Sebarkan Ilmu Untuk Indonesia Yang Lebih Maju

Contoh Pembuatan Drama Kolosal

Tajuk Drama    : MELIHAT IBU DALAM MIMPI
Naskah    : Irwaninrum Dedy Mizwar
Tokoh    :
Rangga (Tokoh Utama / Peran Sebagai Pelajar)
Reno (sahabat lama Rangga)
Ibu (ibu Reno)
Bapak (bapak Reno)
Afifah/Ibu 2 (tetangga Reno)
Endra (6 tahun, anak bungsu Afifah)
Putri (9 tahun, anak ke-3 Afifah)
Rahman (11 tahun, anak ke-2 Afifah)
Surya (13 tahun, anak sulung Afifah)
Bapak tua (tetangga Reno)
Tempat    : Gang sempit di antara rumah penduduk. Pagar rumah-rumah membuat gang yang dindingnya penuh lumut hijau, sebagian pula sudah berwarna cokelat karena mati terkena sinar matahari. Rumah kecil yang di depannya ada kursi sofa bekas yang sudah robek. Rumahnya tak memiliki halaman hanya cukup untuk duduk santai menjulurkan kaki.
Rangga berjalan melewati gang rumah yang sempit. Keringat mengucur di dahinya. Sambil menggendong tas, Rangga memperhatikan orang-orang yang lewat di gang itu. Rangga berhenti sejenak. Ia mengusap keringat dengan telapak tangannya. Sebelum Rangga berbelok, ia merogoh saku celananya untuk mengambil kertas yang bertuliskan alamat rumah temannya. Ia mengerenyitkan dahinya yang lebar. Rangga melihat seorang bapak tua yang dari tadi duduk di depan rumahnya, memperhatikan gerak-gerik Rangga. Rangga mendekati bapak tersebut.
ADEGAN 1
Rangga    : “Punten, Pak! Ngiring tumaros,” (Rangga sejenak menghentikan ucapannya). “Bapak uninga alamat ieu, Pak?” (Rangga menyodorkan kertas berisi alamat rumah Reno kepada bapak tua itu).
Bapak tua    : “Oh, Jalan Sersan Bajuri no. 103!” (Bapak tua itu mengangguk-nganggukkan kepalanya sebentar). “Ujang jalan wae lurus teras belok kiri, aya bumi nu warnana koneng, tah bumina di palih kiri bumi tadi!” (dengan telunjuknya, Bapak tua itu memetakan alamat yang diberikan Rangga).
Rangga    : Haturnuhun, Pak. Mangga, Pak!(setengah membungkukkan badannya, Rangga beranjak dari hadapan bapak tua itu).
Bapak tua    : Sami-sami.
Rangga kembali memasukkan kertas itu ke saku celananya. Seraya membetulkan tas di punggunya, Rangga beranjak dari rumah Bapak tua itu. Aku datang, Reno. Ucap Rangga pada dirinya sendiri. Rangga mempercepat langkahnya, ingin cepat-cepat bertemu sahabat lamanya.
Panas matahari menyengat kulit Rangga, hingga sesekali ia mengerenyitkan dahinya. Gang yang sempit itu terlihat lengang dan pintu rumah-rumah pun tertutup. Rangga melihat warung nasi yang ditunjukkan bapak tua itu, lalu ia melirik ke rumah di sebelahnya. Langsung ia menatap tajam pintu rumah berwarna hijau itu.
ADEGAN 2
Tempat    : Rumah cukup sederhana dengan penuh tanaman dan bunga di dipannya. Meski halamannya tak luas, tapi terlihat apik dan rapi. Di teras rumah itu ada kursi kayu. Di samping kanan rumah itu juga banyak bibit tanaman dan bunga sedangkan di samping kirinya hanya ada tembok dan pagar bambu pembatas dengan rumah disampingnya.
Rangga    : “Assalaamu’alaikum!”(sambil memukulkan gembok yang tergantung di pagar besi rumah itu. Tak ada sahutan dari dalam rumah). “Apa lagi pada tidur siang ya?”(Rangga menoleh ke samping kanan dan kiri rumah, kemudian ia mengucapkan salam lagi. Seorang wanita membuka pintu rumahnya. Sekilas ia menatap wajah Rangga. Sepertinya ini ibunya Reno). “Assalamualaikum!”(Rangga mengucap salam sambil setengah membungkukkan badannya)
Ibu         : “Waalikum salam!”(Ibu itu langsung menghampiri Rangga)
Rangga    : “Ibu, leres ieu bumina  Reno?”
Ibu        : “Muhun, leres!”(ia membukakan pagar)
Rangga    : “Abdi Rangga, rerencangan Reno kapungkur waktos SMA. Renona aya, Bu?”
Ibu        : “Aya, mangga ka lebet!”
Ibu itu pergi ke dalam rumah lalu memanggil Reno. Rangga menunggu di depan rumah sambil membuka sepatunya. Reno keluar dari rumahnya, wajahnya kusut. Sepertinya ia baru bangun dari tidur.
