Makalah Pendidikan Bahasa Dan Sastra Arab
“klasifikasi bahasa kiasan pada bait-bait yang terdapat dalam qoshidah burdah karangan imam busyairi”
Disusun Oleh
Nama : Amir Nasrullah Amin
NPM : 1234567
Prodi : Pendidikan Keguruan
Semester : II
JURUSAN SASTRA ARAB
FAKULTAS Ilmu Pendidikan BAhasa Dan Sastra
Universitas Negeri Jakarta
2011/2012
“klasifikasi bahasa kiasan pada bait-bait yang terdapat dalam qoshidah burdah karangan imam busyairi”
Disusun Oleh
Nama : Amir Nasrullah Amin
NPM : 1234567
Prodi : Pendidikan Keguruan
Semester : II
JURUSAN SASTRA ARAB
FAKULTAS Ilmu Pendidikan BAhasa Dan Sastra
Universitas Negeri Jakarta
2011/2012
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Puisi (Qashidah) merupakan genre sastra yang memiliki daya pengimajian yang tinggi. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu puisi menempati posisi yang istimewa, dianggap sebagai bentuk sastra yang paling sastra. Bahasa estetis yang ditampilkan paling padat, sublim liar, dan elok. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra.
Puisi atau Qashidah Burdah karya Imam Muhammad bin Sa`id Al-busyairi merupakan puisi yang banyak mengandung unsur esteik. Banyaknya bahasa kiasan yang terdapat dalam puisi tersebut menjadi sebuah kesulitan dalam memahaminya. Jika ingin membaca lebih lanjut, maka pembaca dapat menemukan puluhan bahkan ratusan bahasa kiasan.
Puisi atau Qashidah Burdah ini berbentuk bait dan memiliki jumlah bait yang cukup banyak. Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi hanya 7 bait saja yang ditelitinya.
Qashidah Burdah ini dikaji melalui pendekatan struktural semiotik. Pendekatan struktural semiotik difokuskan pada kiasan bahasa yang digunakan dalam Qishidah Burdah tersebut dalam kajian analisisnya.
Qashidah Burdah ini sangat sesuai dikaji secara struktural semiotik karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Qashidah tersebut memiliki ratusan bahasa kiasan yang bernilai sangat estetis. Selain itu, Qashidah ini memang sangat menarik karena Imam Busyairi mampu menggambarkan sosok Nabi Muhammad dengan bahasa-bahasanya yang puitis.
B. Rumusan Masalah
Sesui dengan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penggunaan bahasa kiasan sebagai simbol dalam “Qashidah Burdah” karangan Iman Busyairi?
2. Apa makna simbol dari 7 bait yang dikaji sebagai bagian dari “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi?
C. Tujuan dan Kegunaan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penggunaan bahasa kiasan sebagai simbol dalam “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi.
2. Mendeskripsikan makna simbol dari 7 bait yang dikaji sebagai bagian dari “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi.
D. Kerangka Berfikir
1) Strukturalisme Semiotik
Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi (Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara keseluruhan.
Munculnya kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.
Menurut Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian struktural semiotik.
Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).
Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.
1. Konsep Saussure
Bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.
Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:
• Parole dan Langue
Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.
• Paradigmatik dan Sintagmatik
Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat.
Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna (Nurgiyantoro, 2002: 49).
• Diakroni dan Sinkroni
Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Sedangkan sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.
2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:
1. Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan sebagainya.
2. Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan lain-lain.
3. Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’ pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.
b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:
1. Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
o Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
o Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
o Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).
2. Indeks
Indeks adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3. Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:
1. Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2. Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.
3. Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.
2). Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).
Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:
(1) Metafora
Metafora membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro, 2002: 27).
(2) Personifikasi
Personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia (inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)
(3) Metonimia
Metonimia berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)
(4) Hiperbola
Hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)
(5) Simile
Simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)
(6) Alegori
Alegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.
E. Metode dan langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dapat dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (). Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini
2. Mengumpulkan simbol yang mengklasifikasikannya
3. Menganalisis simbol dengan menggunakan teori semiotik pada “Qoshidah Burdah”
4. Membuat suatu simpulan atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek yang dibahas, jadi penelitian ini ebrsifat literatur murni. Adapun sumber data ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu:
1. Sumber data primer
a. Ontologi “Qoshidah Burdah”
b. Buku-buku tentang teori semiotik
2. Sumber data skunder
a. Buku-buku tentang sastra
b. Artikel-artikel tentang semiotik dan sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Bahasa Kiasan Pada Bait-Bait Yang Terdapat Dalam Qoshidah Burdah Karangan Imam Busyairi
Berikut akan disajikan 7 bait bagian dari Qoshidah burdah. Yang mana Imam Busyairi mengungkapkan masa kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. lewat bahasanya yang puitis. Tujuh bait tersebut adalah sebagai berikut:
ابان مولده عن طيب عنصره يا طيب مبتدإ منه ومختتم
يوم تفرس فيه الفرس انهم قد انذروا بحلول البؤس و النقم
وبات ايوان كسرى وهو منصدع كشمل اصحاب كسرى غير ملتئم
والنار خامدة الانفس من اسف عليه والنهر سامى العين من سدم
وساء ساوة ان غاضت بحيرتها ورد واردها بالغيظ حين ظمي
كأن بالنار ما بالماء من بلل حزنا و بالماء ما بالنار من صرم
و الجن تهتف والأنوار ساطعة والحق يظهر من معنى ومن كلم
Kelahiran Nabi s.a.w. menerangkan kemurnian asal kejadian beliau. Oh betapa sucinya kejadian beliau dan betapa akhir keturunan beliau (s.a.w).
Hari kelahiran Nabi s.a.w yaitu pada hari dikala orang-orang Persi menyangka dengan kuat bahwa dihari itu dirinya akan menerima siksa dan bahaya.
Semalam suntuk Iwan Kirsa telah retak; seperti keadaan bala tentara raja Kisra yang tiada bisa utuh kembali.
Api itu padam sebab resah, karena Iwan runtuh. Sedangkan sungai kering sumber airnya sebab sedih.
Dan menyusahkan kota “sawah” sebab sungainya kering; hingga orang yang mencari air ditolak dengan keadaan marah.
Seakan-akan api itu basah seperti air karena sedih; demikian pula seakan-akan air itu menyala/ berasap seperti halnya api.
Jin-jin bersuara, sinar-sinar bercahaya, barang yang hak (benar) kelihatan dari makna dan dari perkataan-perkataan.
