Pengertian hukum Islam dan sejarahnya

1. Pengertian hukum Islam secara literatur bahasa Arab berasal dari dua kata yakni Ahkam berakar dari kata حكم yang berarti المنع (pencegahan) maka al-Hukmu berarti mencegah dari kezaliman.( Ibn Faris, Mu’jam Maqayis Al-Lughah, jilid. I. (bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1999) hal 311.) Juga berarti القضاء(putusan) atau bisa juga disebut (judgement, verdict, decision), “ketetapan” (provision), “perintah” (command), “pemerintahan” (government), “kekuasaan” (authority, power), “hukuman” (sentences) dan الفصل(penyelesaian), seperti حكمت بين الناس(engkau telah memutuskan dan menyelesaikan kasus mereka).( Mahmud Abd Rahman Abd al-Mun’im, Mu’jam al-Mustalahat al-Faz al-Fiqhiyyah, juz. I. (cairo : Dar al-Fadilah, t.t.) hal 581.) Sedangkan kata al-Syariah berakar dari kata س ر ع yang berarti sesuatu yang menjadi sumber, dengan kata lain hokum islam merupakan gabungan dari “fiqih” dan ”syariat” atau “hukum syara” yang dapat didefinisikan “seperankat aturan berdasarkan wahyu allah dan sunnah rasul tentang tingkah laku manusia yang diakui berlaku dan mengikat untuk semua orang yang dibebani hukum” (IAIN Sunan Ampel Press, 2005) atau juga dapat didefiniskan dengan “hukum yang mencakup segala sesuatu yang menjadi dasar, acuan atau pedoman Islam” Pengertian Fiqih secara istilah (terminologis) ahli hukum mendefinisikan : Ilmu tentang hukum-hukum syara' yang operasional (amaliah) yang digali dari dalil-dalilnya yang terperinci.( Ibn al-Subkiy, Jam’u al-Jawami, (Mesir: Mushthafa Habbi al-Halabiy,1937), hal. 42-43.) العلم بالأحكام الشرعية العملية المستنبطة من أد لتها التفصيلية Yang artinya : “Ilmu tentang hukum-hukum syar’i yang bersifat amaliah yang diperoleh dari dalil-dalilnya yang terinci” (Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Pengantar Ilmu Fikih. Loc. Cit.) Fiqh yang juga berarti hukum hanya dimengerti fungsinya bila dikaitkan dengan perbuatan manusia baik berupa menyandarkan atau tidak menyandarkan. الحكم: إسناد أمر إلى آخر إيجابا أو سلبا Hukum adalah penisbatan sesuatu kepada yang lain atau penafian sesuatu dari yang lain. Sehingga yang dimaksud dengan hukum dalam definisi fiqh adalah status perbuatan manusia mukallaf (orang yang telah baligh dan berakal sehat), pada perbuatan-perbuatan yang bersifat wajib (prescribed), mandub (sunnah-recommended), haram (unlawful), makruh (disliked), atau mubah (permissible). Pengertian syariat secara Istilah (terminologis) yaitu : Sumber otentiknya berasal dari sumber-sumber hukum Islam yang tersebar pada Al-Qur’an, hadits, ijma dan lain sebagainya. Prof. Teungku M. Hasbi Ash-Shiddiqie dalam salah satu karyanya mendefinisikan hukum Islam sebagai: “Segala yang diterbitkan (ditetapkan) syara’ untuk manusia, baik berupa perintah maupun merupakan tata aturan amaliyah yang menusun kehidupan bermasyarakat dan hubungan mereka satu sama lain serta membatasi tindakan mereka.”