Sejarah Hukum Pidana Umum dan Militer

Masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a. 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan[7].
b. 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
c. 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d. 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.

B. Masa Awal Kemerdekaan (1945-1950)
Pada tanggal 5 Oktober 1945 Angkatan Perang RI dibentuk tanpa diikuti pembentukan Peradilan Militer.
Peradilan Militer baru dibentuk setelah dikeluarkannya UU. No. 7 tahun 1946 tentang Peraturan mengadakan Pengadilan Tentara disamping pengadilan biasa, pada tanggal 8 Juni 1946, kurang lebih 8 bulan setelah lahirnya Angkatan Bersenjata RI. [5] Dalam masa kekosongan hukum ini, diterapkan hukum disiplin militer.
Bersamaan dengan ini pula dikeluarkan UU No. 8 tahun 1946 tentang Hukum acara pidana guna peradila Tentara.
Dengan dikeluarkannya kedua undang-undang diatas, maka peraturan-peraturan di bidang peradilan militer yang ada pada zaman sebelum proklamasi, secara formil dan materil tidak diperlakukan lagi.
Dalam UU No. 7 Tahun 1946 Penradilan tentara di bagi menjadi 2 Tingkat, yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Agung.
Peradilan Tentara berwenang mengadili perkara pidana yang merupakan kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh:
1. Prajurit Tentara (AD) RI, Angkatan laut dan Angkatan Udara
2. Orang yang oleh presiden dengan PP ditetapkan sama dengan prajurit
3. Orang yang tidak termasuk gol 1 dan 2 tetapi berhubungan dengan kepentingan ketentaraan.
Pengadilan juga diberi wewenang untuk mengadili siapapun juga, bila kejahatan yang dilakukan termasuk dalam titel I dan II buku II KUHP yang dilakukan dalam daerah yang dinyatakan dalam keadaan bahaya.
Mahkamah Tentara; pengadilan tingkat pertama yang berwenang mengadili perkara dengan tersangka prajurit berpangkat Kapten ke bawah.
Mahkamah Tentara Agung; pada tingkat pertama dan terakhir untuk perkara:
 Terdakwanya serendah-rendahnya berpangkat Mayor
 Seorang yang jika dituntut di pengadilan biasa diputus oleh PT atau MA
 Perselisihan kewenangan antara Mahkamah-mahkamah tentara
Mahkamah Tentara Agung pada tingkat kedua dan terakhir, mengadili perkara yang telah diputus oleh mahkamah tentara.
Persidangan di pisahkan menjadi dua yakni persidangan untuk perkara kejahatan dan perkara pelanggaran.
Pada tahun 1948 dikeluarkan PP No. 37 tahun 1948, yang mengubah beberapa ketentuan susunan, kedudukan dan daerah hukum yang telah diatur sebelumnya. PP ini mengatur peradilan tentara dengan susunan:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara agung
Dengan demikian sistem peradilan dua tingkat yang diatur sebelumnya berubah menjadi tiga tingkat, dengan masing-masing kewenangan;
a. Mahkamah Tentara, mengadili dalam tingkat pertama kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan prajurit berpangkat kapten ke bawah
b. Mahkamah Tentara Tinggi, pada tingkat pertama mengadili prajurit yang berpangkat Mayor ke atas. Pada tingkat kedua memeriksa dan memutus segala perkara yang telah diputus mahkamah tentara yang diminta ulangan pemeriksaan.
c. Mahkamah Tentara Agung, pada tingkat pertama da terakhir memeriksa dan memutus perkara kejahatan dan pelanggaran yang dilakukan oleh Panglima Besar, Kastaf Angkatan Perang, Kastaf Angkatan; Darat,Laut, Udara, Panglima Tentara Teritorium Sumatera, Komandan Teritorium Jawa, Komandan Teritorium Sumtera, Panglima Kesatuan Reserve Umum, Kastaf Pertahanan Jawa Tengah dan Kastaf Pertahanan Jawa Timur.
Dalam PP tersebut juga diatur adanya 3 tingkat kejaksaan tentatara;
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Hukum Pidana Materil yang berlaku pada masa berlakunya undang-undang No. 7 tahun 1946 dan peraturan pemerintah No. 37 tahun 1948 adalah sebagai berikut:
1. KUHP (UU. No. 1 tahun 1946)
2. KUHPT (UU. No. 39 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 167)
3. KUHDT (UU. No. 40 Tahun 1947 jo. S. 1934 No. 168)
Pada masa tahun 1946 hingga 1948 diadakan Peradilan Militer Khusus, sebagai akibat dari peperangan yang terus berlangsunf yang mengakibatkan putusnya hubungan antar daerah.
Peradilan militer khusus ini meliputi:
1. Mahkamah Tentara Luar Biasa (PP. No. 5 tahun 1946).
2. Mahkamah Tentara Sementara (PP. No. 22 tahun 1947).
3. Mahkamah Tentara Daerah Terpencil (PP. No. 23 Tahun 1947).
Pada tanggal 19 Desember 1948 tentara Belanda Melakukan Agresinya yang kedua terhadap negara RI. Agresi tersebut dimaksudkan untuk menghancurkan tentara nasional Indonesia dan selanjutnya pemerintah RI. Aksi tersebut mengakibatkan jatuhnya kota tempat kedudukan badan-badan peradilan ke tangan Belanda.
Mengingat kondisi ini, maka dikeluarkanlah peraturan darurat tahun 1949 No. 46/MBKD/49 yang mengatur Peradilan Pemerintahan Militer untuk seluruh pulau Jawa -Madura. Peraturan tersebut memuat tentang:
1. Pengadilan Tentara Pemerintahan Militer
2. Pengadilan Sipil Pemerintah Militer
3. Mahkamah Luar Biasa
4. Cara menjalankan Hukuman Penjara.
Selanjutnya dalam makalah ini penulis akan membatasi dengan hanya membahas pengadilan tentara pemerintahan militer.

Pada masa ini Pengadilan Militer terdiri atas tiga badan yaitu:
1. Mahkamah Tentara Onder Distrik Militer (MTODM), berkedudukan sama dengan komandan ODM yang berwenang mengadili prajurit tingkat Bintara.
2. Mahkamah Tentara Distrik Militer (MTDM), berkedudukan sama dengan komandan DM yang berwenang mengadili perwira pertama hingga Kapten
3. Mahkamah Tentara Daerah Gubernur Militer, (MTGM), berkedudukan sama dengan Gubernur militer yang berwenang mengadili kapten sampai Letnan Kolonel.
Peraturan darurat tersebut hanya berjalan selama kurang lebih 6 bulan, kemudian pada tanggal 12 juli 1949 menteri kehakiman RI mencabut Bab II peraturan tersebut. Kemudian pada tanggal 25 Desember 1949 dengan PERPU No. 36 tahun 1949 mencabut seluruhnya materi Peraturan darurat No. 46/MBKD/49, dan aturan yang berlaku sebelumnya dinyatakan berlaku lagi.
Berdasarkan Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950, mengatur peradilan tentara kedalam tiga tingkatan yaitu:
1. Mahkamah Tentara
2. Mahkamah Tentara Tinggi
3. Mahkamah Tentara Agung
Sementara untuk Kejaksaan dibagi atas:
1. Kejaksaan Tentara
2. Kejaksaan Tentara Tinggi
3. Kejaksaan Tentara Agung
Undang-undang darurat No. 16 tahun 1950 kemudian dicabut dengan lahirnya UU No. 5 tahun 1950, yang sebenarnya hanya merupakan penggantian formil saja, sedangkan mengenai materinya tetap tidak mengalami perobahan.
Pada masa ini masa RIS lahir Mahkamah Tentara di banyak tempat, seperti di
Jawa-Madura pada kota-kota:
1. Jakarta; dengan daerah hukumya: Keresidenan Jakarta, Banten dan Bogor
2. Bandung; meliputi: Keresidenan Priangan dan Cirebon
3. Pekalongan; meliputi: Keresidenan Pekalongan dan Banyumas
4. Semarang; meliputi: Keresidenan Semarang dan Pati
5. Yogyakarta; meliputi: Keresidenan Yogyakarta dan Kedu
6. Surakarta; meliputi: Keresidenan Surakarta dan Madiun
7. Surabaya; meliputi: Keresidenan Surabaya, Bojonegoro dan Madura
8. Malang; meliputi: Keresidenan Malang dan Besuki.