Pada bait pertama, Kelahiran Nabi s.a.w. telah mengungkapkan (menerangkan) akan munculnya Nabi terakhir sesudahnya (kemurnian asal kejadian beliau). Oh.. betapa sucinya waktu dimana Nabi Muhammad dilahirkan (kejadian beliau) dan betapa agungnya beliau karena dilahirkan sebagai Nabi terakhir, yakni terakhir dari silsilah kenabian (keturunan beliau).
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan sebuah kejadian penting dan bersejarah bagi umat Islam, yakni waktu dimana Nabi Muhammad s.a.w. akan dilahirkan. Kata “Oh..” atau “Yâ” pada bait di atas menunjukan ekspresi Imam Busyairi tatkala beliau menggambarkan keagungan hari kelahiran Nabi Muhammad. Prase “Sucinya keturunan beliau” ini adalah sebuah simbol bahwa nasab beliau adalah nasab yang tinggi dan baik.
Pada bait ini Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan metafora yakni pada kata “sucinya akhir keturunan beliau”.
Pada bait kedua, Hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. yaitu hari dimana orang-orang Kafir dan musyrik (orang-orang Persi) menyangka mereka akan di timpa musibah dan bahaya yang amat dahsyat. Hari kelahiran Nabi adalah hari dimana orang-orang sudah jauh dari Allah S.w.t. dan ajaran agama. Mereka melakukan keruksakan di muka bumi dan menyekutukan Allah.
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan keadaan masyarakat pada saat atau hari di mana Nabi Muhammad akan dilahirkan. Kejadian-kejadain yang terjadi pada saat itu berada di luar jangkauan pemikiran mereka (orang-orang Persi). Orang Persi mendapat firasat bahwa dengan kelahiran Nabi s.a.w. itu mereka menyangka akan mendapat bahaya dan siksa yang amat sangat besar.
Nabi besar Muhammad lahir pada hari senin menjelang subuh tanggal 12-Maulud-Tahun Gajah. Tahun itu disebut tahun Gajah sebab pada tahun itu raja Abrahah dengan bala tentara yang menunggangi Gajah bermaksud hendak merusak Ka`bah. Tetapi mereka dihancurkan terlebih dahulu oleh Allah sebelum maksudnya tercapai.
Pada bait ini Imam Busyairi menggunakan istilah “Orang-orang Persi” sebagai bahasa kiasan.
Pada bait ketiga, Tengah malam (Semalam suntuk) rumah depan atau pendopo (Iwan Kirsa) Raja Kirsa yang kokoh dan kuat hancur lebur. Seperti Raja Abrahah dan balatentaranya yang yang dihancurkan oleh Allah dan tidak bisa kembali seperti semula (terntara raja Kisra yang tiada bisa utuh kembali).
Pada bait ini Imam Busyairi menggambarkan keadaan situasi pada saat akan lahirnya Nabi agung Muhammad. Sepajang malam pada hari kelahiran Nabi s.a.w., terjadilah keajaiban-keajaiban. Diantaranya adalah Iwan (rumah depan atau pendopo) raja Kisra hancur, padahal bangunannya itu sangat kokoh dan kuat. Malah bukan Iwan saja yang hancur, tapi prajurit-prajuritnya dan pembantu raja itu juga sama hancur dan berantakan. Bukan hanya pecah untuk sementara waktu saja, tapi hancur untuk selamanya yang tak mungkin bisa utuh kembali. Bahkan diceritakan di dalam Iwan itu pecahlah 14 pot bunga. Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan dengan meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit.
Kedua prase yang ditulis miring di atas merupakan dua simbol pada saat Nabi Muhammad dilahirkan. Bahasa kiasan yang digunakan adalah metafora yaitu pada kata “Iwan Kirsa”.
Pada bait keempat, Api (yang menjadi sesembahan orang-orang Majusi Persia) seketika padam karena rasa hormatnya terhadap kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.(sebab resah) yang ditandai dengan runtuhnya Iwan Kirsa. Sedangkan sungai sumber airnya kering sebab merasa kasihan akan kelakuan orang-orang Persi (sebab sedih).
Pada bait ini dijelaskan sebuah kejadian yang luar biasa dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., yaitu ditandai dengan padamnya api dan keringnya sungai. Api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi Persia, spontan menjadi padam. Api tersebut masih hidup tapi tiada berasap. Padahal selama 1000 (seribu) tahun api itu belum pernah padam. Sungai yang bernama “Furot” yang sangat besar biasanya semua penduduk negara Persia mengambil air dari sungai itu, terpaksa sumbernya kering seketika. Semua itu karena resah dan menyedihkan hancurnya Iwan Kirsa, dan karena hormat kepada kelahiran pemimpin umat yaitu Nabi Muhammad s.a.w.
Prase api padam sebab resah dan prase sungai kering sebab sedih merupakan bahasa kiasan.
Pada bait kelima, Dengan keringnya sungai tersebut dapat menyusahkan penduduk yang tinggal di kota “Sawah”. Orang-orang yang mencari air merasa kecewa sebab tidak bisa mendapatkan air untuk kebutuhan hidupnya (ditolak dengan keadaan marah).
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., selain Iwan Kirsa hancur, juga negar Sawah menjadi susah; sebab danaunya yang tiap hari memberi manfaat besar kepada rakyat negara Sawah sepontan kering tiada berair sama sekali. Orang-orang yang datang untuk mengambil air minum, semuanya kecewa sebab tidak bisa mendapatkan air untuk kebutuhan hidupnya. Sebagai gambaran mengenai penjelasan pada bait ini adalah sebagai berikut:
a. “Sawah” adalah suatu nama kota yang besar di wilayah Persia.
b. “Bukhairah” yaitu danau atau sungai besar y6ang terdapat di dekat kota Sawah.
c. “Bukhairah/danau” ini menjadi kebanggaan bagi negara Persia. Disamping airnya baik untuk dikonsumsi, juga bisa digunakan untuk hubungan lalu-lintas dengan perahu-perahu yang menghubungkan antar daerah di negara itu. Ada pun panjang Bukhairah itu kurang lebih 15 kilometer, sedang lebarnya kurang lebih 9 kilometer.
Pada bait ini, Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan Metafora yaitu pada prase “ditolak dalam keadaan marah”.
Pada bait keenam, Seakan-akan api itu menjadi basah seperti air. Api yang biasanya berasap tebal itu seketika menjadi dingin (seperti air karena sedih). Demikian pula air itu menjadi berasap seakan-akan ada api yang menguapkannya. Semua iotu karena kesedihan yang amat sangat (seakan-akan air itu menyala seperti halnya pi).