( Ash-Shiddiqie, T.M. Hasbi. Pengantar Fiqh Mu’amalah. (Jakarta: Bulan Bintang, 1974). hal 39.) Walaupun dilihat dari struktur bahasanya (etimologi), Syari’at merupakan kalimat yang berbahasa arab Syari’a yang bermakna “jalan menuju sumber air: track yang jelas untuk di ikuti”. Atau sebagai sumber air yang di ambil orang untuk keperluan hidup sehari-hari. Kata Syariah paling tidak disebut lima kali, tiga di antaranya terdapat dalam Alqur’an yaitu pada surat Al-Maidah ayat 48, Asy-Syura: ayat 13 dan Al-Jatsiyah ayat 18. Dalam bentuk aktif, syariat disebut sebagai syara’a, sebuah kata kerja yang bermakna “mengurai atau menelusuri suatu jalan yang telah jelas menuju air”. Dengan makna tersebut, secara doktrin hukum, syari’at dapat difenisikan sebagai “jalan utama menuju kehidupan yang lebih baik yang terdiri dari nilai-nilai agama sebagai acuan untuk membimbing kehidupan manusia”. Abdullah Yusuf Ali menerjemahkan syariat sebagai jalan agama yang lebih luas dari sekedar ibadah-ibadah formal dan ayat-ayat hukum yang diwahyukan kepada Muhammad SAW. Sedangkan sebuah komunitas akademis di Universitas Southern California dalam kompendiumnya menjelaskan bahwa makna syariah tidak hanya merujuk pada hukum dan jalan hidup yang digariskan Allah SWT untuk hambanya namun juga berhubungan dengan ideologi; keyakinan; prilaku; tindakan; serta praktek keseharian seperti firmannya dalam surat Al-Ma’idah: 48. Sedangkan pakar hukum Islam Indonesia, Prof. Teungku Hasbi Ash-Shiddiqie menyebutkan bahwa para ahli fiqh menggunakan kata syariat sebagai nama bagi hukum yang ditetapkan Allah untuk hamba-Nya melalui Rasulullah SAW yang berkaitan dengan amaliyah lahir (ahlak) dan bathin (Aqidah) untuk dilaksanakannya dengan dasar iman.( Ibid.) Persamaan Syari'ah dan Fiqih Syariah dan Fiqih , adalah dua hal yang mengarahkan kita ke jalan yang benar . Dimana , Syariah bersumber dari Allah SWT yakni Al-Qur'an, Nabi Muhammad SAW yakni Hadist. Sedangkan Fiqh bersumber dari para Ulama dan ahli Fiqh , tetapi tetap merujuk pada Al-Qur'an dan Hadist . Perbedaan Syari'ah dan Fiqih Perbedaan dalam Objek : • Syariah Objeknya meliputi bukan saja batin manusia akan tetapi juga lahiriah manusia dengan Tuhannya (ibadah) • Fiqih Objeknya peraturan manusia yaitu hubungan lahir antara manusia dengan manusia, manusia dengan makhluk lain. Perbedaan dalam Sumber Pokok • Syariah Sumber Pokoknya ialah berasal dari wahyu ilahi dan atau kesimpulan-kesimpulan yang diambil dari wahyu. • Fiqih Berasal dari hasil pemikiran manusia dan kebiasaan-kebiasaan yang terdapat dalam masyarakat atau hasil ciptaan manusia dalam bentuk peraturan atau UU Perbedaan dalam Sanksi • Syariah Sanksinya adalah pembalasan Tuhan di Yaumul Mahsyar, tapi kadang-kadang tidak terasa oleh manusia di dunia ada hukuman yang tidak langsung • Fiqih Semua norma sanksi bersifat sekunder, dengan Menunjuk sebagai Pelaksana alat pelaksana Negara sebagai pelaksana sanksinya. PERBEDAAN POKOK • Syariah  Berasal dari Al-Qur'an dan As-sunah  Bersifat fundamental  Hukumnta bersifat Qath'i (tidak berubah)  Hukum Syariatnya hanya Satu (Universal)  Langsung dari Allah yang kini terdapat dalam Al-Qur'an • Fiqih  Karya Manusia yang bisa Berubah  Bersifat Fundamental  Hukumnya dapat berubah  Banyak berbagai ragam  Bersal dari Ijtihad para ahli hukum sebagai hasil pemahaman manusia yang dirumuskan oleh Mujtahid 2. Rasul dan wahyu Terdapat hubungan erat antara keduanya, apa yang disampaikan rasul merupakan