah sepantasnya menuntut hak yang sama pula. Oleh karena ini dalam pembagian warisan menurut hukum waris Islam dituntut pula untuk memperhatikan hak laki-laki maupun hak perempuan yang sama kuatnya. Bahkan ada sebagian yang menuntut hak yang sebanding dengan hak laki-laki. Konsep inilah yang sedang tren disaat ini dikalangan masyarakat. Tren yang megganggap semua manusia mempunyak hak yang sama dihadapan hukum. Maka masyarakat pun telah merespon keiginan ini dengan menyamakan laki-laki dan perempuan sebagai ahli  waris berkenaan dengan tanggung jawab yang diembannya.
Asas hukum dalam pewarisan Islam tidak memandang  perbedaan antara laki-laki dengan perempuan semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandinganya saja yang berbeda. Memang didalam hukum waris Islam yang ditekankan keadilan yang berimbang dipakai, bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli waris. Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang kala menimbulkan persengketaan diantara para ahli waris. Yang dahulu wanita hanya sebagai pendamping  pria dalam mencari nafkah kini telah mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu wanita merupakan sebagai mahluk kelas dua kini telah mensejajarkan  kedudukanya dengan laki-laki begitu pula dalam tuntutan dalam pembagian terhadap harta warisan. Sebab didalam sistem hukum kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam  Islam. Artinya sebagaimana  laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisa. Hal ini secara jelas disebut dalam alp-Qur’an dalam surah al-Nisa ayat 7 yang menyamakan kededukan laki-laki dan perempuan  dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12.176 surah an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu(ayat 11), suami dan istri (ayat12) saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12dan 176). Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa’ayat 34. Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.