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan keadaan pada saat Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan dengan perumpamaan yang begitu puitis. Di mana Api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi seketika padam. Api yang biasanya berasap tebal itu seketika menjadi dingin sekali dan mengandung air. Demikian pula air sungai yang biasa besar sumbernya dan banyak airnya seketika kering seakan-akan ada apinya yang berasap tebal. Semuanya itu karena kesedihan yang begitu amat sangat.
Pada bait ini, Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan Pengandaian, yaitu ditandai dengan kata “seakan-akan”.
Pada bait ketujuh, Saat hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., Jin-jin membacakan shalawat (Jin bersuara), segala jenis cahaya bershalawat (sinar-sinar bercahaya). Kebenaran akan lahirnya Nabi akhir jaman terlihat dan sudah sijelaskan dalam kitab-kitab terdahulu (kelihatan dari makna) dan sudah didiskusikan oleh para pendea dan pasteur (dan dari perkataan-perkataan).
Pada bait ini, Imam Busyairi menjelaskan bahwa di hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. semua Jin bersuara membacakan Shalawat, cahaya-cahaya yang sangat terang semuanya bersinar, juga kebetulan tanda-tanda kenabian beliau terus terlihat pula dengan terang dari makna atau arti yang terkandung dalam kitab-kitab suci dan juga dari perkataan-perkataan para pendeta dan pasteur.
Pada bait ini bahasa kiasan yang digunakan adalah bahasa kiasan Metafora. Yaitu terdapat pada kata
B. Pemaknaan Simbol Yang Terdapat Dalam 7 Bait Qashidah Burdah Karangan Imam Busyairi
Pada paraphrase di atas, terdapat beberapa simbol di antaranya adalah sebagai berikut: prase sucinya akhir keturunan beliau, runtuhnya Iwan Kirsa, pecahnya 14 pot bunga, prase meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit, dan huruf “Mim” setiap akhir bait pada Qoshidah Burdah karangan Imam Busyairi .
Makna dari simbol-simbol di atas akan dipaparkan sesuai dengan teori Perdinand de Sausure, yaitu adanya Signifie (petanda) dan Signifiant (penanda). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. “Sucinya akhir keturunan beliau” adalah sebuah simbol yang menyimboli keturunan Nabi Muhammad s.a.w., yaitu menunjukan bahwa nasab Nabi Muhammad itu adalah nasab yang tinggi dan baik. Awal permulaan beliau adalah Nabi Adam a.s, akhir nasab beliau pun tinggi dan baik pula. Yaitu sayyid Abdullah Ayah beliau Nabi Muhammad s.a.w., yang merupakan keturunan pembesar-pembesar Arab. Jadi yang menjadi petanda atau Signifienya adalah sucinya akhir keturunan beliau dan yang menjadi penanda atau Signifiantnya adalah awal permulaan nasab Nabi Muhammad dan akhir nasab beliau adalah tinggi derajatnya dan baik pula akhlaknya.
b. “Runtuhnya Iwan Kirsa” adalah sebuah simbol yang menyimboli runtuhnya pemerintahan kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Raja Kirsa atau Raja Persi sebagai simbol akan datangnya kebenaran, yaitu lahirnya Nabi terakhir Muhammad s.a.w.
Jadi yang menjadi signifienya adalah runtuhnya Iwan Kirsa, dan yang menjadi signifiantnya adalah runtuhnya kekuasaan pemerintahan Raja Persi.
c. “Pecahnya 14 pot bungan” adalah sebagai simbol yang menyimboli akan runtuhnya empat belas (14) kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja yang menyekutukan Allah. Jadi yang menjadi signifienya adalah pecahnya 14 pot dan yang menjadi signifiantnya adalah runtuhnya 14 kerajaan.
d. Pada masa lahirnya Nabi Muhammad, beliau “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” ini adalah sebagai simbol yang menyimboli keluhuran derajat dan pangkat beliau. Sebab beliau akan menjadi pemimpin umat yang mengalahkan segala keluhuran para pemimpin dunia. Yang menjadi signifienya adalah prase “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” dan yang menjadi signifiantnya adalah keluhuran derajat dan pangkat beliau (Muhammad s.a.w.).
e. Pada akhir setiap bait dalam Qashidah Burdah itu selalu di akhiri dengan huruf “Mim”. Hal ini menunjukan bahwa Imam Busyairi begitu mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w. sebab nama beliau diawali oleh huruf Mim. Jadi yang menjadi signifie adalah huruf “Mim” pada setiap bait Qashidah Burdah dan yang menjadi signifiantnya adalah Nabi Muhammad s.a.w.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ditemukan penggunaan bahasa kiasan pada setiap bait dalam Qashidah Burdah. Diantara bahasa kiasan tersebur adalah sebagai berikut:
a. Lima bait dari tujuh bait di atas menggunakan bahasa kiasan metafora.
b. Satu bait menggunakan bahasa kiasan hiperbola.
c. Satu bait menggunakan bahasa kiasan pengandaian.
2. Pada tujuh bait di atas ditemukan beberapa simbol yang menyimbolkan masa kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., yaitu berbentuk paraphrase. Pemaknaan simbol paraphrase sebagai berikut: “Sucinya akhir keturunan beliau” adalah sebuah simbol yang menyimboli keturunan Nabi Muhammad s.a.w., yaitu menunjukan bahwa nasab Nabi Muhammad itu adalah nasab yang tinggi dan baik. “Runtuhnya Iwan Kirsa” adalah sebuah simbol yang menyimboli runtuhnya pemerintahan kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Raja Kirsa atau Raja Persi sebagai simbol akan datangnya kebenaran, yaitu lahirnya Nabi terakhir Muhammad s.a.w. “Pecahnya 14 pot bungan” adalah sebagai simbol yang menyimboli akan runtuhnya empat belas (14) kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja yang menyekutukan Allah. “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” ini adalah sebagai simbol yang menyimboli keluhuran derajat dan pangkat beliau. Sebab beliau akan menjadi pemimpin umat yang mengalahkan segala keluhuran para pemimpin dunia. Pada akhir setiap bait dalam Qashidah Burdah itu selalu di akhiri dengan huruf “Mim”. Hal ini menunjukan bahwa Imam Busyairi begitu mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w. sebab nama beliau diawali oleh huruf Mim.
B. Saran
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan satu metode penelitian, yaitu metode struktur semiotik. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan peneliti. Sehingga hasil dari penelitiannya tidak begitu memuaskan.
Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat menggunakan beberapa metode sehingga hasil penelitiannya memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Mudjab Mahali. Mengenal Qashidah Burdah. Bandung: PT.Al-Ma`arif. 1996.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Press. 1992.
Djoko Pradopo. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.
A. Teew. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Kiblat Buku Utama. 2003.
Akhmad Muzaki. Kesusastraan Arab Pengantar Teori Terapan. Yogyakarta: Ar-Ruz. 2006.
Verhaar, J.W.M. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2006.
Ratna, kutha, Nyoman,I. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Artikel-Artikel : Wikimedia. Artikel Perubahan Makna Kata Serapan Dari Bahasa Arab (Oleh: Sakholid Nasution)
Yasraf Amir Piliang, 2003, Hipersemiotika (Tapsir Cultural Studies Atas Matinya Makna), Bandung: Jalasutra
PENDAHULUAN
A. Latar belakang masalah
Puisi (Qashidah) merupakan genre sastra yang memiliki daya pengimajian yang tinggi. Segala unsur seni kesastraan mengental dalam puisi. Oleh karena itu puisi menempati posisi yang istimewa, dianggap sebagai bentuk sastra yang paling sastra. Bahasa estetis yang ditampilkan paling padat, sublim liar, dan elok. Membaca puisi merupakan sebuah kenikmatan seni yang khusus, bahkan merupakan puncak kenikmatan seni sastra.
Puisi atau Qashidah Burdah karya Imam Muhammad bin Sa`id Al-busyairi merupakan puisi yang banyak mengandung unsur esteik. Banyaknya bahasa kiasan yang terdapat dalam puisi tersebut menjadi sebuah kesulitan dalam memahaminya. Jika ingin membaca lebih lanjut, maka pembaca dapat menemukan puluhan bahkan ratusan bahasa kiasan.
Puisi atau Qashidah Burdah ini berbentuk bait dan memiliki jumlah bait yang cukup banyak. Namun dalam penelitian ini, peneliti membatasi hanya 7 bait saja yang ditelitinya.
Qashidah Burdah ini dikaji melalui pendekatan struktural semiotik. Pendekatan struktural semiotik difokuskan pada kiasan bahasa yang digunakan dalam Qishidah Burdah tersebut dalam kajian analisisnya.
Qashidah Burdah ini sangat sesuai dikaji secara struktural semiotik karena seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa Qashidah tersebut memiliki ratusan bahasa kiasan yang bernilai sangat estetis. Selain itu, Qashidah ini memang sangat menarik karena Imam Busyairi mampu menggambarkan sosok Nabi Muhammad dengan bahasa-bahasanya yang puitis.
B. Rumusan Masalah
Sesui dengan latar belakang di atas, masalah penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana penggunaan bahasa kiasan sebagai simbol dalam “Qashidah Burdah” karangan Iman Busyairi?
2. Apa makna simbol dari 7 bait yang dikaji sebagai bagian dari “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi?
C. Tujuan dan Kegunaan Masalah
Sesuai dengan rumusan masalah yang telah dikemukakan di atas, tujuan penelitian ini sebagai berikut:
1. Mendeskripsikan penggunaan bahasa kiasan sebagai simbol dalam “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi.
2. Mendeskripsikan makna simbol dari 7 bait yang dikaji sebagai bagian dari “Qashidah Burdah” karangan Imam Busyairi.
D. Kerangka Berfikir
1) Strukturalisme Semiotik
Karya sastra merupakan struktur yang kompleks sehingga untuk memahami sebuah karya sastra diperlukan penganalisisan. Penganalisisan tersebut merupakan usaha secara sadar untuk menangkap dan memberi muatan makna kepada teks sastra yang memuat berbagai sistem tanda. Seperti yang dikemukakan oleh Saussure bahwa bahasa merupakan sebuah sistem tanda, dan sebagai suatu tanda bahasa mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna (Nurgiyantoro, 2002: 39). Bahasa tak lain adalah media dalam karya sastra. Karena itu karya sastra merupakan sebuah struktur ketandaan yang bermakna (Kaswadi, 2006: 123). Tidak terkecuali pada teks sastra yang berbentuk puisi, maka untuk pemahaman makna pada puisi menggunakan kajian struktural yang tidak dapat dipisahkan dengann kajian semiotik yang mengkaji tanda-tanda. Hal ini sejalan dengan pendapat Pradopo (1987: 108) yang mengemukakan bahwa analisis struktural tidak dapat dipisahkan dengan analisis semiotik. Karena semiotik dan strukturalisme adalah prosedur formalisasi dan klasifikasi bersama-sama. Keduanya memahami keseluruhan kultur sebagai sistem komunikasi dan sistem tanda dan berupaya kearah penyingkapan aturan-aturan yang mengikat. Analisis tanda sebagai hasil proses-proses sosial menuju kepada sebuah pembongkaran struktur-struktur dalam yang mengemudikan setiap komunikasi (Stiegler, 2001). Hal ini menandakan bahwa sistem tanda dan konvensinya merupakan jalan dalam pembongkaran makna, tanpa memperhatikan sistem tanda maka struktur karya sastra tidak dapat dimengerti maknanya secara keseluruhan.
Munculnya kajian struktural semiotik ini sebagai akibat ketidakpuasan terhadap kajian struktural yang hanya menitikberatkan pada aspek intrinsik, semiotik memandang karya sastra memiliki sistem tersendiri. Karena itu, muncul kajian struktural semiotik untuk mengkaji aspek-aspek struktur dengan tanda-tanda (Endraswara, 2003: 64) sehingga dapat dikatakan bahwa kajian semiotik ini merupakan lanjutan dari strukturalisme.
Menurut Hawkes dalam Najid (2003: 42) Strukturalisme adalah cara berpikir tentang dunia yang menekankan pada persepsi struktur dan deskripsi struktur. Jadi, yang menjadi konsep dasar teori strukturalisme adalah adanya anggapan bahwa di dalam dirinya sendiri karya sastra merupakan suatu struktur yang otonom yang dapat dipahami sebagai suatu kesatuan yang bulat dengan unsur-unsur pembangunnya yang saling berjalinan (Pradopo dkk dalam Jabrohim, 2003: 54). Anggapan teori strukturalisme yang memandang bahwa struktur itu harus lepas dari unsur lain memunculkan adanya kajian semiotik. Karena kajian semiotik juga tidak dapat sepenuhnya lepas dari struktur maka kajian ini akhirnya disebut dengan kajian struktural semiotik.
