Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

LIMA FAEDAH PUASA SYAWAL

Faedah pertama: Puasa syawal akan menggenapkan ganjaran berpuasa setahun penuh
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Barangsiapa yang berpuasa Ramadhan kemudian berpuasa enam hari di bulan Syawal, maka dia berpuasa seperti setahun penuh.”317
317 HR. Muslim no. 1164, dari Abu Ayyub Al Anshori.
318 Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56.
319 QS. Al An’am ayat 160.
320 HR. Ibnu Majah no. 1715, dari Tsauban, bekas budak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
321 Lihat Fathul Qodir, 3/6 dan Taisir Al Karimir Rahman, hal. 282.
322 Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56.
323 Lihat Al Minhaj Syarh Shahih Muslim, 8/56.
324 Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, “Barangsiapa mempunyai qodho’ puasa di bulan Ramadhan, lalu ia malah mendahulukan menunaikan puasa sunnah enam hari di bulan Syawal, maka ia tidak peroleh pahala puasa setahun penuh dengan mengerjakan puasa Ramadhan diikuti puasa enam hari di bulan Syawal. Ia tidak peroleh pahala tersebut karena puasa Ramadhannya belum sempurna.” (Lathoif Al Ma’arif, 392). Namun menurut pendapat yang lebih kuat, jika ia mendahulukan puasa enam hari di bulan Syawal dari qodho’ puasa, maka puasanya tetap sah. Hanya saja pahala puasa setahun penuh yang tidak ia peroleh karena puasa Ramadhannya belum sempurna.
Para ulama mengatakan bahwa berpuasa seperti setahun penuh asalnya karena setiap kebaikan semisal dengan sepuluh kebaikan. Bulan Ramadhan (puasa sebulan penuh) sama dengan (berpuasa) selama sepuluh bulan (30 x 10 = 300 hari = 10 bulan) dan puasa enam hari di bulan Syawal sama dengan (berpuasa) selama dua bulan (6 x 10 = 60 hari = 2 bulan).318 Jadi seolah-olah jika seseorang melaksanakan puasa Syawal dan sebelumnya berpuasa sebulan penuh di bulan Ramadhan, maka dia seperti melaksanakan puasa setahun penuh. Hal ini dikuatkan oleh sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, “Barangsiapa berpuasa enam hari setelah Idul Fitri, maka dia seperti berpuasa setahun penuh. [Barangsiapa berbuat satu kebaikan, maka baginya sepuluh kebaikan semisal]319.”320 Satu kebaikan dibalas dengan sepuluh kebaikan semisal dan inilah balasan kebaikan yang paling minimal.321 Inilah nikmat yang luar biasa yang Allah berikan pada umat Islam.
Lebih utama puasa syawal dilaksanakan sehari setelah Idul Fithri, namun tidak mengapa jika diakhirkan asalkan masih di bulan Syawal.322 Lebih utama pula dilakukan secara berurutan namun tidak mengapa jika dilakukan tidak berurutan.323 Usahakan untuk menunaikan qodho’ puasa terlebih dahulu agar mendapatkan ganjaran puasa setahun penuh. Ingatlah puasa Syawal adalah puasa sunnah sedangkan qodho’ Ramadhan adalah wajib. Sudah semestinya ibadah wajib lebih didahulukan daripada yang sunnah.324
Faedah kedua: Puasa syawal seperti halnya shalat sunnah rawatib yang dapat menutup kekurangan dan menyempurnakan ibadah wajib.325
325 Lihat Lathoif Al Ma’arif, 387-388.
326 Lihat Lathoif Al Ma’arif, 388.
327 Lihat Tafsir Al Qur’an Al ‘Azhim, 14/372.
328 Lathoif Al Ma’arif, 388.
329 HR. Bukhari no. 4837.
Faedah ketiga: Melakukan puasa syawal merupakan tanda diterimanya amalan puasa Ramadhan.
Jika Allah subhanahu wa ta’ala menerima amalan seorang hamba, maka Dia akan menunjuki pada amalan sholih selanjutnya. Jika Allah menerima amalan puasa Ramadhan, maka Allah akan tunjuki untuk melakukan amalan sholih lainnya, di antaranya puasa enam hari di bulan Syawal.326 Hal ini diambil dari perkataan sebagian salaf, “Di antara balasan kebaikan adalah kebaikan selanjutnya dan di antara balasan kejelekan adalah kejelekan selanjutnya.”327
Faedah keempat: Melaksanakan puasa syawal adalah sebagai bentuk syukur pada Allah.
Nikmat apakah yang disyukuri? Yaitu nikmat ampunan dosa yang begitu banyak di bulan Ramadhan. Bukankah kita telah ketahui bahwa melalui amalan puasa dan shalat malam selama sebulan penuh adalah sebab datangnya ampunan Allah, begitu pula dengan amalan menghidupkan malam lailatul qadr di akhir-akhir bulan Ramadhan?!