perintah&kalam Allah yang disampaikan melalui malaikat Jibril AS yang harus dipatuhi oleh semua manusia, hal ini memerlukan beberapa bukti yang kuat, berikut adalah ulasan tentang Ma’rifatur Rasul yang kan membawa bukti kuat bahwa wahyu yang disampaikan Rasul merupakan perintah Allah yang harus di patuhi keberadaannya. TA’RIFUR RASUL : Rasul adalah lelaki yang dipilih dan diutus Allah dengan risalah Islam kepada manusia. Rasul yang keberadaannya terpilih sebelum beliau dilahirkan dimuka bumi, termasuk juga orang tuanya dipersiapkan untuk menghasilkan ciri-ciri kerasulannya yang terpilih dan mulia. Rasul sebagai manusia biasa yang diberikan amanah untuk menyampaikan risalah kepada manusia. Sebagaiman yang tertera dalam ayat suci al-Qur’an: Q.S 18:110, Rasul sebagai manusia biasa seperti kamu, Q.S 6:9, Rasul dalam bentuk Rajul bukan Malaikat dan Q.S 33:40, Muhammad SAW sebagai Rasul Allah. Hamilu Risalah : Rasul membawa Tugas menyampaikan wahyu dan risalah sebagai amanah yang wajib di sampaikan. Apapun yang Rasul terima dari Allah akan disampaikan kepada manusia. Rasul sebagai penyampai risalah Islam tidak akan takut dengan segala bentuk ancaman karena apa yang disampaikannya adalah milik Allah, karena sang pencipta (Allah) akan melindungi dan menolongnya. Sebagaiman yang temaktub: Q.S 5:67, Rasul menyampaikan apa-apa yang diterimanya dari Allah dan Q.S 33:39, orang yang menyampaikan risalah Allah, mereka tidak takut kepada siapapun kecuali hanya kepada Allah sahaja. Qudwatu fi Tatbiqu Risalah : Dalam menjalankan dan mengamalkan Islam, tidak akan mungkin seorang manusia dapat memahami langsung apa-apa yang ada di dalam Al-Qur’an kecuali apabila dapat petunjuk dan contoh dari Nabi. Muhammad dan para rasul lainnya mempunyai peranan dalam menjembatani pesan-pesan Allah agar dapat diaplikasikan kepada manusia. Q.S 33:21, Muhammad (Rasul) sebagai qudwah yang baik. Dan Q.S 60:4, Ibrahim AS sebagai ikutan dalam melaksanakan Aqidah. Alamtu Risalah: Rasul yang membawa peranan dan amanah yang cukup berat dalam menjalankan tugasnya mempunyai beberapa keistimewaan yang dijelaskan dalam ciri-ciri Rasul berikut ini : Sifatul Asasiyah : Sifat asas Rasul adalah akhlak mulia yang terdiri dari sidiq, tabligh, amanah dan fatanah. Sifat asas dan utama ini mesti dipunyai oleh setiap. Tanpa sifat ini maka seorang mukmin kurang mengikuti Islam, bahkan dapat menggugurkan keislamannya. Misalnya sifat dasar sidiq, Rasulullah menekankan bahawa kejujuran sebagai akhlak yang utama, tanpa shidiq maka akan gugur keislamannya. Sifat asas seperti ini merupakan strategi tuhan agar manusia mengikuti apa yang Rasul sampaikan kepadanya. Q.S 68:4, tentang Rasul mempunyai akhlak yang mulia. Mukjizat: Setiap Rasul membawa mukjizat yang diberi Allah dengan cara yang berbeda-beda, seperti nabi Ibrahim yang tidak terbakar, nabi Musa yang membelah lautan, nabi Daud yang mempunyai kekuasaan dan lainnya. Nabi Muhammad sendiri banyak mukjizat yang Allah SWT berikan misalnya membelah bulan, Al-Qur’an itu sendiri dan sebagainya. Dengan mukjizat maka manusia semakin yakin dengan apa yang sampaikan oleh para Rasul kepada manusia. Q.S.54:1, Rasul membelah bulan dan Q.S 15:9, Al-Qur’an yang