Dengan Yogyakarta sebagai tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi, untuk daerah Jawa-Madura.
Sumatera, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Medan: Bekas Keresidenan Aceh, Riau dan Sumatera Timur
2. Padang: Bekas Keresidenan Sumatera Barat dan Tapanuli
3. Palembang:Bekas Keresidenan Palembang, Jambi, Bengkulu, Lampung dan Bangka-Belitung.
Bukit Tinggi merupakan tempat kedudukan Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Sumatera.
Kalimantan, Mahkamah Tentara berkedudukan dikota:
1. Pontianak: Bekas Keresidenan KALBAR dengan pulau-pulaunya
2. Banjarmasin: Bekas Keresidenan KALSEL dan KALTIM
Mahkamah Tentara Tinggi untuk seluruh Kalimantan berkedudukan di Jakarta.
Mahkamah Tentara di Indonesia Timur berada di kota:
1. Makassar: Propinsi Sulawesi dan bekas Afdeling Ternate
2. Ambon: seluruh wilayah Maluku di kurangi Ternate
3. Denpasar: seluruh wilayah Propinsi Sunda Kecil (NTT-B).
Mahkamah Tentara Tinggi berkeduduan di Makassar dan Mahkamah Tentara Agung berkedudukan di Mahkamah Agung Indonesia.
C. MASA BERLAKUNYA UUDS 1950 (1950-1959)
Ketentuan yang telah ada pada masa RIS tetap berlaku kecuali yang tidak sesuai dengan tujuan negara kesatuan. Daerah hukum Mahkamah Tentara mengalami perubahan (penambahan dan pengurangan) seperti:
Jawa-Madura;
1. Jakarta, tambah Kab. Kep. Riau (Tanjung Pinang)
2. Surabaya, tambah Kediri
Sumatera;
1. Medan, dikurangi Kab. Kep. Riau tapi ditambah dengan Tapanuli
2. Padang, dikurangi Tapanuli dan ditambah Kampar (Pekanbaru)
Kedudukan Pengadilan Tinggi Tentara yang sebelumnya di Bukit Tinggi dipindah ke Medan dengan wilayah hukum seluruh Sumatera.
Kalimantan;
Pengadilan Tinggi Tentara dipindah dari Jakarta ke Surabaya.
Pada periode 1950-1959 di negar kita terjadi keadaan darurat, sebagai dampak dari politik federalisme kontra unitarisme. Seperti pemberontakan Andi azis di Makassar, Peristiwa APPRA di Bandung, RMS di Maluku, peristiwa DI/TII di Jabar, Jateng, Aceh dan Sulawesi Selatan serta peristiwa yang tidak kalah besar ialah peristiwa PRRI/Permesta di Sumtera dan Sulawesi.
Berangkat dari kondisi diatas, dan demi untuk tetap menegakkan hukum di lingkungan militer, maka di bentuklah Peradilan Militer Khusus seperti;
a. Mahkamah Tentara Luar Biasa;
Putusan mahkamah ini tidak dapat di mintakan banding
b. Mahkamah Angkatan Darat/Udara pertempuran
Putusan mahkamah ini merupakan tingkat pertama dan terakhir.
D. MASA JULI 1959-11 MARET 1966
Pada Tanggal 5 Juli 1959 Presiden RI mengeluarkan dekrit yang menyatakan pembubaran Konstituante dan berlakunya kembali UUD 1945.
UU No. 5 tahun 1950 sejak dikeluarkannya dekrit tetap berlaku, tetapi perkembangan selanjutnya menyebabkan penerapannya berbeda dengan periode sebelum dekrit 5 Juli 1959. Hal ini karena makin disadari bahwa kehidupan militer memiliki corak kehidupan khusus, disiplin tentara yang hanya dapat dimengerti oleh anggota tentara itu sendiri. Karena itu dirasakan perlunya fungsi peradilan diselenggarakan oleh anggota militer.
Pada tanggal 30 Oktober 1965 di undangkan Penetapan Presiden No.22 tahun 1965, tentang perobahan dan tambahan beberapa pasal dalam UU. No. 5 tahun 1950. Perobahan-perobahan tersebut adalah mengenai pengangkatan pejabat-pejabat utama pada badan-badan peradilan militer.
Dengan adanya ketentuan tentang pengangkatan tersebut, maka ketua pengadilan tentara dan pengadilan tentara tinggi, yang menurut ketentuan lama, karena jabatannya dijabat oleh oleh ketua pengadilan Negeri/ketua pengadilan tinggi, sekarang di jabat oleh pejabat dari kalangan Militer sendiri. Perobahan sama berlaku pula pada panitera.
Penyiapan tenaga ini telah dilakukan sejak tajun 1952 dengan mendirikan dan mendidik para perwira pada akademi hukum militer. Tahun 1957 angkatan I telah lulus kemudian melanjutkan ke ke Fakultas Hukum dan pengetahuan masyarakat, Universitas Indonesia.
Tahun 1961 merupakan awal pelaksanaan peradilan militer diselenggarakan oleh para perwira ahli/sarjana hukum, sesuai dengan instruksi Mahkamah agung No. 229/2A/1961 bahwa mulai september 1961 hakim militer sudah harus mulai memimpin sidang pengadilan tentara. Demkian halnya dengan kejaksaan.
Dengan perkembangan tersebut diatas, dimulailah babak baru dalam penyelenggaraan Peradilan Militer. Perkembangan selanjutnya ialah anggota dari suatu angkatan diperiksa dan diadili oleh hakim jaksa dari angktan bersangkutan. Perkembangan selanjutnya yang perlu mendapat perhatian adalah di undangkannya undang-undang No. 3 PNPS tahun 1965 tentang memberlakukan Hukum Pidana Tentara, Hukum Acara Pidana Tentara dan Hukum disiplin tentara bagi angkatan Kepolisian pada tanggal 15 maret 1965.
Perkembangan selanjutnya adalah lahirnya UU. No. 23 PNPS 1965 pada tanggal 30 Oktober 1965 yang menetapkan bahwa dalam tingkat pertama, tantama, bintara dan perwira polisi yang melakukan tindak pidana di adili oleh badan peradilan dalam lingkungan angkatan kepolisian. Sebelumnya diadili di badan peradilan angkatan darat dan angkatan laut untuk yang kepulauan Riau.
Dengan demikian peradilan dalam lingkungan Peradilan Militer dalam pelaksanaannya terdiri dari:
a. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Darat
b. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Laut
c. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Udara
d. Peradilan Militer untuk Lingkungan Angkatan Kepolisian.
Peradilan ini terus berlangsung hingga setelah 11 maret 1966, bahkan peradilan di lingkungan angkatan kepolisian baru di mulai pada tahun 1966.

E. MASA 11 MARET 1966-1997
Pelaksanaan peradilan militer didalam lingkungan masing-masing angkatan seperti yang ada sebelumnya tetap berlaku hingga pada awal 1973.
Tahun 1970 lahirlah UU No. 14 tahun 1970 menggantikan UU No. 19 tahun 1964 tentang ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Undang-undang ini mendorong proses integrasi peradilan di lingkungan militer.
Baru kemudian berubah ketika dikeluarkan berturut-turut;
a. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan/Pangab pada tanggal 10 Juli 1972 No. J.S.4/10/14 - SKEB/B/498/VII/72
b. Keputusan bersama menteri kehakiman dan menteri pertahanan keamanan pada tanggal 19 maret 1973 No. KEP/B/10/III/1973 - J.S.8/18/19. Tentang perobahan nama, tempat kedudukan, daerah hukum, jurisdiksi serta kedudukan organisatoris pengadilan tentara dan kejaksaan tentara.
Barulah kemudian peradilan militer dilaksanakan secara terintegrasi. Pengadilan militer tidak lagi berada di masing-masing angkatan tetapi peradilan dilakukan oleh badan peradilan militer yang berada di bawah departemen pertahanan dan keamanan.
Kemudian berdasar dari SK bersama tersebut, maka nama peradilan ketentaraan di adakan perubahan. Dengan demikian, maka kekuasaan kehakiman dalam peradilan militer dilakukan oleh:
1. Mahkamah Militer (MAHMIL)
2. Mahkamah Militer Tinggi (MAHMILTI)
3. Mahkamah Militer Agung (MAHMILGUNG).
Pada tahun 1982 dikeluarkan Undang-undang No. 20 tahun 1982 tentang ketentuan pokok pertahanan keamanan negara RI yang kemudian diubah dengan undang-undang No 1 tahun 1988. Undang -undang ini makin memperkuat dasar hukum keberadaan peradilan militer. Pada salah satu point pasalnya dikatakan bahwa angkatan bersenjata mempunyai peradilan tersendiri dan komandan-komandan mempunyai wewenang penyerahan perkara.
Hingga tahun 1997 hampir tidak ada perubahan yang signifikan dalam pelaksaanan peradilan militer di Indonesia.
F. PERADILAN MILITER 1997-SEKARANG
Pada tahun 1997 diundangkan UU No. 31 tahun 1997 tentang peradilan militer. Undang-undang ini lahir sebagai jawaban atas perlunya pembaruan aturan peradilan militer, mengingat aturan sebelumnya dipandang tidak sesuai lagi dengan jiwa dan semangat undang-undang No. 14 tahun 1970 tentang ketentuan pokok kekuasaan kehakiman. Undang-undang ini kemudian mengatur susunan peradilan militer yang terdiri dari;
a. Pengadilan Militer
b. Pengadilan Militer Tinggi
c. Pengadilan Militer Utama
d. Pengadilan Militer Pertempuran.
Dengan diundangkannya ketentuan ini, maka Undang-undang Nomor 5 tahun 1950 tentang susunan dan kekuasaan pengadilan/kejaksaan dalam lingkungan peradilan ketentaraan, sebagaimana telah diubah dengan UU. No. 22 PNPS tahun 1965 dinyatakan tidak berlaku lagi. Demikian halnya dengan UU No. 6 tahun 1950 tentang Hukum Acara Pidana pada pengadilan tentara, sebagaimana telah di ubah dengan UU No 1 Drt tahun 1958 dinyatakan tidak berlaku lagi. [6]
-->
III. PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari paparan sejarah militer diatas, dengan berbagai macam perubahan system peradilan, dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Pada masa pendudukan Belanda, peradilan militer mengadili pelanggaran dan kejahatan yang dilakukan oleh tentara Belanda yang tergabung kedalam angkatan darat dan angkatan laut. Angkatan darat diadili oleh Krijsraad sedangkan angkatan laut diadili oleh Zee Krijsraad karena masih merupakan bagian dari tentara kerajaan Belanda. Berbeda dengan peradilan militer di zaman Jepang. Pada masa ini peradilan militer dibentuk dengan tujuan utama untuk mengadili mereka yang mengganggu atau melawan balatentara Jepang.
2. Sejak kemerdekaan RI hingga saat sekarang ini, peradilan militer telah menjalani perubahan berkali-kali, baik dari segi penamaan, tingkatan maupun kewenangan mengadili. Hal ini ditandai dengan lahirnya beberapa peraturan tentang peradilan militer, yang pada akhirnya lahir UU No. 31 tahun 1997
3. tentang Peradilan Militer, yang mencabut dan menyatakan tidak berlaku lagi beberapa peraturan sebelumnya.
4. Militer sebagai orang terdidik, dilatih dan dipersiapkan untuk bertempur, bagi mereka diadakan norma-norma yang khusus. Mereka harus tunduk tanpa reserve pada tata kelakuan yang telah ditentukan dan diawasi dengan ketat. Karena kekhususan dalam mengemban tugas ini, mengakibatkan terjadinya pemisahan peradilan anggota tentara dengan masyarakat umum. Penegakan disiplin yang sangat ketat dan harus dipertanggung jawabkan di lembaga khusus jika melanggar. Mereka diadili dengan aturan yang khusus berlaku bagi mereka dengan tidak mengesampingkan kenyataan yang hidup ditengah masyarakat
http://www.dilmil-banjarmasin.go.id/index.php?content=mod_artikel&id=4