Semiotik sendiri berasal dari kata Yunani “semeion”, yang berarti tanda. Semiotik adalah cabang ilmu yang berurusan dengan pengkajian tanda dan segala sesuatu yang berhubungan dengan tanda, seperti sistam tanda dan proses yang berlaku bagi penggunaan tanda (van Zoest, 1993: 1). Lebih lanjut Preminger (Pradopo, 2003: 19) semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, dan konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan sebagainya (Nurgiyantoro, 2002: 40).
Semiotik memiliki dua konsep yang dikemukakan oleh dua tokoh yang berbeda.
1. Konsep Saussure
Bahasa merupakan sistem tanda yang mewakili sesuatu yang lain yang disebut makna. Bahasa sebagai sistem tanda tersebut mewakili dua unsur (diadik) yang tak terpisahkan: signifier dan signified, signifiant dan signifie, atau penanda dan petanda.
Wujud penanda dapat berupa bunyi-bunyi ujaran atau huruf-huruf tulisan, sedangkan petanda adalah unsur konseptual, gagasan, atau makna yang terkandung dalam penanda tersebut (Abrams dalam Nurgiyantoro, 2002: 43).
Penanda dan petanda merupakan konsep Saussure yang terpenting, sedangkan konsep Saussure yang lain menurut Ratna (2004: 99) adalah:
• Parole dan Langue
Perbedaan antara ekspresi kebahasaan (parole, ppeech, utterance) dan sistem pembedaan di antara tanda-tanda, sistem yang digunakan oleh semua orang (langue, language). Parole bersifat konkret yang kemudian membentuk sistem bahasa yang bersifat abstrak yaitu langue.
• Paradigmatik dan Sintagmatik
Hubungan sintagmatik bersifat linier, sedangkan hubungan paradigmatik merupakan hubungan makna dan perlambangan, hubungan asosiatif, pertautan makna, antara unsur yang hadir dengan yang tidak hadir. Menurut Nurgiyantoro (2002: 47) kajian paradigmatik berupa konotasi, asosiasi-asosiasi yang muncul dalam pikiran pembaca, dikaitkan dengan teori fungsi puitik. Jadi, kata-kata yang mengandung unsur kesinoniman (hubungan paradigmatik) – maupun kesejajaran sintaksis – hubungan linier, hubungan sintagmatik – bentuk yang dipilih dalam puisi tersebut adalah bentuk yang paling tepat.
Pilihan bahasa yang berunsur puitik yang berupa kata-kata (paradigmatik), biasanya berkaitan dengan ketepatan unsur-unsur bunyi (asosiasi), aliterasi, asonansi, rima, ketepatan bentuk dan juga makna (Nurgiyantoro, 2002: 49).
• Diakroni dan Sinkroni
Diakronis mengkaji bahasa dalam perkembangan sejarah, dari waktu ke waktu, studi tentang evolusi bahasa, studi mengenai elemen-elemen individual pada waktu yang berbeda. Sedangkan sinkroni mengkaji bahasa pada masa tertentu, hubungan elemen-elemen bahasa yang saling berdampingan.
2. Konsep Peirce
Peirce (Ratna, 2004: 101) mengemukakan bahwa tanda memiliki tiga sisi/triadik:
a. Representamen, ground, tanda itu sendiri. Hubungan tanda dengan ground menurut van Zoest (1993: 18-19) adalah:
1. Qualisigns
Tanda-tanda yang merupakan tanda berdasarkan suatu sifat. Contoh: sifat ‘merah’ dapat digunakan sebagai tanda, bagi kaum sosialisme merah dapat berarti cinta (memberi mawar merah pada seseorang), bagi perasaan dapat berarti menunjukkan sesuatu, dan sebagainya. Namun warna itu harus memeroleh bentuk, misal pada bendera, pada mawar, pada papan lalu lintas, dan sebagainya.
2. Sinsigns
Sinsigns ialah tanda yang merupakan tanda atas dasar tampilnya dalam kenyataan. Sinsigns dapat berbentuk sebuah jeritan yang memberi arti kesakitan, keheranan, atau kegembiraan. Kita dapat mengenali orang lain dari dehemnya, langkah kakinya, tertawanya, nada dasar dalam suaranya, dan lain-lain.
3. Legisigns
Legisigns adalah tanda-tanda yang merupakan tanda atas dasar suatu peraturan yang berlaku umum, sebuah konvensi, sebuah kode. Misalnya: ‘mengangguk’ pertanda ya, mengerutkan alis pertanda bingung.
b. Objek (designatum, denotatum, referent) yaitu apa yang diacu. Hubungan antara tanda dengan denotatum, yaitu:
1. Ikon
Ikon adalah hubungan tanda dan objek karena serupa. Ikon dibagi tiga macam:
o Ikon topografis, berdasarkan persamaan tata ruang
o Ikon diagramatis, berdasarkan persamaan struktur
o Ikon metaforis, berdasarkan persamaan dua kenyataan yang didenotasikan
Contoh ikon: gambar kuda sebagai penanda yang menandai kuda (petanda).
2. Indeks
Indeks adalah hubungan tanda dan objek karena sebab akibat. Misal: asap merupakan tanda adanya api.
3. Simbol
Simbol adalah hubungan tanda dan objek karena adanya kesepakatan, tidak bersifat alamiah. Misal: lampu merah pertanda berhenti.
c. Interpretant, tanda-tanda baru yang terjadi dalam batin penerima. Hubungan antara tanda dan interpretan oleh Peirce dalm van Zoest (1993: 29) dibagi menjadi tiga macam:
1. Rheme, tanda sebagai kemungkinan: konsep
Contoh: “Rien adalah X”. X merupakan tanda yang dapat diisi dengan ‘baik’ atau ‘cerdas’, tanda itu diberikan denotataum dan dapat diinterpretasikan.
2. Decisigns, dicent signs, tanda sebagai fakta: pernyataan deskriptif.
Contoh: “Rien manis”, sebagai kalimat dalam keseluruhan merupakan decisigns.
3. Argument, tanda sebagai nalar: proposisi.
2). Bahasa Kiasan
Bahasa kiasan adalah pemberian makna lain dari suatu ungkapan, atau memisalkan sesuatu untuk menyatakan sesuatu yang lain (Semi, 1986: 50).
Bahasa kiasan dibedakan menjadi beberapa macam, antara lain:
(1) Metafora
Metafora membandingkan antara objek yang memiliki titik-titik kesamaan, seperti perbandingan, hanya tidak menggunakan kata-kata pembanding, seperti bagai, laksana, seperti, dan sebagainya (Pradopo, 1987: 66; Siswantoro, 2002: 27).
