Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

makalah civic education

SEJARAH PELAKSANAAN
DEMOKRASI DI INDONESIA
Disusun guna memenuhi tugas mata kuliah
PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

Dosen : MASTUR, S.H.



Disusun Oleh :

Nama   : JOKO WASKITO
NIM  : 07 601 1376


FAKULTAS AGAMA ISLAM
UNIVERSITAS WAHID HASYIM SEMARANG
TAHUN AKADEMIK 2007/2008

 1


I.  PENDAHULUAN
Istilah demokrasi berasal dari perkataan Yunani demokratia, arti pokok : Demos
=  rakyat  :  kratos  =  kekuasaan  ;  jadi  kekuasaan  rakyat,  atau  suatu  bentuk
pemerintahan  negara,  dimana  rakyat  berpengaruh  di  atasnya,  singkatnya,
pemerintahan rakyat.
Sejak  abad  ke-6  sebelum  masehi,  bentuk  pemerintahan  negara  kota  (City
States) di Yunani adalah berdasarkan demokrasi. Athena membuktikan dalam sejarah
tentang demokrasi yang tertua di seluruh dunia.  Pemerintahan demokrasi yang tulen
adalah  suatu  pemerintahan,  yang sungguh-sungguh melaksanakan  kehendak  rakyat
yang  sebenarnya.  Akan  tetapi  kemudian  penafsiran  atas  demokrasi  itu  berubah
menjadi suara terbanyak dari rakyat banyak.
Tafsiran  terakhir  ini  tidak  asli  lagi  oleh  karena  demokrasi  diartikan  sebagai
pelaksanaan  suara  yang  lebih  banyak  dari  rakyat  banyak,  jadi  tidak  melaksanakan
kehendak  seluruh  rakyat.  Dalam  hal  ini,  demokrasi  dapat  disalahgunakan  oleh
golongan  yang  lebih  besar  dalam  suatu  negara  untuk  memperoleh  pengaruh  pada
pemerintahan  negara,  dengan  selalu  mengalahkan  kehendak  golongan  yang  kecil
jumlah  anggotanya. Dalam  demokrasi yang tulen dijaminlah hak-hak kebebasan tiap-
tiap orang dalam suatu anggota.
Dalam membicarakan tentang demokrasi di Indonesia, bagaimanapun juga kita
tidak  akan  lepas  dari  alur  periodesasi  sejarah  politik  di  Indonesia,  yaitu  apa  yang
disebut periode pemerintahan masa Orde Lama. Orde Baru, dan Reformasi.1

II.  ALUR ATAU PERIODESASI PERKEMBANGAN DEMOKRASI DI INDONESIA
A.  Demokrasi dalam Pemerintahan Masa Revolusi Kemerdekaan
Periode  pertama  pemerintahan  negara  Indonesia  adalah  periode
kemerdekaan.  Para  penyelenggara  pada  awal periode  kemerdekaan  mempunyai
komitmen  yang  sangat  besar  dalam  mewujudkan  demokrasi  politk  di  Indonesia.
Tahukah  Anda,  mengapa  demikian?  Ya.,  hal  itu  terjadi  karena  latar  belakang
pendidikan  mereka.  Mereka  percaya  bahwa  demokrasi  bukan  merupakan  suatu
yang hanya terbatas pada komitmen, tetapi lebih dari itu merupakan sesuatu yang
perlu  diwujudkan.  Tentu  saja,  tidak  terlampau  banyak  yang  akan  dibicarakan
menyangkut  demokrasi  pada  pemerintahan  periode  ini  (1945-1949),  kecuali
beberapa  hal  penting  yang  merupakan  peletakan  dasar  bagi  demokrasi  di
Indonesia untuk masa-masa selanjutnya.
                                               