Ibnu Rajab rahimahullah mengatakan, ”Tidak ada nikmat yang lebih besar dari anugerah pengampunan dosa dari Allah.”328 Sampai-sampai Nabi shallallahu ’alaihi wa sallam pun yang telah diampuni dosa-dosanya yang telah lalu dan akan datang banyak melakukan shalat malam. Ini semua beliau lakukan dalam rangka bersyukur atas nikmat pengampunan dosa yang Allah berikan.
‘Aisyah mengatakan, “Kenapa engkau melakukan seperti ini wahai Rasulullah, padahal Allah telah mengampuni dosa-dosamu yang lalu dan akan datang?”. Beliau lantas mengatakan,
“(Pantaskah aku meninggalkan tahajjudku?) Jika aku meninggalkannya, maka aku bukanlah hamba yang bersyukur.”329
Begitu pula di antara bentuk syukur karena banyaknya ampunan di bulan Ramadhan, di penghujung Ramadhan (di hari Idul fithri), kita dianjurkan untuk banyak berdzikir dengan mengangungkan Allah melalu bacaan takbir ”Allahu Akbar”. Ini juga di antara bentuk syukur sebagaimana Allah Ta’ala berfirman,
“Dan hendaklah kamu mencukupkan bilangannya dan hendaklah kamu bertakwa pada Allah atas petunjuk-Nya yang diberikan kepadamu, supaya kamu bersyukur.” (QS. Al Baqarah: 185)
Begitu pula para salaf seringkali melakukan puasa di siang hari setelah di waktu malam mereka diberi taufik oleh Allah untuk melaksanakan shalat tahajud. Inilah bentuk syukur mereka.
Ingatlah bahwa rasa syukur haruslah diwujudkan setiap saat dan bukan hanya sekali saja ketika mendapatkan nikmat. Namun setelah mendapatkan satu nikmat, kita butuh pada bentuk syukur yang selanjutnya. Ada ba’it sya’ir yang cukup bagus: ”Jika syukurku pada nikmat Allah adalah suatu nikmat, maka untuk nikmat tersebut diharuskan untuk bersyukur dengan nikmat yang semisalnya”.330
330 Lathoif Al Ma’arif, 389.
331 Lihat Lathoif Al Ma’arif, 390.
332 HR. Bukhari no. 1987 dan Muslim no. 783.
Faedah kelima: Melaksanakan puasa syawal menandakan bahwa ibadahnya kontinu dan bukan musiman saja.
Amalan yang seseorang lakukan di bulan Ramadhan tidaklah berhenti setelah Ramadhan itu berakhir. Amalan tersebut seharusnya berlangsung terus selama seorang hamba masih menarik nafas kehidupan.
Sebagian manusia begitu bergembira dengan berakhirnya bulan Ramadhan karena mereka merasa berat ketika berpuasa dan merasa bosan ketika menjalaninya. Siapa yang memiliki perasaan semacam ini, maka dia terlihat tidak akan bersegera melaksanakan puasa lagi setelah Ramadhan karena kepenatan yang ia alami. Jadi, apabila seseorang segera melaksanakan puasa setelah hari ’ied, maka itu merupakan tanda bahwa ia begitu semangat untuk melaksanakan puasa, tidak merasa berat dan tidak ada rasa benci.
Asy Syibliy pernah ditanya, ”Bulan manakah yang lebih utama, Rajab ataukah Sya’ban?” Beliau pun menjawab, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Sya’baniyyin.” Maksudnya adalah jadilah hamba Rabbaniy yang rajin ibadah di setiap bulan sepanjang tahun dan bukan hanya di bulan Sya’ban saja. Kami (penulis) juga dapat mengatakan, ”Jadilah Rabbaniyyin dan janganlah menjadi Romadhoniyyin.”331 Maksudnya, beribadahlah secara kontinu (ajeg) sepanjang tahun dan jangan hanya di bulan Ramadhan saja. Semoga Allah memberi taufik.
’Alqomah pernah bertanya pada Ummul Mukminin ’Aisyah mengenai amalan Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam, ”Apakah beliau mengkhususkan hari-hari tertentu untuk beramal?” ’Aisyah menjawab,
”Beliau tidak mengkhususkan waktu tertentu untuk beramal. Amalan beliau adalah amalan yang kontinu (ajeg).”332 Amalan seorang mukmin barulah berakhir ketika ajal menjemput. Al Hasan Al Bashri mengatakan, ”Sesungguhnya Allah Ta’ala tidaklah menjadikan ajal (waktu akhir) untuk amalan seorang mukmin selain kematian.” Lalu Al Hasan membaca firman Allah,
”Dan sembahlah Rabbmu sampai datang kepadamu al yaqin (yakni ajal).” (QS. Al Hijr: 99).333 Ibnu ’Abbas, Mujahid dan mayoritas ulama mengatakan bahwa ”al yaqin” adalah kematian. Dinamakan demikian karena kematian itu sesuatu yang diyakini pasti terjadi. Az Zujaaj mengatakan bahwa makna ayat ini adalah sembahlah Allah selamanya. Ahli tafsir lainnya mengatakan bahwa makna ayat tersebut adalah perintah untuk beribadah kepada Allah setiap saat, sepanjang hidup.334
333 Lathoif Al Ma’arif, 392.
334 Zaadul Masiir, 4/423.