Hukum Pidana Umum dan Militer Menurut Undang-Undang

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah
“Hukum Pidana Umum dan Militer Menurut Undang-Undang”

Oleh:
ANDIT PRAJAYA    (87576454)

Dosen Pembimbing:
DRS. Arisatun Ningsih, S.Sos,SH,M.Si


UNIVERSITAS NEGERI SURABAYA
JURUSAN HUKUM
FAKULTAS HUKUM
2011

A.    Pengertian dan Ruang Lingkup Peradilan Umum dan Militer
Peradilan umum adalah salah satu kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan pada umumnya sedangkan Peradilan militer adalah Badan yang melaksanakan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan militer yang meliputi Pengadilan Militer, Pengadilan Militer Tinggi, Pengadilan Militer Utama, dan Pengadilan Militer Pertempuran. 
Lingkungan Peradilan Umum adalah Pengadilan Negeri (disingkat PN), Pengadilan Tinggi (disingkat PT), dan Mahkamah Agung (disingkat MA). Susunan Pengadilan Negeri terdiri dari pimpinan, hakim anggota, panitera, sekertaris, dan jurusita.
Lingkungan Peradilan Militer adalah Mahkamah Militer (disingkat Mahmil), Mahkamah Militer Tinggi (disingkat Mahmilti), Mahkamah Militer Agung (disngkat Mahmilgung) yakni pada Mahkamah Agung.
B.    Sejarah Kedudukan Peradilan Umum
Sejarah kedudukan Peradilan Umum pada masa Kemerdekaan Republik Indonesia
a)    Pada tahun 1945-1949
Pasal II Aturan Peralihan UUD’45 menetapkan bahwa: segala badan negara dan peraturan yang ada masih lansung berlaku selama belum diadakan yang baru menurut UUD ini. Hal ini berarti bahwa semua ketentuan badan pengadilan yang berlaku akan tetap berlaku sepanjang belum diadakan perubahan.
Dengan adanya Pemerintahan Pendudukan Belanda di sebagian wilayah Indonesia maka Belanda mengeluarkan peraturan tentang kekuasaan kehakiman  yaitu Verordening No. 11 tahun 1945 yang menetapkan kekuasaan kehakiman di lingkungan peradilan umum dilakukan oleh Landgerecht dan Appelraad dengan menggunakan HIR sebagai hukum acaranya.
Pada masa ini juga dikeluarkan UU UU No.19 tahun 1948 tentang Peradilan Nasional yang ternyata belum pernah dilaksanakan.
b)    Pada tahun 1949-1950
Pasal 192 Konstitusi RIS menetapkan bahwa Landgerecht diubah menjadi Pengadilan Negeri dan Appelraad diubah menjadi Pengadilan Tinggi
c)    Pada tahun 1950-1959
Adanya UU Darurat No.1 tahun 1951 yang mengadakan unifikasi susunan, kekuasaan, dan acara segala Pengadilan Negeri dan segala Pengadilan Tinggi di Indonesia dan juga menghapuskan beberapa pengadilan termasuk pengadilan swapraja dan pengadilan adat.
d)    Pada tahun 1959 sampai sekarang terbitnya UU No. 14 Tahun 1970
Pada masa ini terdapat adanya beberapa peradilan khusus di lingkungan pengadilan Negeri yaitu adanya Peradilan Ekonomi (UU Darurat No. 7 tahun 1955), peradilan Landreform (UU No. 21 tahun 1964). Kemudian pada tahun 1970 ditetapkan UU No 14 Tahun 1970 yang dalam Pasal 10 menetapkan bahwa ada 4 lingkungan peradilan yaitu: peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer dan peradilan tata usaha negara.
C.    Penyidik dan Penuntut Umum
Menurut Pasal 1 butir 1, penyidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyelidikan. Sedangkan pada butir 4 pasal itu mengatakan bahwa penyelidik adalah pejabat polisi Negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Jadi, perbedaannya adalah penyidik itu terdiri dari polisi Negara dan pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wewenagn khusus oleh undang-undang, sedangkan penyelidik itu hanya terdiri dari polisi Negara saja.
Penyidik pejabat polisi Negara tersebut diangkat oleh Kepala  Kepolisian Republik Indonesia yang dapat melimpahkan wewenang tersebut kepada pejabat polisi lain.
Penyidik pegawai sipil diangkat oleh Menteri Kehakiman atas usul departemen yang membawahkan pegawai tersebut.
Penyidik angkatan bersenjata Republik Indonesia yang selanjutnya disebut penyidik adalah atasan yang berhak menghukum, pejabat polisi, militer tertentu, dan oditur, yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang untuk melakukan penyidikan.
Di dalam KUHAP, dapat ditemukan perincian tugas penuntutan yang dilakukan oleh para jaksa. KUHAP membedakan pengertian jaksa dalam pengertian umum dan penuntut umum dalam pengertian jaksa yang sementara menuntut suatu perkara. Di dalam Pasal 1 butir 6 ditegaskan hal itu sebagai berikut:
1.    Jaksa adalah pejabat yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk bertindak sebagai penuntut umum serta melakukan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hokum tetap.
2.    Penuntut umum adalah jaksa yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penuntutan dan melaksanakan penetapan hakim.
Melihat perumusan undang-undang tersebut, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa pengertian “jaksa” adalah menyangkut jabatan, sedangkan penuntut umum menyangkut fungsi.
Wewenang penuntut umum adalah sebagai berikut:
1.    Menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik atau penyidik pembantu.
2.    Mengadakan prapenuntutan apabila ada kekurangan pada penyedikan dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4), dengan member petunjuk dalam peneyempurnaan penyidikan dan penyidik.
3.    Memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau penahanan lanjutan, dan atau mengubah status tahanan setelah perkaranya dililmpahkan oleh penyidik.
4.    Membuat surat dakwaan.
5.    Melimpahkan perkara ke pengadilan.
6.    Menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada siding yang telah ditentukan.
7.    Melakukan penuntutan.
8.    Menutup perkara demi kepentingan hokum.
9.    Mengadakan tindakan lain dalam lingkup tugas dan tanggung jawab sebagai penuntut umum menurut ketentuan undang-undang ini.
10.    Melaksanakan penetapan hakim.