1 Amin Suprihatini, S.Pd., dkk. 2005. Kewaganegaraan Kelas X. Cempaka Putih : Jakarta. hlm :
124 - 129

Pertama, hak politik (political franchise) yang menyeluruh.  Para  pembentuk
negara,  sudah  sejak  semula  mempunyai  komitmen  yang  sangat  besar  terhadap
demokrasi.  Sehingga  begitu  menyatakan  kemerdekaann  dari pemerintah kolonial
Belanda,  semua  warga  negara  yang  sudah  dianggap  dewasa  memiliki  hak-hak
politik yang sama, tanpa ada diskriminasi yang bersumber dari ras,  agama, suku,
dan kedaerahan.
Kedua, presiden yang secara konstitusional memiliki peluang untuk menjadi
diktator,  dibatasi  kekuasaannya  ketika  Komite  Nasional  Indonesia  Pusat  (KNIP)
dibentuk untuk menggantikan parlemen.
Ketiga,  dengan  maklumat  wakil  presiden  dimungkinkan  terbentuknya
sejumlah  partai  politik,  yang  kemudian  menjadi  peletak  dasar  bagi  sistem
kepartaian  di  Indonesia  untuk  masa-masa  selanjutnya  dalam  sejarah  kehidupan
politik di tanah air.
Perlu  Anda  ketahui  bahwa  pelaksanaan  demokrasi  pada  masa
pemerintahan  revolusi  kemerdekaann  baru  terbatas  pada  interaksi  politik  di
parlemen dan berfungsinya pers yang mendukung revolusi kemerdekaan. Elemen-
elemen  demokrasi  yang  lain  belum  sepenuhnya  terwujud,  karena  situasi  dan
kondisi yang tidak memungkinkan. Sebab, pemerintah harus memusatkan seluruh
energinya  untuk  bersama-sama  dengan  rakyat  mempertahankan  kemerdekaan
dan menjaga kedaulatan negara, agar negara kesatuan tetap terwujud.
Pada  masa  pemerintahan  revolusi  kemerdekaan,  partai-partai  politik
tumbuh  dan  berkembang  dengan  pesat.  Tetapi,  fungsinya  yang  paling  utama
adalah  ikut  serta  memenangkan  revolusi  kemerdekaan  dengan  menanamkan
kesadaran  untuk  bernegara  serta  menanamkan  semangat  antiimperialisme  dan
kolonialisme.  Karena  keadaan  tidak  mengizinkan,  pemilihan  umum  belum  dapat
dilakukan,  sekalipun  hal  itu  sudah  merupakan  salah  satu  agenda  politik  yang
utama.