Reno        : “Rangga! Kamana wae kamu teh?”(Reno menghampiri Rangga dan memeluknya)
Mereka berdua bercengkrama dan saling menanyakan kabar. Rangga duduk di kursi sofa, sambil meminum air dingin yang disiapkan ibunya Reno.
Selepas shalat asar, Reno dan Rangga duduk di kursi depan rumah. Suasana cukup ramai menjelang senja. Orang-orang juga melakukakan hal yang sama, duduk di depan rumah sambil minum kopi atau teh.
ADEGAN 3
Tempat    : Di depan rumah Reno, di sana terlihat rumah tetangga disamping dan didepan rumah. Jalan yang sempit itu banyak di lalui orang. Ada yang pergi ke sawah atau ladang, ada yang pergi bekerja di pabrik, sekolah, mengajar atau hanya mampir ke rumah tetangga aja. Mesjid kecil yang persis mushola sederhana. Jendela mesjid itu belum terpasang kaca karena belum rampung pembangunannya. Lampu di dalam mesjid itu terlihat suram dan kecil, meski lampu neon tapi tak menerangi seluruh pojok mesjid.
Rangga    : “Bapak kamu kemana, Ren?”(seraya menyeruput teh di atas meja kayu di sampingnya)
Reno        : “Masih di kebun, sebelum maghrib juga pulang”
Belum lama mereka berbincang, seorang bapak memasuki pekarangan rumah Reno sambil memikul cangkul di pundaknya. Reno bangkit dari duduknya kemudian memperkenalkan Rangga pada bapaknya.
Bapak    : “Ini Rangga teh? yang sering kamu ceritain itu?”
Reno        : “Iya, Pak!”
Tak terasa suara beduk maghirb menyahut dari kejauhan.
Rangga    : “Sekarang kegiatan kamu apa aja?”
Reno        : “Nggak ada, aku cuma bantu Ibu sama Bapak di rumah. Aku juga pengen kuliah sih, tapi orang tuaku nggak mampu ngebiayain aku”
Mereka berdua berbelok menelusuri gang dari rumah ke rumah hingga tiba di mesjid. Dengan khusyuk dan tertib, mereka melaksanakan shalat berjama’ah. Baru kali ini Rangga shalat di daerah perkampungan. Masyarakatnya ramah dan terlihat rasa kebersamaan mereka.
ADEGAN 4
Tempat    : Ruang makan. Meja makan segi empat panjang dari kayu yang tidak beralaskan taplak. Lampu yang tergantung di atas meja itu seperti lampu hias jaman dulu berwarna coklat tua keemasan. Di sebelah meja hanya ada lemari tempat menyimpan piring dan gelas serta alat memasak lainnya.
Ibu        : “Kamu kuliah di mana, Ga?”(sambil menyimpa piring di hadapan Rangga)
Rangga    : “Di UNB, Bu!”(Rangga menyedok nasi di hadapannya, lalu menyimpan goreng ikan asin di atas piringnya).
Bapak    : “Jurusan naon?”
Rangga    : “Sosiologi, Pak”(Rangga menikmati santapan makan malam itu dengan lahapnya)
Bapak    : “Nanti jadi Sosiolog atuh!”
Rangga    : “Mudah-mudahan aja, Pak!”
Reno        : “Sekarang mah udah jadi mahasiswa, makin pinter aja. Dulu mah Bu, Pak, Rangga teh kucel, caludih. Sekarang mah udah ganteng.”(Reno tersenyum sambil memasukkan nasi ke dalam mulutnya).
Rangga    : “Ah bisa wae!”(Rangga menyikut dada Reno dengan tangannya).
ADEGAN 5
Tempat    : Kamar tidur Reno yang suram cahaya lampu bohlam di atasnya, tapi ada meja belajar dan lemari pakaian milik Reno. Atap langit-langit kamar itu ada sedikit berwarna hitam sisa air hujan yang meresap. Di samping kiri kamar ada jendela kecil yang langsung menempel dengan tembok pagar pembatas rumah Reno dengan rumah tetangga.
Tubuh Rangga terasa lelah, rasa kantuk mulai meyelimutinya. Baru saja ia membaringkan tubuhnya, Rangga mendengar suara jeritan anak kecil di samping rumah disusul suara bentakan ibunya. Mungkin di rumah tetangga Reno.
Anak kecil    : “Aaaw…ampun mak, ampuuun!”(anak itu menangis keras)
Ibu 2        : “Dasar siah, badeug sia jadi budak! Geura sare ka ditu!”
Rangga    : “Ren, siapa itu?”(Rangga terperanjat dari tidurnya)
Reno        : “Tetangga. Keluarga itu mah udah biasa ribut”(Reno membuka matanya yang sudah terlihat merah)
Rangga    : “Ribut kenapa?”