D.    Penangkapan, Penahanan Badan, Pemasukan Rumah, Penyitaan, dan Pemeriksaan surat
Pasal 1 butir 20 KUHAP memberi definisi “penangkapan” sebagai berikut: “Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan kebebasan sementara waktu tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.”
Pasal 21 ayat (4) KUHAP berbunyi “Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun pemberian bantuan dalam tindak pidana.”
Dalam KUHAP menentukan bahwa ada tiga macam pejabat atau instansi yang berwenang melakukan penahanan, yaitu penyidik atau penyidik pembantu, penuntut umum, dan hakim yang menurut tingkatan pemeriksaan terdiri atas hakim pengadilan negeri, pengadilan tinggi, dan Mahkamah Agung (Pasal 20 sampai Pasal 31 KUHAP).
Macam-macam bentuk penahanan di dalam HIR mengenal hanya satu macam bentuk penahan yaitu penahanan di rumah tahanan atau penjara, sedangkan KUHAP menurut Pasal 22 mengenai selain penahanan di rumah tahanan Negara, dikenal pula penahanan rumah dan penahanan kota. Cara pelaksanaan penahanan tidak dibedakan.
Pemasukan rumah atau penggeledahan tempat kediaman orang dalam rangka menyidik suatu delik menurut hokum acara pidana, harus dibatasi dan diatur secara cermat. Menggeledah rumah atau tempat kediaman merupakan suatu usaha mencari kebenaran, untuk mengetahui baik salah maupun tidak salahnya seseorang.
Dalam KUHAP, ditentukan bahwa hanya penyidik atau anggota kepolisian yang diperintah olehnya yang boleh melakukan penggeledahan atau memasuki rumah orang. Itupun dibatasi dengan ketentuan bahwa penggeledahan rumah hanya dapat dilakukan atas izin ketua pengadilan negeri.
Selain daripada itu,wewenang menggeledah dibatasi pula oleh Pasal 34 ayat (2) KUHAP, yang mengatakan bahwa dalam hal penyidik melakukan penggeledahan, penyidik tidak diperkenankan memeriksa atau menyita surat, buku, dan tulisan lain yang tidak merupakan benda yang berhubungan dengan delik yang bersangkutan, kecuali benda yang berhubungan dengan delik yang bersangkutan atau yang diduga telah dipergunakan untuk melakukan delik tersebut dan untuk itu wajib segera melaporkan kepada ketua pengadilan negeri setempat guna memperoleh persetujuannya.
Pembatasan penggeledahan selanjutnya adalah:
1.    Setiap kali memasuki rumah harus disaksikan oleh dua orang saksi dalam hal tersangka atau penghuni menyetujuinya (Pasal 33 ayat (3) KUHAP)
2.    Setiap kali memasuki rumah, harus disaksikan kepala desa atau ketua lingkungan dengan dua orang saksi, dalam hal tersangka atau penghuni menolak atau tidak hadir (Pasal 33 ayat (4) KUHAP)
3.    Dalam waktu dua hari setelah memasuki rumah dan atau menggeledah rumah, harus dibuat sutu berita acara dan turunannya disampaikan kepada pemilik atau penghuni rumah yang bersangkutan (Pasal 33 ayat (5) KUHAP)
4.    Dalam hal penyidik harus melakukan penggeledahan rumah di luar daerah hukumnya, dengan tidak mengurangi ketentuan tersebut dalam Pasal 33, maka penggeledahan tersebut harus dilakukan oleh ketua pengadilan negeri dan didampingi oleh penyidik dari daerah hokum di mana penggeledahan itu dilakukan (Pasal 36 KUHAP)
5.    Pada waktu menangkap tersangka, penyidik hanya berwenang menggeledah pakaian termasuk benda yang dibawanya serta apabila terdapat dugaan keras dengan alasan yang cukup bahwa pada tersangka tersebut terdapat benda yang disita (Pasal 37 ayat (1) KUHAP)
Penyitaan dalam KUHAP pada Pasal 1 butir16 sebagai berikut: “Penyitaan adalah serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud dan tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan, dan peradilan.”
Penyitaan dapat berakhir sebelum ada putuisan hakim
a)    Kepentingan penyidikan dan penuntutan tidak diperlukan lagi
b)    Perkara tersebut tidak jadi dituntut karena tidak cukup bukti atau tidak merupakan delik
c)    Perkara tersebut dikesampingkan demi kepentingan umum atau perkara tersebut ditutup demi hokum, kecuali benda tersebut diperoleh dari suatu delik atau yang dipergunakan untuk melakukan suatu delik.
Penyitaan berakhir setelah ada putusan hakim, maka benda yang dikenakan penyitaan dikembalikan kepada orang atau mereka yang disebut dalam putusan tersebut, kecuali kalau benda tersebut menurut keputusan hakim dirampas untuk Negara, untuk dimusnahkan atau untuk dirusakkan sampai tidak dipergunakan lagi atau jika benda tersebut masih diperlukan sebagai barang bukti untuk perkara lain.
Kalau dalam tuntutan perdata disebut surat gugatan, maka dalam perkara pidana disebut surat dakwaan, keduanya mempunyai persamaan, karena dengan itulah hakim melakukannya pemeriksaan dan hanya batas-batas dalam surat gugatan atau dakwaab itulah hakim memutuskan. Dakwaan merupakan dasar penting hokum acara pidana karena berdasakan hal yang dimuat dalam surat itu, hakim akan memeriksa perkara itu. Pemeriksaan dakwaan itu didasarkan pada hasil pemeriksaan pendahuluan dimana dapat diketemukan baik berupa keterangan terdakwa maupun keterangan saksi dan alat bukti yang lain termasuk keterangan ahli misalnya visum et repertum. Di situlah dapat ditemukan perbuatan sungguh-sungguh dilakukan dan bagaimana dilakukan. Pemeriksaan yang dilakukan oleh polisi dengan mencantumkan pasal undang-undang pidana yang menjadi dasarnya, tidak mengikat penuntut umum untuk mengikutinya.
-->
E.    Tersangka dan Terdakwa
Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai tindak pidana.
Tersangka mempunyai hak-hak sejak ia mulai diperiksa. Salah satu hak yang sering menimbulkan pro dan kontra dari sarjana hokum adalah hak tersangka atau terdakwa untuk memilih menjawab atau tidak menjawab pertannyaan baik oleh penyidik, penuntut umum, maupun oleh hakim.
Tersangka adalah seorang tersangka yang dituntut, diperiksa, dan diadili di sidang pengadilan.
F.    Penyelidikan dan Penyidikan
KUHAP memberi definisi penyelidikan sebagai “Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau tindakannya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Penyelidikan ini tindakan untuk mendahului penyidikan. Kalau dihubungkan dengan teori hokum acara pidana seperti dikemukakan oleh Van Bemmelen. Maka penyelidikan ini maksudnya ialah tahap pertama dalam tujuh tahap hokum acara pidana, yang berarti mencari kebenaran.
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian opsporing (Belanda) dan investigation (Inggris) atau penyiasatan atau siasat (Malaysia). KUHP memberi definisi penyedikan sebagai berikut:
“ Serangkaian tindakan penyidikan dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.”
Bagian-bagian hokum acara pidana yang menyangkut penyidikan adalah sebagai berikut:
1.    Ketentuan tentang alat-alat penyidik
2.    Ketentuan tentang diketahui terjadinya delik
3.    Pemeriksaan di tempat kejadian
4.    Pemanggilan tersangka atau terdakwa
5.    Penahanan sementara
6.    Penggeledahan
7.    Pemeriksaan atau interogasi
8.    Berita acara (penggeledahan,interogasi, dan pemeriksaan di tempat)
9.    Penyitaan
10.    Penyampingan perkara
11.    Pelimpahan perkara kepada penuntut umum dan pengembaliannya kepada penyidik untuk disempurnakan.
Diketahui terjadinya delik
Diketahuinya terjadinya delik dari empat kemungkinan yaitu sebagai berikut:
1.    Kedapatan tertangkap tangan
2.    Karena laporan
3.    Karena pengaduan
4.    Diketahui sendiri atau pemberitahuan atau cara lain sehingga penyidik mengetahui terjadinya delik seperti membacanya di surat kabar, mendengar radio atau orang bercerita, dan selanjutnya.

G.    Penuntutan
Pada Pasal 1 butir 7 KUHAP tercantun definisi penuntutan sebagai  berikut: “ Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
Pasal 137 KUHAP menentukan bahwa penuntut umum berwenang melakukan penuntutan terhadap siapa pun yang didakwa melakukan suatu delik dalam daerah hukumnya dengan melimpahkan perkara ke pengadilan yang berwenang mengadili.
Mengenai kebijakan penuntut, penuntut umumlah yang menentukan suatu perkara hasil penyidikan apakah sudah lengkap ataukah tidak untuk dilimpahkan ke pengadilan negeri untuk diadili (Pasal 139 KUHAP).    

DAFTAR PUSTAKA


Fauzan, Achmad. 2007. Himpunan Undang-Undang Lengkap Tentang Badan Peradilan. Bandung: CV. Yrama Widya.

Hamzah, Andi.2008. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.

Beberapa Pengertian Tentang Studi Kasus Hukum keluarga islam

1.    Dalam kajian Ushul al-fiqh di kenal istilah:
a.    Qiyas adalah menyamakan hukum suatu hal yang tidak terdapat ketentuannya di dalam Al-Qur’an dan As-Sunnah atau al- Hadits dengan hal (lain) yang hukumnya disebut dalam al-Qur’an dan Sunnah Rosul (yang terdapat dalam kitab-kitab hadits) karena persamaan illat (penyebab atau alasan) nya.
b.    Ihtisan adalah cara menentukan hukum dengan jalan menyimpang dari ketentuan yang sudah ada demi keadilan dan kepentingan sosial .
c.    Maslahah mursalah adalah cara menentukan hokum sesuatu hal yang tidak terdapat ketentuannya baik di dalam al-Qur’an maupun dalam kitab-kitab hadits, berdasarkan pertimbangan kemaslahatan masyarakat atau kepentingan umum.
d.    Urf adalah adat istiadat yang tidak bertentangan dengan hukum Islam dapat dikukuhkan tetap terus berlaku bagi masyarakat yang bersangkutan.
Cara mengaplikasikan konsep maslahah mursalah dalam pemecahan hukum, menurut Al-Ghozali adalah :
a.    Maslahat tersebut harus sejalan dengan tujuan penetapan hukum islam yaitu, memelihara agama, jiwa, akal, harta, keturunan atau kehormatan.
b.    Maslahat tersebut tidak boleh bertentangan dengan al-Quran, as-Sunnah dan ijma’.
c.    Maslahat tersebut menempati level daruriyah atau hajiyah yang setingkat dengan daruriyah.
d.    Kemaslahatannya harus bersifat qath’i atau zann yang mendekati qath’i.
e.    Dalam kasus-kasus tertentu diperlukan persyaratan, harus bersifat qathiyyah, daruriyah dan kulliyah.
Imam al-Ghazali memandang  maslahah-mursalah  hanya  sebagai  sebuah  metode  istinbath (menggali/penemuan) hukum, bukan sebagai dalil atau sumber hukum Islam. Ruang lingkup operasional maslahah mursalah hanya berlaku di bidang muammalah saja dan tidak berlaku dalam bidang ibadah.