B.  Demokrasi Parlementer (1949 – 1959)
Periode kedua  pemerintahan  negara Indonesia  adalah  tahun 1950  sampai
dengan  1959,  dengan  menggunakan Undang-Undang Dasar Sementara (UUDS)
sebagai  landasan  konstitusional.  Mengapa periode  pemerintahan  dalam masa  ini
disebut  sebagai  pemerintahan  parlementer?  Tentu  Anda  ingin  tahu  jawabannya
bukan?  Ya,  karena  pada  masa  ini  merupakan kejayaan  parlemen  dalam  sejarah
politik Indonesia.
Masa  demokrasi  parlementer  merupakan  masa  kejayaan  demokrasi
Indonesia,  karena  hampir  semua  elemen  demokrasi  dapat  ditemukan
perwujudannya dalam kehidupan politik Indonesia.
Pertama,  lembaga  perwakilan  rakyat  atau  parlemen  memainkan  peranan
yang  sangat  penting  dalam  proses  politik  yang  berjalan. Perwujudan  kekuasaan
parlemen  ini  diperlihatkan  dengan  adanya  sejumlah  mosi  tidak  percaya  kepada
pihak pemerintah yang mengakibatkan kabinet harus meletakkan jabatannya.
Kedua,  akuntabilitas  pemegan  jabatan  dan  plitisi  pada  umumnya  sangat
tinggi.  Hal  ini  dapat  terjadi,  karena  berfungsinya  parlemen  dan  juga  sejumlah
media masa sebagai  alat  kontrol  sosial.  Sejumlah  kasus  jatuhnya  kabinet  dalam
periode ini merupakan contoh konkret dari tingginya akuntabilitas tersebut.
Ketiga,  kehidupan  kepartaian  boleh  dikatakan  memperoleh  peluang  yang
sebesar-besarnya  untuk  berkembang  secara  maksimal.  Dalam  periode  ini,
Indonesia  menganut  sistem  banyak  partai  (multyparty  system).  Ada  hampir  40
partai  politik  yang  terbentuk  dengan  tingkat  otonomi  yang  sangat  tinggi  dalam
proses  rekrutmen,  baik  pengurus  atau  pimpinan  partainya  maupun  para
pendukungnya.  Campur  tangan  pemerintah  dalam  hal  rekrutmen  internal  partai
boleh dikatakan tidak ada sama sekali, sehingga setiap partai bebasmemilih ketua
dan segenap anggota pengurusnya.
Empat, sekalipun pemilihan umum hanya dilaksanakan satu kali, yaitu pada
tahun  1955,  tetapi  pemilihan  umum  tersebut  benar-benar  dilaksanakan  dengan
prinsip  demokrasi.  Kompetisi  antarpartai  politik  berjalan  dengan  baik  dan  sehat.
Partai-partai  politik  dapat  mengajukan  nominasi  calonnya  dengan  bebas,
kampanye  dilaksanakan  degnan  penuh  tanggung  jawab  dalam  rangka  mencari
dukungan  yang  kuat  dari  masyarakat  pemilih.  Dan  yang  tidak  kalah  pentingnya
adalah  setiap  pemilih  dapat  menggunakan hak  pilihnya  dengan bebas  tanpa  ada
tekanan atau rasa takut.
Kelima,  masyarakat  pada  umumnya  dapat  merasakan  bahwa  hak-hak
dasar  mereka  tidak  dikurangi  sama  sekali,  sekalipun  tidak  semua  warga  dapat
memanfaatkannya  dengan  maksimal.  Hak  untuk  berserikat  dan  berkumpul  dapat
diwujudkan  dengan  jelas,  dengan  terbentuknya  sejumlah  partai  politik  serta
organisasi peserta pemilihan umum.
Kebebasan pers  juga dirasakan  dengan baik,  karena  tidak dikenal adanya
lembaga yang menghambat kebebasan tersebut. Pers  memainkan peranan yang
sangat  besar  dalam  meningkatkan  dinamika  kehidupan  politik,  terutama  sebagai
alat  kontrol  sosial.  Sekalipun  pers  itu  sendiri  merupakan  instrumen  politik  yang
sangat  efektif  dari  sejumlah  partai  politik.  Setiap  partai  politik  yang  besar
mempunyai surat kabar. Partai Nasional Indonesia (PNI) memiliki Suluh Indonesia,
yang  kemudian  berubah  menjadi  Suluh  Marhaen.  Partai  Sosial  Indonesia
mempunyai afiliasi  dengan harian Pedoman,  Masyumi memiliki harian  Abadi, dan
Partai  Komunis  Indonesia  (PKI)  menerbitkan  harian  Rakyat.  Demikian  juga
dengan  kebebasan  berpendapat  (freedom  of  expression),  masyarakat  yang
mampu  melaksanakannya  dapa  saja  menggunakan  haknya  tanpa  ada  rasa
khawatir  untuk  menghadapi  resiko,  sekalipun  mengkritik  pemerintah  dengan
keras.
Keenam,  dalam  masa  pemerintahan  parlementer,  daerah-daerah
memperoleh  otonomi  yang  cukup, bahkan  otonomi  yang  seluas-luasnya  dengan
asas  desentralisasi  sebagai  landasan  untuk  berpijak  dalam  mengatur  hubungan
kekuasaan  antara  pemerintah  pusat  dengan  pemerintah  daerah.  Daerah-daerah
diberi hak untuk mengatur dan mengurus rumah tangganya sendiri sesuai dengan
aspirasi  yang  berkembang  di  daerah  tersebut.  Termasuk  di  dalamnya
kewenangan  untuk  menggali  sumber  daya  keuangan  dan  kewenangan  untuk
mengisi jabatan lokal yang sesuai dengan kondisi politik lokal.
Memang,  demokrasi  mempunyai  kaitan  erat  dengan  derajat  tinggi
rendahnya  desentralisasi  dalam  penyelenggaraan  negara.  Semakin  demokratis
sebuah  negara,  maka  semakin  ada  kecenderungan  ke  arah  pemerintahan  yang
sentralistis.
Pada  saat  berlangsungnya sistem  ini di  Indonesia, pemerintahan  dipimpin
oleh  seorang  perdana  menteri.  Sedangkan,  presiden  hanya  berkedudukan
sebagai  kepala  negara.  Dalam  sistem  ini,  perdana  menteri  (kabinetnya)
bertanggung jawab kepada parlemen atau Dewan Perwakilan Rakyat.
Akibat pelaksanaan demokrasi parlementer, roda pemerintahan tidak stabil.
Hal  ini  disebabkan  oleh  begitu  mudahnya  oposisi  dalam  parlemen  mengajukan
mosi tidak percaya terhadap kabinet atau pemerintah yang berkuasa.