dipelihara oleh Allah. Al Mubasyarat: Rasululluh sudah diketahui keberadaannya oleh manusia-manusia sebelumnya beliau dilahirkan didunia. Seperti halnya Nabi Muhammad SAW yang telah termaktub dalam injil ketika zaman Nabi Isa AS, bahwa akan datang seorang Rasul yang bernama Ahmad (terpuji). Q.S 61:6, berita gembira kedatangan nabi Muhammad SAW. An Nubuwah: Ciri-ciri rasul lainnya adalah adanya keselarasan perintah, seperti halnya perintah Allah untuk melaksanakan haji (pada zaman Nabi Ibrahim) dan perintah-perintah Allah di dalam Al-Qur’an (pada zaman Nabi Muhammad). Q.S 22:26-27, Nabi Ibrahim diperintahkan Allah untuk memberitahukan kepada manusia agar berhaji, Q.S 6:19, Al-Qur’an adalah wahyu kepada rasul dan sebagai berita kenabiannya dan Q.S 25:30, Rasul mengajak ummatnya kepada Al-Qur’an tetapi mereka meninggalkannya. 3. Hukum Islam dimasa Sahabat Sumber-sumber hukum Islam yang qath’i sebagaimana yang disepakati para ulama adalah al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Sementara materi hukum yang terdapat dalam sumber-sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. dalam penerapan hukum selanjutnya diperlukan upaya penalaran untuk mengambil hukum dari permasalahan-permasalahan yang secara tegas tidak disebutkan di dalam nash. Dikisahkan Rasulullah ketika mengutus Muadz bin Jabal ke Yaman. Sebelum mengutus Muadz, Rasulullah bertanya “bagaimana Muadz memecahkan persoalan yang akan dihadapinya kelak” Muadz menjawab, bahwa ia akan menyelesaikan persoalan dengan ketentuan al-Qur’an dan Sunnah Nabi, apabila tidak ditemukan ketentuan hukum yang dimaksud, maka ia akan berusaha menyelesaikan persoalan tersebut dengan upaya penalaran akalnya semaksimal mungkin (…ajtahidu ra’yi.), jawaban Muadz tersebut disambut gembira oleh Rasulullah. (Jalaluddin Rahmat, Ijtihad Dalam Sorotan (Mizan, Bandung, cetakan keempat, 1996) hal 180) Pada kesempatan lain, Rasulullah juga pernah bersabda kepada Amr bin Ash ketika diperintahkan untuk memutuskan suatu permasalahan, “Lakukanlah ijtihad! Jika benar engkau mendapat dua pahala, dan jika salah akan mendapat satu pahala” (Abdul Wahhab Khallaf, Sumber-Sumber Hukum Islam, diterjemahkan; Bahrun Abu Bakar, Anwar Rasyidi, (Risalah, Bandung, 1984) hal 54). Dari pembahas diatas dapat ditarik kesimpulan bahwa sahabat akan mengambil jalan ijtihad bila mana suata permasalah belum terterah dalam al-Qur’an dan As Sunnah. Dalam sebuah hadis disebutkan, “Sahabatku laksana bintang-bintang, kepada siapa kamu mengikutinya kamu akan mendapat petunjuk”. Dengan demikian rasul memberikan wewenang kepada sahabatnya untuk mencari solusi atas sebuah permasalah sebelum adanya suatu hokum yang jelas mengatur persoala yang di hadapi tersebut. Menurut praktek para sahabat, pengertian ijtihad ialah “penelitian dan pemikiran untuk mendapatkan sesuatu yang terdekat dengan kitab Allah dan Sunnah Rasul s.a.w., baik melalui nash, yang disebut qiyas (ma’qul nash), maupun melalui maksud dan tujuan-umum hikmah Syari’at, yang disebut mashlahat.” (Ibrahim Hosen, Ijtihad Dalam Sorotan (Mizan, Bandung, cetakan keempat, 1996) hal 23) Ijtihad pada dasarnya merupakan tuntutan yang diinginkan oleh Islam. Sejarah telah mencatat bahwa