2.    Konsep Thariq Istimbatul Hukm adalah mengambil hokum dari dalil-dalil syara’. Kaidah itu biasa bersifat lafzhiyah, seperti dilalah (penunjukan) suatu lafazh terhadap arti tertentu, cara mengkompromikan lafazh terhadap arti tertentu.
Cara operasionalisasi metode qiyas dalam pemecahan hukum yakni, dalam rukun dan syarat qiyas, telah disebutkan bagaimana cara pemecahan hukum menggunakan qiyas.
Rukun qiyas adalah :
a.    Al-ashlu atau objek qiyâs, dimana diartikan sebagai pokok, yaitu suatu peristiwa yang telah ditetapkan hukumnya berdasarkan nash.
b.    Hukum asli adalah hukum syar'i yang ada dalam nash atau ijma', yang terdapat dalam al-ashlu.
c.    Al-far’u adalah sesuatu yang dikiaskan, karena tidak terdapat dalil nash atau ijma' yang menjelaskan hukumnya.
d.    Al-‘illah adalah sifat hukum yang terdapat dalam al-ashlu dan merupakan benang merah penghubung antara al-ashlu dengan al-far'u.
Dari rukun qiyas diatas, dapat disimpulkan bahwa cara operasionalisasi pengambilan dengan metode qiyas dilakukan dengan tahap-tahap diatas.
Setelah kita mengetahui rukun Qiyas itu terbagi empat bagian yaitu : Al-ashlu, hukmu al-ashli, Al- Far’u, dan ‘Illat, maka dengan demikian tentunya kita harus mengetahui pula syarat-syaratnya masing-masing agar dalam melaksanakan tindakan hukum tidak tersesat dan atau menyesatkan, diantara syarat-syaratnya sebagai berikut :
a.    Syarat asal atau pokok, Hukum Ashal harus masih tetap atau masih.
b.    Syarat far’I, Hukum Far’i janganlah berwujud lebih dahulu daripada hukum ashal, ‘Ilat. Hendaknya menyamai ‘ilatnya Ashal/Pokok, hukum yang ada pada far’i itu menyamai hukum ashal/pokok.
c.    Syarat ‘illat hendaknya “ilat itu berturut-turut. artinya jika ‘illat itu ada , maka dengan sendirinya hukumpun ada, dan sebaliknya. “Illat jangan menyalahi Nash, karena “illat itu tidak dapat mengalahkannya maka dengan demikian Nash lebih dahulu mengalahkan ‘illat.
Contohnya adalah Qiyâs keharaman extasy atau pil koplo atau narkotika atau sabu-sabu.  Hukum mengkonsumsi extasy atau pil koplo tidak tertulis secara eksplisit di dalam al-Qur'an ataupun hadist. Namun dalam al-Qur'an surat al-Mâidah ayat 90, Allah SWT berfirman:  Artinya:  "Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (minum) khamr; berjudi, menyembah patung dan mengundi nasib dengan anak panah tidak lain hanyalah suatu yang kotor, termasuk perbuatan syaitan, karena itu hendaklah kamu jauhi agar kamu mendapat keberuntungan." (al-Mâidah: 90)
Pada ayat diatas, Allah menerangkan keharaman minum khamer. Maka metode qiyâs dapat digunakan untuk menetapkan hukum mengkonsumsi extasy atau narkotika;
a.    Al-Ashlu: minuman keras atau khamer
b.     hukum asli: haram
c.    Al-far'u: extasy    
d.    Al-'illah: memabukkan
Disimpulkan bahwa antara extasy dan minum khamer terdapat persamaan dalam 'illat, yaitu sama-sama memabukkan sehingga dapat merusak akal. Jadi dapat disimpulkan bahwa mengkonsumsi extasy atau narkotik hukumnya haram, sebagaimana haramnya minum khamer.
-->
3.    Pendapat saya mengenai hukum bayi tabung (artificial infitro) adalah
a.    Diperbolehkan, jika bayi tabung tersebut berasal dari sel sperma dan ovum dari suami isteri sendiri dan tidak ditransfer embrionya ke dalam rahim wanita lain (ibu titipan), jika keadaan kondisi suami isteri yang bersangkutan benar-benar memerlukannya. Dan status anak hasil bayi tabung macam ini sah menurut Islam.
b.    Tidak diperbolehkan (haram) jika bayi tabung ini berasal dari sperma dan atau ovum donor diharamkan (dilarang keras) Islam. Hukumnya sama dengan zina dan anak yang lahir dari hasil bayi tabung ini statusnya sama dengan anak yang lahir di luar  perkawinan yang sah.
Proses menggunakan bayi tabung ada tiga macam:
1)    Proses bayi tabung dengan sperma dan ovum dari pasangan suami istri kemudian embrionya ditransplantasikan ke dalam rahim istri, status anak yang dilahirkan tersebut dapat dipertalikan keturunannya dengan ayah beserta ibunya dan anak itu mempunyai kedudukan yang sah menurut syariat islam, ini diperbolehkan.
2)    Proses bayi tabung yang menggunakan sperma donor. Ada larangan penggunaan sperma donor seperti terdapat dalam surat al-baqarah: 223 dan an-nur : 30-31. Dan di dalam hadist nabi disebutkan : “tidak ada suatu dosa yang lebih besar disisi Allah sesudah syirik dari pada seorang laki-laki yang meletakkan maninya ke dalam rahim perempuan yang tidak halal baginya”. Maka status anak yang dilahirkan seperti anak zina, maka proses ini tidak diperbolehkan.
3)    Proses bayi tabung yang menggunakan cara surrogate mother (rahim titipan). alam proses ini menurut saya tetap saja tidak diperbolehkan karena meskipun hanya meminjam rahim namun perkembangan dan pertumbuhan si bayi tetap mendapat nutrisi makanan dari ibu yang dititipi rahim tersebut dan ini juga sangat mempengaruhi perubahan pada si bayi dan percampuran nasab pada si bayi.
Bayi tabung dengan donor sperma dan atau ovum lebih mendatangkan madarat daripada maslahanya. Adapun madarat bayi tabung itu jauh lebih besar, antara lain: pencampuran nasab, bertentangan dengan sunnatullah atau hokum Islam, bayi tabung pada hakikatnya sama dengan zina, karena terjadi percampuran sperma dan ovum tanpa perkawinan yang sah, kehadiran anak hasil bayi tabung bias menjadi sumber konflik di dalam rumah tangga, terutama bayi tabung dengan bantuan donor, dan lain sebagaianya. Landasan hokum yang mengharamkan bayi tabung dengan donor ialah terdapat dalam al-Qur’an surat Al-Isra ayat 70 dan At-Tin ayat 4.

4.    “Taghyirul ahkam bi taghyirul azmanah wal amkanah”, artinya berubahnya  hukum karena adanya perubahan zaman dan tempat. Relevansi kaidah tersebut dalam penerapan konsep hukum waris dalam logika feminisme adalah, dalam perkembangan dunia yang telah  mengalami perubahan, setiap manusia dituntut untuk menyesuaikan perkembangan zaman. Tidak terkecuali dalam hukum waris Islam dalam pelaksanaannya harus dapat pula menyesuaikan perkembangan dan nilai-nilai sosial. Nilai-nilai keadilan menurut hukum waris Islam kini tela pula mengalami pergeseran nilai. Dengan semakin marakanya isu gender ini pula yang membuat tatanan hukum kewarisan Islam mengalami perubahan yang cukup mendasar. Perubahan mendasar ini terlihat dari hukum waris telah mengalami penyesuaian dengan nilai-nilai keadilan. Nilai-nilai keadilan pada zaman sekarang menuntut penyesuaian antara hak laki-laki dan perempuan. Perempuan sebagai mahluk yang mempunyai kewajiban yang sama. Sudah sepantasnya menuntut hak yang sama pula. Oleh karena ini dalam pembagian warisan menurut hukum waris Islam dituntut pula untuk memperhatikan hak laki-laki maupun hak perempuan yang sama kuatnya. Bahkan ada sebagian yang menuntut hak yang sebanding dengan hak laki-laki. Konsep inilah yang sedang tren disaat ini dikalangan masyarakat. Tren yang megganggap semua manusia mempunyak hak yang sama dihadapan hukum. Maka masyarakat pun telah merespon keiginan ini dengan menyamakan laki-laki dan perempuan sebagai ahli  waris berkenaan dengan tanggung jawab yang diembannya.
Asas hukum dalam pewarisan Islam tidak memandang  perbedaan antara laki-laki dengan perempuan semua ahli waris baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama sebagai ahli waris. Tetapi hanyalah perbandinganya saja yang berbeda. Memang didalam hukum waris Islam yang ditekankan keadilan yang berimbang dipakai, bukanlah keadilan yang sama rata sebagai sesama ahli waris. Karena prinsip inilah yang sering menjadi polemik dan perdebatan yang kadang kala menimbulkan persengketaan diantara para ahli waris. Yang dahulu wanita hanya sebagai pendamping  pria dalam mencari nafkah kini telah mengalami pergeseran. Kini perempuan tidak sedikit malah menjadi tulang punggung perekonomian keluarga. Perubahan inilah yang menjadikan perubahan sosial yang dahulu wanita merupakan sebagai mahluk kelas dua kini telah mensejajarkan  kedudukanya dengan laki-laki begitu pula dalam tuntutan dalam pembagian terhadap harta warisan. Sebab didalam sistem hukum kewarisan Islam menempatkan pembagian yang tidak sama antara laki-laki dengan perempuan. Secara mendasar dapat dikatakan bahwa perbedaan gender tidak menentukan hak kewarisan dalam  Islam. Artinya sebagaimana  laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama kuatnya untuk mendapatkan warisa. Hal ini secara jelas disebut dalam alp-Qur’an dalam surah al-Nisa ayat 7 yang menyamakan kededukan laki-laki dan perempuan  dalam hak mendapatkan warisan. Pada ayat 11-12.176 surah an-Nisa secara rinci diterangkan kesamaan kekuatan hak menerima warisan antara anak laki-laki, dan anak perempuan, ayah dan ibu(ayat 11), suami dan istri (ayat12) saudara laki-laki dan perempuan (ayat 12dan 176). Ditinjau dari segi jumlah bagian saat menerima hak, memang terdapat ketidaksamaan. Akan tetapi hal tersebut bukan berarti tidak adil, karena keadilan dalam pandangan Islam tidak hanya diukur dengan jumlah yang didapat saat menerima hak waris tetapi juga dikaitkan kepada kegunaan dan kebutuhan. Karena secara umum pria membutuhkan lebih banyak materi dibandingkan dengan wanita. Hal tersebut dikarenakan pria dalam ajaran Islam memikul kewajiban ganda yaitu untuk dirinya sendiri dan terhadap keluarganya termasuk para wanita, sebagaimana dijelaskan Allah dalam surah al-Nisa’ayat 34. Bila dihubungkan dengan jumlah yang diterima dengan kewajiban dan tanggung jawab seperti disebutkan diatas, maka akan terlihat bahwa kadar manfaat yang dirasakan laki-laki sama dengan apa yang dirasakan oleh pihak wanita. Meskipun pada mulanya pria menerima dua kali lipat dari perempuan, namun sebagian dari yang diterima akan diberikan lagi kepada wanita, dalam kapasitasnya sebagai pembimbing yang bertanggung jawab atas wanita. Inilah konsep keadilan dalam Hukum Kewarisan Islam.