C.  Demokrasi Terpimpin (1959 – 1965)
Geleide  democratie  ialah  demokrasi  terpimpin  menurut  Ir.  Soekarno,
sedang menurut Dr. Moh. Hatta maksudnya demokrasi terdidik ; kedua tafsiran ini
arti  dan  maksudnya  sama  saja.  Dengan  demokrasi  terpimpin  atau  demokrasi
terdidik  diartikan  bahwa  berhubung  dengan  terdapatnya  jarak  yang  memisahkan
para  pemimpin  (kaum  intelek)  yang  telah  mampu  atau  belum  untuk  demokrasi  ;


oleh  karenanya  untuk  melaksanakan  demokrasi  para pemimpin  harus  memimpin
atau mendidik rakyat berdemokrasi.2
Sejak  berakhirnya  pemilihan  umum  1955,  Presiden  Ir.  Soekarno  sudah
menunjukkan  gejala  ketidaksenangannya pada  partai-partai  politik. Hal itu terjadi,
karena partai politik sangat berorientasi pada kepentingan ideologinya sendiri dan
kurang  memperhatikan  kepentingan  politik  nasional  secara  menyeluruh.  Bahkan,
pernah  pada  suatu  kesempatan  di  Istana  Merdeka,  beliau  melontarkan
keinginannya untuk membubarkan saja partai-partai politik. Selain itu, Ir. Soekarno
juga  melontarkan  gagasan,  bahwa  demokrasi  parlementer  tidak  sesuai  dengan
kepribadian  bangsa  Indonesia  yang  dijiwai  oleh  semangat  gotong  royong  dan
kekeluargaan.  Ir.  Soekarno  juga  menekankan  bagaimana  besarnya  peranan
pemimpin  dalam proses politik yang berjalan dalam  masyarakat kita. Ir. Soekarno
kemudian juga  mengusulkan  agar  dibentuk  pemerintahan  bersifat  gotong royong
yang  melibatkan  semua  kekuatan  politik  yang  ada,  termasuk  Partai  Komunis
Indonesia yang selama ini tidak pernah terlibat secara resmi dalam koalisi kabinet.
Untuk  mewujudkan  gagasan tersebut,  Ir.  Soekarno kemudian mengajukan usulan
yang  dikenal  sebagai  "Konsepsi  Presiden".  Melalui  konsepsi  tersebut,  terbentuk
kemudian apa yang disebut Dewan Nasional yang melibatkan semua partai politik
dan organisasi sosial kemasyarakatan.
Konsepsi presiden  dan terbentuknya Dewan Nasional mendapat tantangan
yang  sangat  kuat  dari  sejumlah  partai  politik,  terutama  Masyumi  serta  PSI.
Penentang konsepsi presiden menyatakan, bahwa pembentukan Dewan Nasional
merupakan  pelanggaran  yang  sangat  mendasar  terhadap  konstitusi  negara,
karena  lembaga  tersebut  tidak  dikenal  dalam  konstitusi.  Pada  saat  yang  sama,
sejumlah faktor lain muncul secara hampir bersamaan.
Pertama,  hubungan  antara  pemerintah  pusat  dengan  pemerintah  daerah
semakin  memburuk.  Sejumlah  perwira  Angkatan  Darat  di  daerah-daerah
membentuk  misalnya  Dewan  Banteng,  Dewan  Garuda,  dan  Dewan  Gajah  di
Sumatera, yang kemudian mengambil alih pemerintahan sipil. Demikian pula yang
terjadi  di  Sulawesi.  Semuanya  itu  kemudian  mencapai  puncaknya  dengan
terjadinya pemberontakan daerah yang dipelopori oleh PRRI dan Permesta.
Kedua,  Dewan  Konstituante  ternyata  mengalami  jalan  buntu  untuk
mencapai  kesepakatan  guna  merumuskan  ideologi  nasional,  karena  tidak
tercapainya titik temu  antara dua  kubu politik,  yaitu kelompok yang menginginkan
Islam  sebagai  ideologi  negara  dan  kelompok  lain  yang  menginginkan  Pancasila
                                              

2  Prof. Drs. C.S.T. Kansil, S.H. dan Cristine S.T. Kansil, S.H., M.H. Pendidikan
Kewarganegaraan di PerguruanTinggi. (Jakarta : PT. Pradnya Paramita, 2003), hlm. 110.