(2) Personifikasi
Personifikasi adalah pelukisan benda atau objek tak bernyawa atau bukan manusia (inanimate) baik yang kasat mata atau abstrak yang diperlukan seolah-olah sebagai manusia (Siswantoro, 2002: 29)
(3) Metonimia
Metonimia berupa penggunaan sebuah atribut/objek atau penggunaan sesuatu yang sangat dekat berhubungan dengannya untuk menggantikan objek tersebut (Altenbernd dalam Pradopo, 2002: 77)
(4) Hiperbola
Hiperbola adalah suatru perbandingan atau perlambangan yang dilebih-lebihkan atau dibesar-besarkan (Semi, 1986: 51)
(5) Simile
Simile merupakan bahasa kiasan yang bersifat eksplisit, yakni secar langsung menyatakan sesuatu sama dengan hal lain (Keraf dalam Kaswadi, 2006: 128)
(6) Alegori
Alegori yaitu pemakaian beberapa kiasan secara beruntun. Semua sifat yang ada pada benda itu dikiaskan (Semi, 1986: 51), dan sebagainya.
E. Metode dan langkah-langkah Penelitian
Dalam penelitian ini menggunakan metode analisis deskriptif. Metode analisis deskriptif dapat dilakukan dengan cara mendeskripsikan fakta-fakta yang kemudian disusul dengan analisis (). Adapun langkah-langkah yang ditempuh dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Memberikan gambaran tentang landasan teori yang digunakan dalam penelitian ini
2. Mengumpulkan simbol yang mengklasifikasikannya
3. Menganalisis simbol dengan menggunakan teori semiotik pada “Qoshidah Burdah”
4. Membuat suatu simpulan atas hasil penelitian yang telah dilakukan.
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah tulisan-tulisan yang berhubungan dengan objek yang dibahas, jadi penelitian ini ebrsifat literatur murni. Adapun sumber data ini terbagi kedalam dua bagian, yaitu:
1. Sumber data primer
a. Ontologi “Qoshidah Burdah”
b. Buku-buku tentang teori semiotik
2. Sumber data skunder
a. Buku-buku tentang sastra
b. Artikel-artikel tentang semiotik dan sastra.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Klasifikasi Bahasa Kiasan Pada Bait-Bait Yang Terdapat Dalam Qoshidah Burdah Karangan Imam Busyairi
Berikut akan disajikan 7 bait bagian dari Qoshidah burdah. Yang mana Imam Busyairi mengungkapkan masa kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. lewat bahasanya yang puitis. Tujuh bait tersebut adalah sebagai berikut:
ابان مولده عن طيب عنصره يا طيب مبتدإ منه ومختتم
يوم تفرس فيه الفرس انهم قد انذروا بحلول البؤس و النقم
وبات ايوان كسرى وهو منصدع كشمل اصحاب كسرى غير ملتئم
والنار خامدة الانفس من اسف عليه والنهر سامى العين من سدم
وساء ساوة ان غاضت بحيرتها ورد واردها بالغيظ حين ظمي
كأن بالنار ما بالماء من بلل حزنا و بالماء ما بالنار من صرم
و الجن تهتف والأنوار ساطعة والحق يظهر من معنى ومن كلم
Kelahiran Nabi s.a.w. menerangkan kemurnian asal kejadian beliau. Oh betapa sucinya kejadian beliau dan betapa akhir keturunan beliau (s.a.w).
Hari kelahiran Nabi s.a.w yaitu pada hari dikala orang-orang Persi menyangka dengan kuat bahwa dihari itu dirinya akan menerima siksa dan bahaya.
Semalam suntuk Iwan Kirsa telah retak; seperti keadaan bala tentara raja Kisra yang tiada bisa utuh kembali.
Api itu padam sebab resah, karena Iwan runtuh. Sedangkan sungai kering sumber airnya sebab sedih.
Dan menyusahkan kota “sawah” sebab sungainya kering; hingga orang yang mencari air ditolak dengan keadaan marah.
Seakan-akan api itu basah seperti air karena sedih; demikian pula seakan-akan air itu menyala/ berasap seperti halnya api.
Jin-jin bersuara, sinar-sinar bercahaya, barang yang hak (benar) kelihatan dari makna dan dari perkataan-perkataan.
Pada bait pertama, Kelahiran Nabi s.a.w. telah mengungkapkan (menerangkan) akan munculnya Nabi terakhir sesudahnya (kemurnian asal kejadian beliau). Oh.. betapa sucinya waktu dimana Nabi Muhammad dilahirkan (kejadian beliau) dan betapa agungnya beliau karena dilahirkan sebagai Nabi terakhir, yakni terakhir dari silsilah kenabian (keturunan beliau).
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan sebuah kejadian penting dan bersejarah bagi umat Islam, yakni waktu dimana Nabi Muhammad s.a.w. akan dilahirkan. Kata “Oh..” atau “Yâ” pada bait di atas menunjukan ekspresi Imam Busyairi tatkala beliau menggambarkan keagungan hari kelahiran Nabi Muhammad. Prase “Sucinya keturunan beliau” ini adalah sebuah simbol bahwa nasab beliau adalah nasab yang tinggi dan baik.
Pada bait ini Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan metafora yakni pada kata “sucinya akhir keturunan beliau”.
Pada bait kedua, Hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. yaitu hari dimana orang-orang Kafir dan musyrik (orang-orang Persi) menyangka mereka akan di timpa musibah dan bahaya yang amat dahsyat. Hari kelahiran Nabi adalah hari dimana orang-orang sudah jauh dari Allah S.w.t. dan ajaran agama. Mereka melakukan keruksakan di muka bumi dan menyekutukan Allah.
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan keadaan masyarakat pada saat atau hari di mana Nabi Muhammad akan dilahirkan. Kejadian-kejadain yang terjadi pada saat itu berada di luar jangkauan pemikiran mereka (orang-orang Persi). Orang Persi mendapat firasat bahwa dengan kelahiran Nabi s.a.w. itu mereka menyangka akan mendapat bahaya dan siksa yang amat sangat besar.
Nabi besar Muhammad lahir pada hari senin menjelang subuh tanggal 12-Maulud-Tahun Gajah. Tahun itu disebut tahun Gajah sebab pada tahun itu raja Abrahah dengan bala tentara yang menunggangi Gajah bermaksud hendak merusak Ka`bah. Tetapi mereka dihancurkan terlebih dahulu oleh Allah sebelum maksudnya tercapai.