MODERNISASI SISTEM PENDIDIKAN PESANTREN


Makalah
Di buat untuk memenuhi tugas Ujian Akhir Semester (UAS) mata kuliah
"Teknik Penulisan Karya Ilmiah”
Oleh :
M. Adlan Fahmi
D03209064
Dosen pembimbing:
Dr. Phil. Khoirun Ni’am
JURUSAN KEPENDIDIKAN ISLAM
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUNAN AMPEL
SURABAYA
2009




 

1
KATA PENGANTAR
Segala puji hanya milik-Nya, Tuhan semesta alam yang senantiasa melimpahkan
rahmat, hidayah, serta inayah-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah kami
yang berjudul “Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren”. Sholawat serta salam tetap
terlimpah curah tiada henti kepada makhluk terbaik-Nya, Nabi Muhammad Saw, yang
senantiasa kita harapkan syafaatnya.
Makalah ini kami susun atas dasar tugas yang telah diamanatkan kepada kami
oleh Bapak Dr. Phil. Khoirun Ni’am sebagai dosen pembimbing mata kuliah Teknik
Penulisan Karya Ilmiah. Kami sebagai penyusun, menyadari sepenuhnya bahwa dalam
makalah ini banyak sekali kekurangan. Untuk itu, kami senantiasa mengharap saran serta
kritik yang membangun. Akan tetapi, kami juga tetap berharap semoga makalah yang
telah kami susun ini senantiasa bermanfaat bagi pembacanya. Amin.
Surabaya, 31 Desember 2009
Penyusun
2
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL.................................................................................................. i
KATA PENGANTAR................................................................................................ ii
DAFTAR ISI.............................................................................................................. iii
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang .............................................................................................
B. Rumusan Masalah.........................................................................................
C. Tujuan...........................................................................................................
BAB II : PESANTREN
A. Pengertian Pesantren.....................................................................................
B. Macam-Macam Pesantren.............................................................................
C. Dinamika Pesantren.......................................................................................
BAB III : MODERNISASI PENDIDIKAN PESANTREN
A. Sistem Pendidikan Pesantren.........................................................................
B. Beberapa Model Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren.........................
C. Pengaruh Modernisasi Sistem Pendidikan Pesantren....................................
DAFTAR PUSTAKA.................................................................................................
3
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan
sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun
yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim.
Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung,
pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi
masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin
bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni
atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.1
Namun, kini reputasi pesantren tampaknya dipertanyakan oleh
sebagian masyarakat Muslim Indonesia. Mayoritas pesantren masa kini
terkesan berada di menara gading, elitis, jauh dari realitas social. Problem
sosialisasi dan aktualisasi ini ditambah lagi dengan problem keilmuan, yaitu
terjadi kesenjangan, alienasi (keterasingan) dan differensiasi (pembedaan)
antara keilmuan pesantren dengan dunia modern. Sehingga terkadang lulusan
pesantren kalah bersaing atau tidak siap berkompetisi dengan lulusan umum
dalam urusan profesionalisme di dunia kerja. Dunia pesantren dihadapkan
kepada masalah-masalah globalisasi, yang dapat dipastikan mengandung
beban tanggung jawab yang tidak ringan bagi pesantren.2
Semakin disadari, tantangan dunia pesantren semakin besar dan berat
dimasa kini dan mendatang. Paradigma “mempertahankan warisan lama yang
1 Sambutan Setiawan Djody dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xii
2 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet I.
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii
4
masih relevan dan mengambil hal terbaru yang lebih baik” perlu direnungkan
kembali. Pesantren harus mampu mengungkai secara cerdas problem
kekiniankita dengan pendekatan-pendekatan kontemporer. Disisi lain,
modernitas, yang menurut beberapa kalangan harus segera dilakukan oleh
kalangan pesantren, ternyata berisi paradigm dan pandangan dunia yang telah
merubah cara pandang lama terhadap dunia itu sendiri dan manusia.3
Dalam konteks yang dilematis ini, pilihan terbaik bagi insane
pesantren adalah mendialogkannya dengan paradigm dan pandangan dunia
yang telah diwariskan oleh generasi pencerahan Islam. Maksudnya, insane
pesantren perlu memosisikan warisan masa lalu sebagai “teman dialog” bagi
modernitas dengan segala produk yang ditawarkannya. Mereka harus
membaca khazanah lama dan baru dalam frame yang terpisah. Masa lalu hadir
atau dihadirkan dengan terang dan jujur, lalu dihadapkan dengan kekinian.
Boleh jadi masa lalu tersebut akan tampak “basi” dan tak lagi relevan, namun
tak menutup kemungkinan masih ada potensi yang dapat dikembangkan untuk
zaman sekarang.4
Salah satu hal yang perlu dimodifikasi adalah system pendidikan
pesantren. System pembelajaran tradisional, yaitu sorogan, bandongan,
balaghan, atau halaqah seharusnya mulai diseimbangkan dengan system
pembelajaran modern. Dalam aspek kurikulum juga seharusnya kalangan
pesantren berani mengakomodasi dari kurikulum pemerintah.5
B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian pesantren?
2. Apa saja macam-macam pesantren?
3. Bagaimana dinamika pesantren mulai ada hingga sekarang?
4. Bagaimana system pendidikan pesantren?
3 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren,Cet I (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006) h. v-ix.
4 Ibid. v-ix
5 Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen
Pondok Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) h. 5
5
5. Apa saja dan bagaimana model pendidikan dalam proses modernisasi
system pendidikan pesantren?
6. Apa pengaruh modernisasi system pendidikan pesantren terhadap
eksistensi pesantren itu sendiri?
6
-->