Nabi saw telah merestui para sahabat untuk menggunakan akal fikirannya dalam menetapkan suatu hukum yang tidak diatur dengan jelas dan tegas dalam nash al-Qur’an dan Sunnah Nabi. Para sahabat yang melakukan ijtihad diakui sebagai mujtahid-mujtahid yang unggul, karena mengetahui hal-hal yang berkaitan dengan wahyu, baik sebab-sebab mengenai turunnya ayat atau mendengar langsung penjelasan dari Nabi. Sahabat kesepakatan yang disebut ijma’ dalam menentukan ketetapan hukum yang tidak diatur secara tegas dalam nash. Karena itu ijma’ memang harus lebih diutamakan daripada ijtihad pribadi. 4. A. Kualifikasi periode Hukum islam terdiri dari dua periode yaitu periode makkah dan periode madinah dalam periode kelasik ini dimulai ketika Muhammad SAW diutus tuhan menjadi Rasul. Namun ada pula yang berpendapat bahwa priode ini ditandai oleh peristiwa hijrahnya Rasul Allah SAW ke madiniah (16 juli 622M) (IAIN Sunan Ampel Press, 2005). Karena pada saat dimadinah eksistensi pemerintahan Islam diakui. Sejarah Pembentukan Periode yang pertama dimulai Pada suatu malam, tanggal 17 Ramadhan 610 M, malaikat Jibril muncul dihadapannya mennyampaikan wahyu Allah SWT yang perma (surat Al-Alaq:1-5) di Gua Hira yang terletak di jabal an-Nur , yaitu sejauh hampir 2 mil dari Mekkah. Dimasa tersebut Nabi SAW diutus dengan al-Qur’an pada tahapan ini • Dakwah sirriyyah (sembunyi-sembunyi); berlangsung selama tiga tahun. • Lemah lembut jangan sampai menyakiti orang. • Dakwah secara terang-terangan kepada penduduk Mekkah; dari permulaan tahun ke-empat kenabian Melihat dakwah nabi yang terang-terangan, pemimpin-pemimpin Quraisy berusaha mengalangi seperti yang dikutip oleh badri yatim, (Muhammad Husein Kaekal. Dikutif oleh Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islam, setkan ke-16, (Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2004). hal. 20-21.) sehingga banyak aksi-aksi kekerasan dari kaum Quraissy terhadap nabi dan pengikutnya. Pada tahun ke-5 kenabiannya, beliau mengajak hijrah keluar mekah, yaitu kota Habsyah (Ethiopia). Di sini mereka diterima dengan baik oleh Negus, sang raja yang adil. Sepulang dari pengungsian selama tiga bulan Rasulullah dan pengikutnya menemui tindakan yang lebih kejam, yaitu pemboikotan kepada Bani Hasyim secara keseluruhan. Hingga Nabi SAW kemudian melanjutkan hijrah ke madinah yang terjadi pada 12 Rabi`ul Awwal tahun pertama Hijrah, yang bertepatan dengan 28 Juni 621 M. Hijrah adalah pindahnya Nabi Muhammad SAW dari Mekkah ke Madinah atas perintah Allah, untuk tujuan memperluas wilayah penyebaran Islam dan demi kemajuan Islam itu sendiri. Rencana hijrah Rasulullah diawali karena adanya perjanjian antara Nabi Muhammad SAW dengan Masyarakat Kota Yatsrib yang sekarang dikenal dengan nama kota Madinah an-Nabi (kota nabi) atau Madinah al-Munawwarah (kota yang bercahaya), yaitu suku Aus dan Khazraj saat di Mekkah yang terdengar sampai ke kaum Quraisy hingga Kaum Quraisy pun merencanakan untuk membunuh Nabi Muhammad SAW. Di tempat yang baru ini Rasulullah SAW membangun masyarakat dan meneruskan dakwahnya. Ia menyebut penduduk asli dengan anshor, sedangkan pengikutnya yang bermigrasi disebut Muhajirin. Dalam rangka memperkokoh masyarakat dan Negara baru di Madinah, maka Rasulullah segera meletakan dasar-dasar kehidupan bermasyarakat, pembangunan masjid, ukhuwah islamiyah, dan persahabatan dengan non muslim. Umat Islam di Madinah mengalami kemajuan yang sangat pesat sehinggga orang-orang mekah dan musuh lainnya menjadi cemas, dan mendorong untuk menyerang kaum muslimin di Madinah. Pertama, perang Badar, perang antara kaum muslimin dengan musryik Quraisy pada tanggal 8 Ramadhan ke-2 Hijriah. 