Pada bait ini Imam Busyairi menggunakan istilah “Orang-orang Persi” sebagai bahasa kiasan.
Pada bait ketiga, Tengah malam (Semalam suntuk) rumah depan atau pendopo (Iwan Kirsa) Raja Kirsa yang kokoh dan kuat hancur lebur. Seperti Raja Abrahah dan balatentaranya yang yang dihancurkan oleh Allah dan tidak bisa kembali seperti semula (terntara raja Kisra yang tiada bisa utuh kembali).
Pada bait ini Imam Busyairi menggambarkan keadaan situasi pada saat akan lahirnya Nabi agung Muhammad. Sepajang malam pada hari kelahiran Nabi s.a.w., terjadilah keajaiban-keajaiban. Diantaranya adalah Iwan (rumah depan atau pendopo) raja Kisra hancur, padahal bangunannya itu sangat kokoh dan kuat. Malah bukan Iwan saja yang hancur, tapi prajurit-prajuritnya dan pembantu raja itu juga sama hancur dan berantakan. Bukan hanya pecah untuk sementara waktu saja, tapi hancur untuk selamanya yang tak mungkin bisa utuh kembali. Bahkan diceritakan di dalam Iwan itu pecahlah 14 pot bunga. Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan dengan meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit.
Kedua prase yang ditulis miring di atas merupakan dua simbol pada saat Nabi Muhammad dilahirkan. Bahasa kiasan yang digunakan adalah metafora yaitu pada kata “Iwan Kirsa”.
Pada bait keempat, Api (yang menjadi sesembahan orang-orang Majusi Persia) seketika padam karena rasa hormatnya terhadap kelahiran Nabi Muhammad s.a.w.(sebab resah) yang ditandai dengan runtuhnya Iwan Kirsa. Sedangkan sungai sumber airnya kering sebab merasa kasihan akan kelakuan orang-orang Persi (sebab sedih).
Pada bait ini dijelaskan sebuah kejadian yang luar biasa dalam menyambut kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., yaitu ditandai dengan padamnya api dan keringnya sungai. Api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi Persia, spontan menjadi padam. Api tersebut masih hidup tapi tiada berasap. Padahal selama 1000 (seribu) tahun api itu belum pernah padam. Sungai yang bernama “Furot” yang sangat besar biasanya semua penduduk negara Persia mengambil air dari sungai itu, terpaksa sumbernya kering seketika. Semua itu karena resah dan menyedihkan hancurnya Iwan Kirsa, dan karena hormat kepada kelahiran pemimpin umat yaitu Nabi Muhammad s.a.w.
Prase api padam sebab resah dan prase sungai kering sebab sedih merupakan bahasa kiasan.
Pada bait kelima, Dengan keringnya sungai tersebut dapat menyusahkan penduduk yang tinggal di kota “Sawah”. Orang-orang yang mencari air merasa kecewa sebab tidak bisa mendapatkan air untuk kebutuhan hidupnya (ditolak dengan keadaan marah).
Pada hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., selain Iwan Kirsa hancur, juga negar Sawah menjadi susah; sebab danaunya yang tiap hari memberi manfaat besar kepada rakyat negara Sawah sepontan kering tiada berair sama sekali. Orang-orang yang datang untuk mengambil air minum, semuanya kecewa sebab tidak bisa mendapatkan air untuk kebutuhan hidupnya. Sebagai gambaran mengenai penjelasan pada bait ini adalah sebagai berikut:
a. “Sawah” adalah suatu nama kota yang besar di wilayah Persia.
b. “Bukhairah” yaitu danau atau sungai besar y6ang terdapat di dekat kota Sawah.
c. “Bukhairah/danau” ini menjadi kebanggaan bagi negara Persia. Disamping airnya baik untuk dikonsumsi, juga bisa digunakan untuk hubungan lalu-lintas dengan perahu-perahu yang menghubungkan antar daerah di negara itu. Ada pun panjang Bukhairah itu kurang lebih 15 kilometer, sedang lebarnya kurang lebih 9 kilometer.
Pada bait ini, Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan Metafora yaitu pada prase “ditolak dalam keadaan marah”.
Pada bait keenam, Seakan-akan api itu menjadi basah seperti air. Api yang biasanya berasap tebal itu seketika menjadi dingin (seperti air karena sedih). Demikian pula air itu menjadi berasap seakan-akan ada api yang menguapkannya. Semua iotu karena kesedihan yang amat sangat (seakan-akan air itu menyala seperti halnya pi).
Pada bait ini Imam Busyairi mengungkapkan keadaan pada saat Nabi Muhammad s.a.w. dilahirkan dengan perumpamaan yang begitu puitis. Di mana Api yang biasa disembah oleh orang-orang Majusi seketika padam. Api yang biasanya berasap tebal itu seketika menjadi dingin sekali dan mengandung air. Demikian pula air sungai yang biasa besar sumbernya dan banyak airnya seketika kering seakan-akan ada apinya yang berasap tebal. Semuanya itu karena kesedihan yang begitu amat sangat.
Pada bait ini, Imam Busyairi menggunakan bahasa kiasan Pengandaian, yaitu ditandai dengan kata “seakan-akan”.
Pada bait ketujuh, Saat hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., Jin-jin membacakan shalawat (Jin bersuara), segala jenis cahaya bershalawat (sinar-sinar bercahaya). Kebenaran akan lahirnya Nabi akhir jaman terlihat dan sudah sijelaskan dalam kitab-kitab terdahulu (kelihatan dari makna) dan sudah didiskusikan oleh para pendea dan pasteur (dan dari perkataan-perkataan).
Pada bait ini, Imam Busyairi menjelaskan bahwa di hari kelahiran Nabi Muhammad s.a.w. semua Jin bersuara membacakan Shalawat, cahaya-cahaya yang sangat terang semuanya bersinar, juga kebetulan tanda-tanda kenabian beliau terus terlihat pula dengan terang dari makna atau arti yang terkandung dalam kitab-kitab suci dan juga dari perkataan-perkataan para pendeta dan pasteur.
Pada bait ini bahasa kiasan yang digunakan adalah bahasa kiasan Metafora. Yaitu terdapat pada kata
B. Pemaknaan Simbol Yang Terdapat Dalam 7 Bait Qashidah Burdah Karangan Imam Busyairi
Pada paraphrase di atas, terdapat beberapa simbol di antaranya adalah sebagai berikut: prase sucinya akhir keturunan beliau, runtuhnya Iwan Kirsa, pecahnya 14 pot bunga, prase meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit, dan huruf “Mim” setiap akhir bait pada Qoshidah Burdah karangan Imam Busyairi .