BAB II
PESANTREN
A. Pengertian Pesantren
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan
pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri.
Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid
agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa
yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa
Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa,
dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru
kemana guru itu pergi menetap. 6
Sedangkan secara istilah, Husein Nasr mendefinisikan pesantren dengan
sebutan dunia tradisional Islam. Maksudnya, pesantren adalah dunia yang
mewarisi dan memelihara kontinuitas tradisi Islam yang dikembangkan ulama’
(kiai) dari masa ke masa, tidak terbatas pada periode tertentu dalam sejarah
Islam.7
Di Indonesia, istilah pesantren lebih populer dengan sebutan pondok
pesantren. Lain halnya dengan pesantren, pondok berasal dari bahasa Arab
funduq, yang berarti hotel, asrama, rumah, dan tempat tinggal sederhana.8
Dari terminology diatas, mengindikasikan bahwa secara kultural
pesantren lahir dari budaya Indonesia. Mungkin dari sinilah Nur Cholis Majid
6 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) h. 61-62. Bandingkan dengan Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia,Cet. II (Malang: UMM Press, 2006) h.96-99. Bandingkan dengan
kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan
Indonesia, Cet. I (Jakarta: KLIK R, 2007) h. vii-ix.
7 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet I (Yogyakarta:
Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii
8 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,Cet. II (Malang: UMM Press, 2006) hal.62.
lihat juga Abdurrahman Wahid dalam Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan
Indonesia, Cet. I (Jakarta: KLIK R, 2007) h. vii-ix.
7
berpendapat bahwa secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna
keislaman, tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal
lembaga pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam
tinggal meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.9
B. Bentuk-Bentuk Pesantren
Tentang bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia,
beberapa pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam10,
yaitu:
1. Pesantren salafi, yaitu pesantren yang tetap
mempertahankan pelajarannya dengan kitabkitab
klasik, dan tanpa tanpa diberikan
pengetahuan umum. Model pengajarannya pun
sebagaimana yang lazim diterapkan dalam
pesantren salaf, yaitu sorogan dan weton.11
Weton adalah pengajian yang inisiatifnya berasal
dari kyai sendiri, baik dalam menentukan
tempat, waktu, maupun lebih-lebih kitabnya.
Sedangkan sorogan adalah pengajian yang
merupakan permintaan dari seseorang atau
beberapa orang santri kepada kyainya untuk
diajarkan kitab-kitab tertentu.12 Sedangkan
istilah salaf ini bagi kalangan pesantren mengacu
kepada pengertian “pesantren tradisional” yang
9 Ibid. hal. 62
10 Ibid. hal. 101. bandingkan dengan Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 70.
11 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamallludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii
12 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal. 67.
8
justru sarat dengan pandangan dunia dan praktek
islam sebagai warisan sejarah, khususnya dalam
bidang syari’ah dan tasawwuf.13 Misalnya:
pesantren Lirboyo Kediri, Pesantren Tarbiyatun
Nasyi’in Jombang, dan lain sebagainya.
2. Pesantren khalafi, yaitu pesantren yang
menerapkan sistem pengajaran klasikal
(madrasi0, memberikan ilmu pengetahuan umum
dan agama dan juga memberikan keterampilan
umum. Pesantren jenis ini juga membuka
sekolah-sekolah umum.14 Misalnya: Pesantren
Tebuireng Jombang, Pesantren Tambak Beras
Jombang, dan lain sebagainya.
3. Pesantren kilat, yaitu pesantren yang berbentuk
semacam training dalam waktu yang relatif
singkat, dan biasanya dilaksanakan pada waktu
liburan sekolah.15 Misalnya Pesantren La Raiba
Jombang yang programnya adalah pelatihan
menghafal asam’ul husna, Al Qur’an dan yang
lain sebagainya dengan metode Hanifida,
metode khas pesantren tersebut.
4. Pesantren terintegrasi, yaitu pesantren yang lebih
menekankan pada pendidikan vocasional atau
kejujuran, sebagaimana balai pelatihan kerja,
dengan program yang terintegrasi. Santrinya
kebanyakan berasal dari kalangan anak putus
13 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii
14 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 71.
15 Ibid. hal. 101
9
sekolah atau para pencari kerja.16
C. Dinamika Pesantren
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis
di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak
sekitar abad ke-18.17 bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13.
Beberapa abad kemudian penyelenggaraan pendidikan ini semakin teratur
dengan munculnya tempat-tempat pengajian. Bentuk ini kemudian
berkembang dengan pendirian tempat-tempat menginap bagi para pelajar
(santri), yang kemudian disebut pesantren.18 Pesantren pertama didirikan oleh
Syekh Maulana Malik Ibrahim.19 Meskipun bentuknya masih sangat
sederhana, pada waktu itu pendidikan pesantren merupakan satu-satunya
lembaga pendidikan yang terstruktur. Sehingga pendidikan ini dianggap
sangat bergengsi. Di lembaga inilah kaum muslimin Indonesia mendalami
doktrin dasar Islam, khususnya menyangkut praktek kehidupan keagamaan.20
Lembaga ini semakin berkembang pesat dengan adanya sikap non
kooperatif para ulama terhadap kebijakan “politik etis” pemerintah kolonial
Belanda dengan memberikan pendidikan modern, termasuk budaya barat.
Namun pendidikan yang diberikan sangat terbatas, hanya sekitar 3%
penduduk Indonesia. Berarti sekitar 97% penduduk Indonesia buta huruf.
Sikap para ulama tersebut dimanifestasikan dengan mendirikan pesantren di
daerah-daerah yang jauh dari kota untuk menghindari intervensi Belanda
serta memberi kesempatan kepada rakyat yang belum mendapat pendidikan.21
Pada tahun 1860-an, jumlah pesantren mengalami peledakan jumlah
yang sangat signifikan, terutama di Jawa yang diperkirakan 300 buah.
16 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I (Malang: UMM Press, 2006) hal.62.
17 Ibid. hal 107.
18 Sigit Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen
Pondok Pesantren, Cet. II (Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 1.
19 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren, Cet. I (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006) hal 16.
20 Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok
Pesantren, Cet. II( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 1.
21 Ibid. hal 1-2.
10
Perkembangan tersebut ditengarai berkat dibukanya terusan Suez pada 1869
sehingga memungkinkan banyak pelajar Indonesia mengikuti pendidikan di
Mekkah. Sepulangnya ke kampung halaman, mereka membentuk le,baga
pesantren di daerahnya masing-masing.22
Pada era 1970-an, pesantren mengalami perubahan yang sangat
signifikan yang tampak dalam beberapa hal. Pertama, peningkatan secara
kuantitas terhadap jumlah pesantren. Tercatat di Departemen Agama, bahwa
pada tahun 1977, ada 4.195 pesantren dengan jumlah santri sebanyak 667.384
orang. Jumlah tersebut meningkat menjadi 5.661 pesantren dengan 938.397
orang santri pada tahun 1981. kemudian jumlah tersebut menjadi 15.900
pesantren dengan jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun
1985.23Kedua, menyangkut penyelenggaraan pendidikan. Perkembangan
bentuk-bentuk pendidikan di pesantren tersebut diklasifikasikan menjadi
empat, yaitu:
1. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
formal dengan menerapkan kurikulum nasional,
baik yang hanya memiliki sekolah keagamaan
maupun yang juga memiliki sekolah umum.24
Seperti Pesantren Denanyar Jombang,
Pesantren Darul Ulum Jombang, dan lain-lain.
2. Pesantren yang menyelenggarakan pendidikan
keagamaan dalam bentuk Madrasah dan
mengajarkan ilmu-ilmu pengetahuan umum
meski tidak menerapkan kurikulum nasional.
Dengan kata lain, ia mengunakan kurikulum
sendiri. Seperti Pesantren Modern Gontor
22 Ibid. hal. 2.
23 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. I (Malang: UMM Press, 2006) hal.
107. bandingkan dengan Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho.
Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 4.
24 Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok
Pesantren, Ccccet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 5.
11
Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.
kurikulum sendiri. Seperti Pesantren Modern
Gontor Ponorogo, dan Darul Rahman Jakarta.25
3. Pesantren yang hanya mengajarkan ilmu-ilmu
pengetahuan agama dalam bentuk Madrasah
Diniyah,26 seperti Pesantren Lirboyo Kediri,
Pesantren Ploso Kediri, Pesantren Sumber Sari
Kediri, dan lain sebagainya.
4. Pesantren yang hanya sekedar manjadi tempat
pengajian,27 seperti Pesantren milik Gus
Khusain Mojokerto.
Perkembangan akhir-akhir ini menunjukkan bahwa beberapa pesantren
ada yang tetap berjalan meneruskan segala tradisi yang diwarisinya secara
turun temurun, tanpa ada perubahan dan improvisasi yang berarti, kecuali
sekedar bertahan. Namun ada juga pesantren yang mencoba mencari jalan
sendiri, dengan harapan mendapatkan hasil yang lebih baik dalam waktu
singkat. Pesantren semacam ini adalah pesantren yang kurikulumnya
berdasarkan pemikiran akan kebutuhan santri dan masyarakat sekitarnya.28
Meskipun demikian, semua perubahan itu, sama sekali tidak
mencerabut pesantren dari akar kulturnya. Secara umum pesantren tetap
memiliki fungsi-fungsi sebagai: (1) Lembaga pendidikan yang melakukan
transfer ilmu-ilmu pengetahuan agama (tafaqquh fi addin) dan nilai-nilai
islam (Islamic values). (2) Lembaga keagamaan yang melakukan kontrol
sosial (social control). (3) Lembaga keagamaan yang melakukan rekayasa
sosial (Social engineering). Perbedaan-perbedaan tipe pesantren diatas hanya
25 Ibid hal. 5.
26 Ibid. hal. 5.
27 Ibid hal. 5.
28 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia,Cet. II (Malang: UMM Press, 2006) hal.