sebagai  dasar  negara.  Ketika  votting  dilakukan,  ternyata  suara  mayoritas  yang
diperlukan  tidak  tercapai.  Bahkan  hal  tersebut  berlarut-larut,  karena  semakin
banyak  anggota  Konstituante  yang  tidak  mau  lagi  menghadiri  sidang  lembaga
perwakilan rakyat tersebut.
Agar dapat keluar dari persoalan  politik yang sangat pelik tersebut, dengan
pertimbangan  demi  kepentingan  negara,  Ir.  Soekarno  kemudian  pada  tanggal  5
Juli  1959  mengeluarkan  Dekrit  Presiden  yang  membubarkan  Konstituante  dan
menyatakan kembali pada  Undang-Undang  Dasar 1945. Dekrit  Presiden tersebut
merupakan  palu  godam  bagi  demokrasi  parlementer,  yang  kemudian  membawa
dampak yang sangat besar dalam kehidupan  politik nasional. Era baru demokrasi
dan  pemerintahan  di  Indonesia  mulai  memasuki  apa  yang  kemudian  oleh  Ir.
Soekarno  disebut  sebagai  Demokrasi  Terpimpin.  Untuk  mewujudkan  demokrasi
terpimpin ini, maka terbentuklah Front Nasional.
Dibentuknya  Front  Nasional  dan  penyederhanaan  partai  membawa  akibat
adanya  stabilitas  yang  semu.  Keadaan  ini  terjadi  karena  tidak meletakkan  dasar
yang  kuat  dalam  proses  pergantian  pimpinan  nasional.  Selain  itu,  karena
mengandalkan adanya blok politik yang  dapat mengelola Front Nasional. Adanya
pengkultusan  terhadap  Presiden  Ir.  Soekarno  setelah  tahun  1963  semakin
menyebabkan  saluran  politik  tersumbat.  Kecuali,  dari  kelompok-kelompok  yang
memberikan kontribusi  kepada elite politik.  Begitu pula pengangkatan Presiden Ir.
Soekarno  sebagai  presiden  seumur  hidup  adalah  tindakan  inkonstitusional  yang
bertentangan  dengan  UUD  1945.  Berbagai  situasi  politik  yang  tidak  menentu
sangat menguntungkan bagi PKI, sehingga partai ini menjadi semakin besar.

D.  Demokrasi Pancasila (1965 – 1998)
Demokrasi Pancasila  dimulai ketika rezim Ir. Soekarno berakhir. Demokrasi
Pancasila  adalah  paham  demokrasi  yang  bersumber  pada  kepribadian  dan
falsafah  serta  budaya  hidup  bangsa  Indonesia.  Dalam  Demokrasi  Pancasila,
kedaulatan  yang  dimaksud  adalah  kedaulatan  yang  berdasarkan  musyawarah
yang  meliputi  bidang  politik,  ekonomi,  sosial  budaya,  dan  hankam  yang
berketuhanan Yang Maha Esa menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab
serta persatuan  dan  kesatuan bangsa. Demokrasi  Pancasila  berdasarkan paham
kekeluargaan dan gotong royong, yang ditujukan bagi kesejahteraan rakyat seperti
tercamtum  dalam  Pembukaan  UUD  1945.  Hal  ini  bisa  terjadi  apabila  Pancasila
benar-benar dilaksanakan secara bertanggung jawab.
Konsep  yang  baik  dari  Demokrasi  Pancasila  dalam  pelaksanaannya  tidak
bisa  diwujudkan  dengan  mudah.  Pemerintahan  rezim  Orde  Baru  telah  mencoba mewujudkannya,
diantaranya  bidang  politik  dengan  mengeluarkan  lima  paket
Undang-Undang Politik berikut :
a.  Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1985 tentang Pemilu.
b.  Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1985 tentang Kedudukan MPR dan DPR.
c.  Undang-Undang  Nomor  3  Tahun  1985  tentang  Partai  Politik  (Parpol)  dan
Golongan Karya (Golkar).
d.  Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1985 tentang Referendum.
e.  Undang-Undang  Nomor  8  Tahun  1985  tentang  Organisasi  Kemasyarakatan
(Ormas).
Kelima undang-undang  tersebut  disusun  untuk  mengatur  kehidupan politik
di tanah air. Akan tetapi, dalam praktiknya undnag-undang ini dipergunakan untuk
mempertahankan status quo kekuasaan Orde Baru.