Reno        : “Udah atuh, Ga! Itu mah urusan keluarga mereka, kita mah nggak bisa ikut campur!”
Rangga tak bisa banyak bertanya lagi. Reno sudah tertidur pulas. Pikarnnya masih terganggu jeritan anak kecil tadi. Ia tak bisa memejamkan matanya. Kesedihan pun terlihat di matanya. Rangga teringat masa kecilnya yang menyedihkan.
ADEGAN 6
Tempat    : Di depan rumah Reno
Pagi-pagi sekali Rangga sudah bangkit dari tidurnya, lalu sembahyang subuh bersama keluarga Reno. Pelan-pelan matahari menerangi langit yang gelap. Reno dan Rangga duduk di depan rumah sambil menikmati kopi dan pisang goreng hangat buatan ibu Reno.
Reno        : “Kuliah kamu lagi libur gitu?”(seraya bangkit memeriksa tanaman hias di depan rumahnya)
Rangga    : “Iya, kebetulan juga aku lagi nggak ada kegiatan. Jadi, aku sempetin deh maen ke sini”(lalu Rangga menyerobot pisang goreng di depannya. Belum selesai ia mengunyah pisang goreng itu, Rangga melihat seorang ibu, tetangga Reno keluar dari rumahnya diikuti oleh anaknya).
Anak        : “Mak Endra ikut, Mak!”(ia meraih tangan ibunya yang tak sekilas pun melihat wajahnya)
Ibu 2        : “Cicing di dieu emak rek ka pasar!”(tangannya mendorong kepala anak kecil hingga terbentur pintu yang sebagian dari kaca, lalu ia terjatuh menangis)
Rangga menatap tajam ibu itu, ia terhenyak seperti orang yang sedang dicekik. Wajah itu persis seperti wajah ibunya. Dengan jelas ia bisa melihat karena tak seberapa jauh, hanya terhalangi pagar bambu yang pendek. Rangga sedikit memanjangkan lehernya berusaha melihat keadaan anak tersebut.
Rangga    : “Ren, siapa nama anak kecil itu?”(matanya masih melirik ke arah rumah tetangga Reno. Kemudian Rangga duduk tenang lagi dan meminum kopi manis asli buatan orang-orang kampung).
Reno        : “Endra”(ia bangkit dari duduknya, mengambil cangkul di samping rumah lalu membersihkan mata cangkul yang pasih penuh tanah itu dengan kayu).
Rangga    : “Trus kakaknya yang cewek? Aku juga ngedenger suara dua anak laki-laki lagi di dalam rumah itu, nama mereka siapa?”(Rangga ikut berdiri sambil melipat tangannya. Rangga sedikit mencondongkan badannya ke arah pintu rumah itu, lalu ia mendekati Reno sambil melihat pekerjaan Reno).
Reno        : “Itu Putri, kakak ke tiga anak kecil tadi, lalu kakak keduanya, namanya Rahman, kakak pertama mereka namanya Surya”(Rangga mengangguk-ngangguk sambil mengikuti Reno berjalan ke pinggir rumah. Lalu mereka duduk santai lagi)
Rangga duduk kembali di kursi kayu. Pikirannya teringat jeritan dan tangisan anak itu, ia teringat waktu kecilnya. Ketika ia ingin dimanja, bermain dengan mainan dan disayang, semuanya tak ada dalam masa kecilnya.
Rangga    : “Kalo ibu itu, siapa namanya Ren?
Reno        : “Afifah”
Rangga semakin terhenyak mendengar nama itu diucapkan reno. Itu kan nama ibuku!? Rangga tak habis pikir apa yang terjadi pada dirinya, kemudian ia masuk ke dalam rumah. Rangga membaringkan tubuhnya. Itu kan masalah keluarga orang, kenapa aku harus ikut campur? Kata Rangga dalam hati. Lagian aku ke sini mau liburan bukan buat ngurusin keluarga orang. Rangga bangkit lagi dari tidurnya, menghampiri Reno yang dari tadi duduk di depan rumahnya. Rangga tak mendengar suara anak kecil itu menjerit atau menangis lagi. Bahkan ia mendengar anak-anak tetangga Reno itu sedang bercanda berkelakar berbarengan dengan suara televisi yang bergaung keras terdengar sampai luar rumah.
Rangga    : “Kamu nggak ikut bapak kamu ke kebun?”(Rangga heran, Reno diam di rumah saja padahal tadi pagi Rangga melihat bapaknya Reno hendak pergi ke kebun. Rangga menghabiskan kopi di meja kecil itu lalu disantapnya pisang goreng yang sudah dingin).
Reno        : “Hari ini Bapak menyuruhku jangan dulu kerja, katanya sih suruh nemenin kamu dulu”(setelah selesai menyiram bibit tanaman dan bunga-bunga, Reno mencuci tangannya dan duduk di samping Rangga. Lalu ia menyeruput lagi kopi manis yang sudah dingin di sampingnya dan menghabiskan sisa pisang goreng di atas piring.