Makna dari simbol-simbol di atas akan dipaparkan sesuai dengan teori Perdinand de Sausure, yaitu adanya Signifie (petanda) dan Signifiant (penanda). Penjelasannya adalah sebagai berikut:
a. “Sucinya akhir keturunan beliau” adalah sebuah simbol yang menyimboli keturunan Nabi Muhammad s.a.w., yaitu menunjukan bahwa nasab Nabi Muhammad itu adalah nasab yang tinggi dan baik. Awal permulaan beliau adalah Nabi Adam a.s, akhir nasab beliau pun tinggi dan baik pula. Yaitu sayyid Abdullah Ayah beliau Nabi Muhammad s.a.w., yang merupakan keturunan pembesar-pembesar Arab. Jadi yang menjadi petanda atau Signifienya adalah sucinya akhir keturunan beliau dan yang menjadi penanda atau Signifiantnya adalah awal permulaan nasab Nabi Muhammad dan akhir nasab beliau adalah tinggi derajatnya dan baik pula akhlaknya.
b. “Runtuhnya Iwan Kirsa” adalah sebuah simbol yang menyimboli runtuhnya pemerintahan kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Raja Kirsa atau Raja Persi sebagai simbol akan datangnya kebenaran, yaitu lahirnya Nabi terakhir Muhammad s.a.w.
Jadi yang menjadi signifienya adalah runtuhnya Iwan Kirsa, dan yang menjadi signifiantnya adalah runtuhnya kekuasaan pemerintahan Raja Persi.
c. “Pecahnya 14 pot bungan” adalah sebagai simbol yang menyimboli akan runtuhnya empat belas (14) kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja yang menyekutukan Allah. Jadi yang menjadi signifienya adalah pecahnya 14 pot dan yang menjadi signifiantnya adalah runtuhnya 14 kerajaan.
d. Pada masa lahirnya Nabi Muhammad, beliau “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” ini adalah sebagai simbol yang menyimboli keluhuran derajat dan pangkat beliau. Sebab beliau akan menjadi pemimpin umat yang mengalahkan segala keluhuran para pemimpin dunia. Yang menjadi signifienya adalah prase “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” dan yang menjadi signifiantnya adalah keluhuran derajat dan pangkat beliau (Muhammad s.a.w.).
e. Pada akhir setiap bait dalam Qashidah Burdah itu selalu di akhiri dengan huruf “Mim”. Hal ini menunjukan bahwa Imam Busyairi begitu mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w. sebab nama beliau diawali oleh huruf Mim. Jadi yang menjadi signifie adalah huruf “Mim” pada setiap bait Qashidah Burdah dan yang menjadi signifiantnya adalah Nabi Muhammad s.a.w.
BAB III
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Dari hasil penelitian di atas, maka dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ditemukan penggunaan bahasa kiasan pada setiap bait dalam Qashidah Burdah. Diantara bahasa kiasan tersebur adalah sebagai berikut:
a. Lima bait dari tujuh bait di atas menggunakan bahasa kiasan metafora.
b. Satu bait menggunakan bahasa kiasan hiperbola.
c. Satu bait menggunakan bahasa kiasan pengandaian.
2. Pada tujuh bait di atas ditemukan beberapa simbol yang menyimbolkan masa kelahiran Nabi Muhammad s.a.w., yaitu berbentuk paraphrase. Pemaknaan simbol paraphrase sebagai berikut: “Sucinya akhir keturunan beliau” adalah sebuah simbol yang menyimboli keturunan Nabi Muhammad s.a.w., yaitu menunjukan bahwa nasab Nabi Muhammad itu adalah nasab yang tinggi dan baik. “Runtuhnya Iwan Kirsa” adalah sebuah simbol yang menyimboli runtuhnya pemerintahan kaum Musyrikin yang dipimpin oleh Raja Kirsa atau Raja Persi sebagai simbol akan datangnya kebenaran, yaitu lahirnya Nabi terakhir Muhammad s.a.w. “Pecahnya 14 pot bungan” adalah sebagai simbol yang menyimboli akan runtuhnya empat belas (14) kerajaan yang dipimpin oleh raja-raja yang menyekutukan Allah. “meletakkan kedua tangannya di bumi dan kepalanya diangkat ke atas memandang kearah langit” ini adalah sebagai simbol yang menyimboli keluhuran derajat dan pangkat beliau. Sebab beliau akan menjadi pemimpin umat yang mengalahkan segala keluhuran para pemimpin dunia. Pada akhir setiap bait dalam Qashidah Burdah itu selalu di akhiri dengan huruf “Mim”. Hal ini menunjukan bahwa Imam Busyairi begitu mengagungkan Nabi Muhammad s.a.w. sebab nama beliau diawali oleh huruf Mim.
B. Saran
Dalam penelitian ini, peneliti hanya menggunakan satu metode penelitian, yaitu metode struktur semiotik. Karena keterbatasan ilmu pengetahuan peneliti. Sehingga hasil dari penelitiannya tidak begitu memuaskan.
Sebagai saran untuk penelitian selanjutnya diharapkan peneliti dapat menggunakan beberapa metode sehingga hasil penelitiannya memuaskan.
DAFTAR PUSTAKA
Mudjab Mahali. Mengenal Qashidah Burdah. Bandung: PT.Al-Ma`arif. 1996.
Panuti Sudjiman dan Aart Van Zoest. Serba-Serbi Semiotika. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Press. 1992.
Djoko Pradopo. Pengkajian Puisi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. 2005.
A. Teew. Sastra dan Ilmu Sastra. Jakarta: PT. Kiblat Buku Utama. 2003.
Akhmad Muzaki. Kesusastraan Arab Pengantar Teori Terapan. Yogyakarta: Ar-Ruz. 2006.
Verhaar, J.W.M. Asas-Asas Linguistik Umum. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. 2006.
Ratna, kutha, Nyoman,I. Teori, Metode, dan Teknik Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. 2004.
Artikel-Artikel : Wikimedia. Artikel Perubahan Makna Kata Serapan Dari Bahasa Arab (Oleh: Sakholid Nasution)
Yasraf Amir Piliang, 2003, Hipersemiotika (Tapsir Cultural Studies Atas Matinya Makna), Bandung: Jalasutra