6 yang dimenangkan oleh pasukan islam, dendam semakin membara didada kaum kafir Quraisy, sehinga memicu peperangan selanjutnya. Kedua perang Uhud, perang ini terjadi pada tahun ke Hijriah. Kafir Quraisy membawa pasukan sekitar 3000 orang dan nabi menghadipanya dengan 1000 tentara. Pada awalnya peperangan dimenangkan oleh tentara muslim. Akan tetapi menjelang berakhir, barisan pemanah pasukan muslim meninggalkan pos penjagaanynya karena tergiur harta rampasan perang. Ketiga, perang Khandag (parit), perang ini terjadi pada tahun ke-5 H. Dinamakan demikian karena dalam peperangan Rasulullah membuat parit sebagai salah satu strategi perang yang diusulkan Salman Al-Farisi. Peperangan ini dimenangkan oleh umat Islam. Pada tahun ke-6 H, ketika ibadah haji sudah disyariatkan, nabi memimpin sekitar seribu kaum muslim berangkat ke Mekkah, bukan untuk berperang tetapi untuk beribadah. Namun pemuka Quraisy tidak menghendaki kedatangan umjat Islam sekalipun untuk menunaikan ibadah haji. Akhirnya diadakan perjanjian Hudaibiyah. Selama 2 tahun perjanjian Hudaibiyah berlangsung, Dakwah islam sudah menjangkau jazirah Arab. Menyaksikan umat Islam semakin kuat pasca perjanjian Hubaidah, kaum kafir Quraisy memutuskan perjanjiansecara sepihak. Akibatnya Rasulullah dan 10.000 tentaranya berangkat ke Mekkah untuk menaklukan mereka. Tanpa perlawanan dari kaum Quraisy Mekkah dalam kekuasaan nabi. Pada tahun ke-10 H Nabi Muhammad SAW menunaikan ibadah haji ke Mekkah, rupanya ini merupakan haji wada’, sebab kurang lebih 3 bulan setelah menunaikan ibadah haji Rasulullah berpulang kerahmatullah. PERIODE MEKKAH : berlangsung selama lebih kurang 13 tahun PERIODE MADINAH : berlangsung selama 10 tahun penuh B. Perbedaan hukum diantara Periode setelah turun wahyu yang kedua ini kemudian Rasulullah SAW. diawal kenabian periode Makkah adalah sebagai berikut : • Mengajarkan keesaan Allah SWT. • Mengajarkan adanya hari kiamat sebagai hari pembalasan. • Mengajarkan kesucian jiwa. • mengajarkan persaudaraan dan persatuan. dakwah nabi pada periode Mekkah ini dikenal sebagai periode penanaman aqidah dan akhlak. (Muh. Zuhri, Hukum Islam dalam Lintasan Sejarah. (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996). hal. 9.) Sedangkan Rasulullah SAW pada masa periode Madina Hukum Islam yang ditanamkan adalah: • Pembangunan masjid (sebaai tempat menimbah ilmu, konsultasi, dan ibadah) • Ukhuwah islamiyah • Mempersaudarakan individu-individu dari tiap golongan • Persahabatan dengan non muslim (prulalisme) • Memperkuat wilayah secara politik maupun ekonomi • Hukum Islam berlaku pada periode ini dakwah nabi pada periode Madinah dikenal sebagai periode penatan dan pemapanan masayarakat. (Muh. Zuhri, op. cit. hal. 13.)