108-109.
12
berpengaruh pada bentuk aktualisasi peran-peran ini.29
BAB III
MODERNISASI PENDIDIKAN PESNTREN
A. Model Modernisasi Pendidikan Pesantren
Modernisasi atau inovasi pendidikan pesantren dapat diartikan sebagai
upaya untuk memecahkan masalah pendidikan pesantren. Atau dengan kata
lain, inovasi pendidikan pesantren adalah suatu ide, barang, metode yang
dirasakan atau diamati sebagai hal yang baru bagi seseorang atau sekelompok
orang , baik berupa hasil penemuan (invention) maupun discovery, yang
digunakan untuk mencapai tujuan atau memecahkan masalah pendidikan
29 Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho. Manajemen Pondok
Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 6.
13
pesantren.30
Miles mencontohkan inovasi (modernisasi) pendidikan adalah sebagai
berikut:
a. Bidang personalia. Pendidikan yang merupakan bagian dari
sistem sosial, tentu menentukan personel sebagai komponen
sistem. Inovasi yang sesuai dengan komponen personel
misalnya adalah peningkatan mutu guru, sistem kenaikan
pangkat, dan sebagainya.31 Dalam hal ini, pesantren telah di
bantu dengan adanya program Beasiswa S1 untuk guru
diniyah oleh Departemen Agama.
b. Fasilitas fisik. Inovasi pendidikan yang sesuai dengan
komponen ini misalnya perubahan tempat duduk, perubahan
pengaturan dinding ruangan perlengkapan Laboratorium
bahasa, laboratorium Komputer, dan sebagainya.32
c. Pengaturan waktu. Suatu sistem pendidikan tentu memiliki
perencanan penggunaan waktu. Inovasi yang relevan dengan
komponen ini misalnya pengaturan waktu belajar, perubahan
jadwal pelajaran yang dapat memberi kesempatan
siswa/mahasiswa untuk memilih waktu sesuai dengan
keperluannya, dan lain sebagainya.33
Menurut Nur Cholis Majid, yang paling penting untuk direvisi adalah
kurikulum pesantren yang biasanya mengalami penyempitan orientasi
kurikulum. Maksudnya, dalam pesantren terlihat materinya hanya khusus yang
disajikan dalam bahasa Arab. Mata pelajarannya meliputi fiqh, aqa’id, nahwusharf,
dan lain-lain. Sedangkan tasawuf dan semangat keagamaan yang
merupakan inti dari kurikulum keagamaan cenderung terabaikan. Tasawuf
30 Ibid hal. 65
31 Ibid hal. 65
32 Ibid hal. 65
33 Ibid hal. 66.
14
hanya dipelajari sambil lalu saja, tidak secara sungguh-sungguh. Padahal justru
inilah yang lebih berfungsi dalam masyarakat zaman modern. Disisi lain,
pengetahuan umum nampaknya masih dilaksanakan secara setengah-setengah,
sehingga kemampuan santri biasanya samgat terbatas dan kurang mendapat
pengakuan dari masyarakat umum. Maka dari itu, Cak Nur menawarkan
kurikulum Pesantren Modern Gontor sebagai model modernisasi pendidikan
pesantren. 34
B. Plus Minus Modernisasi Pendidikan Pesantren
Dalam menanggapi gagasan ini, tampak kalangan pesantren terbelah
menjadi dua, yaitu pro dan kontra. Adanya kontroversi ini mungkin lebih
disebabkan pada perbedaan pendapat mereka tentang bagaimana sikap
pesantren dalam menghadapi era globalisasi. Mereka yang pro mengatakan
bahwa modernisasi pesantren akan memberi angin segar bagi pesantren.
Mereka menganggap bahwa banyak sisi positif yang akan diperoleh dengan
modernisasi pendidikan di pesantren. Di antara sisi positif tersebut adalah
sebagai berikut:
1. Sebagai bentuk adaptasi pesantren terhadapperkembangan era
globalisasi. Hal ini mutlak harus dilakukan agar pesantren tetap
eksis.35
2. Sebagai upaya untuk memperbaiki kelemahan dalam sistem
pendidikan pesantren.36
Sedangkan bagi kalangan pesantren yang tidak setuju dengan gagasan
modernisasi berpendapat bahwa gagasan tersebut banyak sisi negatifnya,
34 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 77-111.
35 Sambutan Azyumardi Azra dalam Jamaludin Malik, “Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan”,cetakan I.
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xix-xxii
36 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 58-59.
15
diantaranya adalah:
1. Modernitas akan merubah
cara pandang lama
terhadap dunia dan
manusia.37
2. Modernisasi sistem
pendidikan tradisional
dikhawatirkan akan ikut
merubah kultur-kultur
positif yang telah lama
terbentuk di pesantren.
Terlepas dari polemik tersebut, perbedaan pendapat yang terjadi telah
mendatangkan sisi positif tersendiri bagi pesantren. Hal itu telah membuktikan
hadits Nnabi Muhammad Saw ”ikhtilafu ummati rahmatun” yang artinya
”perbedaan pendapat dalam umatku adalah rahmat”. Diantara manfaat dari
perbedaan pendapat dalam masalah ini adalah:
1. Melahirkan banyak pesantren yang
bervariasi. Banyak pesantren yang
memiliki ciri khas masing-masing. Ini
memberikan banyak pilihan kepada calon
santri dalam menentukan pesantren yang
sesuai dengan bakat, minat serta citacitanya.
2. Lahirnya santri yang beraneka ragam. Hal
ini mengubur paradigma bahwa santri
hanya mampu di bidang agama saja. Saat
ini, banyak sekali santri yang ahli di
bidang pengetahuan umum.
37 Abd. A’la, Pembaruan Pesantren,cet I. (Yogyakarta: PT. LKiS Pelangi Aksara, 2006) hal vii.
16
17
BAB IV
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pesantren merupakan salah satu jenis pendidikan Islam Indonesia yang
bersifat tradisional untuk mendalami ilmu agama Islam dan mengamalkan
sebagai pedoman hidup keseharian. Pesantren telah hidup sejak ratusan tahun
yang lalu, serta telah menjangkau hamper seluruh lapisan masyarakat muslim.
Pesantren telah diakui sebagai lembaga pendidikan yang telah ikut
mencerdaskan kehidupan bangsa. Pada masa kolonialisme berlangsung,
pesantren merupakan lembaga pendidikan agama yang sangat berjasa bagi
masyarakat dalam mencerahkan dunia pendidikan. Tidak sedikit pemimpin
bangsa yang ikut memproklamirkan kemerdekaan bangsa ini adalah alumni
atau setidak-tidaknya pernah belajar di pesantren.38
Secara bahasa, kata pesantren berasal dari kata santri dengan awalan
pe- dan akhiran -an (pesantrian) yang berarti tempat tinggal para santri.
Sedangkan kata santri sendiri berasal kata “sastri”, sebuah kata dari bahasa
sansekerta yang artinya melek huruf. Dalam hal ini menurut Nur Cholis Majid
agaknya didasarkan atas kaum santri adalah kelas literary bagi orang jawa
yang berusaha mendalami agama melalui kitab-kitab bertulisan dan berbahasa
Arab. Ada juga yang mengatakan bahwa kata santri berasal dari bahasa Jawa,
dari kata “cantrik”, yang berarti seseorang yang selalu mengikuti seorang guru
kemana guru itu pergi menetap. 39
Secara historis, pesantren tidak hanya mengandung makna keislaman,
tetapi juga makna keaslian Indonesia. Sebab, memang cikal bakal lembaga
38 Sambutan Setiawan Djody dalam Jamaludin Malik, Pemberdayaan Pesantren, Menuju
Kemandirian dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet. I
(Yogyakarta: Pustaka Pesantren, 2005). H. xii
39 Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid Terhadap Pendidikan Islam
Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) h. 61-62. Bandingkan dengan Khozin, Jejak-jejak
Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II (Malang: UMM Press, 2006) h.96-99. Bandingkan dengan
kata pengantar Abdurrahman Wahid dalam Muhaimin Iskandar, Gus Dur, Islam dan Kebangkitan
Indonesia, Cet. I (Jakarta: KLIK R, 2007) h. vii-ix.
18
pesantren sebenarnya sudah ada pada masa Hindu-Budha, dan Islam tinggal
meneruskan, melestarikan, dan mengislamkannya.40
Bentuk-bentuk pesantren yang tersebar di seluruh Indonesia, beberapa
pengamat mengklasifikasikan pesantren menjadi empat macam41, yaitu:
1. Pesantren salafi.
2. Pesantren khalafi
3. Pesantren kilat.
4. Pesantren terintegrasi.
Dalam perspektif sejarah, lembaga pendidikan yang terutama berbasis
di pedesaan ini telah mengalami perjalanan sejarah yang panjang, sejak sekitar
abad ke-18.42 Bahkan ada yang mengatakan sejak abad ke-13. saat ini,
pekembang pesantren sangat pesat. Pada awal perkembangannya hanya
berjumlah 300 buah, dan berkembang menjadi 15.900 pesantren dengan
jumlah santri sebanyak 5,9 juta orang pada tahun 1985.43 bisa dibayangkan
berapa banyak jumlah pesantren dan santrinya saat ini.
Gagasan modernisasi dianggap perlu dilakukan oleh beberapa kalangan,
salah satunya adalah Nur Cholis Majid. Ia berpendapat bahwa modernisasi ini
sebaiknya dilakukan dengan model sistem pendidikan Pesantren Modern
Gontor Ponorogo.
Namun gagasan ini telah memecah kalangan pesantren menjadi dua
kubu, pro dan kontra. Namun kontroversi ini telah menimbulkan variasi
tersendiri dikalangan pesantren. Ini merupakan salah satu sisi positif dari
perbedaan pendapat yang terjadi di kalangan pesantren.
40 Ibid. hal. 62
41 Ibid. hal. 101. bandingkan dengan Yasmadi, Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid
Terhadap Pendidikan Islam Tradisional, ( Jakarta: Ciputat Press, 2002) hal 70.
42 Khozin, Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Ccet. II (Malang: UMM Press, 2006) hal.
107. bandingkan dengan Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho.
Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II ( Jakarta: Diva Pustaka, 2005) hal. 4.
43 Ibid. hal 107.
19
B. Saran
Perbedaan pendapat adalah hal yang biasa dalam menyikapi suatu
gagasan. Maka dari itu, tidak perlu dibesar-besarkan. Kalangan pesantren
harus bisa bersikap dewasa dan berpikir positif dalam hal ini. Hal ini salah satu
judul buku Harun Yahya,”Seeing good in the something”.
DAFTAR PUSTAKA
A’la, Abd. 2006. Pembaruan Pesantren,cet I. Yogyakarta: PT. LKiS
20
Pelangi Aksara.
Iskandar, Muhaimin. 2007. Gus Dur, Islam dan Kebangkitan Indonesia,
Cet.I. Jakarta: KLIK R.
Khozin. 2006. Jejak-jejak Pendidikan Islam di Indonesia, Cet. II. Malang:
UMM Press.
Malik, Jamaludin. 2005. Pemberdayaan Pesantren, Menuju Kemandirian
dan Profesionalisme Santri dengan Metode Daurah Kebudayaan, Cet.
I,Yogyakarta: Pustaka Pesantren.
Muryono, Mastuki HS, Imam Safe’I, Sulton Mashud, Moh. Khusnuridho.
2005. Manajemen Pondok Pesantren, Cet. II. Jakarta: Diva Pustaka
Yasmadi. 2002. Modernisasi Pesantren, Kritik Nur Cholis Madjid
Terhadap PendidikanIslam Tradisional, Jakarta: Ciputat Press.