E.  Demokrasi Masa Reformasi (1998 – Sekarang)
Masa reformasi membawa angin segar bagi demokrasi. Dalam kurun waktu
32 tahun dibawah rezim  Orde Baru, kehidupan politik terbelenggu oleh ketentuan
yang ada dalam lima paket Undang-Undang Politik. Berbagai alur aksi menentang
rezim dianggap kontra produktif dengan pembangunan. Sejak terpuruknya kondisi
perekonomian  Indonesia,  aksi-aksi  menuntut  turunnya  Orde  Baru  semakin  tinggi
frekuensinya. Akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998 Soeharto lengser keprabon dari
kursi presiden dan menunjuk Habibie wakilnya sebagai penggantinya.
Masa pemerintahan Habibie diwarnai dengan iklim keterbukaan demokrasi,
misalnya menerapkan  adanya  kebebasan pers.  Dengan adanya  keterbukaan  ini,
keadaan politik  dalam  negeri  mengalami euforia  demokrasi. Tuntutan  masyarakat
dalam  aksi  protes  muncul  silih  berganti.  Hal  ini  menimbulkan  sikap  anarki  dan
tindak kekerasan.
Keadaan  ini  diharapkan  akan  berakhir,  setelah  diadakan  pemilihan  umum
1999  tanggal  7  Juni  1999  agar  terwujud  pemerintahan  yang  memenuhi  aspirasi
seluruh  rakyat.  Pemilu ini  diikuti oleh 48  partai politik. Dalam Sidang Umum  MPR
1999  pada  tanggal  1  –  21  Oktober  1999,  dihasilkan  perubahan  besar  dengan
keputusan  untuk  mengamandemen  Undang-Undang  Dasar  1945.  Hal  itu
merupakan  wujud  keinginan  untuk  mereformasi  total  sistem  ketatanegaraan
Indonesia  agar  lebih  demokratis.  Pemilihan  presiden  dilakukan  dalam  suasana
yang  transparan  dan  demokratis  dalam  ketatanegaraan Indonesia.  Abdurrahman
Wahid  (Gus  Dur)  dan  Megawati  Soekarnoputri  masing-masing  terpilih  sebagai
presiden dan wakil presiden.
Dibawah  dua  kepemimpinan  ini,  roda  pemerintahan  ternyata  tidak  juga
berjalan  mulus.  Hubungan  legislatif  dan  eksekutif  terburuk  terjadi  di  era
pemerintahan  ini. DPR  mengajukan  memorandum kepada  Gus  Dur  karena  telah
dianggap  menyalahgunakaan  kekuasaan.  Sementara  itu,  Gus  Dur
menanggapinya  dengan  mengeluarkan  dekrit  yang  salah  satu  isinya  adalah  ;
Membekukan  lembaga  DPR  dan  MPR.  Namun,  Gus  Dur  ternyata  tidak
mempunyai  cukup  pendukung.  Dekrit  ini  kemudian  menjadi  bumerang  dengan
penolakan  DPR/MPR  atas  dekrit  tersebut  dan  memaksa  Gus  Dur  turun  lewat
Sidang  Istimewa  MPR.  Hanya  selang  empat  hari  setelah  dekrit  tersebut
dikeluarkan, Gus Dur harus menyaksikan Megawati Soekarnoputri mengambil alih
posisinya dengan Hamzah Haz sebagai wakilnya.

III.  PENUTUP
Seiring dengan bergulirnya sejarah demokrasi di Indonesia, yang menyebabkan
dampak yang nyata bagi kehidupan, khususnya bangsa Indonesia sendiri. Dampak itu
memang berbeda-beda yang  dirasakan  oleh  setiap individu, ada  yang potisif dan ada
yang  negatif.  Namun  di  balik  itu  semua,  merupakan  suatu  pelajaran  yang  patut  kita
petik maknya yang terkandung di dalamnya.
Demikian makalah  yang dapat  kami  ketengahkan,  kami sangat  mengharapkan
masukan  dari  pembaca  sekalian  demi  kesempurnaan  makalah  ini.  Kekurangan  dari
makalah ini  merupakan kami  dalam ilmu pengetahun yang kami miliki, dan kelebihan
hanya  semata-mata  datang  dari  Allah  SWT.,  semoga  bermanfaat  bagi  kita  semua.
Amin.



DAFTAR PUSTAKA


Suprihatini, S.Pd.,  Amin  dkk. 2005. Kewaganegaraan Kelas X   (Cempaka  Putih : Jakarta,
2005). hlm : 124-129

C.S.T.  Kansil  Prof.  Drs.,  S.H.  dan  S.T.  Kansil,  S.H  Cristine.,  M.H.  Pendidikan
Kewarganegaraan  di  PerguruanTinggi.  (Jakarta  :  PT.  Pradnya
Paramita, 2003), hlm. 110.